Rukyatul Hilal Dalam Penetapan Awal Bulan Kamariah
Perdebatan seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah telah banyak menguras energi umat Islam Indonesia.
Inti permasalahannya adalah pendefinisaian tentang hilal. Hilal
merupakan patokan untuk memulai awal bulan Kamariah. Rasulullah saw
mengisyaratkan memulai puasa Ramadan dan Idul Fitri ketika melihat hilal
dan mengakhirinya ketika melihat hilal di akhir bulan. Jika terhalang
awan, genapkanlah Syakban atau Ramadan menjadi tiga puluh hari. Dalam
makalah ini diulas tentang pelaksanaan observasi hilal; rukyatul hilal.
Perlu persiapan matang agar observasi yang dilaksanakan dapat memberikan
hasil optimal. Selanjutnya dapat berkontribusi bagi pengembangan
observasi awal bulan Kamariah di Indonesia.
Kata Kunci: Observasi Awal Bulan, Rukyatul Hilal, Hilal
Observasi awal bulan di Indonesia
yang dikoordinir oleh Pemerintah dalam hal ini dilaksanakan oleh
Departemen Agama, awalnya hanya untuk penetapan awal Ramadan dan Syawal.
Semenjak pemerintahan Megawati Soekarno Putri ditambah dengan
pengoservasian awal bulan Zulhijah. Jika pada sembilan bulan lainnya
tidak dilakukan observasi secara “resmi”, berbeda dengan ketiga bulan
di atas karena pada ketiganya terdapat momen penting dalam rangkaian
ibadah umat Islam. Yakni untuk mengawali pelaksanaan ibadah Ramadan,
pelaksanaan hari raya Idul Fitri, dan pelaksanaan rangkaian ibadah haji
serta hari raya Idul Adha. Tingkat keberhasilan observasi awal bulan dengan kata lain pelaksanaan rukyatul hilal di Indonesia masih rendah. Misalnya kita ambil contoh rukyatul hilal yang dilaksanakan untuk penetapan awal Syawal 1430 H lalu. Dari sekian
banyak tempat observasi hilal di Indonesia,
dilaporkan bahwa yang berhasil melihat hilal hanyalah di dua tempat.
Laporan melihat hilal tersebut datang dari tempat observasi Pelabuhan
Ratu, Sukabumi Jawa Barat dan Menara mesjid Agung Jawa Tengah. Berdasarkan
laporan dari kedua tempat inilah dan dikuatkan dengan hasil perhitungan
hisab, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan besoknya
adalah tanggal 1 Syawal; pelaksanaan hari raya Idul Fitri dan pertanda
berakhirnya puasa Ramadan. Rendahnya tingkat keberhasilan rukyatul hilal di Indonesia
ini dipengaruhi oleh banyak faktor baik teknis maupun non teknis. Dalam
makalah ini selanjutnya akan dipaparkan lebih lanjut tentang observasi
hilal awal bulan Kamariah ini. Bagaimana mengoptimalkan pelaksanaan
rukyatul hilal ini sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
positif dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Serta diulas tentang
pelaksanaan observasi awal bulan Muharam 1430 H lalu di pantai
Bandengan Jepara, Jawa Tengah.
B. Pengertian Observasi Awal Bulan Kamariah
Rukyatul
hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit
di langit (ufuk) sebelah Barat sesaat setelah Matahari terbenam
menjelang awal bulan baru—khususnya menjelang bulan Ramadan, Syawal dan
Zulhijah— untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai. Rukyah yang dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah adalah rukyah yang mu’tabar.
Yakni rukyah yang dapat dipertangungjawabkan secara hukum dan ilmiah.
Rukyah yang demikian harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Rukyah dilaksanakan pada saat Matahari terbenam pada malam tanggal 30 atau akhir 29 nya. 2. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah tanpa penghalang antara perukyah dan hilal. 3. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan posisi hilal positif terhadap ufuk (di atas ufuk) 4. Rukyah dilaksanakan dalam keadaan hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah) 5. Hilal yang dilihat harus berada di antara wilayah titik Barat antara 30 derajat ke Selatan dan 30 derajat ke Utara.
Ketika
Matahari terbenam atau sesaat setelah itu, langit di sebelah Barat
berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga antara cahaya hilal yang putih
kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak
begitu kontras. Maka bagi mata orang awam yang belum terlatih melakukan rukyah akan menemui kesulitan menemukan hilal yang dimaksud. Dalam penanggalan hijriah, awal berlangsungnya tanggal di mulai pada saat matahari terbenam (ghurub). Sedangkan awal bulan hijriah bergantung pada posisi hilal saat ghurub tanggal 29 bulan hijriah bulan yang sedang berjalan, seperti berikut:
- Jika pada saat ghurub
tanggal 29, posisi bulan belum mencapai ijtimak, secara astronomis
maka bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari, atau keesokan
harinya masih berada di bulan yang sedang berjalan pada tanggal 30.
- Jika pada saat ghurub
tanggal 29 ijtimak sudah terjadi, posisi hilal terhadap Matahari
negatif atau hilal terbenam terlebih dahulu dibanding Matahari,
maka umur Bulan yang sedang berjalan berumur 30 hari
- Jika pada saat ghurub tanggal 29, ijtimak sudah terjadi sebelum ghurub,
posisi hilal positif atau matahari tenggelam terlebih dahulu
dibanding bulan, maka penentuan awal bulan berdasarkan kriteria
Syari’ah. Keesokan harinya jika memenuhi kriteria yang dipakai
berarti sudah masuk awal bulan atau tanggal 1 bulan baru hijriyah. Jika belum memenuhi kriteria maka besoknya tanggal 30 bulan yang sedang berjalan.
- Dalam beberapa kasus tertentu, tinggi hilal sudah positif pada saat ghurub,
namun ijtimak belum terjadi. Secara astronomis dapat diterangkan
bahwa hilal yang berada di atas ufuk tersebut bukan hilal awal
bulan melainkan bulan sabit tua menjelang bulan baru atau bulan
mati, sehingga keesokan harinya berada pada tanggal 30 bulan yang
sedang berjalan.
C. Urgensi Rukyatul Hilal Pengurus
Lajnah Falakiyah PBNU, Hendro Setyanto secara optimis mengatakan bahwa
rukyatul hilal atau dalam bahasa lain observasi menyebabkan disiplin
ilmu astronomi terus berkembang hingga saat ini. Tanpa observasi itu
ilmu astronomi akan mandeg dan umat Islam hanya mengandalkan data
astronomis, apalagi sekarang data itu tidak dikembangkan sendiri tapi
diperoleh begitu saja dari kalangan non Muslim. Sejatinya,
kegiatan observasi dan eksperimen merupakan asas semua cabang ilmu
alam. Melalui kegiatan tersebut diperoleh data, yang setelah melalui
proses reduksi dan pengolahan, disintesiskan menjadi sebuah model atau
teori tentang suatu fenomena alam. Model atau teori tersebut sepatutnya
mampu menerangkan fenomena alam yang dikenal dan bahkan dapat
memprediksi hal-hal baru yang belum dijumpai yang kebenarannya akan
dibuktikan melalui observasi dan eksperimen baru.
Oleh karenanya, dengan alasan ilmiah, yaitu bahwa kegiatan observasi
hilal yang dilakukan memiliki peran dalam upaya menentu-sahkan (verification)
pemodelan matematis yang telah dibuat, kegiatan tersebut memiliki
relevansi yang tak terbantahkan. Lebih dari sekadar informasi bahwa
ketinggian hilal di cakrawala Barat saat Matahari terbenam adalah
positif, metode observasi ini juga mensyaratkan terlihatnya hilal baik
dengan mata telanjang ataupun menggunakan alat pada ketinggian tersebut.
Selain itu, data astronomi bersifat dinamis karena posisi benda-benda
langit yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian,
kegiatan observasi untuk memperoleh data mutakhir mutlak diperlukan agar
perbedaan (jika ada) antara hasil pemodelan menggunakan data terkait
dan hasil pengujian empiris di lapangan dapat semakin diminimalkan.
Dengan kata lain, observasi hilal diperlukan untuk pengembangan sains
hilal itu sendiri. Rukyat ini menurut Ghazalie Masroerie, dengan kata lain sekaligus menjadi sarana koreksi atas hitungan hisab.
Dengan mengamati keteraturan gerak Matahari dan Bulan, manusia telah
dapat merumuskan dan memodelkan gerak benda-benda langit tersebut untuk
keperluan praktis sehari-hari. Bahkan dengan menyertakan faktor koreksi,
pergerakan benda-benda langit untuk kurun masa yang akan datang pun
telah dapat ditentukan dengan cermat. Inilah yang dimaksud dengan hisab.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini, berkembang pula
pemahaman terhadap nash agama yang membuat observasi/rukyat tidak lagi
menjadi satu-satunya metode dalam penentuan awal bulan. Pengalaman
pengamatan Hilal berulang-ulang perlu dilakukan bagi seorang pengamat
atau bagi yang mau menekuni sebagai pemburu Hilal. Pengalaman akan dapat
memberi saran perbaikan bagaimana cara efektif untuk mengamati Hilal
(misalnya cara mencari lokasi Hilal di langit, sistem pencatatan dan
merancang alat bantu sederhana untuk pengamatan Hilal). Pengalaman akan
membentuk sikap kritis dalam menilai apakah yang sedang diamati sebuah
Hilal atau bukan. Atau menemukan pengalaman baru melihat Hilal termuda
dengan membandingkan hasil pengamatan baru dengan ingatan dan pengalaman
yang sudah-pernah diperoleh.
Pengalaman
berbeda akan memberi judgement yang berbeda, daya lihat pengamatan juga
berbeda. Derajat kesiapan mental pengamat pada waktu pengamatan yang
singkat akan lebih baik bagi pengamat yang terlatih, sikap independen
pengamat juga perlu dibentuk agar tidak mudah terpengaruh oleh pengamat
yang lainnya yang belum tentu benar, jangan berkata melihat Hilal karena
ada rekan yang bisa melihat Hilal dan juga sebaliknya bila yakin
melihat Hilal jangan ragu-ragu mengatakan berhasil melihat Hilal.
Pendek
kata kejujuran dan profesionalisme sangat diperlukan untuk pengamatan
Hilal yang tergolong objek langit yang sulit. Sulitnya pengamatan Hilal
jangan juga mempersulit kehidupan kita. Pembentukan sikap tersebut
berkaitan erat dengan prospek pengamatan Hilal dengan mata bugil masih
akan memberi kontribusi bagi dunia ilmu pengetahuan tentang visibilitas
Hilal di equator. Indonesia negeri yang luas, pengamatan Hilal secara
profesional di banyak lokasi akan merupakan kontribusi umat Islam
Indonesia pada umat Islam di belahan Bumi lain dan dunia ilmu
pengetahuan.
Bagi sebagian umat Islam yang berijtihad menggunakan metode hisab
sebagai landasan penentu awal bulan alih-alih metode observasi yang
telah dibahas sebelum ini, di antaranya berdasar pada ketiadaan dalil
yang mengharuskan merukyat bila hendak melakukan ibadah puasa Ramadan
ataupun berhari raya. Adapun hadis-hadis yang berkenaan dengan rukyat
dan ibadah puasa dipahami bukan sebagai dalil keharusan melakukan
rukyat, melainkan dalil kewajiban berpuasa dan berbuka (berhari raya)
setelah diketahui munculnya hilal yang menjadi penanda masuknya awal
bulan yang baru.
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU; Ghazalie Masroeri dalam pertemuan dengan
Majelis Tarjih Muhammadiyah di kantor PP Muhammadiyah, menegaskan
kembali bahwa NU tetap memakai hisab. Bahkan beberapa ahli di kalangan
pengurus Lajnah Falakiyah menyusun sendiri metode hisab dalam satu
kitab. Namun demikian rukyatul hilal tetap harus dilakukan. Banyak
kalangan yang mengira bahwa penentuan awal bulan Hijriah dengan cara
rukyatul hilal sangat awam dan kelihatan tidak atau kurang
berpengetahuan. Selain itu rukyat sangat menyulitkan dan menambah
pekerjaan, sia-sia dan membuang-buang waktu karena harus bersusah-susah
mencari bulan pada tanggal setiap tanggal 29 pada kalender Hijriah.
Karena sebagian berpendapat bahwa metode hisab atau perhitungan
astronomis yang relatif mudah dan kelihatan berpengetahuan (baca
ilmiah). Tetapi sebenarnya persoalannya ternyata tidak sesederhana itu.
Rukyatul hilal dalam bahasa yang lebih ilmiyah adalah semacam observasi
untuk membuktikan berbagai perkiraan mengenai datangnya awal bulan.
Rukyat berfungsi untuk mencapai akurasi tertinggi. Rukyatul hilal juga bernilai ibadah (ta’abuddi) karena diperintahkan secara langsung oleh nabi Muhammad saw. Rukyat juga punya nilai tafakkur dan tadabbur
kepada ciptaan Allah karena dengan melakukan itu maka secara otomatis
umat Islam akan berfikir mengenai alam, Matahari, Bulan dan jutaan
bintang, yang akan menambah keimanan kepada sang Khaliq. Kalangan
Muhammadiyah berpandangan bahwa rukyatul hilal diperintahkan oleh Nabi
Muhammad karena ada illat atau penyebabnya. Pada waktu itu masyarakat
masih awam dan belum berpengetahuan. “Karena situasi waktu itu umat
Islam belum mampu melakukan hal itu karena ilmu pengetahuan itu belum
berkembang luas,” kata Syamsul Anwar, Ketua Majelis Tarjih PP
Muhammdiyah. Pendapat ini dibantah oleh Lajnah Falakiyah NU. Bahwa pada
saat itu bukan berarti nabi Muhammad dan para sahabat sama sekali tidak
mengerti ilmu hisab. Paling tidak ilmu hisab sudah berkembang meski di
luar Arab, dan iklim dagang sangat memungkinkan untuk saling bertukar
informasi dan ilmu pengetahuan. Namun memang demikianlah bahwa pada
priode awal, bahwa awal bulan Hijriah ditentukan oleh rukyatul hilal
atau observasi langsung itu. Ada
pertanyaan-pertanyaan pelik yang dilontarkan Lajnah Falakiyah NU kepada
Majelis Tarjih Muhammdiyah, kalau rukyat tidak dilakukan kemudian hanya
menggunakan hisab saja. Yakni terkait dengan hadis nabi Muhammad yang
jumlahnya lebih dari dua puluh hadis yang memerintahkan untuk melakukan
rukyah. Jika tidak fungsional, apakah hadis-hadis tersebut dibuang atau
diabaikan. Dalam hadis ditegaskan juga bahwa apabila bulan tidak
terlihat karena tertutup awan maka umat Islam diperintahkan untuk
menyempurnakan ibadah puasa hingga 30 hari. Sederhana saja, umat
Islampun bisa terlibat semuanya, dan ini tentu memudahkan umat Islam
dalam menentukan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijah, apalagi kini
dibantu dengan alat teropong rukyah
.
D. Hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan praktik rukyatul hilal Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal, sebagai berikut: Apabila
di ufuk Barat terdapat awan tebal, maka hal ini menyulitkan rukyatul
hilal. Mungkin saja rukyatul hilal gagal; tidak dapat dilaksanakan.
Rukyah dilaksanakan dalam keadaan cuaca cerah dan tidak terdapat
penghalang antara perukyah dan hilal. Penghalang ini bisa saja berupa
awan, asap, maupun kabut.
2. Faktor Hilal yang diobservasi Kondisi hilal yang akan diobservasi, juga menjadi hal penting untuk menunjang visibilitas hilal: a. beda tinggi hilal dan Matahari b. beda azimut hilal dan Matahari f. garis batas tanggal bulan Hijriah Untuk melakukan praktik rukyatul hilal, seseorang itu harus memiliki keterampilan tertentu, antara lain: a. Sebagaimana
dijelaskan di atas bahwa bagi mata orang awam yang belum terlatih
melakukan rukyah akan menemui kesulitan menemukan hilal yang dimaksud.
Terkait dengan warna hilal yang lembut dan tidak kontras dengan langit
yang melatarbekanginya. b. Mengetahui posisi hilal saat Matahari terbenam (ghurub).
Sehingga ketika proses rukyah, ia tidak melihat ke arah yang salah dan
tentu saja ia tidak akan menemukan hilal pada arah (yang salah)
tersebut. Data-data ini diperoleh dari perhitungan hisab. c. Seorang
yang akan melakukan rukyatul hilal juga harus mengetahui bentuk hilal
yang dimaksud. Menurut penuturan Sriyatin Shadiq, pernah ada kesaksian
beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan setelah
diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi hilal yang
seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu saja pengakuan
ini dianggap aneh dan tidak masuk akal. d. Hasil rukyah tersebut tidak bertentangan dengan perhitungan yang telah disepakati bersama menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i (terjadi kesepakatan ahli Falak).
E. Persiapan dan Pelaksanaan Rukyatul Hilal di Lapangan
Dalam pelaksanaan rukyatul hilal, terlebih dahulu dipersiapkan peralatan dan data-data yang butuhkan sebelum keberangkatan ke tempat obsrvasi, antara lain: 1. Peralatan rukyah al-hilal: a. Teodolit
adalah alat yang digunakan untuk menentukan tinggi dan azimut suatu
benda langit. Alat ini mempunyai dua buah sumbu, yaitu: sumbu vertikal
untuk melihat skala ketinggian benda langit. Dan sumbu horizontal untuk
melihat skala azimutnya, sehingga teropongnya yang digunakan untuk
mengincar benda langit dapat bebas bergerak ke semua arah. b. Kompas
adalah alat penunjuk arah mata angin. Kompas merupakan salah satu alat
penting dalam kegiatan praktik rukyatul hilal. Ketika menggunakannya
hendaklah diperhatikan agar terhindar dari pengaruh medan magnet benda-benda yang mengandung medan
magnet yang berada di sekitarnya. Karena komponen kompas itu antara
lain adalah magnet maka dalam penggunaannya akan mudah terpengaruh oleh
medan-medan magnet yang terdapat di sekitarnya. Karena medan magnet tersebut mempengaruhi arah yang seharusnya dituju kompas sehingga arah yang ditunjukkan itu tidak akurat.
Dalam penggunaan kompas harus dikoreksi dengan koreksian magnetik untuk
daerah tersebut. Daftar besaran koreksi tersebut dapat diperoleh dari
BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). c. GPS (Global Positioning System):
Alat ukur koordinat dengan menggunakan satelit yang dapat mengetahui
posisi lintang, bujur, ketinggian tempat, jarak dan lain-lain. d. Benang,
paku, dan meteran untuk membuat Benang Azimut. Benang Azimut adalah
benang-benang yang telah diukur dengan kepanjangan tertentu dan
ditambatkan dengan paku setelah ditentukan terlebih dahulu arah-arah
yang dimaksudkan. Di antaranya, benang yang menunjukkan arah Utara
sejati, Barat sejati, azimut hilal dan azimut Matahari sesuai dengan
data-data hasil hisab. Benang azimut ini adalah salah satu alat
tradisional yang digunakan oleh para ahli Falak dalam merukyah hilal. e. Gawang
lokasi; semacam tiang-tiang yang dipancangkan yang berguna mengarah dan
menfokuskan pandangan kita pada saat tertentu. Dalam penggunaannya
tentu saja merujuk data-data hasil hisab. f. Teleskop adalah alat pencitraan benda-benda yang jarak jauh. Digunakan dalam praktek rukyatul hilal untuk mengintip hilal. g. Jam untuk petunjuk waktu; waktu terbenamnya Matahari dan waktu lamanya hilal dalam posisi imkanur rukyah (hilal dapat dirukyah). 2. Data-data yang dibutuhkan dalam praktik rukyatul hilal
Data perhitungan awal bulan untuk tempat pelaksanaan rukyah yang telah diperlukan seperti data tentang beda
tinggi Bulan dan Matahari, beda azimut Bulan dan Matahari, jarak busur
Bulan dan Matahari, umur Bulan, luas Hilal dan sebagainya. Sebagai
gambaran diulas tentang observasi hilal awal bulan Muharrom 1430 H yang
dilaksanakan di pantai Bandengan, yang merupakan bagian dari daerah
Jepara. Maka dibutuhkan data perhitungan awal bulan untuk daerah Jepara.
Data ini telah dihitung sebelumnya. Antara lain: Penentuan
waktu Ijtimak atau konjungsi atau Bulan baru, Waktu Matahari terbenam
dan Bulan terbenam, Posisi Bulan pada saat Matahari terbenam Matahari,
dan Obyek terang (bintang terang, planet dan lain sebagainya di sekitar
lokasi Bulan jika ada saat observasi). Data observasi awal bulan yang digunakan adalah perhitungan kitab
Syams al-Hilal dan kitab
Nur al-Anwar karangan Noor Ahmad SS. Dalam penentuan waktu Ijtimak menggunakan perhitungan kitab
Syams al-Hilal dan untuk penghitungan lainnya dengan menggunakan perhitungan berdasarkan kitab
Nur al-Anwar. Adapun data itu adalah sebagai berikut:
a. Data kitab Syam al-Hilal 1) Ijtimak pada : hari sabtu/ malam Minggu 3) Tinggi Hilal : 11 52/100 derajat 4) Tinggi Hilal dengan meter : 8,29 m 5) Lamanya di atas ufuk : 46,32 menit 6) Keadaan Hilal : miring ke utara tegak turus 7) Besar cahaya Hilal: 4/5 jari b. Data kitab Nur al-Anwar 1) 1 Muharrom 1430H : Senin, 29 Desember 2008 2) Ijtimak : Sabtu, 27 Desember 2008 5) Letak Matahari : -23,25.22 (dari Barat ke Selatan) 6) Kedudukan Hilal : -0,14,47 (Selatan Matahari) 7) Keadaan Hilal : Telentang 8) Lama di atas Ufuk : 0 jam 40 menit 55 detik 9) Besar Cahaya : 0,716 (7/10)
Data-data itu yang akan dijadikan acuan dalam pelaksanaan praktik rukyatul hilal. Ijtimak
adalah peristiwa segaris/sebidangnya pusat Bulan dan pusat Matahari
dari pusat Bumi. Dalam astronomi pada saat demikian Bulan dan Matahari
memiliki bujur ekliptika atau bujur astronomi yang sama. Posisi demikian
ditandai fraksi iluminasi (persentase penampakan cahaya hilal terhadap
cahaya bulan penuh) minimum. Pada saat posisi-posisi tertentu yang
istimewa, yakni bumi, bulan dan matahari segaris ditandai berlangsungnya
gerhana matahari di permukaan Bumi. Tidak setiap ijtimak berlangsung
gerhana Matahari, karena bidang orbit bulan miring sekitar 5,2 derajat
busur terhadap bidang ekliptika (bidang orbit bumi mengedari matahari);
Selain itu garis perpotongan kedua bidang orbit tersebut bergerak
.
Ijtimak
berlangsung pada saat yang bersamaan di seluruh permukaan Bumi.
Walaupun seringkali dinyatakan dalam waktu lokal atau waktu setempat.
Adanya perbedaan waktu lokal di berbagai tempat di muka bumi terjadi
akibat perbedaan ketinggian Matahari dari pengamat saat berlangsungnya
ijtimak. Melanjutkan
kembali tentang pelaksanaan observasi, sesampainya di lokasi pantai
Bandengan, lalu mulailah dilakukan pemasangan alat atau media rukyah
yaitu: benang azimut, teodolit dan teleskop. Kemudian dilakukan
pengecekan waktu agar terdapat ketepatan dan kesamaan waktu yang
digunakan baik oleh panitia dan peserta pelatihan dalam penentuan waktu
pelaksanaan rukyah al-hilal. Pengecekan waktu ini dengan menelpon BMG,
atau dengan menghubungi operator dari masing-masing melalui hand phone,
atau menghubungi RRI (Radio Republik Indonesia) pada nomor 105 setempat.
Kira-kira lima
belas menit sebelum tenggat waktu perukyahan, diadakanlah acara
seremonial. Pada acara tersebut, ada pengarahan dari panitia dan doa
bersama. Dalam pengarahannya dinyatakan beberapa hal: 1. Untuk
terampil dalam merukyah hilal ini berproses. Keterampilan ini harus
terus diasah, misalnya dengan terus mempraktikkan rukyah al-hilal pada
setiap awal bulannya. Dengan terus latihan barulah seseorang itu
terampil dan ahli. 2. Penggunaan kompas membantu untuk menentukan true north. Untuk mendapatkan true north
harus diadakan koreksi deklinasi magnetis. Koreksi ini tidak sama
untuk setiap saat dan tempat. Koreksi untuk penggunaan kompas di pulau
Jawa, untuk daerah di utara khatulistiwa + 1,5 derajat dan untuk daerah
bagian selatan khatulistiwa –1,5 derajat. 3. Karena
posisi hilal selama proses rukyah itu tidak tetap, namun sedikit demi
sedikit dari menit ke menit akan turun ke ufuk. Maka ketika merukyah
hilal mata kita tidak tetap pada posisi awal ketika hilal dapat dirukyah
(pada saat terbenan matahari) tapi juga turun mengikuti turunnya hilal. 4. Untuk
membuat mata kita lebih awas dalam memantau posisi hilal, tipsnya
antara lain ketika melihat hilal hendaknya tidak memantau ke arah hilal
itu secara terus menerus tapi lihatlah ke arah hilal beberapa waktu lalu
pejamkan mata beberapa saat lalu setelah itu ulangi melihat ke arah
hilal. Lakukan secara berulang-ulang. Hal ini terkait dengan tidak
begitu kontrasnya warna langit yang melatarbelakangi hilal yang akan
kita rukyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Lalu pengarahan ini ditutup dengan do’a. Di antara doa yang dipanjatkan KH Noor Ahmad SS adalah,”Alahumma yassir lanaa ziarah makkah wa ka’bah wa al-madiinah fi al-ayyaam al-aatiyah wa fi kulli yaumin ma’a as-salaamah”. (ya Allah mudahkanlah jalan bagi kami untuk mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota
Madinah pada masa-masa yang akan datang dan setiap harinya dengan penuh
keselamatan [setiap harinya dalam salat maupun ketika mengunjungi kota Makah, ka’bah, dan kota
Madinah nantinya]).Do’a ini menurutnya terkait dengan praktik rukyah
al-hilal yang salah satu fokus dalam kajiannya adalah posisi ka’bah. Tepat
waktu maghrib—terbenamnya Matahari praktik rukyat al-hilalpun
dilaksanakan. Seluruhnya lalu mengarahkan pandangannya ke posisi yang
telah diperhitungkan sebelumnya sebagai posisi hilal yang akan dirukyah.
Dalam pelaksanaan rukyah juga dapat menggunakan media yang telah
disiapkan. Setelah
kira-kira dua puluh menit mencoba merukyah, namun karena terdapat awal
tebal pada posisi hilal yang akan dirukyah, maka hilalpun tidak berhasil
dirukyah. Akhirnya diumumkan bahwa hilal tidak bisa dirukyah karena
terhalang awan tebal dan seluruh kontingen diharapkan kembali ke
kendaraan masing-masing untuk bersiap pulang. Pengamatan
hilal menunggu kesempatan meredupnya senja dan Bulan masih berada di
atas ufuk/horizon. Pada saat meredupnya senja diafragma mata pengamat
langit malam akan membesar. Membesarnya diafragma mata berarti makin
banyak foton dari cahaya hilal yang bisa dikoleksi oleh lensa mata
sehingga mempunyai kesempatan untuk bisa dikenali oleh mata manusia bila
jumlah foton sudah melewati suatu batas ambang pengenalan objek. Waktu terbaik untuk pengamatan /rukyat hilal adalah dua puluh menit setelah matahari terbenam (sunset) karena sinar matahari sudah tidak mengganggu. Namun karena cuaca mendung itu hilal tidak mungkin terlihat.
Tentu saja hilal yang masih dapat dirukyah setelah dua puluh menit
matahari terbenam adalah hilal yang cukup tinggi. Jika diasumsikan hilal
1˚ berada di atas horizon selama empat menit, maka dibutuhkan
ketinggian hilal lebih dari 5˚ untuk dapat dirukyah dengan tanpa
gangguan cahaya matahari.
E. Hilal Halusinasi: Pengakuan Rukyah Hilal di Indonesia Kontroversial
Hilal
Halusinasi dapat juga dinyatakan sebagai kasus-kasus yang menyatakan
telah melihat hilal namun pengakuan tersebut bertentangan dengan fakta
ilmiah. Kasus-kasus kontroversial tentang pernyataan melihat hilal
tersebut antara lain: 1. Beberapa
kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan kondisi
langit di arah horizon barat tempat Matahari dan Bulan terbenam mendung,
berawan tebal sehingga tak memungkinkan bisa melihat Matahari yang akan
terbenam serta Hilal. 2. Beberapa
kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal pada saat pengamatan Bulan
telah terbenam lebih dahulu dari Matahari atau Bulan telah terbenam. 3. Beberapa kasus keberhasilan melihat Hilal, padahal ijtimak belum berlangsung. 4. Sering
dalam kesaksian seseorang yang menyatakan telah melihat hilal namun
setelah dikonfirmasi ternyata kesaksiannya tersebut diragukan. Karena
yang bersangkutan ketika menunjukkan posisi hilal yang dilihatnya
menunjuk ke arah yang salah dan tidak mungkin hilal berada di posisi
tersebut. 5. Pernah
ada kesaksian beberapa orang yang telah melihat hilal awal bulan, dan
setelah diklarifikasi bentuk hilal yang mereka lihat ternyata posisi
hilal yang seharus “telentang” tapi menurut mereka “telungkup” tentu
saja pengakuan ini dianggap aneh dan tidak masuk akal. 6. Pengakuan yang telah melihat hilal namun menurut perhitungan ilmu hisab yang qath’i
(terjadi kesepakatan ahli Falak) tidak mungkin untuk dirukyah karena
masih di bawah ufuk atau telah di atas ufuk tapi belum mungkin untuk
dirukyah karena terlalu rendah
F. Penolakan Hasil Rukyah
Ada beberapa persyaratan syahid/perukyatan hilal, secara formil dan materil, yaitu : a. Aqil baligh atau sudah dewasa. c. Laki-laki atau perempuan. e. Mampu melakukan rukyat. f. Jujur, adil dan dapat dipercaya. g. Jumlah perukyat lebih dari satu orang. h. Mengucapkan sumpah kesaksian rukyat hilal. i. Sumpah kesaksian rukyat hilal di depan sidang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dan dihadiri 2 (dua) orang saksi.
a. Perukyat menerangkan sendiri dan melihat sendiri dengan mata kepala maupun menggunakan alat, bahwa ia melihat hilal. b.
Perukyat mengetahui benar-benar bagaimana proses melihat hilal, yakni
kapan waktunya, dimana tempatnya, berapa lama melihatnya, di mana letak,
arah posisi dan keadaan hilal yang dilihat, serta bagaimana kecerahan
cuaca langit/horizon saat hilal dapat dilihat. c.
Keterangan hasil rukyat yang dilaporkan oleh perukyat tidak
bertentangan dengan akal sehat perhitungan ilmu hisab, kaidah ilmu
pengetahuan dan kaidah syar’i.
Di
kalangan Nahdatul Ulama; selaku kelompok yang berpegang teguh dengan
rukyah dalam penetapan awal bulan Hijriah, penetapan pemerintah yang
berpihak (hanya berdasarkan) hisab dan mengingkari hasil rukyatul hilal
tidak boleh diikuti dengan syarat sebagai berikut : 1. Mempercayai kebenaran rukyah. 3. Jika
orang yang melihat satu atau dua, maka tidak boleh mengikuti hisab baik
yang mempercayai kebenaran rukyah atau tidak, hal ini menurut imam
Romli. Dan bagi yang tidak mempercayai, maka wajib menerima penetapan
pemerintah menurut imam Subki. Sedangkan imam Ibnu Hajar mewajibkan
mengikuti penetapan pemerintah bagi yang tidak mempercayai rukyah,
kecuali dengan syarat : Ahli hisab memastikan belum mungkin rukyah,
hisabnya qath'i, ahli hisab yang menyatakan tidak mungkin rukyah mencapai bilangan tawatur. Sedangkan bilangan tawatur menurut imam Alawi adalah minimal lima kitab hisab qath'i dengan berbeda pengarang (Muallif).
Ketetapan
NU itu sejalan dengan pendapat imam Ibnu Hajar al-Haitami, imam Subki,
imam Ibbadi, dan imam Qolyubi. Imam Subki menyatakan jika ada satu atau
dua orang bersaksi melihat hilal, sedang menurut hisab tidak mungkin
terlihat, kesaksian itu ditolak. Imam Ibbadi menyatakan apabila hisab qat'i menunjukkan
hilal tidak dapat dirukyat, kesaksian orang yang melihatnya harus
ditolak. Bahkan, imam Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan jika semua ahli
hisab (mutawatir/mayoritas) sepakat hilal tidak dapat dirukyat,
kesaksian rukyat itu ditolak, tetapi kalau tidak terjadi kesepakatan,
kesaksian rukyat itu tidak dapat ditolak. Dengan
demikian para imam tersebut menghendaki adanya rukyat hilal yang
berkualitas. Demikian pula NU menghendaki rukyat hilal yang berkualitas
dan bertanggung jawab karena untuk kemaslahatan umat Islam.
Pemerintah
maupun lembaga-lembaga yang konsen dengan permasalahan hisab rukyah
gencar mensosialisasi dan melibatkan perihal penetapan awal bulan
Kamariah maupun kajian ilmu Falak lainnya. Terkait dengan observasi
rukyatul hilal awal bulan dilaksanakan sebagai salah satu metode
penentuan awal bulan diharapkan lebih berkembang dan berkalitas. Hal
ini tentu saja akan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan
ilmu Falak di masa yang akan datang. Wallahu a’lamu bi ash-shawab.
Ahmad SS, Noor, 2008A, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
____________, 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008
____________, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang.
Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1
____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2
Hambali, Slamet, 2008, Orasi Ilmiah dengan makalah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,
Mujab,
Saiful, 2008, (Narasumber Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional,
Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember
2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H), Wawancara, tanggal 28 Desember 2008
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id
Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan
dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema
Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan
Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah
1427 H atau tanggal 17 – 23 Desember 2006.
Setyanto, Hendro, 2008, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba
Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1
Muharram 1430H
Utama, Judhistira Aria, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id
Zabidi, Ahmad, 2008, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Noor Ahmad SS, 2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat,
Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah
dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali
Songo Semarang.
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah
Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku
http://www.nu.or.id Judhistira Aria Utama, Hilal, judhistira@students.itb.ac.id Pengamatan Hilal Penting untuk Mengoreksi Perhitungan. kompas.com
Hisab dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai sebuah metode atau
sistem perhitungan yang diperoleh dari penalaran analitik maupun
empirik. Sedangkan rukyat dapat diterjemahkan sebagai sebuah pengamatan
sistematik yang didasarkan atas data yang ada. Hisab bukanlah sebuah
metode yang muncul secara tiba-tiba. Sebab, adanya hisab diawali dari
rukyat yang panjang. Benar tidaknya sebuah hisab tentunya harus diuji
secara langsung melalui pengamatan (rukyat) terhadap fenomena alam yang
dihisab. Seberapa pun bagus dan baik sebuah metode hisab, jika tidak
sesuai dengan fenomena yang dihisab tentu tidak dapat dikatakan benar.
Demikian juga halnya dengan rukyat, pelaksanaan rukyat yang tidak pernah
menghasilkan sebuah sistem atau metode perhitungan (hisab) yang dapat
membantu dalam pelaksanaan rukyat berikutnya merupakan rukyat yang
sia-sia. Karena, apa yang dilakukan hari ini tidak lebih baik daripada
apa yang pernah dilakukan. Oleh karena itu, kombinasi hisab dan rukyat
merupakan kombinasi harmonis agar ilmu Falak di Indonesia dapat
berkembang. Sesuai dengan asalnya, ilmu Falak yang tidak lain merupakan
bagian dari astronomi modern saat ini merupakan observational sains.
Sebuah observational sains merupakan sains yang berkembang atas dasar
pengamatan. Dengan kata lain, menafikan rukyat yang notabene merupakan
proses pengamatan bagaikan menghilangkan ruh dari jasad. Hal ini bahkan
dapat mengakibatkan ilmu Falak menjadi sesuatu yang tidak menarik dan
sulit untuk dipahami. Hendro Setyanto, Hisab-Rukyah: Media Sains Santri,
http://assalaam.or.id/casa. Untuk itu bisa dikatakan bahwa penggunaan
hisab tanpa rukyat hanya akan melahirkan tukang hisab bukan ahli hisab
apalagi ahli Falak. Begitu juga rukyat tanpa hisab tidak akan memberikan
nilai tambah apapun. Rukyat dan Hisab bagaikan dua sisi mata uang yang
tidak terpisahkan yang dalam astronomi dikenal sebagai observasi dan
teori (pemodelan) yang mau dan tidak mau harus dilakukan untuk mencari
satu nilai kriteria visibilitas hilal. Sehingga penetapan awal bulan
akan memiliki karakter sains (ilmu pengetahuan). Latihan Rukyat Bersama "1 Muharram 1428 H" (JAC-CASAC-CASA) http://aguscb.blogspot.com
Judhistira Aria Utama , Hilal, judhistira@students.itb.ac.id
Menuju Penyatuan Awal Bulan Hijriyah (2) Bagi NU Rukyat adalah
Observasi, Bagi Muhammadiyah Perintah Rukyat Sudah Tidak Berlaku, Sabtu,
8 Desember 2007, NU Online Sriyatin Shadiq, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1
Muharram 1430H Susiknan Azhari, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, h. 216 Slamet Hambali, 2008, Orasi Ilmiah dengan maklah berjudul Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008 Azhari, 2008, op.cit, h. 72 Zabidi, Ahmad, 2008, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Noor Ahmad SS 2008B, (Pimpinan Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara) Wawancara, tanggal 28 Desember 2008 dan Slamet Hambali, loc.cit
Ahmad SS, Noor, 2008A, Pengarahan dalam Acara Praktik Rukyah al-Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dzulhijjah- 1
Muharram 1430H
Perangkat Rukyat Hilal: Binokuler, Teleskop dan Sistem Mounting, makalah pada Pendidikan
dan Pelatihan Nasional Pelaksanaan Rukyat Nahdlatul Ulama dengan Tema
Menciptakan Rukyat yang Berkualitas Untuk Mengukur Perbedaan Hisab dan
Fakta di lapangan pada hari Ahad – Sabtu, 26 Dzulqa’dah – 2 Dzulhijjah
1427 H atau tanggal 17 – 23 Desember 2006. Arsyad, A Rusli, Rukyat Hilal perspektif NU, http://www.badilag.net
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FALAK DI INDONESIA:
Menarik untuk mencoba membahas sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Perkembangan
awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem penanggalan
hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan Agung.
Menguraikan transmisi keilmuan Falak sampai ke Nusantara. Menggambarkan
bentuk pengembangan dan interaksinya dengan perkembangan ilmu
pengetahuan terutama astronomi. Serta momentum bagi kajian-kajian ilmu Falak seperti penentuan awal waktu salat, arah kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana
untuk reaktualisasi. Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu
bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi
pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode
hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori
lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi
mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian.
Metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan
sampai dengan sekarang ini, misalnya kasus metode Sullamun Nayyiran.
Kata Kunci: Sejarah, Ilmu Falak, ibadah
Dalam
makalah ini mungkin belum dapat dirumuskan secara sistematis tentang
sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Hal ini karena dari
buku-buku ilmu Falak yang telah ditulis oleh berbagai kalangan ahli dan
praktisi ilmu Falak sampai sekarang belum banyak yang mengulasnya secara
memadai. Namun akan berusaha diungkapkan poin-poin penting dalam
perkembangan ilmu Falak di Indonesia. Untuk
mengungkapkan sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia perlu
penelitian tentang bagaimana transmisi keilmuan Falak sampai ke
Nusantara. Literatur awal yang diajarkan dan bagaimana perkembangannya.
Hal ini untuk memetakan jaringan ulama Falak Nusantara. Sebagai
sebuah sains yang dikembangkan oleh umat Islam tentulah ilmu Falak
mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Akan
dibahas juga bagaimana ahli Falak—yang sebagiannya adalah dari kalangan
ulama di pondok-pondok pesantren dalam mengikapi persoalan tersebut.
Dalam pengembangan kajian ilmu Falak ini terdapat momentum-momentum yang
menjadi tahapan penting bagi perkembangannya. Di antara
momentum-momentum itu yang penulis anggap signifikan untuk diungkap
antara lain: 1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan, 2. KH
Turaichan Adjhuri yang berbeda dalam penetapan awal bulan Kamariah
dengan pemerintah dan menyerukan untuk menyaksikan peristiwa gerhana
matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut, 3. Kisah “kecelakaan” ilmu Falak secara akademik dengan dikeluarkannya mata kuliah ilmu Falak dari Kurikulum PTAI tahun 1995, 4. Yang
paling belakangan adalah peristiwa yang terjadi di tahun 2008 dan 2009
lalu; Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang
banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng. 5. Dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Di bagian akhir, penulis memberikan beberapa catatan tentang perkembangan ilmu Falak Indonesia.
Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia Pembahasan
tentang ilmu Falak terkait dengan persoalan ibadah. Ini karena bahasan
utama dalam kajian ilmu Falak adalah penentuan awal waktu salat, arah
kiblat, awal bulan Kamariah, dan gerhana. Sebagai bagian
dari kegiatan ibadah, ilmu Falak tentu saja masuk ke Indonesia
beriringan dengan masuknya agama Islam ke Indonesia. Berbicara tentang
sejarah perkembangan awal ilmu Falak di Indonesia secara keilmuan masih
belum diungkap secara memadai. Pembicaraan
tentang sejarah awal perkembangan ilmu Falak di Indonesia di dalam
buku-buku ilmu Falak hampir sama saja. Rata-rata mereka menyatakan bahwa
perkembangan awal ilmu Falak di Nusantara adalah diadopsinya sistem
penanggalan hijriah ke dalam penanggalan Jawa yang dilakukan oleh sultan
Agung. Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram
mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu
kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau
lunar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Jawa). Penanggalan
Islam; penanggalan hijriah ini diasumsikam secara umum digunakan oleh
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara sejak zaman meeka berdaulat penuh.
Penanggalan ini digunakan sebagai penanggalan resmi kerajaan-kerajaan
tersebut. Namun setelah datangnya penjajahan Belanda di Nusantara pada
abad ke-16, Belanda mengganti penanggalan tersebut dengan penanggalan
masehi. Penaggalan masehi inilah yang digunakan untuk administrasi
pemerintahan dan penanggalan resmi (BHR, 1981: 22).
Kajian Keilmuan Ilmu Falak Nusantara Tahapan perkembangan ilmu Falak di Nusantara dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Pengaruh Ulugh Beik (w. 1449 M) dengan tabel Zeij Sulthaninya Sejarah
tentang perkembangan ilmu Falak sebagai sebuah keilmuan yang mandiri di
Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Dalam perhitungan awal bulan
Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang
metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki
Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat
peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris. Perhitungan
awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang
dirumuskan oleh Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij
Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat
berharga pada masa itu. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para
astronom di Barat selama berabad-abad lamanya. Setelah
Nicolas Copernicus (1473-1543 M) menemukan teori Heliosentris, bahwa
Mataharilah pusat tata surya (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini
sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode
dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Awalnya
tdak mudah untuk menentang doktrin yang diyakini gereja, namun pada
tahapan selanjutnya teori ini mendapat dukungan secara ilmiah dari
ilmuan setelahnya. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai
ke Indonesia. Diperkirakan baru sampai ke Indonesia pada pertengahan
abad ke-20. Dalam
sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad
ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama
ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru
di Mekah pada awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di
tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan
pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di
bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga
membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air (Khazin, 2008: 28-29). Dengan
semangat menjalankan dakwah islamiah, di antara para ulama ada yang
baerdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya, Syekh
Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun
1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh
Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris.
Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di
antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w.
1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang
dikenal dengan Mufti Betawi. Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyah bi Semarang yang selesai ditulis pada 1321 H/1903M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam dicetak pada 1321H/1903M.
Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di
dalamnya tentang masalah puasa (Khazin, 2008: 29). Adapun pemikirannya
tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya
Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib
bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran dicetak pertama kali pada 1344H/1925M. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Kitab Sullamun Nayyiranlah paling dikenal dari karya ulama Falak pada masa ini dan masih banyak dipelajari sampai sekarang. Sementara tokoh Falak yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaluddin dan Djamil Djambek. Thahir Djalaluddin dengan karyanya Pati Kiraan Pada Menentukan Waktu yang Lima diterbitkan pada 1357H/1938M, dan Natijah al-Ummi The Almanac: Muslim and Christian Calendar and Direction of Qiblat according to Shafie Sect dicetak pada 1951. Tokoh lainnya Djamil Djambek dengan karyanya Almanak Djamiliyah dan Diya’al Niri fi ma Yata’allaq bi al-Kawakib (Azhari,
2007: 10). Tokoh Falak Nusantara yang hidup pada masa itu yang bersinar
antara lain Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Ahmad Rifa’I, dan KH
Sholeh Darat (Azhari, 2007: 10).
2. Pengaruh Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah. Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan
Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut
dibawa oleh mereka yang menunaikan ibadah haji setelah menyempatkan diri
untuk belajar di tanah suci. Menurut M. Taufik bahwa kitab ilmu Falak
yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak
yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara
kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani yang dicetak pertam kalinya pada 1354H/ 1935M, buku Ilmu Falak dan Hisab dan buku Hisab Urfi dan Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat yang dicetak pada 1957, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang (w 1351H/1933M) (Murtadho, 2008: 29). Sebagian kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan kitab yang dipelajari guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara yang dicetak pada 1986, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.
3. “Perkawinan” Ilmu Falak dan Astronomi Pembahasan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak modern Indonesia tak lepas dari peran Saadoe'ddin Djambek. Ia lahir di Bukittinggi
pada tanggal 24 Maret 1911 M/ 1330 H. ia wafat di Jakarta pada tanggal
22 November 1977 M/11 Zulhijjah 1397 H. Ia merupakan seorang guru serta
ahli hisab dan rukyat, putra ulama besar Syekh Muhammad Djamil Djambek
(1860-1947 M/1277-1367 H) dari Minangkabau (http://bimasislam.depag.go.id). Ia
mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia
belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaluddin, yang mengajar di
Al-Jami'ah Islamiah Padang tahun 1939 M/1358 H. Pertemuannya dengan
Syekh Taher Jalaluddin membekas dalam dirinya dan menjadi awal
pembentukan keahliannya di bidang penanggalan. Untuk memperdalam
pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di
Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/1360-1361 H serta mengikuti kuliah
ilmu pasti alam dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu
Alam) di Bandung pada tahun 1954-1955 M/1374-1375 H (http://bimasislam.depag.go.id). Keahliannya
di bidang ilmu pasti dan ilmu Falak dikembangkannya melalui tugas yang
dilaksanakannya di beberapa tempat. Pada tahun 1955-1956 M/1375-1376 H
menjadi lektor kepala dalam mata kuliah ilmu Pasti pada PTPG (Perguruan
Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatra Barat. Kemudian ia
memberi kuliah ilmu Falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari'ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/1379-1381 H). Sebagai ahli
ilmu Falak, ia banyak menulis tentang ilmu Hisab. Di antara karyanya
adalah : (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan
Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1952
M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
tahun 1953 M/1373 H), (3) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh penerbit
Tintamas pada tahun 1968 M/1388 H), (4) Pedoman Waktu Sholat Sepanjang
Masa (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/1394 H),
(5) Sholat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang pada tahun 1974 M/1394 H) dan (6) Hisab Awal bulan Qamariyah
(diterbitkan oleh Penerbit Tintamas pada tahun 1976 M/1397 H) (http://bimasislam.depag.go.id). Karya
yang terakhir ini; Hisab Awal bulan Qamariyah merupakan pergumulan
pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri khas pemikirannya dalam hisab
awal bulan Kamariah (http://bimasislam.depag.go.id).
Ia lah yang meletakkan dasar perhitungan awal bulan Kamariah
menggunakan hisab yang berdasarkan pada ilmu astronomi di Indonesia. Satu
lagi kontribusi Sa’adoeddin Djambek adalah dalam penentuan koordinat
geografis Ka’bah. Sewaktu melaksanakan ibadah haji, ia melakukan
pengukuran koordinat geografis Ka’bah. Ia menyatakan bahwa koordinat
geografis Ka’bah adalah lintang (Φ) 21° 25’ LU dan bujur (λ) 39° 50’ BT. Jaringan
keilmuan Sa’adoeddin Djambek ini diteruskan oleh muridnya. Di antara
muridnya adalah Abdul Rachim dan A Mustadjib. Karya Abdul Rachim antara
lain Ilmu Falak yang dicetak pada 1983, Perhitungan Awal Bulan dan
Gerhana Matahari system Newcomb. Selanjutnya jajaran ulama yang berkiprah dalam mengembangan ilmu Falak pada priode ini antara lain: Taufik. Ia
dan putranya menyusun Win Hisab versi 2.0 pada tahun 1998. Hak
lisensinya pada badan Hisab dan Rukyat Depag RI. Win Hisab ini dikenal
juga dengan Sistem Ephemeris (Khazin, 2008: 36-37). Perbedaan
dalam ber-Idul Fitri pada tahun 1993, 1993 dan 1994 medatang berkah
tersendiri bagi perkembangan ilmu Falak Indonesia. Dengan lahirnya
software-software Falak yang praktis dari para ahli Falak. Sofware Falak
itu antara lain: Mawaqit oleh ICMI Korwil Belanda pada tahun 1993; yang
disempurnakan menjadi Mawaqitt versi 2002 oleh Khafid, program
falakiyah Najmi oleh Nuril Fuad tahun 1995, program Astinfo oleh jurusan
Astronomi ITB pada tahun 1996, dan program Badiah al-Mitsal tahun 2000,
Ahillah, Misal, Pengetan dan Tsaqib oleh Muhyiddin Khazin pada tahun
2004 (Khazin, 2008: 37). Departemen
Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak
karya ulama Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan
Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat
akurasi penghitunganya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal
bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Kemudian hisab hakiki
yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi
menjadi tiga tingkatan. Pertama, hisab Haqīqī Taqrībī, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. Kedua, hisab Ңaqīqī bi at-Tahqīqī,
kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang dan ketiga, hakiki
kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi. Pemilahan ini dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat (Izzuddin, 2006: 135-136). Dalam
sistem hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari
peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat
tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal
berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh
sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan
(ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar,
Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader: 8) Biasanya
untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan
kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan
pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29
hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak)
ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara
posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub
ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman 2006). Kalender
ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit,
35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari)
dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa
satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau
kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354
11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang
berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan
Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya
merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian
jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari,
yang diistilahkan dengan satu daur (Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo. blogspot.com). Sistem
hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan
hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada
tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Menurut
Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim (pdf – Adobe Reader: 136-137 )
penanggalan berdasarkan hisab Urfi memiliki karakteristik: 1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M; 2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 3. dalam
satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun
pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu
periode biasanya digunakan syair: كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه Tiap
huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak
bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat
terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29; 4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 5. bulan-bulan
gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya
29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah
satu hari menjadi genap 30 hari); 6. panjang
periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631).
Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30
tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 =
10.631,01204). 7. perhitungan
berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai
ancar-ancar sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun
perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan
perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut
akan mengalami kesulitan.
Sistem
kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal
ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki.
Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan
dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep
yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:
Menurut
sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak
beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi
umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh
hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan
atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran
Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut
(Azhari, 2004, 30-31) Sistem
ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam
sistem penetapan kalender Urfi, bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan
(ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam
kenyataannya tidak selalu seperti itu (Anwar, pdf – Adobe Reader: 8). Dalam
kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya
matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai
dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya
konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji”… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189 Ketika
masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya
pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. Dalam
ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi
Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00
malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan
peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian
atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan
Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari (Fathurohman, 2004: 114-115).
3. New Month (Bulan Baru) Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab,
di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh
terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal. Kelompok
yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi
sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal
bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan
hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan
kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat
Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak
Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai (BHR, 1981: 99).
Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada
saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan
kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset.Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya
bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari
terakhir dari bulan yang sedang berlangsung (Azhari, 2007: 109). Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau
dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa
ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana
dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi
hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang
berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu
rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka
yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang
berbeda. Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu
hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman
pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah
telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. Hilal
(bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan
sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari
menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya
karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam
mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan
tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari)
yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim,
tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month).
Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok
atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah
(imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok
harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.
Berdasarkan
klasifikasi metode Hisab dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal
27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya
Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang
tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan
acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam
pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus.
Secara ilmiah teori ini telah gugur. Kenyataannya hasil perhitungannya
itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai
pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan.
Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan
yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan. Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang. Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Departemen Agama, al-Falakiyah karya
Sriyatin Shadiq. Metode hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat
akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam
melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan
menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal.
Badan Hisab Rukyat (BHR): Upaya Penyatuan Penentuan Awal Bulan Kamariah di Indonesia Departemen
Agama Republik Indonesia didirikan tanggal 3 Januari 1946. Setelah
berdirinya Depag, persoalan yang terkait dengan libur Peringatan Hari
Besar Islam (PHBI) dan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah
diserahkan dan menjadi kewenangannya. Ini berdasarkan Penetapan
Pemerintah tahun 1946 No.2/ Um, 7/Um, 9/Um jo Keputusan Presiden No. 25
tahun 1967, No. 148 tahun 1968 dan No.10 tahun 1971 (Azhari, 1999: 14). Dalam wilayah etis-praktis sampai saat ini penetapan dan awal
bulan Kamariah tersebut belum seragam. Bahkan perbedaan ini menjadi
penyebab friksi dan mengusik ukhuwah islamiah di antara mereka (Azhari,
1999: 15). Persoalan inilah yang melatarbekangi pendirian sebuah Lembaga
Hisab dan Rukyat. Pada
tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkan surat Keputusan Mentri Agama no.76
tahun 1972 tentang Pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
Adapun diktumnya sebagai berikut: 1. Membentuk Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama. 2. Tugas Badan Hisab dan Rukyat yang
termuat dalam dictum pertama ialah memberikan saran-saran kepada Mentri
Agama dalam penentuan permulaan tanggal bulan-bulan Kamariah. 3. Kepengurusan dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut terdiri dari: ketua, wakil ketua, sekretaris, anggota-anggota tetap dan anggota tersebar (associate members). 4. Anggota-anggota
tetap tersebut merupakan pengurus harian yang menangani mmasalah
sehari-hari, sedangkan anggota tersebar bersidang dalam waktu-waktu
tertentu menurut keperluan. 5. Anggota-anggota tersebar diangkat dengan keputusan tersendiri oleh Dirjen Bimas Islam. 6. Badan Hisab dan Rukyat tersebut dalam melakukan tugasnya bertanggung jawab kepada Direktur Peradilan Agama. 7. Kepada ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota-anggota diberikan honorarium menurut peraturan yang berlaku. 8. Segala pengeluaran dan biaya-biaya dari Badan Hisab dan Rukyat tersebut dibebankan kepada anggaran dan belanja Departemen Agama mata anggaran 18.1.1241 dan untuk tahun-tahun berikutnya mata anggaran yang selaras untuk itu. 9. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Selanjutnya
dengan Surat Keputusan No. 77 tahun 1972 tanggal 16 Agustus 1972
memutuskan susunan personalian Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: Sa’adoeddin
Djambek, Jakarta sebagai ketua merangkap anggota, Wasit Aulawi MA,
Jakarta sebagai wakil ketua merangkap anggota, dan Drs Djabir Manshur,
Jakarta sebagai sekretaris merangkap anggota. Adapun anggotanya adalah:
ZA Noeh, Jakarta, Drs Susanto LMC, Jakarta, Drs Santoso, Jakarta, Rodi
Saleh, Jakarta, Djunaidi, Jakarta, Kapten Laut Muhadji, Jakarta, Drs Peunoh Dali, Jakarta, dan Syarifuuin BA, Jakarta. Adapun
anggota tersebar diserahkan penyrlesaiannya oleh Direktur Jendral Bimas
Islam. Dirjen Bimas Islam dengan surat keputusannya No. D.I/96/P/1973
tanggal 28 Juni 1973 telah menetapkan susunan anggota tersebar Badan
Hisab dan Rukyat Departemen Agama sebagai berikut: KH Muchtar Jakarta,
KH Turaichan Adjhuri Kudus, K.R.B Tang Soban Sukabumi, KH Ali Yafi Ujung
Pandang, KH A Djalil Kudus, KH Wardan Yogyakarta, Drs Adb Rachim
Yogyakata, Ir Basit Wachit Yogyakarta, Ir Muchlas Hamidi Yogyakarta, H
Aslam Z Yogyakarta, H Bidran Hadi Yogyakarta, Drs Bambang Hidayat
Bandung/ITB, Ir Hamran Wachid Bandung/ITB, KH O.K.A Azis Jakarta, Ust
Ali Ghozali Cianjur, Banadji Aqil Jakarta, dan Kyiai Zuhdi Usman
Nganjuk. Tujuan Pendirian Badan Hisab Rukyah adalah mengupayakan unifikasi dalam menentukan awal bulan Kamariah di Indonesia; terutama awal
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Namun dalam wilayah etik praktis belum
bisa terwujud. Menurut Susikanan Azhari (1999: 19-20): perbedaan
tersebut tidak hanya tarik menarik antara mereka yang berpedoman kepada
hisab ataupun mereka yang menggunakan rukyat. Akan tetapi problem intern
dari masing-masing kalangan tersebut. Kajian hisab misalnya, selama ini
lebih bercorak paktis (practical guidance) dan kian melupakan wilayah teoritis-filosofis. Kehadiran Badan
Hisab dan Rukyat merupakan wadah bagi pemikiran hisab dan rukyat di
Indonesia. Akan tetapi menurut Susiknan Azhari (1999: 20): dalam
perjalanannya badan Hisab dan Rukyat terkungkung oleh rutinitas dan
lebih bercorak bayani ketimbang burhani. Sudah saatnya Badan Hisab dan
Rukyat mengembangkan wilayah teoritis dan filosofis. Dalam
hal ini patut direnungkan pernyataan KH Syukri Ghazali sebagaimana yang
dikutip oleh Susiknan Azhari (1999: 21): agar Badan Hisab dan Rukyat
Departemen Agama memperhatikan masyarakat Islam Indonesia. Bila
masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari
berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan
mengalami kegagalan.
Momen-Momen Bagi Kajian Ilmu Falak di Indonesia Ada
beberapa momen penting bagi kajian ilmu Falak di Indonesia. Momen-momen
ini dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam mengaktualkan
kajian ilmu Falak. Di antara momen itu adalah: 1. Perubahan arah kiblat masjid keraton Jogjakarta oleh KH Ahmad Dahlan. Ia
adalah anak seorang kyai tradisional yaitu K.H. Abu Bakar bin Kyai
Sulaiman, seorang khatib di Masjid Sultan di kota Yogyakarta. Ibunya
Siti Aminah adalah anak Haji Ibrahim, seorang penghulu. Ahmad Dahlan
adalah anak keempat dari tujuh bersaudara
(http://peaceman.multiply.com/journal). Ia
lah yang meluruskan Arah Kiblat Masjid Agung Yogyakarta pada tahun 1897
M/1315 H. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid lainnya,
letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat. Sebagai ulama
yang menimba ilmu bertahun-tahun di Mekah, Dahlan mengemban amanat
mengoreksi kekeliruan. Pada saat itu masjid Agung dan masjid-masjid
lainnya, letaknya ke barat lurus, tidak tepat menuju arah kiblat (http://pakarfisika.blogspot.com/2007/05/koreksi-arah-kiblat.html). Dengan
berbekal pengetahuan ilmu Falak atau ilmu Hisab yang dipelajari
melalui K.H. Dahlan (Semarang), Kyai Termas (Jawa Timur), Kyai Shaleh
Darat (Semarang), Syekh Muhammad Djamil Djambek, dan Syekh Ahmad Khatib
Minangkabau, Dahlan menghitung arah kiblat pada setiap masjid. Dahlan
dicatat sebagai pelopor pembetulan arah kiblat dari semua surau dan
masjid di Nusantara. (http://www.ilmufalak.or.id). Setelah
"tragedi kiblat" di Masjid Agung, ia pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah ia mendobrak kekakuan
tradisi yang memasung pemikiran Islam.
Ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Melalui organisasi Muhammadiyah
ia mendobrak kekakuan tradisi yang memasung pemikiran Islam. Di awal
kiprahnya, ia kerap mendapat rintangan, bahkan dicap hendak mendirikan
agama baru. (http://www.ilmufalak.or.id). 2. KH Turaichan Adjhuri yang menyaksikan peristiwa gerhana matahari di kala pemerintah melarang hal tersebut. Mbah Tur (panggilan akrab KH. Turaichan), semasa kecil menghabiskan waktunya untuk belajar, mengaji dan muthola’ah
Kitab. Ia belajar Falak secara atodidak. Tapi ketika menemui
kemusykilan, ia berkonsultasi dengan KH. Abdul Djalil (gurunya)
(http://www.arwaniyyah.com). Mbah
Tur dalam ilmu falak tak dapat diragukan lagi kepiawaiannya, mulai dari
penentuan dari awal bulan Hijriah, adanya gerhana dan dalam penerbitan
almanak yakni Kalender Menara Kudus yang sampai saat ini masih berjalan
dan dimanfaatkan oleh khalayak ramai, tak hanya msyarakat Kudus, bahkan
sampai ke penjuru tanah air (http://www.arwaniyyah.com). Perhitungan itu
umumnya dipakai oleh Nahdlatul Ulama. Penyusunan Kalender Menara Kudus
saat ini diteruskan putranya, Sirril Wafa
(http://www.wawasandigital.com). Turaikhan
disebut-sebut sebagai Galileo Islam Indonesia. Ia menjadi duri bagi
stabilitas pemerintah. Ia pernah diadili pada 1990 karena menentukan
waktu Idul Fitri yang berbeda dari Pemerintah. Sebagian kalangan
masyarakat yang menggunakan keputusannya dan meninggalkan keputusan
pemerintah. Ia juga menentang maklumat pemerintah yang menyerukan agar
masyarakat bersembunyi di rumah-rumah ketika gerhana matahari total pada
tahun 1983 dengan menganjurkan umat melihat dan mendirikan salat
gerhana (http://blogcasa.wordpress.com). Kisah
Turaikhan adalah kisah kecil dari pembangkangan kaum astronom dalam
menghitung waktu. Kisah besarnya adalah Galileo yang terpenjara di Kota
Arcetri, Italia, pada 1632 karena menebar mazab heliosentrisme-bahwa
matahari adalah pusat tata surya-seperti ditulisnya dalam Script
Dialogue. Ia subversif terhadap doktrin gereja di bawah otoritas Paus
Urbanus yang geosentrisme. Jika Galileo penyokong Copernicus, Turaikhan
adalah penyokong Syekh Husein Zaid al-Misra, pengarang kitab al-Mathla’ as-Sa’id dari Mesir yang banyak memengaruhi pemikirannya (http://blogcasa.wordpress.com). Di antara bentuk pengakuan atas ketingggian keilmuannya dibidang ilmu Falak, oleh pemerintah ia diangkat sebagai anggota Badan Hisab dan Rukyat Depag RI. 3. Kisah “Kecelakaan” Ilmu Falak Secara Akademik Secara
akademik, ilmu Falak pernah eksit dari kurikulum PTAI. Mata kuliah ilmu
Falak keluar dari Kurikulum Nasional PTAI tahun 1995. Hal ini sangat
ironis, ilmu Falak dianggap tidak lagi penting untuk menjadi salah satu
ilmu yang menjadi kompetensi para lulusan PTAI terutama fakultas
Syari’ah. Pada satu sisi ilmu Falak mulai terabaikan tetapi di sisi lain
pemikiran hisab rukyat pada saat bersamaan mulai berkembang dengan
munculnya ide pembuatan teleskop rukyat. Padahal dari lembaga inilah
diharapkan muncul dan berkembangnya pemikiran ilmu Falak atau hisab
rukyat yang komprehensif dan filosofis. Bahkan ide perubahan Instutut
Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) adalah
untuk melihat kontribusi Islam kepada ilmu pengetahuan sehingga dikotomi
pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama akan dapat dieliminir
(Azhari, 1990: 20). Kini
telah berhebus angin yang menyejukkan bagi perkembangan ilmu Falak di
Indonesia. Misalnya didirikannya prodi ilmu Falak di IAIN Walisongo pada
tahun 2007 dan untuk Strata 2 pada tahun 2009. Adapun Strata 3 baru
setingkat konsentrasi dibuka pada tahun 2008. Seiring
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di internetpun banyak
dijumpai blog dan webset yang menyajikan tentang ilmu Falak. Banyaknya
interaksi yang terjadi seputar permasalahan dan problematika ilmu Falak
terutama masalah-masalah yang ditemui di tengah-tengah masyarakat,
adalah perkembangan yang positif. Hal yang akan menggairahkan
perkembangan ilmu falak pada masa-masa yang akan datang.
4. Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang melenceng. Beberapa laporan dari Arab Saudi menyebutkan, sekitar 200 masjid di kota Mekah tidak menghadap ke arah kiblat. Surat kabar Saudi Gazette melaporkan,
orang-orang yang melihat ke bawah dari atas gedung-gedung tinggi yang
baru di Mekah menemukan, mihrab di banyak masjid tua Mekah tidak
mengarah langsung ke Ka’bah. Saat menunaikan salat, warga Muslim sedapat
mungkin menghadap ke Ka’bah, bahkan kalau diperlukan, bisa menggunakan
kompas khusus untuk mencari arah kiblat itu
(http://blogcasa.wordpress.com/). Wartawan
BBC, Sebastian Usher, mengatakan, pihak berwenang belakangan melakukan
pembangunan kembali kawasan di dan sekitar al-Masjid al-Haram. Namun,
masjid-masjid lama di Mekah tetap dipertahankan keberadaannya. Kini bila
dilihat dari gedung-gedung tinggi yang baru, sejumlah warga menemukan
lokasi mihrab di sebagian masjid tersebut tidak tepat arah kiblatnya.
(http://blogcasa.wordpress.com/). Jika
memang ini benar adanya, problem arah kiblat ternyata bukan cuma hanya
di Indonesia saja tapi mungkin meliputi negara-negara Islam lainnya.
Untuk kasus Indonesia, di Jawa tengah misalnya, seperti dituliskan Ahmad
Izzudin, 70 % masjid yang ada memiliki arah kiblat yang tidak tepat
(http://blogcasa.wordpress.com). Masalah yang penting selanjutnya
setelah kita melakukan pengecekan arah kibalat masjid dan musala di
sekitar kita adalah sosialisasi. Ibarat mengambil rambut dalam tepung.
Rambutnya dapat dikeluarkan dan tepungnya tidak tumpah. Penting kiranya
dilakukan pendekatan persuasif dan pemberian pemahaman tentang
permasalahan ini secara komprehensif sebelum melangkah lebih lanjut.
Penyempurnaan arah kiblat bukan berarti adanya perubahan arah
kiblat. Sebenarnya arah kiblat tidak berubah. Perlu penyempurnan atau
pemeriksaan ulang arah kiblat masjid dan musala di sekitar kita. Tantangannya,
bagaimana melakukan pengukuran dengan benar di lapangan, menyampaikan
hasil-hasilnya kepada masyarakat dan sekaligus mengedukasi publik agar
tidak terjadi situasi di mana ada pihak yang merasa “tersakiti”, yang
terjadi semata-mata hanya karena ketidakpahaman atas duduk perkara yang
sebenarnya (http://blogcasa.wordpress.com). 5. Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya. Artikel dalam majalah Qiblati yang berjudul, “Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq” dalam Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno” dalam Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4 tulisan Mamduh
Farhan al-Buhairi telah mengagetkan umat Islam Indonesia khususnya.
Dalam tulisannya ditulis bahwa waktu salat Subuh yang kita gunakan
selama ini lebih cepat dari yang seharusnya—bahkan sampai di atas dua
puluh menit. Sehingga menurutnya bahwa salat Subuh yang kita laksanakan
selama ini dilaksanakan sebelum masuknya awal waktu salat Subuh yang
seharusnya (Mamduh, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, “Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno” dan “Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama”, http://id.qiblati.com). Setelah
penerbitan majalah Qiblati yang mempertanyakan tentang kebenaran awal
waktu Subuh yang dikeluarkan Departemen Agama dan dijadikan pedoman oleh
umat Islam selama ini, timbullah kegoncangan. Masyarakat mulai goncang,
mereka mulai mempertanyaan keabsahan pedoman penentuan awal waktu Subuh
yang mereka gunakan selama ini. Mereka
membahasnya lewat forum-forum diskusi keislaman di masjid-masjid bahkan
juga di internet. Begitu banyak tanggapan yang muncul tentang hal ini.
Tanggapan yang sebagiannya alih-alih memberikan pencerahan terhadap
masyarakat malah justru membuat mereka bertambah bingung. Dalam
menyikapi hal ini umatpun terbelah. Sebagian pengurus/ta’mir masjid
mengambil jalan tengah menurut mereka sendiri. Menurut mereka azan tetap
dikumandangkan sesuai dengan jadwal yang ada (jadwal yang dikeluarkan
oleh Departemen Agama, namun pelaksanaan salat Subuh dimundurkan
waktunya dari biasanya. Yang
lain malah melangkah lebih jauh lagi. Mereka mengundurkan waktu
pengumandangan azan sebagai pertanda masuknya awal waktu Subuh. Sehingga
tidak heran bila dalam keseharian, kita mendapati dalam pengumandangan
azan Subuh ada masjid-masjid yang baru mengumandangkan azan di saat
masjid-masjid yang lain telah selesai melaksanakan salat Subuh
berjamaah. Namun
mayoritas mereka masih menggunakan jadwal yang dikeluarkan oleh
Departemen Agama. Mereka tidak mau merubah apa yang diyakini selama ini
tentang penentuan awal waktu salat Subuh sampai terwujudnya kesepatan
para ahli atau pemerintah dalam hal ini Departemen Agama mengumumkan
perubahannya.Kondisi ini tentunya memerlukan penelitian lebih lanjut dan mendalam.
Berikut ini beberapa catatan tentang sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia: 1. Kajian Ilmu Falak: Antara Sains dan Masalah Ijtihadiah Sejarah
perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam
memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun
bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari
Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date mulai
ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian
sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama. Dalam
perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia
Islam umumnya berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi
sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan
pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang
disebut dengan Geosentris. Setelah
Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah
pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya).
Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu
Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang
digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia kira-kira pada
pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan
Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut
oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk
belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan
metode Hakiki Tahqiqi. Perkembangan
ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier antara
perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan
asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi
akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur
secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang.
Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Taqribi
tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini.
Misalnya menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama
dinyatakan bahwa Perhitungan kitab Sullam an-Nayyirain
ini termasuk hakiki taqribi, tingkat akurasi rendah dan terkadang hasil
perhitungannya berbeda dengan kenyataan di lapangan, anehnya lagi
eksistensinya masih diakui oleh Departemen Agama. Karena hasil
perhitungannya masih digunakan sebagai pertimbangan sidang penetapan
awal bulan Kamariah Departemen Agama. Untuk memahami permasalahan ini,
tentu diperlukan penjelasan, argumentasi, dan pendapat lebih mendalam
para ahli hisab rukyah di balik eksisnya perhitungan awal bulan Kamariah
menggunakan sistem hisab rukyah kitab Sullam an-Nayyirain ini. Menurut penganut sistem ini, metode Sullam an-Nayyirain adalah hasil ijtihad Manshur al-Batawi; al-ijtihad la yanqudhu bi ijtihad.
2. Prolematika Pengklasifikasian Metode Hisab Sebagai
kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran dan pola pemikiran
(paradigma), perlu kira ditinjau aliran hisab yang ada. Dalam
pengklasifikasian ini setidaknya terdapat dua permasalahan: a. Nama
aliran yang digunakan cukup beragam, yang biasa digunakan antara lain
urfi, hisab hakiki, hisab imakanur rukyat, dan hisab astronomi. b. Masalah
lain yang timbul dari pengklasifikasian tersebut adalah
perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul penilaian yang beragam
terhadap masing-masing aliran (Azhari, 1999: 22-23) misalnya tingkat
keakurasian sistem hisab dari masing-masing pembagian tersebut. Depag
menggunakan pembagian hisab Urfi dan Hisab Hakiki. Lalu Hisab Hakiki
diklasifikasikan menjadi 1). Hisab Hakiki Taqribi yang dinyatakan
tingkat akurasinya rendah, 2). Hisab Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang, dan 3). Hisab Hakiki Kontemporer yang tikat akurasinya tinggi. Perlu juga kiranya permasalahan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge
(latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam
kerangka memposisikan suatu metode hisab secara porposional dalam
pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya
sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab
persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan penyejajaran
ataupun hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab
Hakiki Kontemporer.
Demikianlah
sekelumit sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia. semenjak
awalnya perkembangannya, masalah penentuan awal bulan Kamariah yang
mendominasi pembahasan hisab rukyat. Sampai saat ini masalah ini selalu
dianggap sebagai masalah yang using namun senantiasa up to date.
Mengingat belum terwujudnya kesepakatan kriteria hilal dalam penenentuan
awal bulan Kamariah. Inilah tugas berat dari BHR dan para ahli Falak di
Indonesia. Namun
seiring perkembangan ilmu Falak yang bersentuhan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, bahasan ilmu Falak lainnya juga mengalami dinamika.
Perkembngan yang mutakhir, Hasil Penelitian lembaga Rukyatul Hilal
Indonesia (RHI) tentang banyaknya arah kiblat masjid di Jogjakarta yang
melenceng dan Majalah Qiblati yang menggugat jadwal awal waktu salat
Subuh yang ditetapkan Pemerintah lebih dahulu dari yang seharusnya.
Turut mengaktualkan wacana ilmu Falak. Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab
Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader
Azhari, Susiknan, 1999, Sa’adoeddin Djambek (1911-1977) dalam Sejarah Pemikiran Hisab Di Indonesia, Yogyakarta: Proyek PTA IAIN Sunan Kalijaga, 1998/1999
____________, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1
___________,2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2
____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2 ____________, Tokoh-Tokoh Falak di Indonesia: Saadoe'ddin Djambek, http://bimasislam.depag.go.id
____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
BHR Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
Buhairi, al-, Mamduh Farhan, Salah Kaprah Waktu Subuh: Fajar Kazib Dan Fajar Shadiq, Majalah Qiblati Edisi 8 Volume 4 , http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Memajukan Waktu Subuh Adalah Bid'ah Kuno, Majalah Qiblati Edisi 9 Volume 4, http://id.qiblati.com
____________, Salah Kaprah Waktu Subuh Kesaksian Dan Fatwa Para Ulama, dalam Majalah Qiblati Edisi 10 Volume 4, http://id.qiblati.com
Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, 1990, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI
____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press
___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI
____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta:Depag RI
Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas
Fathurohman SW, Oman, 2004, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
___________, “Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya” dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004
Izzuddin, Ahmad, 2007, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga
___________, 2006, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika
K.H. Ahmad Dahlan, http://www.ilmufalak.or.id/
K.H. Ahmad Dahlan: Reformis dan Pembaharu Ajaran Agama, http://peaceman.multiply.com/journal
Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek,Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3
____________, 2004,Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI
KH. Turaichan Adjhuri Es Syarofi, http://www.arwaniyyah.com
Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1
Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1
Saksono,
Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas
Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies
Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1
Muharram 1430H
Sistem almanak Masjid Menara Kudus Awal Ramadan sama, Lebaran bisa beda, http://www.wawasandigital.com/
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com
Wawancara dengan Muhyiddin Khazin a, 28 Desember 2008
Jayusman,
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http:
//jayusmanfalak.blogspot.com dan email: jay_falak@yahoo.co.id Muhyiddin Khazin (2008: 28)
memberikan penjelasan yang sedikit berbeda bahwa Sultan Agung memadukan
penanggalan Hindu dan penanggalan Islam menjadi penanggalan Jawa Islam
pada tahun 1043H/1633M. Masa kepemimpinan kerajaan Mataram dipegang oleh
Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hayrayakusumo (1613-1643 M)
inilah penanggalan Islam mulai dipekenalkan. Ia menetapkan penanggalan
resmi kerajaan berdasarkan tahun Jawa Islam tersebut. Asimilasi
penanggalan ini dilakukan dengan cara merubah pedoman pengambilan dari
tahun berdasarkan peredaran Matahari menjadi berdasarkan peredaran
bulan. Namun perhitungan tahunnya tetap dengan melanjutkan perhitungan
Hindu sebelumnya. Cara
menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah
dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk
deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk
tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh
tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk
tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain
adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah.
Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia
memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15. Muhyiddin Khazin (2008 a) menyatakan bahwa tetap dijadikannya kitab Sullam an-Nayyirain
sebagai salah satu rujukan dalam penetapan awal bulan Kamariah adalah
untuk mengakomodir anggota masyarakat (--jumlah mereka cukup banyak)
yang berpedoman kepada kitab tersebut. Ia
menambahkan bahwa pernah mengusulkan pada ahli waris pengarang kitab
tersebut untuk melakukan perobahan agara perhitungannya akurat tetapi
usulan ini ditolak oleh mereka. Biarkanlan kitab Sullam an-Nayyirain sebagaimana adanya.Pentashihan Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat:
Upaya Memelihara Otensitas al-Qur’an
Lektor IAIN Raden Intan Lampung
Faktanya terdapat kesalahan dalam
penulisan buku Yasin yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Bentuk
kesalahan-kesalahan yang ditemukan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan
inkonsistensi dalam penulisan. Kesalahan huruf, kesalahan harakat, dan
kesalahan teknis penulisan di atas termasuk kategori kesalahan yang
merubah makna ayat. Kesalahan yang tidak merubah makna ayat misalnya inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti rasm Utsmani dan atau mengikuti rasm Imla’i.
Kiranya kondisi ini perlu menjadi perhatian semua pihak yang terkait
dalam menjaga dan memelihara otentisitas al-Qur’an. Diperlukan dedikasi
Lajnah Pentashih al-Qur’an sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh
Pemerintah, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari penulis dan pihak
percetakan. Yang tak kalah pentingnya adalah setiap pribadi muslim ikut mentashih dan mengontrol peredaran buku Yasin tersebut .
Kata kunci: buku Yasin, tashih, pemeliharaan otentisitas al-Qur’an.
Tradisi
Yasinan adalah salah satu tradisi keagamaan yang mengakar dan melembaga
dalam masyarakat kita. Tradisi yang menjadikan pembacaan QS Yasin/36
sebagai bagian terpenting dari rangkaian acaranya di samping juga
dibacakan ayat dan zikir lainnya.
QS Yasin/36 merupakan bagian dari al-Qur’an, mestilah genuine, authentic dan terbebas dari upaya tahrif
yang akan mengurangi kemuliaannya. Upaya pemeliharaan otentisitas
al-Qur’an telah dimulai semenjak proses turunnya al-Qur’an pada masa
Rasulullah. Hal ini terus berlanjut ketika memasuki tahapan pengumpulan
dan kodifikasinya pada masa Khulafa Rasyidun. Bahkan sampai saat ini dan
begitu selanjutnya sampai akhir zaman, upaya pemeliharaan otentisitas
al-Qur’an ini terus berlangsung baik dalam bentuk hafalan dan tulisan.
Mushaf
al-Qur’an pun terus mendapat pantauan dan perhatian oleh pihak yang
berwenang dan dibantu oleh kaum muslimin. Upaya menjaga quality control
ini dilaksanakan semenjak dari naskah cetakan maupun setelah dicetak
dan diedarkan di tengah-tengah masyarakat. Dalam tulisan ini selanjutnya
akan diulas tentang upaya pemeliharaan kemurnian al-Qur’an dan
antisipasi upaya pemalsuannya. Adapun yang dijadikan fokusnya adalah
pentashihan buku Yasin. Mengingat fungsi dan perannya yang begitu
signifikan dalam menopang tradisi Yasinan tersebut.
Jika
pentashihan al-Qur’an mendapat perhatian yang ketat, kiranya perlu
dipertanyakan tentang pentashihan buku Yasin. Bagaimanakah proses
pentashihannya sebelum diedarkan secara luas ke masyarakat. Dan jika
ditemui buku-buku Yasin yang tidak ditashih oleh pihak yang berwenang
kiranya perlu dilakukan penelitian dan pentashihan secara mandiri untuk
menyelidiki jika ditemukan kesalahan di dalamnya.
B. Pemeliharaan Otentisitas al-Qur’an
Al-Quran
al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah
satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya
dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Firman
Allah:
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. QS al-Hijir/15: 9
Demikianlah
Allah menjamin keotentikan al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar
Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang
dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan
jaminan ayat di atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan
didengarnya sebagai al-Quran tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang
pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh
para sahabat Nabi saw[1].
Walaupun
Nabi saw. dan para sahabat menghafal ayat-ayat al-Quran, namun guna
menjamin terpeliharanya wahyu-wahyu Ilahi itu, beliau tidak hanya
mengandalkan hafalan, tetapi juga tulisan. Sejarah menginformasikan
bahwa setiap ada ayat yang turun, Nabi saw. lalu memanggil
sahabat-sahabat yang dikenal pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat
yang baru saja diterimanya, sambil menyampaikan tempat dan urutan setiap
ayat dalam surahnya. Ayat-ayat tersebut mereka tulis dalam pelepah
kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang. Sebagian sahabat
ada juga yang menuliskan ayat-ayat tersebut secara pribadi, namun karena
keterbatasan alat tulis dan kemampuan maka tidak banyak yang
melakukannya. Di samping itu kemungkinan besar tulisan mereka tersebut
tidak mencakup seluruh ayat al-Quran. Kepingan naskah tulisan yang
diperintahkan oleh Rasul itu, baru dihimpun dalam bentuk "kitab" pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar r.a.[2]
Al-Quran,
demikian pula Rasul saw. menganjurkan kepada kaum muslim untuk
memperbanyak membaca dan mempelajari al-Quran. Anjuran tersebut mendapat
sambutan yang hangat. Ayat-ayat al-Quran turun berdialog dengan mereka,
mengomentari keadaan dan peristiwa-peristiwa yang mereka alami, bahkan
menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Di samping itu, ayat-ayat
al-Quran turun sedikit demi sedikit. Hal itu lebih mempermudah mencerna
makna dan proses menghafalnya[3].
Dalam
al-Quran, demikian pula hadis-hadis Nabi, ditemukan petunjuk-petunjuk
yang mendorong para sahabatnya untuk selalu bersikap teliti dan
hati-hati dalam menyampaikan berita --lebih-lebih kalau berita tersebut
merupakan firman-firman Allah atau sabda Rasul-Nya.[4]
Faktor-faktor di atas menjadi penunjang terpelihara dan dihafalkannya
ayat-ayat al-Quran. Itulah sebabnya, banyak riwayat sejarah yang
menginformasikan bahwa terdapat ratusan sahabat Nabi saw. yang
menghafalkan al-Quran.
C. Pengumpulan, Pembukuan, dan Proses Pentashihan Al-Qur’an pada Masa Khulafa Rasyidun
Ketika terjadi peperangan Yamamah, terdapat puluhan penghafal Al-Quran
yang gugur dalam peperangan tersebut. Hal ini menjadikan 'Umar ibn
al-Khaththab menjadi risau tentang "masa depan al-Quran" dan
keberlangsungannya. Karena itu, ia mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar
agar mengumpulkan tulisan-tulisan al-Qur’an yang pernah ditulis pada
masa Rasul. Walaupun pada mulanya Abu Bakar ragu menerima usul tersebut
--dengan alasan bahwa pengumpulan semacam itu tidak pernah dilakukan
oleh Rasul saw.-- namun pada akhirnya 'Umar r.a. dapat meyakinkannya.
Dan keduanya sepakat membentuk suatu tim yang diketuai oleh Zaid ibn
Tsabit—mantan juru tulis;
katib Nabi untuk menuliskan Al-Quran ketika masa pewahyuan--dalam rangka melaksanakan tugas suci dan besar itu.
[5]
Zaid
ibn Tsabit pun pada mulanya merasa sangat berat untuk menerima tugas
tersebut, tetapi akhirnya ia dapat diyakinkan. Dengan dibantu oleh
beberapa orang sahabat Nabi, Zaid memulai tugasnya. Abu Bakar r.a.
memerintahkan kepada seluruh kaum muslim untuk membawa naskah tulisan
ayat al-Quran yang mereka miliki ke masjid Nabawi untuk kemudian
diteliti oleh tim tersebut. Dalam hal ini, Abu Bakar r.a. memberi
petunjuk agar tim tidak menerima satu naskah kecuali yang memenuhi dua
syarat: harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain dan
tulisan tersebut benar-benar adalah yang ditulis atas perintah dan atau
di hadapan Nabi saw. Karena, sebagian sahabat ada yang menulis atas
inisiatif sendiri. Untuk membuktikan syarat kedua ini, diharuskan adanya
dua orang saksi yang menyaksikan langsung penulisan tersebut. Zaid
menggabungkan antara hafalan sekian banyak sahabat dan naskah yang
ditulis di hadapan Nabi saw., dalam rangka memelihara keotentikan
al-Quran. Dengan demikian, dapat dibuktikan dari tata kerja dan
data-data sejarah bahwa al-Quran yang kita baca sekarang ini adalah
otentik dan tidak berbeda sedikit pun dengan apa yang diterima dan
dibaca oleh Rasulullah saw., lima belas abad yang lalu.[6]
Pada
masa khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab masalah perbedaan dalam
membaca al-Qur’an belum merupakan hal yang mengkhawatirkan, walaupun
begitu mereka telah mengantisipasinya dengan melakukan kodifikasi atas
al-Qur’an sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Namun setelah dua
masa kepemimpinan, masalah tersebut mulai menimbulkan kekhawatiran
sehingga para sahabat segera mengambil tindakan seperti yang disebutkan
pada riwayat berikut ini :
Berkata
kepada kami Musa, berkata kepada kami Ibrahim, berkata kepada kami Ibnu
Syihab bahwa Anas bin Malik mengatakan kepadanya: “Khudzaifah bin
al-Yaman datang kepada Utsman, dan sebelumnya ia memerangi warga Syam
dalam penaklukan Armenia dan Azarbaijan bersama warga Irak, maka
terkejutlah Khudzaifah akan adanya perbedaan mereka dalam hal bacaan
al-Qur’an, maka berkatalah Khudzaifah kepada Utsman: “Wahai pemimpin
orang-orang yang beriman, beritahulah umat ini sebelum mereka berselisih
dalam masalah kitab sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani”, Utsman lantas
berkirim surat kepada Hafshah : “Kirimkan kepada kami lembaran-lembaran
untuk kami tulis dalarn mashahif (bentuk plural dari mushaf
-kumpulan lembaran dengan diapit dua kulit seperti buku-) kemudian kami
kembalikan kepadamu”, Hafshah segera mengirimkannya kepada Utsman, maka
Utsman segera memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id
bin Ash, serta Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam untuk menyalinnya ke
dalam mushaf-mushaf, dan dia (Utsman) mengatakan kepada ketiga otoritas
Quraisy tersebut di atas: Jika kalian berselisih dengan Zaid bin Tsabit
tentang masalah Qur’an, maka tulislah dengan lisan Quraisy sebab
al-Qur’an diturunkan dengan dialek mereka (Suku Quraisy), dan mereka
melakukan hal itu, maka ketika mereka selesai menyalin lembaran-lembaran
tersebut ke dalam beberapa mushaf, Utsman segera mengembalikan
lembaran-lembaran tersebut kepada Hafshah, (Utsman) kemudian mengirim ke
tiap tempat satu mushaf yang telah mereka salin, dan memerintahkan agar
selain mushaf tersebut entah berupa lembaran (sahifah) atau sudah berupa mushaf untuk dibakar.[7]
Pada
masa selanjutnya barulah dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan dalam
hal teknis seperti dalam hal bentuk huruf dan pemberian titik pada huruf
yang membedakan antara huruf yang satu dengan yang lain, yang sangat
bermanfaat bagi mereka yang hidup belakangan apalagi bagi masyarakat
muslim non Arab.
D. Al-Qur’an Rasm Utsmani
Rasm, secara etimologis, merupakan bentuk infinitif (al-mashdar) dari kata kerja rasama yarsamu, yang berarti menggambar atau melukis. Istilah rasm dalam Ulum al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Utsman bin Affan dan para sahabatnya ketika menulis dan membukukan al-Qur’an. Kemudian pola penulisan tersebut dijadikan standar dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Berdasarkan makna bahasa itu dapat dikatakan bahwa rasm al-Qur’an berarti bentuk tulisan al-Qur’an. Ulama tafsir lebih cenderung menamainya dengan istilah rasm al-Mushaf, dan ada pula yang menyebutnya dengan rasm Utsmani. Penyebutan demikian dipandang wajar karena Khalifah Utsman ibn Affanlah yang merestui dan mewujudkannya secara resmi. Dengan demikian rasm al-Mushaf/ rasm Utsmani adalah ketentuan atau pola yang digunakan oleh Utsman bin Affan beserta sahabat lainnya dalam hal penulisan al-Qur’an. Selanjutnya pola ini dijadikan standard baku dalam penulisan kembali atau penggandaan mushaf al-Qur’an.
Mushaf' Utsmani ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai terdapat inkonsistensi dari aturan bahasa secara konvensional. Oleh karena itu, ada sebahagian ulama mempersempit pengertian rasm al-Qur’an yaitu apa yang ditulis oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafazh-lafazh al-Qur’an dalam mushaf 'Utsmani, dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah rasm Imla’i
Menyikapi fenomena rasm Utsmani dengan inkonsistensinya, maka muncullah perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Utsmani tersebut. Jumhur ulama berpendapat rasm Utsmani yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau
atas petunjuk Nabi SAW, dengan alasan bahwa para penulis wahyu itu
adalah orang-orang yang ditunjuk langsung dan dipercayai oleh Nabi.
Sehingga bentuk-bentuk inkonsistensi tersebut tidak bisa dilihat hanya
dari sisi kaedah penulisan baku bahasa arab (rasm Imla’i) tetapi
di balik inkonsistensinya itu terdapat rahasia atau hikmah tersendiri.
Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Utsmani itu tidak bersifat tauqifi, tapi
merupakan ijtihad para sahabat semata berdasarkan sebuah riwayat bahwa
sesungguhnya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya dan tidak pula melarang
menulisnya dengan pola-pola tertentu. Seandainya rasm Utsmani bersifat tauqifi tentu akan disebut rasm Nabawi, belum lagi kalau ke-ummiyan
Nabi dipahami sebagai “buta huruf”, jadi tidak mungkin petunjuk teknis
penulisan datang dari Nabi. Sehingga dengan adanya perbedaan pendapat
ini, maka hukum mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan
al-Qur’anpun diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan wajib
diikuti dan harus dipertahankan meskipun terdapat sebagian yang
menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan, bahkan imam
Ahmad bin Hambal dan imam Malik memfatwakan haram hukumnya menulis
al-Qur’an jika menyalahi rasm Utsmani. Sementara ulama lain membolehkan menulis al-Qur’an dengan tidak mengikuti rasm Utsmani.
2. Macam-Macam Rasm al-Qur’an dan Karakteristik Rasm Utsmani
Pola penulisan rasm 'Utsmani memiliki perbedaan, dan lain dengan kaidah-kaidah atau standar penulisan bahasa Arab baku yang berkembang di dalam masyarakat modern. Menurut mayoritas ulama, sedikitnya ada enam pola penulisan al-Qur’an versi Mushaf 'Utsmani yan g menyimpang dari kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab baku,[8] yaitu:
a. Pengurangan-pengurangan huruf (al-hadzf), seperti pengurangan huruf waw (و ) dan alif ( ا ).
b. Penambahan-penambahan huruf, seperti huruf alif (\ ) dan ya ' ( ي),.
c. Penggabungan (al-washl) dan pemisahan (al-fashl), yaitu menggabungkan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya ditulis terpisah, atau pemisahan suatu lafal dengan lafal lain yang biasanya disatukan.
d. Penggantian satu huruf dengan huruf lain (al-badl), seperti mengganti huruf alif (ا ) dengan huruf waw ( و ).
e. Ayat-ayat yang mempunyai dua qira'at yang berbeda.
Terdapat beberapa pengecualian, atau konsistensi di dalam rasm 'Utsmdni, misalnya huruf alif ( \ ) yang penulisannya diganti dengan huruf wow ) و), misalnya kata :الربو, الحيوة, الزكوة, الصلوة. Pola penulisan pada kata-kata tersebut berbeda dengan penulisan ayat-ayat lainnya.
Melihat bentuk-bentuk inkonsistensi pola penulisan rasm 'Utsmani, kalangan ulama menolak membandingkan antara rasm tersebut dengan kaidah penulisan standar. Sebaliknya tidak dapat pula rasm Utsmani dijadikan pola standar baku. Kelompok ini membiarkan kekhususan pola penulisan rasm 'Utsmani sebagaimana adanya.[9]
3. Kedudukan Rasm 'Utsmani
Kedudukan rasm 'Utsmani diperselisihkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad kalangan sahabat. Ada tiga pandangan dalam menentukan keududukan rasm Utsmani yaitu kelompok yang berpendapat bahwa rasm utsmani bersifat tawqifi. Kelompok yang kedua berpendapat bahwa rasm utsmani besifat ijtihadi. Dan kelompok ketiga berusaha mengkompromikan dua pendapat tersebut.
Kelompok pertama adalah Jumhur ulama yang berpendapat bahwa pola rasm 'Utsmani bersifat tawqifi dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercaya Nabi Saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma’) dalam hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi. Bentuk-bentuk
inkonsistensi di dalam penulisan al-Qur'an tidak bisa dilihat hanya
berdasarkan standar penulisan baku, tetapi di balik itu ada rahasia yang belum dapat terungkap secara keseluruhan. Pola penulisan tersebut juga dipertahankan para sahabat dan tabi'in.
Pendapat yang demikian ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama dengan beberapa alasan, antara lain:
a. Penulisan al-Qur’an dengan rasm 'Utsmani dilakukan oleh para juru tulis wahyu di hadapan Nabi saw. dan apa yang dilakukan oleh mereka telah ditetapkan oleh beliau.
b. Penulisan al-Qur’an itu berlanjut pada masa Abu Bakar dan pada masa 'Utsman bin 'Affan sampai pada masa tabi'in dan seterusnya. Dengan demikian, penulisan al-Qur’an menurut rasm 'Utsmani telah merupakan konsensus (ijma') para sahabat.
Alasan di atas didukung juga oleh Hadis Nabi saw. ketika beliau berpesan kepada Muawiyyah: "Letakanlah tinta, pegang pena baik-baik, luruskan huruf ba', bedakan sin. Jangan butakan mim dan buat baguslah tulisan Tuhan. Panjangkan al-rahman dan buat baguslah al-rahim. Lalu letakanlah kalammu di atas telinga kirimu, karena itu akan membuatmu lebih ingat." Para pendukung rasm Utsmani berusaha memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hikmah pola penulisan tersebut. Selain itu, dimaksudkan pula untuk memberikan versi bacaan.
Kelompok kedua, ulama yang berpendapat bahwa pola penulisan di dalam rasm 'Utsmani bersifat ijtihadi atau merupakan hasil ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani:
"Sesungguhnya Rasulullah Saw, memerintahkan menulis al-Qur'an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisan-nya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Karena itu ada perbedaan model-model penulisan al-Qur'an dalam mushaf-mushaf mereka. Ada yang menulis suatu lafal al-Qur'an sesuai dengan bunyi lafal itu, ada yang menambah atau mengurang-inya, karena mereka tahu itu hanya cara. Karena itu dibenarkan menulis mushaf dengan pola-pola penulisan masa lalu atau ke dalam pola-pola baru."37
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm 'Utsmani. Belum lagi kalau ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan al-Qur'an itu bersumber dari petunjuk Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan al-Qur'an versi mushaf Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi). Pola itu harus dipertahankan meskipun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat bahwa haram hukumnya menulis al-Qur'an menyalahi rasm Utsmani. Bagaimanapun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur 'ulama ').38
Al-Baqillaniy sebagaimana dikutip oleh Mana’ Khalil al-Qaththan berpendapat bahwa betul Nabi saw. menyuruh untuk menuliskan al-Qur'an, tetapi beliau tidak menunjukkan pola tertentu kepada para sahabatnya dan tidak melarang menuliskannya dalam model tertentu. Oleh karena itu, dibolehkan menuliskan mushaf dengan bentuk huruf dan pola penulisan gaya klasik dan boleh pula menulisnya dengan bentuk huruf serta pola penulisan gaya modern.[10]
Ulama yang tidak mengakui rasm Utsmani sebagai rasm tawqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika al-Qur'an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imld'i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca; kalau pembaca merasa lebih mudah dengan rasm imla'i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna al-Qur 'an.39
Pendapat senada juga mengatakan bahwa tidak mesti kaum Muslimin mengikuti Rasm 'Utsmaniy dalam penulisan al-Qur’an; artinya boleh menuliskan al-Qur’an dengan rasm lain (al-rasm al-imla’i). Mereka menyatakan bahwa model tulisan hanyalah formula dan simbol saja. Oleh karena itu, segala bentuk model tulisan al-Qur’an sepanjang menunjukkan ke arah bacaan yang benar dapat dibenarkan. Sedangkan rasm 'Utsmaniy yang menyalahi rasm imla’i dipandang menyulitkan banyak orang.[11]
Kelompok ketiga adalah ulama yang berusaha mengkompromikan kedua pendapat di atas dengan mengatakan bahwa penulisan al-Qur'an dengan rasm imla'i dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama yang memahami rasm 'Utsmani, tetap wajib mempertahankan keaslian rasm tersebut. Pendapat ini diperkuat al-Zarqani dengan mengatakan bahwa rasm Imla'i diperlukan untuk menghindarkan umat dari kesalahan membaca al-Qur'an, sedang rasm 'Utsmani diperlukan untuk memelihara keaslian mushaf al-Qur’an.
E. Pentashihan al-Qur’an di Indonesia
Pemerintah
RI pun menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini dengan
membentuk sebuah lembaga, yaitu Lajnah Pentashihan Mushaf
al-Qur`an--yang berada di bawah Balitbang Departemen Agama-- salah satu
tugas pokoknya adalah memelihara kesahihan al-Qur`an sebagai
implementasi maksud firman Allah
Surat al-Hijr/15: 9 di atas.
[12]
Lebih
lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an
Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya
bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik
dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk
mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.
[13]
Pendirian
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an Depag dapat kita lacak dari mushaf
al-Qur’an yang telah ditashih. Biasanya tentang keberadaan team ini
terdapat penjelasan pada bagian pengantar mushaf al-Qur’an tersebut.
Kalau kita mengamati pada Kata Pengantar Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/ Pentafsir al-Qur’an yang diketuai oleh Prof.R.H.A.Soenardjo,
SH dan ditandatangani di Jakarta, 1 Maret 1971, maka ada 10 (sepuluh)
anggota dewan penerjemah, antara lain: Prof.T.M.Hasbi Ashshidiqi.(alm),
Prof.H.Bustami A.Gani, Prof.H.Muchtar Jahya, Prof.H.M.Toha Jahya
Omar.(alm), Dr.H.A.Mukti Ali, Drs.Kamal Muchtar, H.Gazali Thaib.(alm),
K.H.A.Musaddad, K.H.Ali Maksum.(alm), dan Drs.Busjairi Madjidi.
Merekalah yang telah turut berjasa dalam melaksanakan tugas mentashih
dan menterjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia selama 8 tahun.
Team
ini terus menjalankan tugasnya. Dan pada priode selanjutnya terjadi
perubahan komposisi team karena sebagian dari mereka telah berpulang ke
rahmatullah. Seperti yang dapat dilacak pada al-Qur’an dan Terjemahnya
versi cetakan PT.Karya Toha Putra Semarang ditandantangani di Jakarta pada 15 Desember 1997, team tashih ini terdiri seorang ketua dan seorang sektretaris dan beranggotakan 17 orang[14].
Tugas dan fungsi Lajnah sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982, adalah:
1. meneliti dan menjaga kemurnian mushaf al-Qur’an, rekaman, bacaan al-Qur’an, terjemahan dan tafsir al-Qur’an secara preventif dan refresif.
2. mempelajari
dan meneliti kebenaran mushaf al-Qur’an untuk tunanetra (al-Qur’an
Braille), bacaan al-Qur’an dalam kaset, piringan hitam dan penemuan
elektronik lainnya yang beredar di Indonesia.
3. berusaha mengantisipasi peredaran mushaf al-Qur’an yang belum ditashih
oleh Lajnah. Kegiatan Lajnah mentashih mushaf al-Qur’an 30 Juz, Juz
‘Amma, al-Qur’an dan terjemahnya, al-Qur’an dan tafsirnya, dan
bacaan-bacaan dalam bentuk kaligrafi lainnya[15].
Lebih
lanjut Menag mengatakan, tugas Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur`an
Depag dari masa ke masa terus bertambah berat, mengingat bukan hanya
bertugas mentashih teks, bacaan, terjemahan atau tafsir al-Qur`an, baik
dalam bentuk tulisan maupun media elektronik, melainkan juga termasuk
mensosialisasikan al-Qur`an di tengah-tengah masyarakat.
[16]
Pelaksanaan
tugas Lajnah lainnya adalah merespon masukan, saran-saran dan menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh masyarakat. Segala permasalahan yang
menyangkut kitab suci al-Qur’an yang dikemukakan oleh masyarakat dan
ditujukan kepada Departemen Agama. Selain itu, tugas Lajnah adalah membina
penerbit, melalui komunikasi lisan maupun tertulis, termasuk dengan
surat edaran, juga pertemuan-pertemuan, diskusi dan dialog dengan para
penerbit dan produsen al-Qur’an, juga dengan tim kerja dari pihak-pihak
yang melakukan penulisan al-Qur’an. Pembinaan juga dilakukan melalui
forum lokakarya para penerbit al-Qur’an. Inti dari program pembinaan,
adalah ajakan kepada para penerbit Al-Qur’an untuk lebih meningkatkan
dedikasi dan komitmennya dalam menjaga dan memelihara kitab suci
al-Qur’an[17].
Rekomendasi kegiatan lajnah adalah sebagai berikut:
1. untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam yang cukup besar dibidang al-Qur’an serta
untuk lebih mengamankan mutu penerbitan al-Qur’an, maka amat mendesak
didirikan sebuah penerbitan /percetakan al-Qur’an oleh
negara/pemerintah.
2. mengingat
beban lajnah yang makin luas dan meningkat serta perlu dukungan yang
lebih besar dibidang SDM, peralatan, jaringan, dan pembiayaan, maka amat
mendesak untuk menindak lanjuti komitmen Menteri Agama untuk memperkuat
dan meningkatkan struktur lajnah.
3. perlu
penguatan kondisi kerja dengan pengaturan tugas dan tahapan yang jelas,
mekanisme yang baik, agenda yang tertib serta pembiayaan yang memadai.
Dan keempat, perlu penguatan SDM lajnah melalui rekrutmen satuan tugas
lajnah secara terbuka, selektif, profesional, dari Perguruan-perguruan
tinggi al-Qur’an, UIN/IAIN/STAIN dan lain-lain sebagai pegawai negeri
maupun sebagai tim ad hoc[18]
F. Fakta Kesalahan Penulisan dalam Buku Yasin yang Beredar di Masyarakat
Kalau
kita cermati sejenak tentang tradisi membaca al-Qur’an dalam masyarakat
kita. Bahwa di masyarakat berkembang suatu tradisi membaca al-Qur’an,
yaitu tradisi Yasinan. Dalam tradisi Yasinan ini dilangsungkan pembacaan
QS.Yasin/36, yang disertai dengan pembacaan zikir-zikir tertentu dan
ditutup dengan doa. Tradisi Yasinan ini telah mengakar dengan sangat
kuat dalam kehidupan masyarakat kita.
Yasinan dilaksanakan pada acara ta’ziyah
ketika ada anggota masyarakat yang meninggal dunia. Kita mengenal
maniga hari, menujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, seribu hari
dan seterusnya. Selain dalam acara ta’ziyah pembacaan surat
Yasin ini juga dilakukan dalam acara-acara pengajian rutin di
masyarakat, pengajian setiap malam jum’at ketika seseorang melaksanakan
ibadah haji, acara tasyakuran, dan lain sebagainya.
Kita
tidak membahas lebih lanjut tentang tradisi Yasinan tersebut. Tapi
yang menjadi fokus kita adalah salah satu media dalam pelaksanaan
tradisi Yasinan tersebut, yaitu buku Yasin. Permasalahannya adalah
bagaimanakah keshahihan buku tersebut; kesesuaian ayat-ayat dari surat Yasin sebagai salah satu kutipan dari al-Qur’an.
Tulisan
ini sebagai kasus atau bahan pemikiran bagi kita bersama untuk
berpartisipasi dalam gerakan pemurnian al-Qur’an. Gerakan yang dapat
kita mulai dari lingkungan kita sendiri. Hal ini lebih jauh diinspirasi
ketika penulis menemukan sendiri kesalahan dalam salah satu ayatnya dari
sebuah buku Yasin. Peristiwa ini terjadi tepatnya ketika acara Yasinan
meninggalnya salah seorang dosen fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan,
Drs H Shohib Zen, Lc. Ketika acara Yasinan di rumah almarhum, secara
tidak sengaja penulis dengan beberapa teman menemukan kesalahan fatal
dalam sebuah ayat dalam buku Yasin tersebut. Kesalahan pada penulisan
huruf dalam bahasa Arab tentu saja akan merubah makna, yang melenceng
jauh dari apa yang seharusnya. Apa lagi jika kita kaitkan dengan fungsi
al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam—yang merupakan manifestasi dari Kalamullah. Merubahnya, apalagi berdasarkan kecerobohan alih-alih karena adanya faktor kesengajaan adalah sebuah dosa besar.
G. Bentuk-Bentuk Kesalahan Penulisan Buku Yasin
Bentuk kesalahan-kesalahan yang ditemukan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, sebagai berikut: kesalahan huruf, kesalahan harakat, kesalahan teknis penulisan, dan inkonsistensi dalam penulisan (lihat lampiran).
Jika
kita perhatikan dari kesalahan-kesalahnan di atas, maka dapatlah kita
kategorisasikan kepada kategori kesalahan yang merubah makna ayat dan
kesalahan yang tidak merubah makna ayat.
Kesalahan
yang merubah makna ayat adalah kesalahan yang fatal, merusak kesucian al-Qur’an karena telah melakukan pengubahan terhadap al-Qur’an.
Pada dasarnya bentuk-bentuk kesalahan dalam penulisan al-Qur’an dapat dibagi kepada kesalahan yang dapat diduga sebagai technical error.
Kesalahan yang diduga karena faktor kekurangtelitian atau kecerobohan
para pihak yang terlibat dalam pencetakan al-Qur’an tersebut. Sedangkan
bentuk kesalahan yang lain diduga keras berdasarkan unsur kesengajaan,
upaya pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam menodai kesucian
al-Qur’an. Terlepas kesalahan penulisan al-Qur’an itu karena faktor
kekurangtelitian dan kecerobohan ataupun ada unsur kesengajaan dengan
motivasi pemalsuan al-Qur’an, keduanya memiliki satu kesamaan. Kesamaan
dalam menodai kemurnian al-Qur’an.
Tindakan
ini merupakan suatu dosa besar jika pelaku melakukannya dengan sengaja.
Namun, terlepas ada atau tidaknya unsur kesengajaan dalam hal ini,
tentu jika ditemukan kesalahan dalam pencetakan al-Qur’an, tentunya
perlu diluruskan. Kesalahan huruf, kesalahan harakat, dan kesalahan
teknis penulisan di atas termasuk kategori kesalahan yang merubah makna
ayat.
Kesalahan
yang tidak merubah makna ayat misalnya inkonsistensi dalam penulisan antara mengikuti
rasm Utsmani dan atau mengikuti
rasm Imla’i. Penulis yang inkonsisten dalam buku Yasin yang ditulisnya dengan mencampuradukkan keduanya
. Mushaf' Utsman ditulis dengan kaidah-kaidah tersendiri, yang oleh beberapa kalangan dinilai terdapat inkonsistensi dari aturan bahasa secara konvensional. Oleh karena itu, ada sebahagian ulama mempersempit pengertian rasm al-Qur’an yaitu apa yang ditulis oleh para sahabat Nabi saw. menyangkut sebagian lafazh-lafazh al-Qur’an dalam mushaf 'Utsmani, dengan pola tersendiri yang menyalahi kaidah-kaidah penulisan bahasa Arab atau yang dikenal dengan istilah rasm Imla’i.
Menyikapi
fenomena rasm Utsmani dengan inkonsistensinya, maka muncullah perbedaan
pendapat di kalangan para ulama mengenai kedudukan rasm Utsmani tersebut. Jumhur ulama berpendapat Rasm Utsmani yang menggunakan pola tersendiri bersifat tauqifi atau
atas petunjuk Nabi SAW, dengan alasan bahwa para penulis wahyu itu
adalah orang-orang yang ditunjuk langsung dan dipercayai oleh Nabi.
Sehingga bentuk-bentuk inkonsistensi tersebut tidak bisa dilihat hanya
dari sisi kaedah penulisan baku bahasa arab (rasm Imla’i) tetapi
di balik inkonsistensinya itu terdapat rahasia atau hikmah tersendiri.
Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa rasm Utsmani itu tidak bersifat tauqifi, tapi
merupakan ijtihad para sahabat semata berdasarkan sebuah riwayat bahwa
sesungguhnya memerintahkan untuk menulis al-Qur’an tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya dan tidak pula melarang
menulisnya dengan pola-pola tertentu. Seandainya Rasm Utsmani bersifat tauqifi tentu akan disebut rasm nabawi, belum lagi kalau ke-ummiyan
Nabi dipahami sebagai “buta huruf”, jadi tidak mungkin petunjuk teknis
penulisan datang dari Nabi. Sehingga dengan adanya perbedaan pendapat
ini, maka hukum mengikuti rasm Utsmani dalam penulisan
al-Qur’anpun diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menyatakan wajib
diikuti dan harus dipertahankan meskipun terdapat sebagian yang
menyalahi kaedah-kaedah penulisan yang telah dibakukan, bahkan Imam
Ahmad bin Hambal dan Imam Malik memfatwakan haram hukumnya menulis
al-Qur’an jika menyalahi rasm Utsmani. Sementara ulama lain membolehkan menulis al-Qur’an dengan tidak mengikuti rasm Utsmani.
Semua
buku-buku Yasin tersebut tidak mencantumkan keterangan telah ditashih
oleh lembaga atau pihak yang berwenang. Buku-buku tersebut sebagiannya
hanya mencamtumkan nama penulisnya, atau penerbitnya atau bahkan
mengutipnya begitu saja tanpa mencantumkan penulis atau penerbitnya.
Biasanya
untuk memperingati tujuh atau empat puluh hari meninggalnya seseorang
dicetaklah buku-buku Yasin yang nantinya dijadikan semacam
kenangan-kenangan dan ucapan terima kasih yang akan diberikan kepada
para penta’ziah. Buku-buku Yasin itu biasanya dicetak dengan pembuang
cover buku Yasin terkadang menghilangkan nama penulis dan penerbitnya
dengan menggantinya dengan cover yang menjelaskan tentang peringatan
meninggalnya seseorang.
Ironisnya
lagi sebagiannya mengutip begitu saja QS. Yasin/36 tersebut tanpa
mencantumkan penulis dan atau penerbitnya. Misalnya buku Yasin yang
digunakan pasangan Zul-Yanto dan Alzier & Bambang dalam kampanye pencalonan mereka dalam pemilihan gubernur Lampung priode 2009- 2014.
H. Antisipasi Peredaran Buku Yasin Yang Tidak Ditashih di Tengah-Tengah Masyarakat
Buku-buku
Yasin itu beredar luas di masyarakat seiring dengan mendarahdagingnya
tradisi Yasinan tersebut. Berarti juga bahwa buku-buku Yasin yang tidak
ditashih oleh pihak yang berwenang dalam hal ini beredar luas. Antara
buku Yasin yang sesuai maupun yang menyalahi rasm Utsmani itu bercampur aduk dalam peredarannya.
Dari segi yang memiliki kewenangan, yang paling berhak adalah Lajnah Pentashih al-Qur’an
--yang
berada di bawah Balitbang Departemen Agama-- salah satu tugas pokoknya
adalah memelihara kesahihan al-Qur`an sebagai implementasi maksud firman
Allah Surat al-Hijr/15: 9 sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1982.
Pemerintah juga memberikan dukungannya dengan pendirian percetakan al-Qur’an Departemen Agama (Depag) di Ciawi, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (15/11/2008).
Pendirian percetakan ini mengisi kevakuman percetakan al-Qur’an Depag
yang lama karena telah hancur sejak tahun 70-an. Kehadiran percetakan
al-Qur’an ini, merupakan hari bersejarah bagi umat Islam Indonesia,
karena kita dapat mewujudkan berdirinya percetakan al-Qur’an yang sudah
sejak lama didambakan untuk mengisi kebutuhan penyediaan kitab suci
al-Qur’an bagi hampir 200 juta umat Islam di tanah air.[19] Produk percetakan ini merupakan al-Qur’an standar yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih al-Qur’an.
Selain itu tugas Lajnah dibutuhkan komitmen penerbit
dan penulis buku Yasin dalam menjaga dan memelihara kitab suci
al-Qur’an. Diduga motif di balik kesalahan dalam penulisan al-Qur`an ini
adalah kekurangtelitian dan kecerobohan. Dugaan yang lain menyatakan
boleh jadi penerbitnya sekedar berorientasi mengejar keuntungan
sehingga terkadang dengan mengabaikan kualitas[20]. Motif
lainnya boleh jadi untuk membuat keresahan dan huru-hara dalam
masyarakat muslim dengan membuat “riak-riak” kecil sehingga menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Tentu saja ini sangat tidak kita harapkan
dan sesalkan jika sampai terjadi.
Kurangnya
kesadaran ini antara lain karena kurangnya pemahaman dan tanggung jawab
keagamaan dan bisa jadi juga disebabkan karena mayoritas percetakan
mushaf al-Qur’an dimodali oleh mereka yang non muslim. Hal ini
sebagaimana yang diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Penerbit Mushaf
Al-Qur`an Indonesia (APQI), Ali Mahdami mengungkapkan pengusaha muslim
tidak pernah memikirkan betapa pentingnya percetakan, akibatnya 90
persen produksi al-Qur`an dan mungkin juga buku Yasin dalam hal ini
dicetak oleh pengusaha non muslim yang tidak mengerti dan menghormati
kitab suci al-Qur`an yang dianggap sama dengan buku-buku bacaan biasa.
[21]
Penulis tidak punya alasan lebih lanjut untuk menjelaskan persoalan
ini; apakah ini semacam monopoli, atau mungkin proses percetakannya
butuh modal yang sangat besar sehingga pengusaha-pengusaha besar saja
yang bisa “bermain”, atau mungkin secara bisnis kurang menguntungkan,
atau mungkin kurangnya kesadaran pengusaha muslim, atau mungkin
berdasarkan alasan-alasan yang sifatnya akumulatif dari hal-hal di atas.
Jadi selain dedikasi dan komitmen
Lajnah Pentashih al-Qur’an, di sisi lain dibutuhkan komitmen dari
penulis dan pihak percetakan.
Yang tak kalah pentingnya adalah kontrol dari setiap
pribadi muslim. Secara sederhana setiap pribadi muslim bisa mengambil
bahagian dalam tugas mulia ini, melakukan pentashihan buku-buku Yasin
yang ia miliki atau yang beredar di lingkungannya. Melakukan pensortiran
terhadap buku-buku Yasin yang terdapat kesalahan di dalamnya.
Pensortiran itu bisa dalam bentuk memusnahkan buku-buku Yasin yang salah
tersebut atau tetap menggunakannya setelah ditashih atau dikoreksi dan
diperbaiki kesalahannya.
Selanjutnya
kita perlu melakukan sosialisasi. Sosialisasi tentang perlunya
melakukan kontrol terhadap buku-buku Yasin yang beredar di sekitar kita
dus sosialisasi tentang buku-buku Yasin yang sesuai dengan rasm Utsmani; sesuai dengan mushaf yang telah ditashih oleh Lajnah Pentashih al-Qur’an.
Tradisi
Yasinan perlu dijaga dari hal-hal yang merusaknya, seperti terdapatnya
kesalahan dalam buku Yasin yang digunakan. Tentu saja niat dan amal baik
itu menjadi tidak atau kurang sempurna bahkan bisa jadi berbuah dosa
ketika kita menyaksikan suatu kesalahan dan kemudian mendiamkan atau
tidak ada usaha untuk meluruskannya.
Pentashihan buku
Yasin adalah salah satu upaya untuk senantiasa memelihara otentisitas
al-Qur’an. Suksesnya upaya pemeliharaan al-Qur’an ini sangat membutuhkan
dukungan dari seluruh kaum muslimin untuk membentengi upaya-upaya
menodai kemurnian al-Qur’an.
Al-Furqan al-Haq; The True Furqan, pusdai.wordpress.com
Al-Qur'an Banyak Salah Cetak Karena Kejar Laba, kisahislam.com
Al-Qur’an Palsu Beredar di Masyarakat, www.sumenep.go.id.
Anwar, Hamdani, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet.ke-12
Awas peredaran al-Qur‘an Palsu Serang Sukoharjo, forum.swaramuslim.net
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran al-Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu, 1989
____________, Tafsir Maudhu’i: Solusi Qur’ani atas Masalah Sosial Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, cet.ke-1
Baqi, al, Fuad Abd, Mu’jam Mufahras li alfaz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh Jilid I: Paradigma pEnelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenada Media, 2003
____________, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta: Logos, 1998, cet.ke-1
____________, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:Rajawali Pers, 2004, cet.ke-1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992
Dewan Redaksi PT Ichtisar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtisar Baru Van Hoeve, 2001
Ditemukan 36 Kesalahan dalam 'Alquran Beryesus, swaramuslim.net
Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.
eramuslim.com
Nawawi, an, Imam, Adab dan Tata Cara Menjaga al-Qur’an, (terj) Jakarta: Pustaka Imani, 2001
Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, T.T: T.Tp, 1978
Sa'id, Labid al-, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim, Mesir: Daral-Kitab al-'Arabiy, t.t.
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13
____________, Mu’jizat al-Qur’an: Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, , Isyarat Ilmiyah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 1992
____________, Sejarah dan ‘Ulum al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999
____________, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2000
____________, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998
Syadili, Ahmad dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Syauqi, Rif’at dan Muhammad Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Umar, Muhammad Nasruddin, Klasifikasi Ayat al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas, 1990
[1] Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung:Penerbit Mizan, 1996, Cetakan 13, h. 21
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Muqaddimah), Bandung: Gema Risalah Press, 1992, h. 23
[7] Handono, Irena, et. al, Sejarah dan Keaslian al-Qur’an, T pt: Bima Rodheta, 2004, Cet. 4
[10] Manna al-Qaththan., ibid., h. 48. Muhammad Rajab al-Farjani, Kayfa Nata'addab ma'a al-Mushhdf (T.Tp.: Dar al-Istihsan, 1978), h. 85. Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah, ibid., h.166
[11] Labid al-Sa'id, al-Jami'al-Shawt al-Awwal liAlquran al-Karim (Mesir: Daral Kitab al-'Arabiy, t.t.), h. 372.
[15] Kegiatan Lajnah Pentahih Mushaf al-Qur’an tahun 2005, http://www.depag.web.id
[19] Menag Resmikan Percetakan Al Quran, http://www.eramuslim.com
[20] Jangan Berorientasi Untung, http://www.antara.co.id
[21] Al-Qur'an Banyak Salah Cetak, Loc.cit