Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah[1]



Abstrak


Perdebatan seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah telah banyak menguras energi umat Islam Indonesia. Inti permasalahannya adalah pendefinisaian tentang hilal. Hilal merupakan patokan untuk memulai awal bulan Kamariah. Rasulullah saw mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang awan, genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dalam makalah ini diulas tentang pelaksanaan observasi hilal; rukyatul hilal. Perlu persiapan matang agar observasi yang dilaksanakan dapat memberikan hasil optimal. Selanjutnya dapat berkontribusi bagi pengembangan observasi awal bulan Kamariah di Indonesia.



Kata Kunci: Observasi Awal Bulan, Rukyatul Hilal, Hilal



Pendahuluan



Observasi awal bulan di Indonesia yang dikoordinir oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Departemen Agama, awalnya hanya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal. Semenjak pemerintahan Megawati Soekarno Putri ditambah dengan pengoservasian awal bulan Zulhijah. Jika pada sembilan bulan lainnya tidak dilakukan observasi secara “resmi”, berbeda dengan ketiga bulan  di atas karena pada ketiganya terdapat momen penting dalam rangkaian ibadah umat Islam. Yakni untuk mengawali pelaksanaan ibadah Ramadan, pelaksanaan hari raya Idul Fitri, dan pelaksanaan rangkaian ibadah haji serta hari raya Idul Adha.


Tingkat keberhasilan observasi awal bulan dengan kata lain pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia masih rendah. Misalnya kita ambil contoh rukyatul hilal yang dilaksanakan untuk penetapan awal Syawal 1430 H lalu. Dari sekian



banyak tempat observasi hilal di Indonesia[2], dilaporkan bahwa yang berhasil melihat hilal hanyalah di dua tempat. Laporan melihat hilal tersebut datang dari tempat observasi Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat dan Menara mesjid Agung Jawa Tengah.


Berdasarkan laporan dari kedua tempat inilah dan dikuatkan dengan hasil perhitungan hisab, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan besoknya adalah tanggal 1 Syawal; pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan pertanda berakhirnya puasa Ramadan.


Rendahnya tingkat keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik teknis maupun non teknis. Dalam makalah ini selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut tentang observasi hilal awal bulan Kamariah ini. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan rukyatul hilal ini sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Serta diulas tentang pelaksanaan observasi awal bulan Muharam 1430 H lalu di pantai Bandengan Jepara, Jawa Tengah.



Pengertian Observasi Awal Bulan Kamariah



Rukyatul hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah—


untuk menentukan  kapan bulan baru itu dimulai.[3]


Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar. Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut:


1.      Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya.


2.      Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal.


3.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk)


4.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)


5.      Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara[4].




Ketika Matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah Barat berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud[5].  


Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
  1. Jika pada saat ghurub tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
  2. Jika pada saat ghurub tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
  3. Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub, posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriyah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.

  4. Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub, namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang sedang berjalan[6].  



Urgensi Rukyatul Hilal


Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim[7].


Sejatinya, kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.


            Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification) pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.


            Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan. Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains hilal itu sendiri[8].  Rukyat ini  menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab[9].


            Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan[10].


Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal (misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.



Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.



Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.


            Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan  dengan rukyat dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya) setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal bulan yang baru[11].


            Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan[12].


Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah. Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan. Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi[13].


Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq[14].


Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu[15].


Ada pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini dibantu dengan alat teropong rukyah[16].

Hal-Hal yang Mempengaruhi Keberhasilan Pelaksanaan


Praktik Rukyatul Hilal


           


 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut:


1.      Faktor cuaca.


Apabila di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan. Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa awan, asap, maupun kabut.



2.      Faktor Hilal yang diobservasi


Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal:


a.       beda tinggi hilal dan Matahari


b.      beda azimut hilal dan Matahari


c.       jarak elongasi


d.      umur bulan


e.       fraksi eluminasi


f.        garis batas tanggal bulan Hijriah[17]


g.       paralaks horison


h.       refraksi angkasa


i.         kerendahan ufuk[18]


3.      Faktor manusia[19].


Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain:


a.       Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit yang melatarbekanginya[20].


b.      Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub). Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah) tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab.


c.       Seorang yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal.[21]


d.      Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).



Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan



Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain:


1.      Peralatan rukyah al-hilal:


a.       Teodolit adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah[22].


b.      Kompas adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya[23]. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju  kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat[24]. Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika).


c.       GPS (Global Positioning System): Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain[25].


d.      Benang, paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan ditambatkan dengan paku  setelah ditentukan  terlebih dahulu arah-arah yang dimaksudkan. Di antaranya, benang  yang menunjukkan arah Utara sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal.


e.       Gawang lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya tentu saja merujuk data-data hasil hisab.


f.        Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal.


g.       Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah).


2.      Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang  beda tinggi Bulan dan Matahari,  beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara. Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari, dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar lokasi Bulan jika ada saat observasi).


Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab Syams al-Hilal dan kitab Nur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:


a.       Data kitab Syam al-Hilal


Awal Muharrom 1430 H


1)      Ijtimak  pada                                  : hari sabtu/ malam Minggu


2)      Jam                                                : 0.58


3)      Tinggi Hilal                                     : 11 52/100 derajat


4)      Tinggi Hilal dengan meter                : 8,29 m


5)      Lamanya di atas ufuk                      : 46,32 menit


6)      Keadaan Hilal                                 : miring ke utara tegak turus


7)      Besar cahaya Hilal                            : 4/5 jari


b.      Data kitab Nur al-Anwar


Awal Muharrom 1430H


1)      1 Muharrom 1430H                       : Senin, 29 Desember 2008


2)      Ijtimak                                            : Sabtu, 27 Desember 2008


3)      Jam                                                : 19.18 WIB


4)      Tinggi Hilal                                     : 9.5.22


5)      Letak Matahari                               : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan)


6)      Kedudukan Hilal                             : -0,14,47 (Selatan Matahari)


7)      Keadaan Hilal                                 : Telentang


8)      Lama di atas Ufuk                          : 0 jam 40 menit 55 detik


9)      Besar Cahaya                                 : 0,716 (7/10)



Data-data itu  yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal.


Ijtimak adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari); Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak[26].  



Ijtimak berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi. Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat. Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya ijtimak[27].


Melanjutkan kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG, atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone, atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat[28].



Kira-kira lima belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal:


1.      Untuk terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu terampil dan ahli.


2.      Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north harus diadakan koreksi deklinasi  magnetis. Koreksi ini tidak sama untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat[29].


3.      Karena posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah (pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal.


4.       Untuk membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya[30].



Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah[31].


Tepat waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah. Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah disiapkan.


Setelah kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang.


Pengamatan hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek[32].


Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat[33]. Tentu saja  hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal 1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa gangguan cahaya matahari.



Hilal Halusinasi: Pengakuan Rukyah Hilal di Indonesia Kontroversial



Hilal Halusinasi dapat juga dinyatakan sebagai kasus-kasus yang menyatakan telah melihat hilal namun pengakuan tersebut bertentangan dengan fakta ilmiah. Kasus-kasus kontroversial tentang pernyataan melihat hilal tersebut antara lain:


1.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan terbenam serta Hilal.


2.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam.


3.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung[34].


4.      Sering dalam kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal namun setelah dikonfirmasi ternyata kesaksiannya tersebut diragukan. Karena yang bersangkutan ketika menunjukkan posisi hilal yang dilihatnya menunjuk ke arah yang salah dan tidak mungkin hilal berada di posisi tersebut[35].


5.      Pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal[36].


6.      Pengakuan yang telah melihat hilal namun menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak) tidak mungkin untuk dirukyah karena masih di bawah ufuk atau telah di atas ufuk tapi belum mungkin untuk dirukyah karena terlalu rendah




Penolakan Hasil Rukyah



Ada beberapa persyaratan syahid/perukyatan hilal, secara formil dan materil, yaitu :


1.   Syarat formil :


b.      Aqil baligh atau sudah dewasa.


c.       Beragama Islam.


d.      Laki-laki atau perempuan.


e.       Sehat akalnya.


f.        Mampu melakukan rukyat.


g.       Jujur, adil dan dapat dipercaya.


h.       Jumlah perukyat lebih dari satu orang.


i.         Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal.


j.        Sumpah kesaksian rukyat hilal di depan sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.



2.  Syarat materiil :


a.  Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal.


b.  Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni kapan waktunya, dimana tempatnya, berapa lama melihatnya, di mana letak, arah posisi dan keadaan hilal yang dilihat, serta bagaimana kecerahan cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat.


c.  Keterangan hasil rukyat yang dilaporkan oleh perukyat tidak bertentangan dengan akal sehat perhitungan ilmu hisab, kaidah ilmu pengetahuan dan kaidah syar’i.



Di kalangan Nahdatul Ulama; selaku kelompok yang berpegang teguh dengan rukyah dalam penetapan awal bulan Hijriah, penetapan pemerintah yang berpihak (hanya berdasarkan) hisab dan mengingkari hasil rukyatul hilal tidak boleh diikuti dengan syarat sebagai berikut :


1.      Mempercayai kebenaran rukyah.


2.      Rukyah Mutawatir.


3.      Jika orang yang melihat satu atau dua, maka tidak boleh mengikuti hisab baik yang mempercayai kebenaran rukyah atau tidak, hal ini menurut imam Romli. Dan bagi yang tidak mempercayai, maka wajib menerima penetapan pemerintah menurut imam Subki. Sedangkan imam Ibnu Hajar mewajibkan mengikuti penetapan pemerintah bagi yang tidak mempercayai rukyah, kecuali dengan syarat : Ahli hisab memastikan belum mungkin rukyah, hisabnya qath'i,  ahli hisab yang menyatakan tidak mungkin rukyah mencapai bilangan tawatur. Sedangkan bilangan tawatur  menurut imam Alawi adalah minimal lima kitab hisab qath'i dengan berbeda pengarang (Muallif)[37].



Ketetapan NU itu sejalan dengan pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, imam Subki, imam Ibbadi, dan imam Qolyubi. Imam Subki menyatakan jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin terlihat, kesaksian itu ditolak. Imam Ibbadi menyatakan apabila hisab qat'i menunjukkan hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian orang yang melihatnya harus ditolak. Bahkan, imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan jika semua ahli hisab (mutawatir/mayoritas) sepakat hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian rukyat itu ditolak, tetapi kalau tidak terjadi kesepakatan, kesaksian rukyat itu tidak dapat ditolak.


Dengan demikian para imam tersebut menghendaki adanya rukyat hilal yang berkualitas. Demikian pula NU menghendaki rukyat hilal yang berkualitas dan bertanggung jawab karena untuk kemaslahatan umat Islam[38].



Penutup



Pemerintah maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan permasalahan hisab rukyah gencar mensosialisasi dan melibatkan perihal penetapan awal bulan Kamariah maupun kajian ilmu Falak lainnya. Terkait dengan  observasi rukyatul hilal awal bulan dilaksanakan sebagai salah satu metode penentuan awal bulan diharapkan lebih berkembang dan  berkalitas. Hal ini tentu saja akan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu Falak di masa yang akan datang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.



Daftar Pustaka



Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H



____________, 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008



____________, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.



Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NU,  http://www.badilag.net



Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1



____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2



Danawas, Djoni N, 1994, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V,


Hambali, Slamet, 2008,  Orasi Ilmiah dengan makalah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008



Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,



Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com


Mujab, Sayful, 2008, (Narasumber Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H), Wawancara, tanggal 28 Desember 2008



Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id



Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com



Raharto, Moedji, 1994, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V



__________, 2006,


Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.



____________, 2006, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H




Setyanto, Hendro,  2008, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba



__________, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa.



Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H




Utama, Judhistira Aria, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id



Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H









[1] Jayusman;  lektor Fakultas Ushuluddin, IAIN Raden Intan Lampung. E mail: jay_falak@yahoo.co.id

[2] Banyak sekali tempat yang biasanya dijadikan  untuk observasi awal bulan Kamariah di Indonesia. Di antara tempat observasi yang terkenal antara lain: (1) Boscha ITB Lembang Kabupaten Bandung, Jawa Barat, (2)  POB Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, (3) Pos Observasi Tanjung Kodok, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, (4) Menara ITC Bulevart Menado, Sulawesi Utara, (5) Pantai Jerman Kute Denpasar Bali, (6) Pos Observasi Lemong Krui Lampung Barat, (7) Menera Mesjid Agung Jawa Tengah Semarang, dan (8) Pos Observasi Lhoknga Aceh.



[3] Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, h.173. Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com

[4]  Noor Ahmad SS, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.



[5] Khazin, loc.cit


[6] Cecep Nurwendaya, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada :  Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M. / 27 Dzulqa’dah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
[7] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku http://www.nu.or.id


[8]   Judhistira Aria Utama, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id



[9]  Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com




[10] Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang.  Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains. Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari satu nilai kriteria visibilitas hilal. Sehingga penetapan awal bulan akan memiliki karakter sains (ilmu pengetahuan). Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com



[11] Judhistira Aria Utama , Hilal, judhistira@students.itb.ac.id


[12] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku, Sabtu, 8 Desember 2007,  NU Online


[13] Ibid



[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Ibid

[17]  Moedji Raharto, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 29

[18] Djoni N. Danawas, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 7

[19] Syarat-syarat seorang perukyah antara lain: harus adil dalam persaksiannya, harus mengucapkan dua kalimat Syahadah, dan dalam mengucapkan dua kalimat Syahadah, perukyah harus di dampingi dua orang saksi. Ahmad SS, 2006, loc.cit

[20]  Khazin, loc.cit

[21] Sriyatin Shadiq, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H




[22]  Susiknan Azhari, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, h. 216



[23] Ibid, h.  125-126



[24] Slamet Hambali, 2008,  Orasi Ilmiah dengan maklah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008



[25] Azhari, 2008, op.cit, h. 72



[26] Cecep Nurwendaya, loc.cit



[27] Ibid

[28] Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H



[29] Noor Ahmad SS 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008 dan Slamet Hambali, loc.cit



[30] Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H



[31] Noor Ahmad SS 2008B, loc.cit



[32]  Moedji Raharto,  2006,


Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.



[34] Moedji Raharto, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H

[35]  Sriyatin Shadiq, loc.cit



[36] Ibid
[38] Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NU,  http://www.badilag.net

 

Masalah Penentuan Awal Bulan:




a.      Kriteria Hisab Rukyat Sebagai Salah Satu Penyebab Utama Perbedaan Hari Raya

Perbedaan antara  golongan yang berpedoman kepada hisan saja atau golongan yang berpedoman kepada rukyah saja sudah tidak mengemuka lagi. Karena penentuan awal bulan Kamariah dapat dilakukan berdasarkan hisab dan atau rukyah.

Di Indonesia, wacana yang sedang bergulir adalah penyatuan kriteria dalam merayakan hari raya dan memulai ibadah puasa Ramadan, semua golongan dan ormas Islam seperti Nahdhatul Ulama, Muhamadiyah, Persis, serta lainnya duduk bersama para ahli ilmu Falak dan astronomi dalam forum diskusi dan seminar membicarakan permasalahan ini.

Beberapa kriteriapun telah coba untuk ditawarkan sebagai alternatif solusi, Seperti kriteria Lapan T Djamaluddin, kriteria Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), dan kriteria Suwandojo Siddiq. Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan berdasarkan data-data visibilitas hilal di Indonesia dan atau dari berbagai hasil observasi di berbagai negara lainnya.

Terwujudnya upaya penyatuan kriteria visibilitas hilal di Indonesia ini mendesak untuk diupayakan. Mungkin pada tahun yang lalu; 1430 H adalah tahun yang relatif “aman”. Karena dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah hilal pada awal-awal bulan tersebut relatif  tinggi dan memenuhi kriteria untuk dirukyah.

Tapi pada beberapa tahun ke depan tidak “aman” lagi. Sehingga apabila tidak segera terwujud kesepakatan, maka akan terulang lagi terjadinya perbedaan dalam mengawali ibadah puasa Ramadan dan berhari raya (terjadinya hari raya kembar).

Agenda mendesak dalam penyatuan kriteria tersebut antara lain:

·         Kriteria yang disepakati.

·         Metode perhitungan yang disepakati untuk dijadikan pedoman dan acuan bersama.

·         Klausul yang menyatakan bahwa jika telah memenuhi kritera, tapi ternyata hilal tidak berhasil dirukyah,maka besok harinya tetap dinyatakan sebagai awal bulan berikutnya. Karena berdasarkan pengalaman, hilal dalam kondisi tersebut biasanya dapat dirukyah.

·         Klausul yang menyatakan jika terdapat keberhasilan rukyatul hilal (berdasarkan rukyah yang kredibel dan memiliki bukti foto atau rekaman hilal) pada kondisi hilal belum atau tidak memenuhi kriteria, maka ini dapat dijadikan pertimbangan untuk meninjau ulang atau merubah kriteria.


b.      Rukyat Global Vs Rukyat Lokal


Rukyah itu bersifat local, maka diberlakukan untuk wilayah local dan tidak diberlakukan secara global. Kendala pemberlakuan rukyah secara global:

a.       Bumi kita itu bulat sehingga diperlukan batas garis tanggal.

b.      Jika rukyah diberlakukan secara global setiap kita perlu berjaga-jaga pada saat pergantian bulan sampai dengan waktu fajar. Hal ini untuk mengetahui dan mengantisipasi apabila terdapat laporan keberhasilan rukyah dari belahan Bumi lainnya. Jika tidak awas dalam menunggu informasi tersebut tentunya bisa saja terjadi kita tidak mengetahui apabila terdapat laporan keberhasilan rukyah dari belahan Bumi lainnya yang berarti besoknya adalah awal bulan berikutnya.

c.       Kondisi di atas dapat menyebabkan luputnya kita melakukan syari’at atau rangkaian ibadah tertentu. Jika informasi ini terlambat diterima,(misalnya diterima menjelang atau setelah fajar)  maka akan terjadi keadaan berikut:

·         Jika esok harinya adalah awal Ramadan, tentulah luput dari melaksanakan ibadah salat taraweh pada malam pertama dan makan sahur bahkan mungkin untuk melaksanakan puasa esok harinya.

·         Bagi yang tidak mengetahui berita masuknya Ramadan, tentulah harus mengqadha ibadah puasanya.

·         Jika esok harinya adalah Idul Fitri, maka dikhawatirkan luputnya penyerahan zakat fitrah maupun fidyah mereka yang berpuasa. Ini juga menyulitkan panitia amil zakat dalam pendistribusian zakat fitrah. Dan panitia salat Id dalam menyiapkan lapangan untuk salat.

d.      Untuk mengantisipasi berita keberhasilan rukyah itu harus diketahui secara global, maka diperlukan system informasi terpadu yang mudah diakses di seluruh wilayah Islam oleh seluruh kaum muslimin.

e.       Dari uraian di atas pemberlakuan rukyah secara global akan banyak menimbulkan masalah dan kesulitan bagi umat.


Apabila rukyah diberlakukan secara local untuk wilayah hukum tertentu saja seperti hanya untuk wilayah Indonesia, tentu akan memudahkan. Wallahu a’lamu bishawab.

 

 

 

 

Referensi

 

Depag RI, 1994, Pedoman Penentuan Arah Kiblat

____________, 1994, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa

Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang

____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka

T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009, Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com

 

____________, Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com

____________, Arah Kiblat: Jangan Persulit Diri, http://isnet.org/t_djamal
____________, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com


Waktu Sholat,http://www.alhusiniyah.com

Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikrhttp://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/


Toleransi Galat Arah Kiblat

Toleransi Galat Arah Kiblat

Untuk Tidak Mudah Menyalahkan Arah Kiblat Masjid-Masjid Yang Ada



Pensyari’atan Menghadap Kiblat  dalam pelaksanaan ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:


Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.


Serta hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa ”Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di al-Masjid al-Haram. Al-Masjid al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk tanah haram (Mekah), dan tanah haram adalah kiblat bagi semua umatku di Bumi, baik di barat ataupun di timur” (HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah).


Kedua nash tersebut dijadikan landasan pensyari’atan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan bahwa mengatakan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu. Dengan lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat yang dilaksanakannya tidak sah.


Bagi mereka yang melaksanakan salat di masjidil haram dapat secara langsung melaksankan salat menghadap ke Ka’bah Baitullah. Dan bagi mereka yang jauh dari Ka’bah dalam melaksanakan syariat menghadap kiblat ini terdapat perbedaan pendapat para ulama. Jumhur Ulama (selain Syafi’i) mensyari’atkan untuk menghadap jihat (arah) Ka’bah. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban menghadap kiblat itu adalah menghadap ke ‘ainul Ka’bah (az-Zuhaili: 758)


Penyempurnaan arah kiblat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bukan berarti adanya perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah tapi  dilakukannya perubahan bagi arah kiblat masjid yang melenceng jauh dari arah Ka’bah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita. Hal ini karena beberapa pertimbangan:


a.         Karena sebagian masjid arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu akurat arah kiblatnya.

b.         Sebagian masjid  arah kiblatnya ditentukan menggunakan  kompas yang kurang; tidak akurat. Karena untuk penggunaan kompas dalam penentuan arah, termasuk dalam penentuan arah kiblat perlu dilakukan koreksian pengaruh daya magnetik di Bumi. Informasi tentang besaran koreksian ini dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Di samping itu kita juga perlu memperhatikan bahwa dipasaran banyak beredar berbagai macam  merek kompas, kita perlu terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu.

c.         Terkadang dalam penentuan arah kiblat masjid ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat. Pada hal  yang bersangkutan belum tentu mampu melakukan penentuan arah kiblat secara benar dan akurat. Sehingga boleh jadi yang bersangkutan  menetapkannya dengan  mengira-ngira saja dengan mengarah ke Barat yang mungkin melenceng dari yang seharusnya (Depag, 1994: 5-6).


Dalam penentuan arah kiblat kesalahan sampai 1 derajat
masih bisa ditolerir mengingat kita sendiri tidak mungkin menjaga sikap tubuh
kita benar-benar selalu tepat lurus ke arah kiblat. Arah jamaah salat tidak
akan terlihat berbeda, bila perbedaan antar jamaah hanya beberapa derajat.
Sangat mungkin, dalam kondisi shaf yang sangat rapat (seperti sering terjadi di
beberapa masjid), posisi bahu kadang agak miring, bahu kanan di depan jamaah
sebelah kanan, bahu kiri di belakang jamaah sebelah kiri (http://isnet.org/t_djamal).


Jadi, perbedaan arah kiblat yang tidak terlalu signifikan
hendaknya tidak terlalu dipermasalahkan. Kiranya perbedaan kurang dari 2
derajat masih dianggap tidak terlalu signifikan. Ibaratnya dua masjid
berdampingan yang panjangnya 10 meter, perbedaan di ujungnya sekitar 35 cm.
Jamaah di kedua masjid akan tampak tidak berbeda arahnya (http://isnet.org/t_djamal).


 

Referensi

 

Depag RI, 1994, Pedoman Penentuan Arah Kiblat

 

____________, 1994, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa

Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang

____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka

T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009, Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com

____________, Arah Kiblat: Jangan Persulit Diri, http://isnet.org/t_djamal
____________, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com


Waktu Sholat,http://www.alhusiniyah.com

Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikrhttp://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/



Waktu Salat Ditinjau Dari Segi Hisab Rukyat : 5 Waktu Salat Wajib, Waktu Salat Di Wilayah Sekitar Kutub, Waktu Salat Bagi Astronot, dan Waktu Salat Gerhana Matahari Dan Bulan

Waktu Salat Ditinjau Dari Segi Hisab Rukyat :



1.      5 Waktu Salat Wajib

Secara syar’i, salat yang diwajibkan (salat maktubah) itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan (sehingga didefinisi sebagai ibadah muwaqqat). Al-Qur’an menguraikan waktu-waktu salat tersebut walaupun belum secara terperinci. Penjelasannya yang terperinci diterangkan dalam hadis Nabi. Berdasarkan dalil-dalil tersebut, para ulama memberikan batasan-batasan waktu salat. Ada sebagian yang mengasumsikan bahwa cara menentukan waktu salat dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda alam sebagaimana secara tekstual dalam hadis-hadis Nabi, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’ atau miqyas atau hemispherium.  Inilah metode atau cara yang digunakan oleh madzhab rukyah dalam persoalan penentuan waktu-waktu salat (http://www.alhusiniyah.com).


Sedangkan yang lain mempunyai pemahaman kontekstual, sesuai dengan maksud dari nash-nash tersebut, di mana awal dan akhir waktu salat ditentukan berdasarkan posisi matahari dilihat dari suatu tempat di bumi, sehingga metode atau cara yang dipakai adalah hisab, pada hakikatnya waktu salat adalah menghitung kapan matahari akan menempati posisi-posisi seperti tersebut dalam nash-nash tentang waktu salat itu (http://www.alhusiniyah.com).


Dalam penentuan jadwal salat, data astronomi terpenting adalah posisi matahari dalam koordinat horizon, terutama ketinggian atau jarak zenit. Fenomena yang dicari kaitannya dengan posisi matahari adalah fajar (morning twilight), terbit, melintasi meridian, terbenam, dan senja (evening twilight). Dalam hal ini astronomi berperan menafsirkan fenomena yang disebutkan dalam dalil agama (al-Qur'an dan hadis Nabi) menjadi posisi matahari. Sebenarnya penafsiran itu belum seragam, tetapi karena masyarakat telah sepakat menerima data astronomi sebagai acuan, kriterianya relatif mudah disatukan (http://t-djamaluddin.spaces.live.com).


a.       Di dalam hadis disebutkan bahwa waktu Subuh adalah sejak terbit fajar shidiq (sebenarnya) sampai terbitnya matahari. Di dalam al-Qur’an secara tak langsung disebutkan sejak meredupnya bintang-bintang.  
Dan bertasbihlah kepada-Nya pada beberapa saat di malam hari dan di waktu terbenam bintang-bintang (di waktu fajar) (Q.S Thur/ 52: 49).

Maka secara astronomi fajar shidiq difahami sebagai awal astronomical twilight (fajar astronomi), mulai munculnya cahaya di ufuk timur menjelang terbit matahari pada saat matahari berada pada kira-kira 18 derajat di bawah horizon (jarak zenit z = 108o). Saaduddin Djambek mengambil pendapat bahwa fajar shidiq bila z = 110o, yang juga digunakan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama RI. Fajar shidiq itu disebabkan oleh hamburan cahaya matahari di atmosfer atas. Ini berbeda dengan apa yang disebut fajar kidzib (semu) -- dalam istilah astronomi disebut cahaya zodiak -- yang disebabkan oleh hamburan cahaya matahari oleh debu-debu antar planet (http://t-djamaluddin.spaces.live.com).

b.      Waktu Zuhur adalah sejak matahari meninggalkan meridian, biasanya diambil sekitar 2 menit setelah tengah hari. Untuk keperluan praktis, waktu tengah hari cukup diambil waktu tengah antara matahari terbit dan terbenam. Berdasarkan firman Allah:
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula salat) Subuh[1]. Sesungguhnya salat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat) (QS al-Israa/17: 78) (http://t-djamaluddin.spaces.live.com).

c.       Dalam penentuan waktu Asar, tidak ada kesepakatan karena fenomena yang dijadikan dasar pun tidak jelas. Dasar yang disebutkan di dalam hadis, Nabi saw diajak salat Asar oleh malaikat Jibril ketika panjang bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya dan pada keesokan harinya Nabi diajak pada saat panjang bayangan dua kali tinggi benda sebenarnya. Walaupun dari dalil itu dapat disimpulkan bahwa awal waktu Asar adalah sejak bayangan sama dengan tinggi benda sebenarnya (pendapat Jumhur Ulama), ini menimbulkan beberapa penafsiran karena fenomena seperti itu tidak bisa digeneralilasi sebab pada musim dingin hal itu bisa dicapai pada waktu Zuhur, bahkan mungkin tidak pernah terjadi karena bayangan selalu lebih panjang daripada tongkatnya. Ada yang berpendapat tanda masuk waktu Asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat lain menyatakan harus ditambah dua kali panjang tongkat sebenarnya [2]. Pendapat yang memperhitungkan panjang bayangan pada waktu Zuhur atau mengambil dasar tambahannya dua kali panjang tongkat (di beberapa negara Eropa) dimaksudkan untuk mengatasi masalah panjang bayangan pada musim dingin. Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI menggunakan rumusan: panjang bayangan waktu Asar = bayangan waktu Zuhur + tinggi bendanya; tan (za) = tan (zd) + 1. Saya berpendapat bahwa makna hadis itu dapat difahami sebagai waktu pertengahan antara Zuhur dan Maghrib, tanpa perlu memperhitungkan jarak zenit matahari. Hal ini diperkuat dengan ungkapan 'salat pertengahan' dalam Q.S.al-Baqarah/ 2: 238 yang ditafsirkan oleh banyak mufasir sebagai salat Asar. Kalau pendapat ini yang digunakan, waktu salat Asar akan lebih cepat sekitar 10 menit dari jadwal salat yang dibuat Departemen Agama. Adapun akhir waktu Asar dengan masuknya waktu Maghrib (http://t-djamaluddin.spaces.live.com). Allah berfirman:
Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya) QS Qaf/50: 39

d.      Waktu Maghrib berarti saat terbenamnya matahari. Matahari terbit atau berbenam didefinisikan secara astronomi bila jarak zenith z = 90°50' (the Astronomical almanac) atau z = 91o bila memasukkan koreksi kerendahan ufuk akibat ketinggian pengamat 30 meter dari permukaan tanah. Untuk penentuan waktu salat Maghrib, saat matahari terbenam biasanya ditambah 2 menit karena ada larangan melakukan salat tepat saat matahari terbit, terbenam, atau kulminasi atas (http://t-djamaluddin.spaces.live.com). Landasan pensyari’atan salat Maghrib, antara lain firman Allah:
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat (Q.S Hud/11: 114)

e.       Waktu Isya ditandai dengan mulai memudarnya cahaya merah di ufuk barat, yaitu tanda masuknya gelap malam (al-Qur'an S. 17:78). Dalam astronomi itu dikenal sebagai akhir senja astronomi (astronomical twilight) bila jarak zenit matahari z = 108o)  (http://t-djamaluddin.spaces.live.com).
2.      Waktu Salat Di Wilayah Sekitar Kutub


 Wilayah sekitar kutub memiliki kondisi yang  sedikit berbeda dengan daerah sekitar khatulistiwa. Daerah sekitar khatulistiwa memiliki panjang waktu siang dan malam yang relatif sama. Adapun wilayah sekitar kutub pada waktu-waktu tertentu memiliki panjang siang dan malam yang berbeda secara mencolok. Pada saat matahari berada di titik Utara, sekitar bulan Juli, wilayah sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang siangkat dan waktu malam yang panjang. Namun ketika matahari berada di titik Selatan, wilayah di sekitar kutub Selatan akan mengalami waktu siang yang panjang dan waktu malam yang relatif singkat. Kondisi yang berlaku di wilayah sekitar kutub Selatan ini adalah kebalikan dari yang terjadi di kutub Utara.


Dengan kata lain terdapat kondisi yang menyebabkan tidak dapat/sulit ditentukannya waktu-waktu salat tertentu. Seperti ketika mega merah di sore hari bersambung dengan fajar sehingga sulitnya diidentifikasi waktu salat Isya.

Terdapat perbedaan pendapat ulama menyikapi penentuan waktu salat di wilayah di sekitar kutub, sebagai berikut:


a.       Sa’adoeddin Djambek mengqiyaskannya dengan kondisi seseorang tertidur atau pingsan. Seseorang  tertidur atau pingsan di waktu Magrib  setelah menunaikan salat Magrib dan terbangun atau siuman pada waktu Subuh. Sehingga waktu Isya tidak disadarinya (Djambek, 1974: 17). Dalam Fikih mazhab Syafi’i ketika ia terbangun atau siuman maka hendaklah melaksanakan salat Subuh lalu mengqadha salat Isya.

b.      TM Hasbi Ash-Shiddiqi menyatakan untuk menggunakan pedoman waktu salat daeah terdekat yang masih dapat didefinisikan/ditentukan waktu-waktu salatnya.

c.       Syeikh Al-Sobhi pada acara televisi dalam rubrik Fataawa al-Ulama (fatwa-fatwa ulama) itu berpendapat pula bahwa waktu untuk menjalankan ibadah salat lima waktu bagi warga Muslim yang berada di kawasan kutub utara atau kutub selatan yang lebih afdhal (lebih tepat) adalah mengikuti waktu di Makkah, sebagai titik pusat spiritual umat Islam sedunia (http://www.gatra.com/2002-11-19/).

d.      T Djamaluddin menyatakan bahwa bagi mereka yang berada di sekitar wilayah kutub tetap merujuk kepada waktu setempat; yang dijadikan acuan adalah pada waktu normal terakhir ketika waktu-waktu salat itu masih bisa diedentifikasi atau ditentukan secara astronomi.


Masing-masing pendapat memiliki landasan, saya dalam hal ini cenderung pada pendapat yang terakhir, yang diungkapkan oleh T Djamaluddin. Argumentasinya adalah jika seseorang yang tinggal di wilayah sekitar kutub tersebut mengacu pada waktu normal terakhir ketika waktu-waktu salat itu masih bisa diidentifikasi atau ditentukan secara astronomi. Hal ini akan memudahkan bagi mereka dalam menyikapi fenomena alam yang terjadi di sekitar mereka. Jika mereka harus mengacu pada ketentuan waktu daerah lain; apakah daerah yang terdekat yang masih  dapat didefinisikan/ditentukan waktu-waktu salatnya, apakah lagi untuk mengikuti acuan waktu salat kota Mekah yang mungkin sangat jauh berbeda dengan kondisi ril mereka tentu akan menyulitkan.


Kondisi ini dapat terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Jika kondisi ini diqiyaskan dengan keadaan tertidur ataupun pingsan, dalam jangka waktu yang lama seperti seseorang yang mengalami koma, pada hal ia sendiri bangun dan sadar mungkin kurang tepat.


3.      Waktu Salat Bagi Astronot

Dalam penentuan  waktu salat bagi astronot yang berada di luar angkasa, tidak dapat mengacu pada peredaran stasiun ruang angkasa tempat ia berada. Sebagai contoh kasus  Sheikh Muszaphar Shukor, seorang Astronot muslim berwarga negara Malaysia yang ikut bergabung dalam Tim Soyuz dalam misi 10 hari ke Luar Angkasa di Stasiun Antariksa Internasional (ISS). Penentuan waktu Salat, selama berada di sana tidak sama dengan di Bumi. Karena Stasiun antariksa mengelilingi Bumi sebanyak 16 kali dalam 24 jam.  Dan itu berarti Ia akan menemui 16 kali matahari terbit dan terbenam dalam 24 jam tersebut (http://irwan.dagdigdug.com/astonaut-muslim-pertama-berlebaran-di-luar-angkasa/).

Panduan pelaksanaan ibadah di luar angkasa yang dibuat Kantor Kemajuan Islam Malaysia (Jakim) menyatakan bahwa dalam menentukan waktu salat berdAsarkan tempat lepas landas, yaitu Baikonur, Kazakhstan (http://www.infoanda.com/).

Pakar Syariah Islam dari Mesir, Syeikh Mohammad Ahmad Al-Sobhi berpendapat astronot Muslim, yang menjalankan misinya di luar angkasa, dapat beribadah puasa dan salat lima waktu dengan berpatokan pada waktu Mekah, Arab Saudi (http://www.gatra.com/2002-11-19/).

Dalam menyikapi kedua pendapat di atas, saya cenderung untuk mengambil pendapat yang pertama. Pendapat yang menyatakan bahwa dalam menentukan waktu salat berdAsarkan tempat lepas landas. Ini akan memudahkan karena menyesuaikan jadwal salatnya dengan jadwal aktivitasnya ketika terakhir di Bumi sebelum terbang ke luar angkasa.


4.      Waktu Salat Gerhana Matahari Dan Bulan (cara menentukan waktu untuk salat gerhana untuk diumumkan kepada umat).


Ketika terjadi gerhana umat Islam disunnahkan melaksanakan salat gerhana serta memperbanyak istighfar dan sedakah. Tentu saja,melakukan renungan tentang ayat-ayat kauniyah (dalam hal ini tentang peristiwa gerhana) juga harus ada, bukan sekadar aspek ibadahnya. Oleh karena itu disarankan pada saat puncak gerhana, jamaah berkesempatan juga untuk melihat langsung proses gerhana tersebut (http://t-djamaluddin.spaces.live.com).

Gerhana matahari waktunya ditentukan oleh gerakan bayangan bulan melintasi suatu daerah. Jadi kita harus melihat data gerhana untuk setiap daerah. Kalau tidak cermat, kita bisa mengumumkan informasi yang keliru, seperti yang termuat di Harian Pikiran Rakyat Selasa, 20 Januari 2009 tentang seruan ormas-ormas Islam terkait dengan gerhana. Pada pengumuman itu waktu gerhana merujuk pada data global gerhana matahari (http://t-djamaluddin.spaces.live.com). Sehingga pada saat yang telah dijelaskan tersebut gerhana belum terjadi; belum melewati daerah yang diumumkan. Dan yang dirujuk seharusnya adalah data yang menjelaskan saat gerhana matahari melintas di daerah tersebut. Data ini dapat dengan mudah dirujuk misalnya pada webset stellarium atau eclipse NASA.

Rangkaian salat gerhana ini cukup panjang, maka sebaiknya jika gerhana yang terjadi di suatu daerah itu waktunya sebentar, tidak memadai untuk dilaksanakan salat gerhana, maka sebaiknya tidak dilaksanakan salat Gerhana. Cukup jamaah berkumpul secara bersama-sama menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah dalam peristiwa gerhana sambil memperbanyak istighfar dan sedakah.

Peristiwa gerhana yang dimaksud dalam pembahasan gerhana ini adalah gerhana Umra. Karena jika gerhana Penumbra biasanya tidak begitu dirasakan kejadiannya oleh masyarakat secara umum. Jadi pada saat terjadi gerhana Umra lah salat gerhana dilaksanakan. 

 

 

 

 

Referensi

 

 

Depag RI, 1994, Pedoman Penentuan Arah Kiblat

 

____________, 1994, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa

 

Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang

____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang

 

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka

 

T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009, Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com


____________, Arah Kiblat: Jangan Persulit Diri, http://isnet.org/t_djamal
____________, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com


Waktu Sholat,http://www.alhusiniyah.com

Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikrhttp://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/



[1] Ayat ini menerangkan waktu-waktu salat yang lima. tergelincir matahari untuk waktu salat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya.
[2] Pendapat tanda masuk waktu Asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya dua kali panjang tongkat sebenarnya diperpegangi oleh Abu Hanifah (az-Zuhaili: 666). Kedua pendapat yang berpendapat tanda masuk waktu Asar bila bayang-bayang tongkat panjangnya sama dengan panjang bayangan waktu tengah hari ditambah satu kali panjang tongkat sebenarnya dan pendapat lain menyatakan harus ditambah dua kali panjang tongkat sebenarnya ini diakomudir oleh Saaduddin Djambek (1974: 9)

Toleransi Galat Arah Kiblat

Untuk Tidak Mudah Menyalahkan Arah Kiblat Masjid-Masjid Yang Ada



Pensyari’atan Menghadap Kiblat  dalam pelaksanaan ibadah antara lain berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah/2: 149-150:


Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.


Serta hadis Rasulullah yang menjelaskan bahwa ”Baitullah adalah kiblat bagi orang-orang di al-Masjid al-Haram. Al-Masjid al-Haram adalah kiblat bagi orang-orang penduduk tanah haram (Mekah), dan tanah haram adalah kiblat bagi semua umatku di Bumi, baik di barat ataupun di timur” (HR. al-Baihaqi dari Abu Hurairah).


Kedua nash tersebut dijadikan landasan pensyari’atan kewajiban menghadap kiblat dalam pelaksanaan ibadah. Fuqaha kemudian menyatakan bahwa mengatakan bahwa menghadap kiblat merupakan syarat sah dalam pelaksanaan salat lima waktu. Dengan lain perkataan jika seseorang salat tidak menghadap kiblat, maka salat yang dilaksanakannya tidak sah.


Bagi mereka yang melaksanakan salat di masjidil haram dapat secara langsung melaksankan salat menghadap ke Ka’bah Baitullah. Dan bagi mereka yang jauh dari Ka’bah dalam melaksanakan syariat menghadap kiblat ini terdapat perbedaan pendapat para ulama. Jumhur Ulama (selain Syafi’i) mensyari’atkan untuk menghadap jihat (arah) Ka’bah. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban menghadap kiblat itu adalah menghadap ke ‘ainul Ka’bah (az-Zuhaili: 758)


Penyempurnaan arah kiblat yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bukan berarti adanya perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah tapi  dilakukannya perubahan bagi arah kiblat masjid yang melenceng jauh dari arah Ka’bah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita. Hal ini karena beberapa pertimbangan:


a.         Karena sebagian masjid arah kiblatnya ditentukan sekadar perkiraan dengan mengacu secara kasar arah kiblat masjid yang sudah ada. Pada hal masjid yang dijadikan acuan belum tentu akurat arah kiblatnya.

b.         Sebagian masjid  arah kiblatnya ditentukan menggunakan  kompas yang kurang; tidak akurat. Karena untuk penggunaan kompas dalam penentuan arah, termasuk dalam penentuan arah kiblat perlu dilakukan koreksian pengaruh daya magnetik di Bumi. Informasi tentang besaran koreksian ini dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Di samping itu kita juga perlu memperhatikan bahwa dipasaran banyak beredar berbagai macam  merek kompas, kita perlu terlebih dahulu mengecek tingkat akurasinya terlebih dahulu.

c.         Terkadang dalam penentuan arah kiblat masjid ditentukan oleh seseorang yang ditokohkan dalam masyarakat. Pada hal  yang bersangkutan belum tentu mampu melakukan penentuan arah kiblat secara benar dan akurat. Sehingga boleh jadi yang bersangkutan  menetapkannya dengan  mengira-ngira saja dengan mengarah ke Barat yang mungkin melenceng dari yang seharusnya (Depag, 1994: 5-6).


Dalam penentuan arah kiblat kesalahan sampai 1 derajat
masih bisa ditolerir mengingat kita sendiri tidak mungkin menjaga sikap tubuh
kita benar-benar selalu tepat lurus ke arah kiblat. Arah jamaah salat tidak
akan terlihat berbeda, bila perbedaan antar jamaah hanya beberapa derajat.
Sangat mungkin, dalam kondisi shaf yang sangat rapat (seperti sering terjadi di
beberapa masjid), posisi bahu kadang agak miring, bahu kanan di depan jamaah
sebelah kanan, bahu kiri di belakang jamaah sebelah kiri (http://isnet.org/t_djamal).


Jadi, perbedaan arah kiblat yang tidak terlalu signifikan
hendaknya tidak terlalu dipermasalahkan. Kiranya perbedaan kurang dari 2
derajat masih dianggap tidak terlalu signifikan. Ibaratnya dua masjid
berdampingan yang panjangnya 10 meter, perbedaan di ujungnya sekitar 35 cm.
Jamaah di kedua masjid akan tampak tidak berbeda arahnya (http://isnet.org/t_djamal).


 

Referensi

 

Depag RI, 1994, Pedoman Penentuan Arah Kiblat

 

____________, 1994, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa

Djambek, Sa’adoeddin, 1974, Salat dan Puasa di Daerah Kutub, Jakarta: Bulan Bintang

____________, 1974 a, Pedoman Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Bulan Bintang

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Buana Pustaka

T Djamaluddin, Gerhana Matahari Cincin 26 Januari 2009, Salat Gerhana, http://t-djamaluddin.spaces.live.com

____________, Arah Kiblat: Jangan Persulit Diri, http://isnet.org/t_djamal
____________, Posisi Matahari Dan Penentuan Jadwal Salat, http://t-djamaluddin.spaces.live.com


Waktu Sholat,http://www.alhusiniyah.com

Zuhaili, az, Wahbah, tt, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dimsyiq: Dar al-Fikrhttp://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/http://isnet.org/t_djamal/page/2/

 

Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah[1]


Abstrak

Perdebatan seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah telah banyak menguras energi umat Islam Indonesia. Inti permasalahannya adalah pendefinisaian tentang hilal. Hilal merupakan patokan untuk memulai awal bulan Kamariah. Rasulullah saw mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang awan, genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dalam makalah ini diulas tentang pelaksanaan observasi hilal; rukyatul hilal. Perlu persiapan matang agar observasi yang dilaksanakan dapat memberikan hasil optimal. Selanjutnya dapat berkontribusi bagi pengembangan observasi awal bulan Kamariah di Indonesia.


Kata Kunci: Observasi Awal Bulan, Rukyatul Hilal, Hilal


A.     Pendahuluan


Observasi awal bulan di Indonesia yang dikoordinir oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh Departemen Agama, awalnya hanya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal. Semenjak pemerintahan Megawati Soekarno Putri ditambah dengan pengoservasian awal bulan Zulhijah. Jika pada sembilan bulan lainnya tidak dilakukan observasi secara “resmi”, berbeda dengan ketiga bulan  di atas karena pada ketiganya terdapat momen penting dalam rangkaian ibadah umat Islam. Yakni untuk mengawali pelaksanaan ibadah Ramadan, pelaksanaan hari raya Idul Fitri, dan pelaksanaan rangkaian ibadah haji serta hari raya Idul Adha.

Tingkat keberhasilan observasi awal bulan dengan kata lain pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia masih rendah. Misalnya kita ambil contoh rukyatul hilal yang dilaksanakan untuk penetapan awal Syawal 1430 H lalu. Dari sekian


banyak tempat observasi hilal di Indonesia[2], dilaporkan bahwa yang berhasil melihat hilal hanyalah di dua tempat. Laporan melihat hilal tersebut datang dari tempat observasi Pelabuhan Ratu, Sukabumi Jawa Barat dan Menara mesjid Agung Jawa Tengah.

Berdasarkan laporan dari kedua tempat inilah dan dikuatkan dengan hasil perhitungan hisab, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan besoknya adalah tanggal 1 Syawal; pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan pertanda berakhirnya puasa Ramadan.

Rendahnya tingkat keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik teknis maupun non teknis. Dalam makalah ini selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut tentang observasi hilal awal bulan Kamariah ini. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan rukyatul hilal ini sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Serta diulas tentang pelaksanaan observasi awal bulan Muharam 1430 H lalu di pantai Bandengan Jepara, Jawa Tengah.


B.     Pengertian Observasi Awal Bulan Kamariah


Rukyatul hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah—

untuk menentukan  kapan bulan baru itu dimulai.[3]

Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar. Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah. Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1.      Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya.

2.      Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal.

3.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk)

4.      Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)

5.      Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara[4].



Ketika Matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah Barat berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud[5].  

Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
  1. Jika pada saat ghurub tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
  2. Jika pada saat ghurub tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari, maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
  3. Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub, posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriyah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.

  4. Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub, namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang sedang berjalan[6].  



C.     Urgensi Rukyatul Hilal

Pengurus Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim[7].

Sejatinya, kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.

            Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification) pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.

            Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan. Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains hilal itu sendiri[8].  Rukyat ini  menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab[9].

            Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi, pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan[10].

Pengalaman pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal (misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman yang sudah-pernah diperoleh.


Pengalaman berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.


Pendek kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu pengetahuan.

            Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan  dengan rukyat dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya) setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal bulan yang baru[11].

            Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan[12].

Banyak kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah. Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu. Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan. Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi[13].

Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq[14].

Kalangan Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal atau observasi langsung itu[15].

Ada pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini dibantu dengan alat teropong rukyah[16].

D.     Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik rukyatul hilal

           

 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut:

1.      Faktor cuaca.

Apabila di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan. Rukyah  dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa awan, asap, maupun kabut.


2.      Faktor Hilal yang diobservasi

Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal:

a.       beda tinggi hilal dan Matahari

b.      beda azimut hilal dan Matahari

c.       jarak elongasi

d.      umur bulan

e.       fraksi eluminasi

f.        garis batas tanggal bulan Hijriah[17]

g.       paralaks horison

h.       refraksi angkasa

i.         kerendahan ufuk[18]

3.      Faktor manusia[19].

Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain:

a.       Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui  kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit yang melatarbekanginya[20].

b.      Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub). Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah) tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab.

c.       Seorang yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal.[21]

d.      Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).


E.      Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan


Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain:

1.      Peralatan rukyah al-hilal:

a.       Teodolit adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah[22].

b.      Kompas adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya[23]. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju  kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat[24]. Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika).

c.       GPS (Global Positioning System): Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain[25].

d.      Benang, paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan ditambatkan dengan paku  setelah ditentukan  terlebih dahulu arah-arah yang dimaksudkan. Di antaranya, benang  yang menunjukkan arah Utara sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal.

e.       Gawang lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya tentu saja merujuk data-data hasil hisab.

f.        Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal.

g.       Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah).

2.      Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang  beda tinggi Bulan dan Matahari,  beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara. Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari, dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar lokasi Bulan jika ada saat observasi).

Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab Syams al-Hilal dan kitab Nur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:

a.       Data kitab Syam al-Hilal

Awal Muharrom 1430 H

1)      Ijtimak  pada                                  : hari sabtu/ malam Minggu

2)      Jam                                                : 0.58

3)      Tinggi Hilal                         : 11 52/100 derajat

4)      Tinggi Hilal dengan meter    : 8,29 m

5)      Lamanya di atas ufuk                      : 46,32 menit

6)      Keadaan Hilal                                 : miring ke utara tegak turus

7)      Besar cahaya Hilal: 4/5 jari

b.      Data kitab Nur al-Anwar

Awal Muharrom 1430H

1)      1 Muharrom 1430H                       : Senin, 29 Desember 2008

2)      Ijtimak                                            : Sabtu, 27 Desember 2008

3)      Jam                                                : 19.18 WIB

4)      Tinggi Hilal                         : 9.5.22

5)      Letak Matahari                               : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan)

6)      Kedudukan Hilal                             : -0,14,47 (Selatan Matahari)

7)      Keadaan Hilal                                 : Telentang

8)      Lama di atas Ufuk                          : 0 jam 40 menit 55 detik

9)      Besar Cahaya                                 : 0,716 (7/10)


Data-data itu  yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal.

Ijtimak adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari); Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak[26].  


Ijtimak berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi. Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat. Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya ijtimak[27].

Melanjutkan kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG, atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone, atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat[28].


Kira-kira lima belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal:

1.      Untuk terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu terampil dan ahli.

2.      Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north harus diadakan koreksi deklinasi  magnetis. Koreksi ini tidak sama untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat[29].

3.      Karena posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah (pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal.

4.       Untuk membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya[30].


Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah[31].

Tepat waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah. Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah disiapkan.

Setelah kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang.

Pengamatan hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek[32].

Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat[33]. Tentu saja  hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal 1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa gangguan cahaya matahari.


E.                  Hilal Halusinasi: Pengakuan Rukyah Hilal di Indonesia Kontroversial


Hilal Halusinasi dapat juga dinyatakan sebagai kasus-kasus yang menyatakan telah melihat hilal namun pengakuan tersebut bertentangan dengan fakta ilmiah. Kasus-kasus kontroversial tentang pernyataan melihat hilal tersebut antara lain:

1.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung, berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan terbenam serta Hilal.

2.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam.

3.      Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung[34].

4.      Sering dalam kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal namun setelah dikonfirmasi ternyata kesaksiannya tersebut diragukan. Karena yang bersangkutan ketika menunjukkan posisi hilal yang dilihatnya menunjuk ke arah yang salah dan tidak mungkin hilal berada di posisi tersebut[35].

5.      Pernah ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal[36].

6.      Pengakuan yang telah melihat hilal namun menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak) tidak mungkin untuk dirukyah karena masih di bawah ufuk atau telah di atas ufuk tapi belum mungkin untuk dirukyah karena terlalu rendah



F.      Penolakan Hasil Rukyah


Ada beberapa persyaratan syahid/perukyatan hilal, secara formil dan materil, yaitu :

1.   Syarat formil :

a.       Aqil baligh atau sudah dewasa.

b.      Beragama Islam.

c.       Laki-laki atau perempuan.

d.      Sehat akalnya.

e.       Mampu melakukan rukyat.

f.        Jujur, adil dan dapat dipercaya.

g.       Jumlah perukyat lebih dari satu orang.

h.       Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal.

i.         Sumpah kesaksian rukyat hilal di depan sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.


2.  Syarat materiil :

a.  Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal.

b.  Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni kapan waktunya, dimana tempatnya, berapa lama melihatnya, di mana letak, arah posisi dan keadaan hilal yang dilihat, serta bagaimana kecerahan cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat.

c.  Keterangan hasil rukyat yang dilaporkan oleh perukyat tidak bertentangan dengan akal sehat perhitungan ilmu hisab, kaidah ilmu pengetahuan dan kaidah syar’i.


Di kalangan Nahdatul Ulama; selaku kelompok yang berpegang teguh dengan rukyah dalam penetapan awal bulan Hijriah, penetapan pemerintah yang berpihak (hanya berdasarkan) hisab dan mengingkari hasil rukyatul hilal tidak boleh diikuti dengan syarat sebagai berikut :

1.      Mempercayai kebenaran rukyah.

2.      Rukyah Mutawatir.

3.      Jika orang yang melihat satu atau dua, maka tidak boleh mengikuti hisab baik yang mempercayai kebenaran rukyah atau tidak, hal ini menurut imam Romli. Dan bagi yang tidak mempercayai, maka wajib menerima penetapan pemerintah menurut imam Subki. Sedangkan imam Ibnu Hajar mewajibkan mengikuti penetapan pemerintah bagi yang tidak mempercayai rukyah, kecuali dengan syarat : Ahli hisab memastikan belum mungkin rukyah, hisabnya qath'i,  ahli hisab yang menyatakan tidak mungkin rukyah mencapai bilangan tawatur. Sedangkan bilangan tawatur  menurut imam Alawi adalah minimal lima kitab hisab qath'i dengan berbeda pengarang (Muallif)[37].


Ketetapan NU itu sejalan dengan pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, imam Subki, imam Ibbadi, dan imam Qolyubi. Imam Subki menyatakan jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin terlihat, kesaksian itu ditolak. Imam Ibbadi menyatakan apabila hisab qat'i menunjukkan hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian orang yang melihatnya harus ditolak. Bahkan, imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan jika semua ahli hisab (mutawatir/mayoritas) sepakat hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian rukyat itu ditolak, tetapi kalau tidak terjadi kesepakatan, kesaksian rukyat itu tidak dapat ditolak.

Dengan demikian para imam tersebut menghendaki adanya rukyat hilal yang berkualitas. Demikian pula NU menghendaki rukyat hilal yang berkualitas dan bertanggung jawab karena untuk kemaslahatan umat Islam[38].


G.     Penutup


Pemerintah maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan permasalahan hisab rukyah gencar mensosialisasi dan melibatkan perihal penetapan awal bulan Kamariah maupun kajian ilmu Falak lainnya. Terkait dengan  observasi rukyatul hilal awal bulan dilaksanakan sebagai salah satu metode penentuan awal bulan diharapkan lebih berkembang dan  berkalitas. Hal ini tentu saja akan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu Falak di masa yang akan datang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.


Daftar Pustaka


Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H


____________, 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008


____________, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.


Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NUhttp://www.badilag.net


Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1


____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2


Danawas, Djoni N, 1994, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V,

Hambali, Slamet, 2008,  Orasi Ilmiah dengan makalah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008


Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,


Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com


Mujab, Saiful, 2008, (Narasumber Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H), Wawancara, tanggal 28 Desember 2008


Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id


Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com


Raharto, Moedji, 1994, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V


__________, 2006,

Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.


____________, 2006, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H



Setyanto, Hendro,  2008, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba


__________, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa.


Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H



Utama, Judhistira Aria, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id


Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H








[1] Jayusman;  lektor Fakultas Ushuluddin, IAIN Raden Intan Lampung. E mail: jay_falak@yahoo.co.id

[2] Banyak sekali tempat yang biasanya dijadikan  untuk observasi awal bulan Kamariah di Indonesia. Di antara tempat observasi yang terkenal antara lain: (1) Boscha ITB Lembang Kabupaten Bandung, Jawa Barat, (2)  POB Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, (3) Pos Observasi Tanjung Kodok, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, (4) Menara ITC Bulevart Menado, Sulawesi Utara, (5) Pantai Jerman Kute Denpasar Bali, (6) Pos Observasi Lemong Krui Lampung Barat, (7) Menera Mesjid Agung Jawa Tengah Semarang, dan (8) Pos Observasi Lhoknga Aceh.


[3] Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, h.173. Definisi hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen. T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com

[4]  Noor Ahmad SS, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.


[5] Khazin, loc.cit

[6] Cecep Nurwendaya, Simulasi Pergerakan Benda langit Pedoman Rukyatul Hilal, makalah disampaikan pada :  Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksana Rukyat Nahdlatul Ulama, Tanggal 18 Desember 2006 M. / 27 Dzulqa’dah 1427 H, Di Masjid Agung Semarang – Jawa Tengah.
[7] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku http://www.nu.or.id

[8]   Judhistira Aria Utama, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id


[9]  Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com



[10] Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari rukyat yang panjang.  Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar. Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains. Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri, http://assalaam.or.id/casa. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari satu nilai kriteria visibilitas hilal. Sehingga penetapan awal bulan akan memiliki karakter sains (ilmu pengetahuan). Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com


[11] Judhistira Aria Utama , Hilal, judhistira@students.itb.ac.id

[12] Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku, Sabtu, 8 Desember 2007,  NU Online

[13] Ibid


[14] Ibid

[15] Ibid

[16] Ibid

[17]  Moedji Raharto, Catatan Perhitungan Posisi dan Pengamatan Hilal Dalam Penentuan Kriteria Penampakan Hilal, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 29

[18] Djoni N. Danawas, Kemungkinan Penampakan Hilal Untuk Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal 1414 H, dalam Jurnal Mimbar Hukum no. 14 Tahun V, 1994,  h. 7

[19] Syarat-syarat seorang perukyah antara lain: harus adil dalam persaksiannya, harus mengucapkan dua kalimat Syahadah, dan dalam mengucapkan dua kalimat Syahadah, perukyah harus di dampingi dua orang saksi. Ahmad SS, 2006, loc.cit

[20]  Khazin, loc.cit

[21] Sriyatin Shadiq, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H



[22]  Susiknan Azhari, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, h. 216


[23] Ibid, h.  125-126


[24] Slamet Hambali, 2008,  Orasi Ilmiah dengan maklah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008


[25] Azhari, 2008, op.cit, h. 72


[26] Cecep Nurwendaya, loc.cit


[27] Ibid

[28] Zabidi, Ahmad, 2008,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H


[29] Noor Ahmad SS 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008 dan Slamet Hambali, loc.cit


[30] Ahmad SS, Noor, 2008A,  Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1 Muharram 1430H


[31] Noor Ahmad SS 2008B, loc.cit


[32]  Moedji Raharto,  2006,

Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah 1427 H atau  tanggal  17 – 23 Desember 2006.


[34] Moedji Raharto, Pergantian Bulan Qamariah Dalam Perspektif Astronomi,  power point makalah dalam “Seminar Sehari Tentang Penyatuan Kalendar Hijriah Menuju Kerukunan Umat”, rangkaian kegiatan dalam rangka Dies Natalies ke 38 diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Raden Intan, pada hari Senin, tanggal 4 Desember 2006, 13 Dzulkaedah 1427 H

[35]  Sriyatin Shadiq, loc.cit


[36] Ibid
[38] Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NUhttp://www.badilag.net
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA:

UPAYA PENELUSURAN[1]


Abstrak

Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu pengetahuan terutama astronomi.  Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.


Kata Kunci: Sejarah, Ilmu Falak, ibadah 


Pendahuluan

Dalam makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang mengulasnya secara memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia.

Untuk mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya. Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak  Nusantara.

Sebagai sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut. Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara momentum-momentum itu yang penulis anggap signifikan untuk diungkap antara lain:

1.       Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan, 

2.      KH Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah dengan pemerintah dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut,  

3.      Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun 1995,

4.      Yang paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009 lalu; Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.

5.      Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.

Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.


Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia

Pembahasan tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana.  Sebagai bagian dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang sejarah perkembangan awal ilmu Falak di Indonesia secara keilmuan masih belum diungkap secara memadai.

Pembicaraan tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa).[2]

Penanggalan Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh. Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).


Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara

Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1.      Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya

Sejarah tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.

Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh  Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. 

Setelah Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20.

Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29).

Dengan semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi. 

Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan)  dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang.

Sementara tokoh Falak  yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari, 2007: 10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).


2.      Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah.

              Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya  pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik  bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki,  dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho,  2008: 29).

Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan  al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.


3.      “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi

Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia  lahir di Bukittinggi pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal 22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau (http://bimasislam.depag.go.id).

Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H (http://bimasislam.depag.go.id).

Keahliannya di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H), (5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H) (http://bimasislam.depag.go.id).

Karya yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Kamariah (http://bimasislam.depag.go.id). Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia.

Satu lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’  LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT.

Jaringan keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan Gerhana Matahari system Newcomb.

Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: Taufik.  Ia dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37).

Perbedaan dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000, Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun 2004 (Khazin, 2008: 37).

Klasifikasi Metode Falak

Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī,  kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab Ңaqīqī bi at-Tahqīqī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat (Izzuddin,  2006: 135-136).

Dalam sistem  hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar,  Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8)

Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006).

Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu  daur (Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo. blogspot.com).  Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.

Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 ) penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik:

1.      awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;

2.      satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 

3.      dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair: 

كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه

Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[3];

4.      penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 

5.      bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);  

6.      panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).

7.      perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.


Sistem kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:                                        

1.      Umur Bulan

Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut (Azhari,  2004,  30-31)

Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu (Anwar,  pdf – Adobe Reader: 8). 

2.      Permulaan Hari

Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189

Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan  sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. 

Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan  hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan  hari  dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).


3.      New Month (Bulan Baru)

Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.

Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.

Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99). Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109).

Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.

Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. 

4.      Hilal

Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.

Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya  adalah tanggal satu bulan yang baru. 


Berdasarkan klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus. Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan. 

Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain  kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang. 

Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode  hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal. 


Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia

Departemen Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25 tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14).

Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan  awal bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari, 1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga Hisab dan Rukyat.

Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76 tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. Adapun diktumnya sebagai berikut:

1.      Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.

2.      Tugas Badan Hisab dan Rukyat  yang termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran kepada Mentri Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah.

3.      Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members).

4.      Anggota-anggota tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu tertentu menurut keperluan.

5.      Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam.

6.      Badan Hisab dan Rukyat   tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur Peradilan Agama.

7.      Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang berlaku.

8.      Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat  tersebut dibebankan kepada anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun berikutnya  mata anggaran yang selaras untuk itu.

9.      Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Selanjutnya dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972 memutuskan susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat  Departemen Agama sebagai berikut:

Sa’adoeddin Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA, Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur, Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah: ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso, Jakarta, Rodi Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta,  Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta.

Adapun anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973 tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta, KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman Nganjuk.

Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama  awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis.

Kehadiran  Badan Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis.

Dalam hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami kegagalan.


Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia

Ada beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen ini dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah:

1.      Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan.

Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis (ada literatur yang menulis Darwisy), dilahirkan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tahun 1868 Masehi bertepatan dengan tahun 1285 H. (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html)

Ia adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan adalah anak keempat dari tujuh bersaudara (http://peaceman.multiply.com/journal).

Ia lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897 M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html).

Dengan berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari melalui  K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan dicatat sebagai pelopor pembetulan  arah kiblat dari semua surau dan masjid di Nusantara. (http://www.ilmufalak.or.id).

Setelah "tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan agama baru. (http://www.ilmufalak.or.id).

2.      KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut.

Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji dan muthola’ah Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya) (http://www.arwaniyyah.com).

Mbah Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan almanak yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan sampai ke penjuru tanah air (http://www.arwaniyyah.com). Perhitungan itu umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa (http://www.wawasandigital.com).

Turaikhan disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat dan mendirikan salat gerhana (http://blogcasa.wordpress.com).

      Kisah Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitab al-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya (http://blogcasa.wordpress.com).

Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia diangkat sebagai  anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI.

3.      Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik

Secara akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu Falak keluar dari Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting untuk menjadi salah satu ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab rukyat yang komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir (Azhari, 1990: 20).

Kini telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru setingkat konsentrasi  dibuka pada tahun 2008.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya interaksi yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat, adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan perkembangan ilmu falak pada masa-masa yang akan datang.


4.      Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng.

Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan, orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu (http://blogcasa.wordpress.com/).

Wartawan BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun, masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya. (http://blogcasa.wordpress.com/).

Jika memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya. Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat (http://blogcasa.wordpress.com). Masalah yang penting selanjutnya setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung. Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut. Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya perubahan  arah kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita.

Tantangannya, bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang sebenarnya (http://blogcasa.wordpress.com).

5.      Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.

Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  dalam Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, danSalah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya. Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang seharusnya (Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh:  Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno”  danSalah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, http://id.qiblati.com).

Setelah penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh umat Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang, mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh yang mereka gunakan selama ini.

Mereka membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan juga di internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini. Tanggapan yang sebagiannya alih-alih memberikan pencerahan terhadap masyarakat malah justru membuat mereka bertambah bingung.

Dalam menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid mengambil jalan tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada (jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh dimundurkan waktunya dari biasanya.

Yang lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam pengumandangan azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di saat masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah.

Namun mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini tentang penentuan awal waktu salat Subuh sampai terwujudnya kesepatan para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.


Catatan Akhir 

Berikut ini beberapa catatan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia:

1.      Kajian Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah

Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.

Teori-teori lama yang sudah out of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.

Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.

Setelah Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi.

Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini. Misalnya menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa Perhitungan kitab Sullam an-Nayyirain ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi eksistensinya masih diakui oleh Departemen Agama. Karena hasil perhitungannya masih digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk memahami permasalahan  ini, tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini[4]. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah  hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.


2.      Prolematika Pengklasifikasian Metode Hisab

Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola pemikiran (paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan:

a.       Nama aliran yang digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain urfi, hisab hakiki, hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi.

b.      Masalah lain yang timbul dari pengklasifikasian tersebut adalah perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul penilaian yang beragam terhadap masing-masing aliran (Azhari, 1999: 22-23) misalnya tingkat keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan tingkat akurasinya rendah,  2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi.

Perlu juga kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge (latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan penyejajaran ataupun  hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer.


Penutup


Demikianlah sekelumit sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. semenjak awalnya perkembangannya, masalah penentuan awal bulan Kamariah yang mendominasi pembahasan hisab rukyat. Sampai saat ini masalah ini selalu dianggap sebagai masalah yang using namun senantiasa up to date. Mengingat belum terwujudnya kesepakatan kriteria hilal dalam penenentuan awal bulan Kamariah. Inilah tugas berat dari BHR dan para ahli Falak di Indonesia.

Namun seiring perkembangan ilmu Falak yang bersentuhan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, bahasan ilmu Falak lainnya juga mengalami dinamika. Perkembngan yang mutakhir, Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Turut mengaktualkan wacana ilmu Falak. Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab


Daftar Pustaka


Anwar,  Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader


Azhari, Susiknan, 1999, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999

____________, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1

___________,2004,Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI


____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2


____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2 

____________, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin Djambek,  http://bimasislam.depag.go.id
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader


BHR Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI


Buhairi, al-,  Mamduh Farhan, Salah Kaprah Waktu Subuh:  Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq,   Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4 , http://id.qiblati.com


____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno,  Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4,  http://id.qiblati.com


____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4, http://id.qiblati.com


Depag RI,  Ditjen Binbaga Islam, 1990,  Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI 


____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press 


___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI


____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta:Depag RI


Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas 



Fathurohman SW, Oman, 2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI


___________, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004


Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga

___________, 2006, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika

K.H. Ahmad Dahlan, http://www.ilmufalak.or.id/

K.H. Ahmad Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama, http://peaceman.multiply.com/journal

Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3 


____________, 2004,Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI


KH. Turaichan Adjhuri Es Syarofi, http://www.arwaniyyah.com


Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id 


Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1


Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1 


Saksono, Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies


Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1 Muharram 1430H


Sistem almanak Masjid Menara Kudus Awal Ramadan sama, Lebaran bisa beda, http://www.wawasandigital.com/


Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo.blogspot.com


T. Djamaluddin,  Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com 


Tokoh Ilmu Falak: Ahmad Dahlan, K.H, http://pakarfisika.blogspot.com


Wawancara dengan Muhyiddin Khazin a, 28 Desember 2008


200 Masjid di Mekah Tidak Menghadap Kiblat, http://blogcasa.wordpress.com




[1]Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung,  http: //jayusmanfalak.blogspot.com  dan  email: jay_falak@yahoo.co.id


[2] Muhyiddin Khazin (2008: 28) memberikan penjelasan yang sedikit berbeda bahwa Sultan Agung memadukan penanggalan Hindu dan penanggalan Islam menjadi penanggalan Jawa Islam pada tahun 1043H/1633M. Masa kepemimpinan kerajaan Mataram dipegang oleh Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hayrayakusumo (1613-1643 M) inilah penanggalan Islam mulai dipekenalkan. Ia menetapkan penanggalan resmi kerajaan berdasarkan tahun Jawa Islam tersebut. Asimilasi penanggalan ini dilakukan dengan cara merubah pedoman pengambilan dari tahun berdasarkan peredaran Matahari menjadi berdasarkan peredaran bulan. Namun perhitungan tahunnya tetap dengan melanjutkan perhitungan Hindu sebelumnya.


[3] Cara menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah. Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15.


[4] Muhyiddin Khazin (2008 a) menyatakan bahwa tetap dijadikannya  kitab Sullam an-Nayyirain sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah adalah untuk mengakomodir anggota masyarakat (--jumlah mereka cukup banyak) yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab tersebut untuk melakukan perobahan agara perhitungannya akurat tetapi usulan ini ditolak oleh mereka. Biarkanlan kitab Sullam an-Nayyirain sebagaimana adanya.
Pentashihan Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat:


Upaya Memelihara Otensitas al-Qur’an



JAYUSMAN


Lektor IAIN Raden Intan Lampung


jay_falak@yahoo.co.id



Abstrak


Faktanya terdapat kesalahan dalam penulisan buku Yasin yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Bentuk kesalahan-kesalahan yang ditemukan dapat dikelompokkan sebagai berikut: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan inkonsistensi dalam penulisan. Kesalahan huruf, kesalahan harakat, dan kesalahan teknis penulisan di atas termasuk kategori kesalahan yang merubah makna ayat. Kesalahan yang tidak merubah makna ayat misalnya inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti rasm Utsmani dan atau mengikuti rasm Imla’i. Kiranya kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak yang terkait dalam menjaga dan memelihara otentisitas al-Qur’an. Diperlukan dedikasi Lajnah Pentashih al-Qur’an sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh Pemerintah, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari penulis dan pihak percetakan. Yang tak kalah pentingnya adalah setiap pribadi muslim ikut mentashih dan mengontrol peredaran buku Yasin tersebut .


Kata kunci: buku Yasin, tashih, pemeliharaan otentisitas al-Qur’an.




A. Pendahuluan


Tradisi Yasinan adalah salah satu tradisi keagamaan yang mengakar dan melembaga dalam masyarakat kita. Tradisi yang menjadikan pembacaan QS Yasin/36 sebagai bagian terpenting dari rangkaian acaranya di samping juga dibacakan ayat dan zikir lainnya.


QS Yasin/36 merupakan bagian dari al-Qur’an, mestilah genuine, authentic dan terbebas dari upaya tahrif yang akan mengurangi kemuliaannya. Upaya pemeliharaan otentisitas al-Qur’an telah dimulai semenjak proses turunnya al-Qur’an pada masa Rasulullah. Hal ini terus berlanjut ketika memasuki tahapan pengumpulan dan kodifikasinya pada masa Khulafa Rasyidun. Bahkan sampai saat ini dan begitu selanjutnya sampai akhir zaman, upaya pemeliharaan otentisitas al-Qur’an ini terus berlangsung baik dalam bentuk hafalan dan tulisan.


Mushaf al-Qur’an pun terus mendapat pantauan dan perhatian oleh pihak yang berwenang dan dibantu oleh kaum muslimin. Upaya menjaga quality control ini dilaksanakan semenjak dari naskah cetakan maupun setelah dicetak dan diedarkan di tengah-tengah masyarakat. Dalam tulisan ini selanjutnya akan diulas tentang upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur’an dan antisipasi upaya pemalsuannya. Adapun yang dijadikan fokusnya adalah pentashihan buku Yasin. Mengingat fungsi dan perannya yang begitu signifikan dalam menopang tradisi Yasinan tersebut.


Jika pentashihan al-Qur’an mendapat perhatian yang ketat, kiranya perlu dipertanyakan tentang pentashihan buku Yasin. Bagaimanakah proses pentashihannya sebelum diedarkan secara luas ke masyarakat. Dan jika ditemui buku-buku Yasin yang tidak ditashih oleh pihak yang berwenang kiranya perlu dilakukan penelitian dan pentashihan secara mandiri untuk menyelidiki jika ditemukan kesalahan di dalamnya.



B. Pemeliharaan Otentisitas al-Qur’an


Al-Quran al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Firman Allah:


Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. QS al-Hijir/15: 9


Demikianlah Allah menjamin keotentikan al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw[1].


Walaupun Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Quran, namun guna menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang melakukannya. Di samping itu kemungkinan besar tulisan mereka tersebut tidak mencakup seluruh ayat al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.[2]


Al-Quran, demikian pula Rasul saw. menganjurkan kepada kaum muslim untuk memperbanyak membaca dan mempelajari al-Quran. Anjuran tersebut mendapat sambutan yang hangat. Ayat-ayat al-Quran turun berdialog dengan mereka, mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di samping itu, ayat-ayat al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah mencerna makna dan proses menghafalnya[3].


Dalam al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita tersebut merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.[4] Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya ayat-ayat al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang menghafalkan al-Quran.


C. Pengumpulan, Pembukuan, dan Proses Pentashihan Al-Qur’an pada Masa Khulafa Rasyidun
Ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran yang gugur dalam peperangan tersebut. Hal ini menjadikan 'Umar ibn al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan al-Quran" dan keberlangsungannya. Karena itu, ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar agar mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut --dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak pernah dilakukan oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya. Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn Tsabit—mantan juru tulis; katib Nabi untuk menuliskan Al-Quran ketika masa pewahyuan--dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.[5]
Zaid ibn Tsabit pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan. Dengan dibantu oleh beberapa orang sahabat Nabi, Zaid memulai tugasnya. Abu Bakar r.a. memerintahkan kepada seluruh kaum muslim untuk membawa naskah tulisan ayat al-Quran yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk kemudian diteliti oleh tim tersebut. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi petunjuk agar tim tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua syarat: harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain dan tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan atau di hadapan Nabi saw. Karena, sebagian sahabat ada yang menulis atas inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat kedua ini, diharuskan adanya dua orang saksi yang menyaksikan langsung penulisan tersebut. Zaid menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan data-data sejarah bahwa al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.[6]


Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam membaca al-Qur’an belum merupakan hal yang mengkhawatirkan, walaupun begitu mereka telah mengantisipasinya dengan melakukan kodifikasi atas al­-Qur’an sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Namun setelah dua masa kepemimpinan, masalah tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran sehingga para sahabat segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan pada riwayat berikut ini :


Berkata kepada kami Musa, berkata kepada kami Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: “Khudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman, dan sebelumnya ia memerangi warga Syam dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka terkejutlah Khudzaifah akan adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan al-Qur’an, maka berkatalah Khudzaifah kepada Utsman: “Wahai pemimpin orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani”, Utsman lantas berkirim surat kepada Hafshah : “Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran untuk kami tulis dalarn mashahif (bentuk plural dari mushaf -kumpulan lembaran dengan diapit dua kulit seperti buku-) kemudian kami kembalikan kepadamu”, Hafshah segera mengirimkannya kepada Utsman, maka Utsman segera memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, serta Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke dalam mushaf-mushaf, dan dia (Utsman) mengatakan kepada ketiga otoritas Quraisy tersebut di atas: Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit tentang masalah Qur’an, maka tulislah dengan lisan Quraisy sebab al-Qur’an diturunkan dengan dialek mereka (Suku Quraisy), dan mereka melakukan hal itu, maka ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran tersebut ke dalam beberapa mushaf, Utsman segera mengembalikan lembaran-lembaran tersebut kepada Hafshah, (Utsman) kemudian mengirim ke tiap tempat satu mushaf yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar selain mushaf tersebut entah berupa lembaran (sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar.[7]


Pada masa selanjutnya barulah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam hal teknis seperti dalam hal bentuk huruf dan pemberian titik pada huruf yang membedakan antara huruf yang satu dengan yang lain, yang sangat bermanfaat bagi mereka yang hidup belakangan apalagi bagi masyarakat muslim non Arab.
D. Al-Qur’an Rasm Utsmani


1. Pengertian


Rasm, secara etimologis, merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Istilah rasm dalam Ulum al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Utsman bin Affan dan para sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Kemudian pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Berdasarkan makna bahasa itu dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Ulama tafsir lebih cenderung menamainya dengan istilah rasm al-Mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan rasm Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman ibn Affanlah yang merestui dan mewujudkannya secara resmi. Dengan demikian rasm al-Mushaf/ rasm Utsmani adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an. Selanjutnya pola ini dijadikan standard baku dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Mushaf' Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai terdapat inkonsistensi dari aturan bahasa secara konvensional. Oleh karena itu, ada sebahagian ulama mempersempit pengertian rasm al-Qur’an yaitu apa yang ditulis oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafazh-lafazh al-Qur’an dalam mushaf 'Utsmani, dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah rasm Imla’i


Menyikapi fenomena rasm Utsmani dengan inkonsistensinya, maka muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Utsmani tersebut. Jumhur ulama berpendapat rasm Utsmani yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau atas petunjuk Nabi SAW, dengan alasan bahwa para penulis wahyu itu adalah orang-orang yang ditunjuk langsung dan dipercayai oleh Nabi. Sehingga bentuk-bentuk inkonsistensi tersebut tidak bisa dilihat hanya dari sisi kaedah penulisan baku bahasa arab (rasm Imla’i) tetapi di balik inkonsistensinya itu terdapat rahasia atau hikmah tersendiri. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Utsmani itu tidak bersifat tauqifi, tapi merupakan ijtihad para sahabat semata berdasarkan sebuah riwayat bahwa sesungguhnya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Seandainya rasm Utsmani bersifat tauqifi tentu akan disebut rasm Nabawi, belum lagi kalau ke-ummiyan Nabi dipahami sebagai “buta huruf”, jadi tidak mungkin petunjuk teknis penulisan datang dari Nabi. Sehingga dengan adanya perbedaan pendapat ini, maka hukum mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’anpun diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan wajib diikuti dan harus dipertahankan meskipun terdapat sebagian yang menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan, bahkan imam Ahmad bin Hambal dan imam Malik memfatwakan haram hukumnya menulis al-Qur’an jika menyalahi rasm Utsmani. Sementara ulama lain membolehkan menulis al-Qur’an dengan tidak mengikuti rasm Utsmani.



2. Macam-Macam Rasm al-Qur’an dan Karakteristik Rasm Utsmani


Pola penulisan rasm 'Utsmani memiliki perbedaan, dan lain dengan kaidah-kaidah atau standar penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Menurut mayoritas ulama, sedikitnya ada enam pola penulisan al-Qur’an versi Mushaf 'Utsmani yan g menyimpang dari kaidah-kaidah pe­nulisan bahasa Arab baku,[8] yaitu:


a. Pengurangan-pengurangan huruf (al-hadzf), seperti pengurangan huruf waw (و ) dan alif ( ا ).



b. Penambahan-penambahan huruf, seperti huruf alif (\ ) dan ya ' ( ي),.



c. Penggabungan (al-washl) dan pemisahan (al-fashl), yaitu menggabungkan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya ditulis terpisah, atau pemisahan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya disatukan.


d. Penggantian satu huruf dengan huruf lain (al-badl), seperti mengganti huruf alif (ا ) dengan huruf waw ( و ).


e. Ayat-ayat yang mempunyai dua qira'at yang berbeda.



Terdapat beberapa pengecualian, atau konsistensi di dalam rasm 'Utsmdni, misalnya huruf alif ( \ ) yang penulisannya diganti dengan huruf wow ) و), misalnya kata :الربو, الحيوة, الزكوة, الصلوة. Pola penulisan pada kata-kata tersebut berbeda dengan penulisan ayat-ayat lainnya.
Melihat bentuk-bentuk inkonsistensi pola penulisan rasm 'Utsmani, kalangan ulama menolak membandingkan antara rasm tersebut dengan kaidah penulisan standar. Sebaliknya tidak dapat pula rasm Utsmani dijadikan pola standar baku. Kelompok ini membiarkan kekhususan pola penulisan rasm 'Utsmani sebagaimana adanya.[9]



3. Kedudukan Rasm 'Utsmani


Kedudukan rasm 'Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Ada tiga pandangan dalam menentukan keududukan rasm Utsmani yaitu kelompok yang berpendapat bahwa rasm utsmani bersifat tawqifi. Kelompok yang kedua berpendapat bahwa rasm utsmani besifat ijtihadi. Dan kelompok ketiga berusaha mengkompromikan dua pendapat tersebut.


Kelompok pertama adalah Jumhur ulama yang berpendapat bahwa pola rasm 'Utsmani bersi­fat tawqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi Saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk inkonsistensi di dalam penulisan al-Qur'an tidak bisa dilihat hanya berdasarkan standar penulisan baku, tetapi di balik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi'in.


Pendapat yang demikian ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama dengan beberapa alasan, antara lain:


a. Penulisan al-Qur’an dengan rasm 'Utsmani dilakukan oleh para juru tulis wahyu di hadapan Nabi saw. dan apa yang dilakukan oleh mereka telah ditetapkan oleh beliau.


b. Penulisan al-Qur’an itu berlanjut pada masa Abu Bakar dan pada masa 'Utsman bin 'Affan sampai pada masa tabi'in dan seterusnya. De­ngan demikian, penulisan al-Qur’an menurut rasm 'Utsmani telah merupakan konsensus (ijma') para sahabat.



Alasan di atas didukung juga oleh Hadis Nabi saw. ketika beliau berpesan kepada Muawiyyah: "Letakanlah tinta, pegang pena baik-baik, luruskan huruf ba', bedakan sin. Jangan butakan mim dan buat baguslah tulisan Tuhan. Panjangkan al-rahman dan buat baguslah al-rahim. Lalu letakanlah kalammu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat." Para pendukung rasm Utsmani berusaha memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hikmah pola penulisan tersebut. Selain itu, dimaksudkan pula untuk memberikan versi bacaan.


Kelompok kedua, ulama yang berpendapat bahwa pola penulisan di dalam rasm 'Utsmani bersifat ijtihadi atau merupakan hasil ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani:


"Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan me­nulis al-Qur'an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisan-nya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan al-Qur'an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal al-Qur'an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau mengurang-inya, karena mereka tahu itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke da­lam pola-pola baru."37



Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm 'Utsmani. Belum lagi kalau ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin pe­tunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan al-Qur'an itu bersumber dari petunjuk Nabi.


Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan al-Qur'an versi mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut meru­pakan petunjuk Nabi (tawqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik ber­pendapat bahwa haram hukumnya menulis al-Qur'an menyalahi rasm Utsmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur 'ulama ').38


Al-Baqillaniy sebagaimana dikutip oleh Mana’ Khalil al-Qaththan berpendapat bahwa betul Nabi saw. menyuruh untuk menuliskan al-Qur'an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabatnya dan tidak melarang menuliskannya dalam mo­del tertentu. Oleh karena itu, dibolehkan menuliskan mushaf dengan bentuk huruf dan pola penulisan gaya klasik dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya modern.[10]


Ulama yang tidak mengakui rasm Utsmani sebagai rasm taw­qifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika al-Qur'an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imld'i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla'i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna al-Qur 'an.39


Pendapat senada juga mengatakan bahwa tidak mesti kaum Muslimin mengikuti Rasm 'Utsmaniy dalam penulisan al-Qur’an; artinya boleh menuliskan al-Qur’an dengan rasm lain (al-rasm al-imla’i). Mereka menyatakan bahwa model tulisan hanyalah formula dan simbol saja. Oleh karena itu, segala bentuk model tulisan al-Qur’an sepanjang menunjukkan ke arah bacaan yang benar dapat dibenarkan. Sedangkan rasm 'Utsmaniy yang menya­lahi rasm imla’i dipandang menyulitkan banyak orang.[11]


Kelompok ketiga adalah ulama yang berusaha mengkompromikan kedua pendapat di atas dengan mengatakan bahwa penulisan al-Qur'an dengan rasm imla'i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama yang memahami rasm 'Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla'i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur'an, sedang rasm 'Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur’an.



E. Pentashihan al-Qur’an di Indonesia


Pemerintah RI pun menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini dengan membentuk sebuah lembaga, yaitu Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an--yang berada di bawah Balitbang Departemen Agama-- salah satu tugas pokoknya adalah memelihara kesahihan al-Qur`an sebagai implementasi maksud firman Allah Surat al-Hijr/15: 9 di atas.[12]
Lebih lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.[13]
Pendirian Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dapat kita lacak dari mushaf al-Qur’an yang telah ditashih. Biasanya tentang keberadaan team ini terdapat penjelasan pada bagian pengantar mushaf al-Qur’an tersebut. Kalau kita mengamati pada Kata Pengantar Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof.R.H.A.Soenardjo, SH dan ditandatangani di Jakarta, 1 Maret 1971, maka ada 10 (sepuluh) anggota dewan penerjemah, antara lain: Prof.T.M.Hasbi Ashshidiqi.(alm), Prof.H.Bustami A.Gani, Prof.H.Muchtar Jahya, Prof.H.M.Toha Jahya Omar.(alm), Dr.H.A.Mukti Ali, Drs.Kamal Muchtar, H.Gazali Thaib.(alm), K.H.A.Musaddad, K.H.Ali Maksum.(alm), dan Drs.Busjairi Madjidi. Merekalah yang telah turut berjasa dalam melaksanakan tugas mentashih dan menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia selama 8 tahun.


Team ini terus menjalankan tugasnya. Dan pada priode selanjutnya terjadi perubahan komposisi team karena sebagian dari mereka telah berpulang ke rahmatullah. Seperti yang dapat dilacak pada al-Qur’an dan Terjemahnya versi cetakan PT.Karya Toha Putra Semarang ditandantangani di Jakarta pada 15 Desember 1997, team tashih ini terdiri seorang ketua dan seorang sektretaris dan beranggotakan 17 orang[14].


Tugas dan fungsi Lajnah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982, adalah:


1. meneliti dan menjaga kemurnian mushaf al-Qur’an, rekaman, bacaan al-Qur’an, terjemahan dan tafsir al-Qur’an secara preventif dan refresif.


2. mempelajari dan meneliti kebenaran mushaf al-Qur’an untuk tuna­netra (al-Qur’an Braille), bacaan al-Qur’an dalam kaset, piringan hitam dan penemuan elektronik lainnya yang beredar di Indonesia.


3. berusaha mengantisipasi peredaran mushaf al-Qur’an yang belum ditashih oleh Lajnah. Kegiatan Lajnah mentashih mushaf al-Qur’an 30 Juz, Juz ‘Amma, al-Qur’an dan terjemahnya, al-Qur’an dan tafsirnya, dan bacaan-bacaan dalam bentuk kaligrafi lainnya[15].


Lebih lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.[16]
Pelaksanaan tugas Lajnah lainnya adalah merespon masukan, saran-saran dan menjawab pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Segala permasalahan yang menyangkut kitab suci al-Qur’an yang dikemukakan oleh masyarakat dan ditujukan kepada Departemen Agama. Selain itu, tugas Lajnah adalah membina penerbit, melalui komunikasi lisan maupun tertulis, termasuk dengan surat edaran, juga pertemuan-pertemuan, diskusi dan dialog dengan para penerbit dan produsen al-Qur’an, juga dengan tim kerja dari pihak-pihak yang melakukan penulisan al-Qur’an. Pembinaan juga dilakukan melalui forum lokakarya para penerbit al-Qur’an. Inti dari program pembinaan, adalah ajakan kepada para penerbit Al-Qur’an untuk lebih meningkatkan dedikasi dan komitmennya dalam menjaga dan memelihara kitab suci al-Qur’an[17].


Rekomendasi kegiatan lajnah adalah sebagai berikut:


1. untuk memenuhi kebutuhan umat Islam yang cukup besar dibidang al-Qur’an serta untuk lebih mengamankan mutu penerbitan al-Qur’an, maka amat mendesak didirikan sebuah penerbitan /percetakan al-Qur’an oleh negara/pemerintah.


2. mengingat beban lajnah yang makin luas dan meningkat serta perlu dukungan yang lebih besar dibidang SDM, peralatan, jaringan, dan pembiayaan, maka amat mendesak untuk menindak lanjuti komitmen Menteri Agama untuk memperkuat dan meningkatkan struktur lajnah.


3. perlu penguatan kondisi kerja dengan pengaturan tugas dan tahapan yang jelas, mekanisme yang baik, agenda yang tertib serta pembiayaan yang memadai. Dan keempat, perlu penguatan SDM lajnah melalui rekrutmen satuan tugas lajnah secara terbuka, selektif, profesional, dari Perguruan-perguruan tinggi al-Qur’an, UIN/IAIN/STAIN dan lain-lain sebagai pegawai negeri maupun sebagai tim ad hoc[18]



F. Fakta Kesalahan Penulisan dalam Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat


Kalau kita cermati sejenak tentang tradisi membaca al-Qur’an dalam masyarakat kita. Bahwa di masyarakat berkembang suatu tradisi membaca al-Qur’an, yaitu tradisi Yasinan. Dalam tradisi Yasinan ini dilangsungkan pembacaan QS.Yasin/36, yang disertai dengan pembacaan zikir-zikir tertentu dan ditutup dengan doa. Tradisi Yasinan ini telah mengakar dengan sangat kuat dalam kehidupan masyarakat kita.


Yasinan dilaksanakan pada acara ta’ziyah ketika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia. Kita mengenal maniga hari, menujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari dan seterusnya. Selain dalam acara ta’ziyah pembacaan surat Yasin ini juga dilakukan dalam acara-acara pengajian rutin di masyarakat, pengajian setiap malam jum’at ketika seseorang melaksanakan ibadah haji, acara tasyakuran, dan lain sebagainya.


Kita tidak membahas lebih lanjut tentang tradisi Yasinan tersebut. Tapi yang menjadi fokus kita adalah salah satu media dalam pelaksanaan tradisi Yasinan tersebut, yaitu buku Yasin. Permasalahannya adalah bagaimanakah keshahihan buku tersebut; kesesuaian ayat-ayat dari surat Yasin sebagai salah satu kutipan dari al-Qur’an.


Tulisan ini sebagai kasus atau bahan pemikiran bagi kita bersama untuk berpartisipasi dalam gerakan pemurnian al-Qur’an. Gerakan yang dapat kita mulai dari lingkungan kita sendiri. Hal ini lebih jauh diinspirasi ketika penulis menemukan sendiri kesalahan dalam salah satu ayatnya dari sebuah buku Yasin. Peristiwa ini terjadi tepatnya ketika acara Yasinan meninggalnya salah seorang dosen fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan, Drs H Shohib Zen, Lc. Ketika acara Yasinan di rumah almarhum, secara tidak sengaja penulis dengan beberapa teman menemukan kesalahan fatal dalam sebuah ayat dalam buku Yasin tersebut. Kesalahan pada penulisan huruf dalam bahasa Arab tentu saja akan merubah makna, yang melenceng jauh dari apa yang seharusnya. Apa lagi jika kita kaitkan dengan fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam—yang merupakan manifestasi dari Kalamullah. Merubahnya, apalagi berdasarkan kecerobohan alih-alih karena adanya faktor kesengajaan adalah sebuah dosa besar.


G. Bentuk-Bentuk Kesalahan Penulisan Buku Yasin


Bentuk kesalahan-kesalahan yang ditemukan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, sebagai berikut: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan inkonsistensi dalam penulisan (lihat lampiran).
Jika kita perhatikan dari kesalahan-kesalahnan di atas, maka dapatlah kita kategorisasikan kepada kategori kesalahan yang merubah makna ayat dan kesalahan yang tidak merubah makna ayat.


Kesalahan yang merubah makna ayat adalah kesalahan yang fatal, merusak kesucian al-Qur’an karena telah melakukan pengubahan terhadap al-Qur’an. Pada dasarnya bentuk-bentuk kesalahan dalam penulisan al-Qur’an dapat dibagi kepada kesalahan yang dapat diduga sebagai technical error. Kesalahan yang diduga karena faktor kekurangtelitian atau kecerobohan para pihak yang terlibat dalam pencetakan al-Qur’an tersebut. Sedangkan bentuk kesalahan yang lain diduga keras berdasarkan unsur kesengajaan, upaya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menodai kesucian al-Qur’an. Terlepas kesalahan penulisan al-Qur’an itu karena faktor kekurangtelitian dan kecerobohan ataupun ada unsur kesengajaan dengan motivasi pemalsuan al-Qur’an, keduanya memiliki satu kesamaan. Kesamaan dalam menodai kemurnian al-Qur’an.


Tindakan ini merupakan suatu dosa besar jika pelaku melakukannya dengan sengaja. Namun, terlepas ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam hal ini, tentu jika ditemukan kesalahan dalam pencetakan al-Qur’an, tentunya perlu diluruskan. Kesalahan huruf, kesalahan harakat, dan kesalahan teknis penulisan di atas termasuk kategori kesalahan yang merubah makna ayat.
Kesalahan yang tidak merubah makna ayat misalnya inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti rasm Utsmani dan atau mengikuti rasm Imla’i. Penulis yang inkonsisten dalam buku Yasin yang ditulisnya dengan mencampuradukkan keduanya. Mushaf' Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai terdapat inkonsistensi dari aturan bahasa secara konvensional. Oleh karena itu, ada sebahagian ulama mempersempit pengertian rasm al-Qur’an yaitu apa yang ditulis oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafazh-lafazh al-Qur’an dalam mushaf 'Utsmani, dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah rasm Imla’i.


Menyikapi fenomena rasm Utsmani dengan inkonsistensinya, maka muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Utsmani tersebut. Jumhur ulama berpendapat Rasm Utsmani yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau atas petunjuk Nabi SAW, dengan alasan bahwa para penulis wahyu itu adalah orang-orang yang ditunjuk langsung dan dipercayai oleh Nabi. Sehingga bentuk-bentuk inkonsistensi tersebut tidak bisa dilihat hanya dari sisi kaedah penulisan baku bahasa arab (rasm Imla’i) tetapi di balik inkonsistensinya itu terdapat rahasia atau hikmah tersendiri. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Utsmani itu tidak bersifat tauqifi, tapi merupakan ijtihad para sahabat semata berdasarkan sebuah riwayat bahwa sesungguhnya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Seandainya Rasm Utsmani bersifat tauqifi tentu akan disebut rasm nabawi, belum lagi kalau ke-ummiyan Nabi dipahami sebagai “buta huruf”, jadi tidak mungkin petunjuk teknis penulisan datang dari Nabi. Sehingga dengan adanya perbedaan pendapat ini, maka hukum mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan al-Qur’anpun diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan wajib diikuti dan harus dipertahankan meskipun terdapat sebagian yang menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan, bahkan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Malik memfatwakan haram hukumnya menulis al-Qur’an jika menyalahi rasm Utsmani. Sementara ulama lain membolehkan menulis al-Qur’an dengan tidak mengikuti rasm Utsmani.


Semua buku-buku Yasin tersebut tidak mencantumkan keterangan telah ditashih oleh lembaga atau pihak yang berwenang. Buku-buku tersebut sebagiannya hanya mencamtumkan nama penulisnya, atau penerbitnya atau bahkan mengutipnya begitu saja tanpa mencantumkan penulis atau penerbitnya.


Biasanya untuk memperingati tujuh atau empat puluh hari meninggalnya seseorang dicetaklah buku-buku Yasin yang nantinya dijadikan semacam kenangan-kenangan dan ucapan terima kasih yang akan diberikan kepada para penta’ziah. Buku-buku Yasin itu biasanya dicetak dengan pembuang cover buku Yasin terkadang menghilangkan nama penulis dan penerbitnya dengan menggantinya dengan cover yang menjelaskan tentang peringatan meninggalnya seseorang.


Ironisnya lagi sebagiannya mengutip begitu saja QS. Yasin/36 tersebut tanpa mencantumkan penulis dan atau penerbitnya. Misalnya buku Yasin yang digunakan pasangan Zul-Yanto dan Alzier & Bambang dalam kampanye pencalonan mereka dalam pemilihan gubernur Lampung priode 2009- 2014.



H. Antisipasi Peredaran Buku Yasin Yang Tidak Ditashih di Tengah-Tengah Masyarakat


Buku-buku Yasin itu beredar luas di masyarakat seiring dengan mendarahdagingnya tradisi Yasinan tersebut. Berarti juga bahwa buku-buku Yasin yang tidak ditashih oleh pihak yang berwenang dalam hal ini beredar luas. Antara buku Yasin yang sesuai maupun yang menyalahi rasm Utsmani itu bercampur aduk dalam peredarannya.
Dari segi yang memiliki kewenangan, yang paling berhak adalah Lajnah Pentashih al-Qur’an--yang berada di bawah Balitbang Departemen Agama-- salah satu tugas pokoknya adalah memelihara kesahihan al-Qur`an sebagai implementasi maksud firman Allah Surat al-Hijr/15: 9 sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982.


Pemerintah juga memberikan dukungannya dengan pendirian percetakan al-Qur’an Departemen Agama (Depag) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/11/2008).
Pendirian percetakan ini mengisi kevakuman percetakan al-Qur’an Depag yang lama karena telah hancur sejak tahun 70-an. Kehadiran percetakan al-Qur’an ini, merupakan hari bersejarah bagi umat Islam Indonesia, karena kita dapat mewujudkan berdirinya percetakan al-Qur’an yang sudah sejak lama didambakan untuk mengisi kebutuhan penyediaan kitab suci al-Qur’an bagi hampir 200 juta umat Islam di tanah air.[19] Produk percetakan ini merupakan al-Qur’an standar yang telah ditashih oleh
Lajnah Pentashih al-Qur’an.


Selain itu tugas Lajnah dibutuhkan komitmen penerbit dan penulis buku Yasin dalam menjaga dan memelihara kitab suci al-Qur’an. Diduga motif di balik kesalahan dalam penulisan al-Qur`an ini adalah kekurangtelitian dan kecerobohan. Dugaan yang lain menyatakan boleh jadi penerbitnya sekedar berorientasi mengejar keuntungan sehingga terkadang dengan mengabaikan kualitas[20]. Motif lainnya boleh jadi untuk membuat keresahan dan huru-hara dalam masyarakat muslim dengan membuat “riak-riak” kecil sehingga menimbulkan perselisihan di antara mereka. Tentu saja ini sangat tidak kita harapkan dan sesalkan jika sampai terjadi.


Kurangnya kesadaran ini antara lain karena kurangnya pemahaman dan tanggung jawab keagamaan dan bisa jadi juga disebabkan karena mayoritas percetakan mushaf al-Qur’an dimodali oleh mereka yang non muslim. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Penerbit Mushaf Al-Qur`an Indonesia (APQI), Ali Mahdami mengungkapkan pengusaha muslim tidak pernah memikirkan betapa pentingnya percetakan, akibatnya 90 persen produksi al-Qur`an dan mungkin juga buku Yasin dalam hal ini dicetak oleh pengusaha non muslim yang tidak mengerti dan menghormati kitab suci al-Qur`an yang dianggap sama dengan buku-buku bacaan biasa.[21] Penulis tidak punya alasan lebih lanjut untuk menjelaskan persoalan ini; apakah ini semacam monopoli, atau mungkin proses percetakannya butuh modal yang sangat besar sehingga pengusaha-pengusaha besar saja yang bisa “bermain”, atau mungkin secara bisnis kurang menguntungkan, atau mungkin kurangnya kesadaran pengusaha muslim, atau mungkin berdasarkan alasan-alasan yang sifatnya akumulatif dari hal-hal di atas. Jadi selain dedikasi dan komitmen Lajnah Pentashih al-Qur’an, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari penulis dan pihak percetakan.


Yang tak kalah pentingnya adalah kontrol dari setiap pribadi muslim. Secara sederhana setiap pribadi muslim bisa mengambil bahagian dalam tugas mulia ini, melakukan pentashihan buku-buku Yasin yang ia miliki atau yang beredar di lingkungannya. Melakukan pensortiran terhadap buku-buku Yasin yang terdapat kesalahan di dalamnya. Pensortiran itu bisa dalam bentuk memusnahkan buku-buku Yasin yang salah tersebut atau tetap menggunakannya setelah ditashih atau dikoreksi dan diperbaiki kesalahannya.
Selanjutnya kita perlu melakukan sosialisasi. Sosialisasi tentang perlunya melakukan kontrol terhadap buku-buku Yasin yang beredar di sekitar kita dus sosialisasi tentang buku-buku Yasin yang sesuai dengan rasm Utsmani; sesuai dengan mushaf yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih al-Qur’an.


I. Penutup


Tradisi Yasinan perlu dijaga dari hal-hal yang merusaknya, seperti terdapatnya kesalahan dalam buku Yasin yang digunakan. Tentu saja niat dan amal baik itu menjadi tidak atau kurang sempurna bahkan bisa jadi berbuah dosa ketika kita menyaksikan suatu kesalahan dan kemudian mendiamkan atau tidak ada usaha untuk meluruskannya.


Pentashihan buku Yasin adalah salah satu upaya untuk senantiasa memelihara otentisitas al-Qur’an. Suksesnya upaya pemeliharaan al-Qur’an ini sangat membutuhkan dukungan dari seluruh kaum muslimin untuk membentengi upaya-upaya menodai kemurnian al-Qur’an.




Daftar Pustaka



Al-Furqan al-Haq; The True Furqan, pusdai.wordpress.com


Al-Qur'an Banyak Salah Cetak Karena Kejar Laba, kisahislam.com


Al-Qur’an Palsu Beredar di Masyarakat, www.sumenep.go.id.


Anwar, Hamdani, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995


Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet.ke-12


Awas peredaran al-Qur‘an Palsu Serang Sukoharjo, forum.swaramuslim.net


Azra, Azyumardi (Ed.), Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000



Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1989


____________, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet.ke-1


Baqi, al, Fuad Abd, Mu’jam Mufahras li alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th


Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh Jilid I: Paradigma pEnelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003


____________, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta: Logos, 1998, cet.ke-1


____________, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:Rajawali Pers, 2004, cet.ke-1


Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992


Dewan Redaksi PT Ichtisar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtisar Baru Van Hoeve, 2001


Ditemukan 36 Kesalahan dalam 'Alquran Beryesus, swaramuslim.net


Kamal, Ahmad ‘Adil, ‘Ulum al-Qur’an, T.Tp.t.th.



Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.eramuslim.com



Nawawi, an, Imam, Adab dan Tata Cara Menjaga al-Qur’an, (terj) Jakarta: Pustaka Imani, 2001



Qadir, Muhammad Thahir Abd. Al-, Tarikh al-Qur’an,, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1953



Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, T.T: T.Tp, 1978



Sa'id, Labid al-, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim, Mesir: Daral-Kitab al-'Arabiy, t.t.


Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13 

____________, Mu’jizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, , Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 1992

____________, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999

____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000

____________, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998

Syadili, Ahmad dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997

Syauqi, Rif’at dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Umar, Muhammad Nasruddin, Klasifikasi Ayat al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1990




[1] Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13, h. 21 


[2] Ibid, h.24


[3] Ibid


[4] Ibid, h.23


[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Muqaddimah), Bandung: Gema Risalah Press, 1992, h. 23



[6] Ibid


[7] Handono, Irena, et. al, Sejarah dan Keaslian al-Qur’an, T pt: Bima Rodheta, 2004, Cet. 4


[8] Muhammad Thahir Abd. Al-Qadir, Tarikh al-Qur’an, (Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1953), h. 93-94, Lihat juga Ahmad ‘Adil Kamal, ‘Ulum al-Qur’an,(T.Tp.:t.th.), h. 47-48.


[9] Muhammad Thahir Abd. Al-Qadir, Tarikh al-Qur’an, (Mesir: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1953), h. 127.
[10] Manna al-Qaththan., ibid., h. 48. Muhammad Rajab al-Farjani, Kayfa Nata'addab ma'a al-Mushhdf (T.Tp.: Dar al-Istihsan, 1978), h. 85. Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah, ibid., h.166



[11] Labid al-Sa'id, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim (Mesir: Daral Kitab al-'Arabiy, t.t.), h. 372.


[12] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak Karena Kejar Laba, http:// kisahislam.com



[13] Ibid


[14] Permasalahan al-Qur’an dan Terjemahannya Versi Depag RI, http://forumqhita.blogspot.com

[15] Kegiatan Lajnah Pentahih Mushaf al-Qur’an tahun 2005, http://www.depag.web.id

[16] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak, loc.cit


[17] Kegiatan Lajnah Pentahih, loc.cit
[18] Ibid
[19] Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.eramuslim.com


[20] Jangan Berorientasi Untung, http://www.antara.co.id

[21] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak, Loc.cit
Make a Free Website with Yola.