Nabi bersabda : Didalam tubuh manusia itu ada mudghoh, ada suatu daging, yang apa bila ia baik maka baiklah seluruh tubuh dan apa bila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu, ketahuilah mudghoh itu adalah Qolb (hati).

Sadarkah kita, ketika berbuat dosa atau maksiat maka akan tertanam dalam hati sebuah noktah hitam. Jika noktah itu tidak pernah di bersihkan maka lama kelamaan hati akan menjadi hitam kelam.

Ibarat sampah yang menumpuk jika tidak dibersihkan maka akan menimbulkan bibit-bibit penyakit. Perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan akan menimbulkan penyakit dalam hati, ketidak tenangan, kegelisahan hidup, kegelisahan dirinya dengan hobbinya.

Hati adalah sumber ilham dan pertimbangan, tempat lahirnya cinta dan benc, keimanan dan kekufuran, taubat dan sikap degil. Ketenangan dan kebimbangan hati juga sumber kebahagiaan jika mampu membersihkan sebaliknya ia juga merupakan sumber bencana jika gemar menodainya. Allah swt wanti-wanti dalam firmannya :

Artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (QS.Asy Syamsi : 9-10).

Aktivitas yang kita lakukan sering berpangkal dari lurus atau bengkoknya hati. Rosulullah saw bersabda : Hati ini bagaikan raja, dan hati memiliki bala tentara, apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak maka rusaklah seluruh bala tentaranya.

Hati yang keras mempunyai tanda-tanda yang bisa kita kenali, diantara yang terpenting adalah sebagai berikut :

1. Malas melakukan ketaatan dan amal kebajikan.

Terutama malas untuk melaksanakan ibadah, malah mungkin memandang ringan,misalnya tidak khusyuk dalam menunaikan sholat, atau merasa berat dan enggan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah. Allah SWT berfirman dalam surat At-Taubah : 54 

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan Karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan


2. Tidak tergetar dengan Ayat-ayat Al Quran

Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, hatinya tidak terpengaruh sama sekali, tidak mau khusyuk atau tunduk, dan juga lalai dari membaca Al-Qur’an serta mendengarkannya, bahkan enggan dan berpaling dariNya. Sedangkan Allah berfirman Q.S. Al-A’rof ayat 179 yang artinya : “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.

3. Berlebihan mencintai dunia dan melupakan akhirat.

Himmah dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata-mata segala sesuatu ditimbang dari segi keperluan dunia. Cinta, benci dan hubungan sesama manusia hanya untuk urusan dunia saja. Penghujungnya jadilah dia orang yang dengki, ego, dan indifidualis, bahil serta tamak terhadap dunia. Karena sesungguhnyalah rusaknya akhlaq manusia dimulai denga rasa cinta yangt berlebihan terhadap dunia. Nabi Muhammad saw bersabda yang artinya : barang siapa yang mencintai dunia, maka Allah tidak akan menolongnya dalam hal apapun disamping itu, dalam hatinya empat hal : kesusahan yang berkepanjangan kesibukan tiada henti, kefakiran yang utuh selamanya dan angat-angan yang tidak ada batasnya.

4. Kurang mengagungkan Allah SWT.

Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman menjadi lemah, tidak marah ketika larangan Allah di lecehkan orang. Tidak mengamalkan yang ma'ruf serta tidak peduli terhadap segala kemaksiatanm dan dosa. Apabila ia beribadah seperti "robot" melakukan ibadah secara otomatis tanpa pemikiran dan penghayatan. Ia sholat namun yang teringat adalah istri, kenikmatan duniawi, atau bahkan benda-benda kecil yang tidak bernilai sekalipun. Allah swt mengingatkan dalam QS Luqman : 33

Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakanmu.

5. Keangkuhan diri.

Rasulullah saw bersabda : mereka yang didalam hatinya ada keangkuhan diri (kibr) walaupun hanya sebesar biji sawi, tidak akan masuk surga".

Keangkuhan diri merupakan lawan dari kepasrahan dir, diriwayatkan olah Ahmad dan Muslim, bahwa yang dimaksud kesombongan itu adalah menolak kebenaran orang lain, sejalan dengan itu Imam Ghozali berpendapat keangkuhan diri adalah perasaan superior dalam pemikiran, memandang oarang lain lebih rendah dari dirinya. Karena keangkuhan diri inilah iblis dilaknat oleh Allahyaitu taat kala menolak perintah Allah untuk sujud kepada adam karena semata-mata merasa dirinya yang dibuat dari api lebih hebat dari adam yang dibuat dari tanah banyak orang yang mungkin tanpa disadari mengikuti jejak iblis yaitu memandang rendah orang lain karena bangga asal keturunannya, congkak dengan pangkat dan harta yang dimilikinya, atau bahkan dengan ilmu yang disandangnya. Allah swt berfirman dalam QS Luqman : 18

Ÿ 
Artinya : Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan jangan kalian berjalan dimuka bumi dengan angkuh, sesungguhnya allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. (QS. Luqman : 18)

6. Tidak belajar dengan ayat kauniah.

Tidak terpengaruh terhadap peristiwa-peristiwa yang dapat memberi pelajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan seumpamanya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai perkara biasa. Dia tidak mau mengambil contoh darinya, padahal cukuplah kematian itu sebagai nasehat. Allah berfirman QS. At Taubah : 126.

Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian tidak juga bertaubat dan tidak pula mengambil pelajaran(At Taubah : 126)

Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari hati yang tidak khusyuk, dari doa yang tidak didengar, dari jiwa yang tidak pernah puas, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Dan aku berlindung kepadamu dari golongan yang empay macam itu (HR Tirmizdi dari Ibnu Umar)

Doa yang tidak didengar oleh Allah merupakan kerugian bagi manusia. Doa yang tidak didengar bisa disebabkan oleh ketidak khusyukan dalam berdoa, jiwa yang tidak pernah puas menyebabkan kesengsaraan didunia yang berkepenjangan, sedang ilmu yang tidak bermanfaat menyebabkan ilmu yang diperoleh tidak berguna bagi dirinya dan tidak membawa kebaikan bagi orang lain.



Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam (Q.S. Ali Imron : 19)

Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Q.S. Ali Imron : 85)

Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al Maidah : 3)

Fenomena maraknya kehidupan agama di negara ini tampak bila kita nonton telivisi. Kajian Islam penuh glamor, jilbab yang semakin trendy, dzikir yang penuh dengan tangisan penyesalan terhadap dosa, lagu-lagu Islami yang sejuk dan kesejajaran tokoh Islam dengan artis dan tokoh politik. Apalagi kalau kita lihat peringatan hari besar Islam yang nyaris tidak pernah terlupakan dengan seremonial yang indah dan tertata rapi.

Dibalik ini kita rasakan serangan budaya barat yang sangat intens yang tidak dimbangi respons ummat Islam yang kritis dan cerdas. Serba boleh atau permisivisme dan serba bebas atau liberal adalah kemewahan yang riskan. Hal ini menuntut terkristalnya sikap yang kadang-kadang terpaksa harus konfrontasi terhadap budaya baik Barat maupun Timur yang bertentangan dengan Islam.

Secara teoritis, suatu analisa atas falsafah kehidupan peradaban barat akan menyingkapkan bahwa budaya tersebut berlandaskan :

1. Dari sudut pandang metafsis, pada matreaslisme.

2. Dari sudut pandang psycholigis, pada faham inderawi / sensasionisme, seni dan mode membuktikan faktanya ini dengan jelas

3. Dari aspek etika, pada kemanfaatan dan syahwat / hedonisme

4. Dari aspek ekonom, pada exploitasi manusia pada masyarakat yang belum berkembang yang keduanya memperbudak manusia.

5. Dari aspek politik pada pertentangan ras, suku, bangsa dan pemisahan manusia berdasar warna kulit dan strata ekonomi. Semua ini merupakan ciri dari cara pandang materialistik.

Demikian pandangan Fazlurahman dalam buku kecilnya “ Islam VS The West”.

Islam sebagai dasar hidup kita mengharuskan untuk mewujudkan diri dengan kesadaran teoritik atau rasional, kesadaran moral, kesadaran estestika dan kesadaran spiritual.

Islam adalah din yang kamil, lengkap melingkupi segenap kegiatan manusia. Islam pada hakikatnya adalah agama juga budaya dan peradaban. Sasaran yang ditujunya adalah kebenaran kini dan kebahagiaan sesudah mati, sebagaimana do'ayang selalu diucapkan.

Ya Allah Tuhan kami, karuniakan kepada kami kebahagiaan di dunia, kebahagiaan di akhirat dan jauhkan kami dari siksa neraka.

Ajaran Islam yang inti ajarannya berupa inti hidup kita yaitu tauhid membentuk keyakinan dan cita-cita hidup : bahwa tugas hidup manusia adalah ibadah kepada Allah demi untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Hidup beribadahmenurut Islam adalah bertaqorub / mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan menunaikan amanahnya serta mematuhi ketentungan yang menjadi peraturan-peraturannya untuk mencapai keridlaaNya. Amanah Allah yang menentukan fungsdan misi manusia dalam hidupnya didunia ini adalah sebagai hamba Allah dan khalifah (pengganti) yang bertugas mengatur dan membangun dunia serta menciptakan keamanan dan ketertiban untuk memelihara kemakmuran. Hal ini kita lakukan sebagai tujuan hidup kita yang secara vertikal mardhotillah dan secara horizontal rohmatan lil alamin.

Dengan dasar dan cara memahami diatas maka dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam merupakan kesatuan ajaran yang tidak dapat dipisah-pisahkan yang meliputi :

1. Aqidah yaitu ajaran yang berhubungan dengan kepercayaan

2. Akhlaq yang berhubungan dengan sikap mental, etika dan kesopanan

3. Ibadah (Mahdloh) ajaran yang berupa peraturan dan tata cara hubungan dengan Allah yang semuanya harus dilaksanakan tanpa menambah atau mencurangi sehingga terjebak dalam bid'ah.

4. Muamalah duniawiyah : ajaran yang berhubungan dengan pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat.

Semuanya ini bertumpu dan mencerminkan bahwa dasar hidup kita Islam, intihidup kita tauhid, pedoman hidup kita Al-Qur'an dan Assunah, tugas hidup kita ibadah, fungsi hidup kita khalifah fil ardli pembawa risalah serta tujuan hidup kita adalah keridloaan Allah dan ramhatan lil alamin / menjadi rahmat bagi seluruh Alam.

Dapat difahami bahwa Islam tidak berpandangan sempit atau terbelakangmalahan Islam siap berhubungan dengan semua golongan bahkan siap untuk berinovasi, modern dan kritis.

Firman Allah :

Bertolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan bertaqwa dan janganlah bertolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.

Bahkan Rosulullah bersabda “ AL – HIKMAH adalah milik yang hilang dari mukmin maka ia harus dimana dicari saja ia berada.

Prestasi besar dibidang ilmu dan teknologi dari barat harus kita ambil tetapi budaya meterialistik dan hedonisme / serba syahwat harus kita jauhi.

Menjadi keharusan pada kita untuk meningkatkan komitmen kita yaitu mengimani Islam, mengilmui diri kita dengan Islam, mengamalkan Islam dan mendakwahkan Islam serta selalu sabar dalam memperjuangkan Islam.

Allah Berfirman :

Wahai orang yang beriman masuklah kamu kedalam Islam secara total.

Inilah kebenaran yang harus diwujudkan secara total oleh masyarakat Islam sebelum terlambat. Perwujudan tersebut mengharuskan kita dakwah Islamiyah amar makruf nahi munkar dengan memulai dari diri kita sendiri. Ibadak binafsik.



Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini tidaklah begitu saja jatuh dari langit, “Bak Durian Jatuh dari Pohonnya”. Tidak, sama sekali tidak! Kemerdekaan merupakan produk Kebangkitan Nasional atau Kebangunan Nasional. Kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 seabad yang lalu merupakan simbol Kebangkitan Nasional. Boleh dikatakan bahwa Budi Utomo dengan kebangkitan nasionalnya merupakan “entry point” tumbuhnya rasa kebangsaan kita. Kelahiran Budi Utomo membawa pergeseran “paradigma” perjuangan bangsa. Sebelum itu, perjuangan kita masih sangat “fragmentalis” kesukuan dan kedaerahan. Konsep perjuangannya didasarkan pada konsep “regional dignity” (harkat daerah) dan “regional pride” (kebanggaan daerah) serta “etnis pride” (kebanggaan suku). Misalnya: Sultan Agung (1628-1629) untuk kepentingan negeri Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682) untuk kepentingan Banten, Kapitan Pattimura (1817) untuk kepentingan Maluku dan masih banyak lagi contohnya.

Metode perjuangan yang seperti itu ternyata menemui kegagalan dan gampang ditumpas oleh bangsa penjajah. Bukti kegagalan seperti itulah yang mengilhami para pemimpin bangsa pada saat itu untuk merubah “paradigma” perjuangan bangsa. Mereka sadar bahwa perjuangan yang dilakukan secara “fragmentalis” kedaerahan dan kesukuan ternyata salah dan tidak menghasilkan apa-apa. Berangkat dari pengalaman dan bukti-bukti seperti itu maka kelahiran Budi Utomo mendorong para pejuang bangsa untuk merubah taktik dan strategi perjuangannya. Guna mengusir penjajah diperlukan adanya semangat persatuan dan kesatuan nasional yang kuat dilandasi oleh konsep perjuangan yang tepat yakni konsep “national dignity” (harkat nasional) dan “national pride” (kebanggaan nasional) yang utuh dan menyeluruh.

Perjuangan menegakkan faham kebangsaan (nasionalisme) membutuhkan persamaan kedudukan antar etnis, suasana “egalitarian” dan “kebersamaan” berdasarkan perasaan senasib dan sependeritaan. Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Otto Bauer (1882-1939) bahwa faham kebangsaan itu lahir karena adanya persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib yang sama (I Wayan Badrika, 1996).

Refleksi Historis-Kritis.

Bila merefleksi secara historis-kritis tentang perjalanan bangsa Indonesia hingga berakhirnya Orde Baru dan datangnya Era Reformasi, terdapat nilai-nilai luhur perjuangan bangsa yang patut dijadikan teladan bagi generasi berikutnya. Pada kenyataannya membangun sebuah Negara Kebangsaan ditengah-tengah pluralisme budaya dan etnis, bukanlah barang mudah, perlu kita sadari dan pahami bersama bahwa untuk membangun sebuah Negara Kebangsaan memerlukan keikhlasan untuk bersatu dengan melepaskan berbagai ambisi primordial lokal, ambisi etnis, ambisi kelompok dan ambisi pribadi secara proporsional.

Pada episode atau tahapan sejarah perjuangan bangsa, semangat seperti tersebut diatas benar-benar menjadi kenyataan. Ketika Budi Utomo dideklarasikan, Sumpah Pemuda dikumandangkan dan Kemerdekaan diproklamasikan muncul “keajaiban” luar biasa yang tiada diduga sebelumnya. Maka jangan heran bila pada penggalan sejarah tertentu akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa secara alamiah yang memiliki jiwa perjuangan yang menakjubkan. Mereka datang berjuang dengan rela berkorban, tanpa pamrih, memiliki rasa persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan yang tinggi dan tentu tidak takut “penjara” bahkan mati sekalipun.

Kehebatan para pemimpin diseputaran kelahiran Budi Utomo tidak dapat disangkal oleh siapapun. Misalnya tokoh semacam Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Dr. Tjipto Mangun Kusumo, Dauwers Decker, Ki Hadjar Dewantoro, HOS Tjokro Aminoto, KH Ahmad Dahlan dan lain-lain. Para pejuang ini mampu mengubah paradigma perjuangan dari perjuangan non kooperatif kearah kooperatif, dari fragmentalisme daerah kesukuan kearah Nasionalisme seutuhnya dan dari “elitis feodalis” kearah “generalis populis”.

Demikian pula kehebatan para pemuda yang menghadiri Konggres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 sungguh amat membanggakan. Ditengah-tengah kekejaman penjajah masih mampu membangun kebersamaan dan persatuan pemuda dengan melahirkan Sumpah Pemuda yang begitu kritis dan berani. Tentu acungan jempol patut diberikan kepada Sugondo Djoyo Puspito dkk. Dan jangan dilupakan Pemuda WR Supratman melalui gesekan biolanya memperdengarkan dengan beraninya lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya.

Belum lagi kehebatan Sang Proklamator Sukarno/Hatta. Sukarno dengan gaya oratornya yang memikat rakyat mampu membangunkan rakyat dari “tidur lelapnya”. Rakyat kita sadar kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki harkat dan martabat yang besar pula. Nusantara adalah milik kita bukan milik penjajah. Pendek kata Sukarno mampu membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi pada rakyatnya. Sedangkan Moch Hatta adalah pemimpin panutan karena kejujuran, keikhlasan dan kekonsistenannya dalam berjuang. Ia dikenal sebagai ahli strategi konsep ekonomi kerakyatan yang tidak ada duanya saat ini. Argumen-argumen dan alasan yang disampaikan rasional, cerdas dan tajam sehingga membawa decak-kagum pengikutnya.

Kehebatan para pemimpin seperti tersebut diatas menjadi terasa tidak lengkap manakala tidak disertai dengan kebesaran jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan para pemimpin Agama kita. Dari kalangan Islam sebut saja KH Mas Mansyur, Anwar Tjokro Aminoto, KH Wahid Hasyim dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Non Islam seperti: Mr AA Maramis, Mr Latu Harhary, Dr. Sam Ratulangi dan lain-lain. Ketika memperdebatkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masing-masing menampakkan kebesaran jiwanya, demi untuk menjaga persatuan-kesatuan bangsa mereka dengan tulus ikhlas menerima rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rekontruksi Ulang.

Dari refleksi historis ditentukan sejumlah karakter bangsa Indonesia yang telah teruji selama berabad-abad yaitu patriotisme, kemandirian, harkat nasional dan kebanggaan nasional. Karena karakter tersebutlah maka perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme hingga dicapainya “”kulminasi” perjuangan yakni Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Dalam era Reformasi seperti sekarang ini karakter bangsa seperti itu masih sangat diperlukan, oleh karena itu perlu direkontruksi ulang sebagai “bahan acuan” pembangunan bangsa kedepan. Semangat kebangkitan nasional adalah semangat perjuangan yang tidak mengenal kata lelah untuk rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, menghargai sesama anak bangsa, bekerja sama dengan penuh kekeluargaan dan kegotongroyongan serta mencintai tanah air seutuhnya.

Menurut Dr Sukamto dan kawan-kawan (Fasli Jalal, 2001) Patriotisme dan perlawanan terhadap penjajah selama 350 tahun telah memperkokoh persatuan nasional tanpa konflik antar etnik dan antar agama. Bhineka Tunggal Ika tidak mengandung potensi konflik apabila diartikan secara benar dan keberagaman dikelola dengan baik. Tuntutan otonomi penuh dan kemerdekaan oleh daerah tertentu lebih karena rasa keadilan yang terusik baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Persatuan nasional akan tetap menjadi pengikat kesatuan bangsa, bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan secara benar.

Berkembangnya “koalisi vested” di Era Orde Baru yaitu koalisi untuk mempertahankan kekuasaan dan selanjutnya menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk pemerintahan yang “kolutif”, koruptif dan Nepotis” kiranya bukan hal yang tidak bisa diatasi dan diberantas sepanjang ada kesungguhan dari pemerintah untuk membasminya. Kita harus optimis bahwa moral demokrasi, moral kemanusiaan, dan moral agama mampu menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari ancaman tindakan itu.

A. KEYAKINAN, PEMAHAMAN DAN PENGHAYATAN SERTA PENGAMALAN
Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul (QS Asy-Syura/42:13, sebagai hidayah dan rahmat Allah bagi ummat manusia sepanjang massa yang menjamin kesejahteraan hidup material dan spiritual, duniawi dan ukhrawi. Agama Islam yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi akhir zaman, ialah ajaran yang diturunkan Allah yang tercantum dalam Al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbul) berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan hidup manusia didunia dan akhirat. Ajaran Islam bersifat menyeluruh dalam arti satu dengan lainnya tidak bisa dipisah-pisahkan yang meliputi bidang-bidang: Aqidah, Akhlaq, Ibadah dan muamalah duniawiyah.
Islam adalah agama untuk menyerahkan diri semata-mata kepada Allah (QS An-Nisa/4:125), Agama yang sesuai dengan fitrah manusia (QS Ar Rum/30:30) Agama yang menjadi petunjuk manusia (Al Baqarah/2:185), Agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesama (QS Ali Imron/3:112) Agama yang menjadi rahmat bagi semesta Alam (QS Al-Anbiya/21:107). Islam satu-satunya Agama yang diridhai Allah (QS Ali Imron/3:19) dan agama yang sempurna (QS Al Maidah/5:3).
Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup Tauhid kepada Allah (QS Al Ikhlas/112: 1-4), fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah (QS Adz-Dzariyat/51:56) dan menjalankan kekhalifahan (QS Al Baqarah/2:30) dan bertujuan untuk mencari Ridha serta karunia Allah SWT (QS Al-Fath/48:24).
Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan disunia apabila benar-benar diimani, difahami, dihayati dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara totalitas atau Kaffah (QS Al-Baqarah/2:208) dan penuh ketundukkan atau penyerahan diri (QS Al-An`am/6:161-163). Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama yang meliputi:
a. Kepribadian Muslim (QS Al Baqarah/2:112, 133, 136,256; Ali Imron/3:19, 52, 82, 85 dll)
b. Kepribadian Mukmin (QS Al Baqarah/2:2-4, 165, 213-214,285)
c. Kepribadian Muhsin dalam arti berahlaq mulia (QS Al Baqarah/2: 2-4, 177, 183)
d. Kepribadian Mutaqin (QS Al Baqarah/2: 58, 112).
Setiap muslim yang berjiwa mukmin, muhsin dan mutaqin yang paripurna itu dituntut untuk memiliki keyakinan (aqidah) berdasarkan tauhid yang istiqamah dan bersih dari syirik, bid`ah dan khurafat; memiliki cara berfikir bayani (mendasarkan pada nash-nash yang saling menjelaskan), burhani (mendasarkan pada bukti-bukti atau dalil ilmiah yang pasti) dan irfani (mendasarkan pada fikiran yang mendalam dan hati nurani); dan perilaku serta tindakan yang senantiasa dilandasi oleh dan mencerminkan akhlaq karimah yang menjadi rahmatan lil`alamin.
Dalam kehidupan diakhirat nanti, pada hakikatnya Islam yang serba utama itu benar-benar dapat dirasakan, diamati, ditunjukkan, dibuktikan dan membuahkan rahmat bagi semesta alam sebagai sebuah manhaj kehidupan (sistem kehidupan) apabila seungguh-sungguh secara nyata diamalkan oleh para pemeluknya. Dengan demikian Islam menjadi sistem keyakinan, sistem pemikiran dan sistem tindakan yang menyatu dalam demi setiap muslim dan kaum muslimin sebagaimana menjadi pesan utama risalah dakwah Islam.
Dakwah Islam sebagai wujud menyeru dan membawa umat manusia ke jalan Allah (QS Yusuf/12:108) pada dasarnya harus dimulai dari orang-orang Islam sebagai pelaku dakwah itu sendiri (ibda`binafsih) sebelum berdakwah kepada orang lain sesuai dengan seruan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa Api Neraka (QS At-Tahrim/66:6). Upaya mewujudkan Islam dalam kehidupan dilakukan melalui dakwah itu ialah mengajak kepada kebaikan (amru bil ma`ruf) mencegah kemungkaran (nahyu`amil munkar) dan mengajak untuk beriman (tu`minuna billah) guna terwujudnya umat yang sebaik-baiknya atau Khairu ummah QS-Ali Imran/3:104)
Potensi ruhani yang pokok meliputi: berfikir, merasa dan percaya. Ketiga potensi itu disebut: rasio, rasa dan iman. Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh yang harus dibina dan dikembangkan secara bersama dan berimbang. Di dalam Al-Qur`an, kesatuan yang bulat dari potensi itu disebut Fuad yang dimaknakan akal, budi pekerti dan hati nurani.
Pengembangan kegiatan-kegiatan Fuad secara sistematis akan memberikan hasil yang disebut sain dan teknologi. Pengembangan ekspresi (ungkapan) rasa akan melahirkan seni (art) dan pengembangan potensi iman akan membuahkan aqidah, akhlaq dan syari`ah. Disamping itu pengembangan pada potensi-potensi tertentu secara khusus akan melahirkan spesialisasi pada bidang tertentu. Pada penekanan pada pengembangan akal yang ada pada potensi rasio yang bersangkutan akan berkembang menjadi scientist. Jika yang ditekankan pada potensi iman yang bersangkutan akan berkembang menjadi ulama. Sedangkan bila yang dipilih pada potensi rasa akan berkembang menjadi seniman. Pengembangan ketiga potensi tadi apabila dilakukan dengan serius dan sungguh-sungguh serta harmonis akan melahirkan saintis muslim yang soleh atau seniman muslim yang bijaksana dan ulama Islam yang cendekiawan.
Mereka inilah orang-orang yang fuad yang akalnya dibidik dan dikembangkan dalam kehidupan yang Islami, merupakan insan pembangun sejati dan khalifah dimuka bumi yang mampu menegakkan kebudayaan setinggi-tingginya dan mampu mengislamkan kebudayaannya sehingga menjadi teladan bagi seluruh ummat manusia. 
Berdasarkan pada keyakinan, pemahaman dan penghayatan Islam yang mendalam dan menyeluruh itu maka bagi segenap Mahasiswa UMM merupakan kewajiban yang mutlak untuk melaksanakan dan mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan dengan jalan mempraktikkan hidup Islami dalam lingkungan sendiri sebelum mendakwahkan Islam kepada pihak lain.

B. KEPRIBADIAN MUSLIM SEUTUHNYA
Manusia adalah ciptaan Allah SWT yang sangat istimewa dimuka bumi. Kejadiannya diumumkan secara khusus dimuka para malaikat dan dia diberi Jabatan sebagai khalifah simuka bumi (QS. Al-Baqarah/2:30). Agar memahami keistimewaan potensi manusia, perlu direnungkan tentang penciptaan manusia seperti dalam firman-Nya (QS Al-`Araf/7:11; QS Al Mukminun/23:12).
Keistimewaan manusia menurut firman Allah antara lain: Struktur tubuh yang kokoh dan seimbang, lincah dan kuat. Disamping itu yang khas adalah Ruh insaniah danm jasmaniah. Perpaduan ruh insaniah dan jasmani ini akan membentuk jasad yang serasi dan harmonis diberi tanggung jawab amanat agar mengamalkan agama Islam dengan sungguh-sungguh dan Ikhlas.
Manusia lahir dalam keadaan suci dan serba kekurangan tidak membawa harta benda, serta tidak mengetahui suatu apapun karena belum bisa mendengar, melihat dan membaca (QS-An-Nahl/16:78) awal dari perkembangan kehidupan manusia berada pada potensi rochani

C. JATI DIRI MAHASISWA MUSLIM
Sesungguhnya kebutuhan agama pada manusia khususnya agama Islam merupakan kebutuhan primer yang berhubungan erat dengan substansi kehidupan, misteri alam dan hati nurani yang paling dalam. Keyakinan terhadap agama timbul dari kebutuhan untuk mengetahui dirinya dan hakikat eksistensi alam semesta dan sekitarnya, yang sering melahirkan pertanyaan-pertanyaan pada diri siapapun yang bernama manusia.
Guna mencermati jati diri manusia termasuk mahasiswa muslim ada 3 pilar pikiran yang perlu jadi perhatian utama yaitu.

1. Ad Dien (Agama)
Ad Dien (Agama) adalah suatu sistem niali yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan menuju keselamatan hidup. Jika dilihat dari hakekat eksternal, Ad Dien merupakan kumpulan hukum/ketentuan-ketentuan idealis yang mendiskripsikan sifat-sifat kekuatan illahiah dan kemampuan kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada Nya.
Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti berserah diri, tunduk dan damai. Islam dalam arti terminologi berarti agama yang ajaran-ajarannya diberikan Allah kepada manusia melalui para utusan-Nya (Rasul-rasul) untuk keselamatan hidup manusia. Dalam Al-Qur`an jelas dikatakan bahwa agama Allah adalah Islam yang telah diutus melalui para Rasul sebagaimana firman-Nya (QS Ali Imran/3:19-20).
Sesungguhnya Ad-Dien itu merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Komprehensifitas arti ibadah dalam Islam sangat berpengaruh dalam diri dan kehidupan manusia. Oleh karena itu manusia harus senantiasa bisa menjadi muslim, mukmin, muksin dan menuju mutakin. Disisi lain manusia harus memposisikan dirinya sebagai Abdullah dan Allah sebagai pencipta sebagaimana firman Allah (QS-Adz-Dzariyat/51:56)

2. AL INSAN
Kata insan (manusia) sebagai julukan manusia di dalam Al-Qur`an selalu dikaitkan dengan kegiatan yang disadari dan dikaitkan dengan kapasitas akalnya serta aktualitas dalam kehidupannya secara konkret yaitu; perencanaan, tindakan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Dalam konteks Al insamiah terdapat makna ruhaniah dan jasmaniah. Dalam makna ruhaniah manusia sebagai modal dasar kehidupan didunia. Ketiga potensi tersebut adalah: akal (QS-Al Baqarah/2:264) Hati (QS Al Isra`/17:36) dan Jasad (QS At-Tiin/95:4).
Akal dan hati dapat diartikan sebagai potensi intelegensia yang berfungsi sebagai filter yang menyeleksi secara nalar tentang baik dan buruk yang disebabkan oleh dorongan nhafsu.
Nafsu merupakan tenaga potensial untuk mendorong berbuat atau bertindak kreatif dan dinamis dan berkembang menjadi dua arah yang berbuat baik atau buruk (QS. Asy Syams 91:8).
Ketiga potensi dasar tersebut harus dimiliki secara seimbang karena akan membentuk struktur ruhaniah dalam diri manusiayang kemudian akan mencapai kekhalifahan. Khalifah berati wakil atau pengganti yang memegang kekuasaan atas mandat Allah untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Untuk mencapai kekhalifahan, manusia dibekali dengan berbagai perangkat yang bersifat potensial yaitu fitrah (kecerdasan ke arah kebenaran dan kebaikan, kecenderungan ke arah agama sebagaimana firman Allah (QS. Al Baqarah 2:30). Fitrah erupakan bahan dasar yang bersifat membawa manusia ke arah derajat kemuliaan yang tinggi yaitu derajat keinsanan.

3. Al Ilmu
Sehubungan dengan peranan manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi, manusia diperintahkan untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat (QS. Al Qashash (28:77). Petunjuk ini membaawa kepada satu kesimpulan bahwa sebagai hamba Allah yang diciptakan untuk hidup di bumi, manusia harus menguasai ilmu keakhiratan dan ilmu keduniaan yang diperlukan. Untuk penguasaan ilmu yang baik dan benar diperlukan suatu metode ilmiahdengan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Rasional
b. Kritis
c. Obyektif
d. Inovatif
Dengan bimbingan Al Qur’an manusia diarahkan agar mengembangkan iptek dan mejadi ilmuwan muslim.

Memasuki abad ke 21 ini, umat Islam belum beranjak dari tidur panjangnya. Ia masih menjadi obyek tak berdaya dari kekuatan global, kapitalisme. Umat yang banyak tapi tak begitu bermakna dalam dinamika perubahan dunia karena peran sejarah mereka yang tidak lagi diperhitungkan. Sebuah ironi memilukan yang terjadi sejak empat abad silam. Setelah kekuasaan Turki Usmani runtuh pada abad ke 17, Islam dan umatnya benar-benar terpuruk secara sosial, politik dan militer. Kelumpuhan secara intelektual, telah menyebabkan mereka selama waktu yang panjang menjadi tawanan sejarah. Mereka terjajah, hanya satu dua negara muslim saja yang bebas dari penjajahan, itu pun kondisinya sangat terbelakang.

Kini, umat Islam identik dengan kebodohan, kemunduran, keterbelakangan, dan kemiskinan. Kondisi obyektif tidak memungkiri pendapat ini. Mayoritas negara-negara berkembang yang berpenduduk Islam adalah negara-negara miskin dan terbelakang dengan tingkat kesejahteraan dan income per kapita yang di bawah standar. Belum lagi sebagian besar mereka masih dikuasai oleh penguasa-penguasa otoriter setelah terbentuknya negara-negara bangsa (nation state). Lembaga-lembaga internasional yang diharapkan menjadi wadah kekuatan negara-negara Islam seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI) masih terlalu lemah untuk menunjukkan taringnya di hadapan dunia Barat. Persaudaraan intern umat menjadi hancur oleh berbagai kepentingan sempit dan permusuhan.

Selain itu, Islam bahkan menjadi ikon dari kekerasan dan terorisme. Fenomena runtuhnya gedung kembar WTC dan penyerangan Amerika ke Afganistan menggambarkan stigma ini. Sayangnya, stigma ini terlanjur diamini oleh banyak kalangan, termasuk dunia Islam sendiri. Dengan demikian, lengkaplah penderitaan sebuah umat yang dilahirkan Muhammad berabad-abad silam.

Dalam kondisi inilah, kemudian banyak kalangan gerakan dan intelektual Islam yang mencoba membangun kembali semangat yang pernah hilang. Semangat dan cita-cita yang secara kaffah untuk menjadi rahmad bagi seluruh alam. Semangat ini coba digali lagi dari kekuatan tauhid. Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam.        

''Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya dan dia mengajarnya, 'Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah SWT. Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang besar'.'' (QS Lukman:13). Pengajaran Lukman kepada anaknya yang diungkapkan Allah SWT pada ayat tersebut, merupakan bagian dari kegiatan Lukman dalam mendidik anaknya untuk bertauhid (mengesakan Allah SWT). Ternyata Lukman memilih tauhid sebagai materi pendidikan yang mendasar. Ayat tersebut juga mengimbau setiap manusia untuk meneladani cara Lukman dalam mendidik anaknya. Manusia harus mengedepankan pendidikan tauhid kepada generasi penerus yang bakal menjadi ahli warisnya.

Pendidikan tauhid harus diberikan mendahului pendidikan disiplin ilmu yang lain. Bahkan, pendidikan tauhid seharusnya mendasari pendidikan ilmu pasti, ilmu sosial dan politik, sains dan teknologi, ilmu ekonomi, biologi, olahraga, dan sebagainya. Pendidikan tauhid yang diberikan Lukman kepada anaknya itu dapat menambah khazanah setiap orang yang peduli dengan pendidikan. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, dan moral sesuai kemampuan dan martabat manusia.

Para pelaku pendidikan semestinya juga bisa menjadikan pendidikan tauhid sebagai dasar untuk menjalankan setiap ragam kurikulum pendidikan. Pendidikan tauhid, haruslah menyentuh unsur kognisi (pengetahuan) yang menjadikan anak didik menjadi haqqul yaqin tentang kesempurnaan dan keesaan Allah SWT. Selain itu, pendidikan tauhid juga seharusnya menyentuh aspek afeksi (sikap), sehingga setiap anak didik bisa melakukan pengabdian kepada Allah SWT.

Apa yang dilakukan Ya'qub ketika hampir wafat juga cukup menarik untuk diteladani. Waktu itu, Ya'qub bertanya kepada anak-anaknya, ''Apa yang bakal kalian sembah sepeninggalku?'' Semua anaknya menjawab, ''Kami akan menyembah Tuhanmu, Tuhan bapak-bapakmu --Ibrahim, Ismail, dan Ishak-- yakni Tuhan Yang Esa dan kami berserah diri kepada-Nya.'' Kisah ini diabadikan dalam Surat Al Baqarah ayat 133. Selanjutnya, pendidikan tauhid seharusnya juga menyentuh unsur keterampilan. Dengan keterampilan berbasis tauhid, seorang anak didik menjadi bisa berterima kasih kepada orang tuanya, senang melakukan kebaikan, rajin, serta disiplin mendirikan shalat, dan sebagainya. Singkatnya, keterampilan tersebut akan mengarahkan anak didik untuk menjalankan segala kebaikan dan menjauhi segala keburukan. Agar pendidikan tauhid itu berjalan efektif dan tidak menyimpang, sebaiknya dilakukan dengan metode yang benar lagi tepat.

Setidaknya ada empat langkah yang bisa ditempuh. Pertama, pendidikan tauhid harus berpedoman kepada sumber yang asli, yakni Alquran. Kedua, harus dipelajari secara menyeluruh. Ketiga, pendidikan tauhid juga harus mempertimbangkan kepustakaan yang ditulis para ulama, zuama, dan ilmuwan Muslim. Yang keempat, pendidikan tauhid tidak bisa hanya dilandaskan pada kenyataan hidup umat Islam yang ada saat ini. Dengan empat metode tersebut Insya Allah Rahmatan Lil Alamin – nya Islam akan terwujud.






Muhammadiyah selain dikenal sebagai organisasi Tajdid (pembaharuan) juga dikenal sebagai organisasi pemurnian agama atau purifikasi. Dua peran ini jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak buruk bagi organisasi, karena dua peran ini bisa saling berseberangan. Padahal keduanya di Muhammadiyah sudah mempunyai pengikut masing-masing. Dinamika keduanya terlihat jelas dalam arena Muktamar ke-45 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur awal juli lalu.
Peran-peran tajdid Muhammadiyah dimulai oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Berbagai langkah KHA. Dahlan seperti meluruskan masjid, sholat Ied di lapangan, khotbah dengan bahasa non Arab merupakan langkah tajdid yang diterima sevara umum hingga saat ini. Ia pun dalam tajdid tidak segan-segan meniru institusi diluar Islam. Dalam hal p0endidikan, misalnya, Kyai leih memilih model pendidikan yang dikembangkan Belanda dengan menambah pelajaran agama ketimbang pendidikan model pesantren. Saat ini pun pesantren sudah mulai mengadop sistem ini dengan pengayaan yang lebih pada ilmu-ilmu agama.
Peran-peran purifikasi Muhammadiyah terlihat pada gerakan anti TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Gerakan yang membawa Muhammadiyah harus berhadapan secara diametral dengan kelompok masyarakat lain. Keranya yak heran gerakan ini mendapat halangan dari kelompok masyarakat lain meski yang mendukung gerakan ini juga tak kurang banyaknya. Baik peran tajdid maupun peran purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah ini tetap berujung pada ruju’ ilal Qur’an was Sunnah (kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnnah).
Perseturuan di Muktamar terlihat tatkala beberapa wilayah, salah satunya PWM Lampung, yang mempertanyakan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang mereka sejajarkan dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menurut mereka membingungkan masyarakat bawah. Isu ini ternyata tidak berhenti di pandangan umum PWM yang mesti telah dijelaskan secara gamblang oleh Prof. DR. HA. Syafi’i Ma’arif yang saat itu masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Pada sidang-sidang Komisi, permintaan terhadap pembubaran JIMM masih terus terulang. Bahkan tidak saja didalam sidang, isu ini juga menggema diluar sidang. Tatkala ada diskusi tentang JIMM di Media Centre, kelompok luar Muhammadiyah yang bergabung dalam HT (Hizbuth Thahrir Indonesia) ikut menggempur anak-anak JIMM sebagai agen liberalisme.
Meski sempat gencar diserang, tetapi dalam pernyataan terakhir tentang hasil Muktamar, JIMM tidak sempat disinggung. Hanya saja perjuangan perempuan Muhammadiyah untuk masuk ke pusaran Muhammadiyah terpotong. Ide ini menurut mereka merupakan bagian dari gerakan feminisme yang mereka kategorikan sebagai cabang dari liberalisme.
Baik sisi tajdid maupun purifikasi sebetulnya telah ada contoh jalan tengahnya, sebagaimana yang dijalankan oleh KHA. Dahlan tatkala menafsirkan surat Al-Ma’un yang menghasilkan Panti Asuhan dan Rumah Miskin merupakan tafsir baru yang berbau tajdid yang dilakukan Kyai meski tetap memperhatikan keaslian (purifikasi) ajaran. Sebetulnya dalam hal ini sudah ada rambu-rambunya, pembaharuan bisa dilakukan jika menyangkut hal ibadah keduniawian tetapi purifikasi jika menyangkut ibadah mahdhoh. Ini pun disadari oleh anak-anak JIMM sebagaimana dikatakan oleh Boy. Hanya saja yang menjadi persoalan jika yang satu mengatakan sebagai urusan keduniawian tetapi yang lain mengatakan sebagai ibadah mahdhoh, tentu ini memerlukan jalan tengah. Dan itu sebetulnya pilihan Muhammadiyah.
Pilihan posisi Muhammadiyah seperti saat ini, menurut Prof. Dr. HA. Syafii Maarif, sesuai dengan ayat 143 Surat Al Baqarah “Demikian itu Kami menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atar (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Ummatan Wasathan menurut mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, adalah umat moderta yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian, agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama dengan mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang ummat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
Peran-peran inilah yang akan dilakukan Muhammadiyah saat ini. Karenanya, dari berbagai kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi massa Islam yang membawa bendera moderta. Namun demikian peran demikian tidaklah mudah untuk bisa dilakukan Muhammadiyah. Karena di satu sisi harus berseberangan dengan kaum tradisional dan di sisi lain berseberangan pula dengan kaum garis keras. Di satu sisi, kaum tradisional menutup diri untuk membuka nuansa Islam yang telah dimilikinya. Dan di sisi lain, kaum garis keras memahami ajaranIslam secara tekstual.
Peran-peran posisi tengah ini sering terjebak dan berseberangan dengan yang lain. Dalam menerapkan ruju’ kepada Qur’an dan Hadits, pemahamannya sering berseberangan dengan kaum tradisional tetapi dalam menerapkan strategi dakwah sering bertentangan dengan kaum garis keras. Misalnya saja, dalam menerapkan fiqih di dalam peribadatan Muhammadiyah sering beriring bersamaan dengan kaum garis keras. Contoh dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Sehingga dalam masalah ini sering bertentangan dengan kaum tradisional. Tetapi dalam hal berstrategi sering beriringan dengan kaum tradisional, misalnya masalah pencantuman syariah dalam Pancasila. Sehingga dalam masalah ini seolah-olah berseberangan dengan kaum garis keras.
Karena pilihan yang demikian, sering Pimpinan Muhammadiyah menuai protes dari warganya yang memang beraneka ragam, baik yang dekat dengan kaum tradisional maupun dekat dengan kaum garis keras. Seperti masalah pencantuman tujuh kata di dalam Pancasila yang mewajibkan syariat, mereka menganggap Pimpinan Muhammadiyah anti syariah. Padahal itu masalah strategi dakwah saja yang menurut pimpinan belum waktunya untuk dicuatkan.

Perkembangan Global
Muhammadiyah juga menghadapi perkembangan global. Perkembangan global sampai saat ini, menurut rekomendasi Muktamar, memiliki kecenderungan untuk meminggirkan martabat kemanusiaan dan nilai spiritual kemanusiaan. Kondisi global tersebut ditandai dengan semakin parahnya kehancuran lingkungan hidup, pelanggaran HAM, eksploitasi kemiskinan, kemanusiaan dan perempuan. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam tertua dengan kekayaan jaringan amal usaha dan pengorganisasian yang relatif mapan, memiliki kewajiban rabbaniyah untuk berperan aktif dalam pengembangan peradaban global, guna mempertinggi fitrah ketuhanan dan martabat insaniyah kemanusiaan sebagai nilai dasar penegakan HAM, perbaikan lingkungan hidup yang berkelanjutan, good governance, kesetaraan gender, dan demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab pemerintah adalah untuk lebih menngkatkan fungsi pelayanan publik (social services) bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang lebih baik, dan mampu memenuhi hak-hak dan kebutuhan pendidikan, dan gagal kerja. Dalam hubungan itu, sebagai bagian dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan global, Muhammadiyah perlu mengembangkan gerakan dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yang memiliki perhatian bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang terbebas dari penyakit sosial dan politik, terbebas dari gizi buruk dan terbebas dari tuna pendidikan.
Usia menjelang satu abad Muhammadiyah, sudah lebih dari cukup untuk berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas. Meskipun fokus dan perhatian Muhammadiyah harus tetap berada di dalam konteks Indonesia. Apa yang dikemukakan di atas membuat Muhammadiyah harus lebih memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global tersebut. Sebab pada kenyataannya, persoalan keislaman dan kemanusiaan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internasional. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dengan memaksimalkan peran jaringan amal usahanya untuk selalu merealisasi ijtihad dan tajdid baik dalam bidang pemikiran, gerakan, dan organisasi, sehingga pemenuhan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat terwujud.


Andi Triyanto, SEI .

A. Pendahuluan
Islam adalah dien yang sempurna dan ditasbihkan menjadi sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Kesempurnaan tersebut ditopang oleh pedoman hidup bagi penganutnya yang secara langsung mendapatkan jaminan keontetikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala sampai akhir jaman. Jaminan kesempurnaan juga diberikan oleh Muhammad Shalallaahu alaihi wassalam yang berperan sebagai nabi penyampai risalah dengan sifat shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh yang senantiasa melekat pada dirinya, sehingga melalui beliau, Islam menjadi sebuah ajaran yang jelas, gamblang, dan mudah untuk dipahami .
Selain itu Islam dibangun oleh kekuatan aqidah yang merupakan pondasi dasar untuk penopang berdirinya syariat . Syariat merupakan aturan-aturan yang tercakup di dalamnya ibadah, muamalah, dan akhlaq, bersifat mengikat bagi setiap manusia yang telah menyatakan keimanannya dengan aqidah Islam. Maka memurnikan aqidah menjadi konsekuensi logis dan keniscayaan mutlak untuk terwujudnya penerapan syariat Islam dengan sebenar-benarnya, yang akan membentuk pribadi berkarakter sekaligus menjadi cikal peradaban yang agung.
Hal ini terbukti perjalanan Islam yang sampai sekarang mendekati usia 15 abad telah memunculkan berbagai inspirasi peradaban dunia. Meskipun berbagai sebab kemudian menjadikan pasang surut kejayaan yang senantiasa menghiasi setiap perguliran peradaban . Hikmah dari perguliran masa kejayaan peradaban Islam tersebut dapat menambah wacana dan khasanah pembelajaran terutama dalam sejarah peradaban Islam. Seperti halnya adalah masalah banyak bermunculannya kelompok/sekte dalam Islam yang mencerminkan perbedaan cara pandang dan cara paham terhadap Islam yang notabene memiliki sumber dan dasar hukum yang satu. Makalah ini khusus mengangkat masalah perselisihan Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah. Hal yang pertama dikaji adalah menjelaskan siapa Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah untuk selanjutnya mengungkap titik permasalahan yang menjadi perselisihan diantara keduanya.

B. Hakikat Perbedaan 
Realita berbeda pendapat dalam Islam harus dijadikan kesadaran untuk menyikapi sebijaksana mungkin, karena tanpa hal tersebut akan berdampak terhadap melemahnya kekuatan umat. Terlebih ketika tidak ada pembedaan antara masalah ushul dan furu’ maka akan dengan mudah antar sesama umat Islam saling menyalahkan, bahkan memberikan label kafir atau bid’ah kepada pihak lain yang dianggap berseberangan, sehingga tidak ada lagi persatuan hati diantara mereka. Padahal perbedaan pendapat dalam Islam sering kali sebenarnya hanya pada persoalan fiqhiyyah, yang terkait dengan 2 (dua) permasalahan: keberadaan dalil dan pemahaman terhadap dalil. Hal ini kemudian menyebabkan fiqh menjadi “agama” baru bagi sesama pemeluk Islam untuk menjustifikasi kebenaran pendapatnya dan menyalahkan pendapat lain yang tidak sejalan .
Fakta tersebut kemudian tersemai subur dan bahkan langgeng di kalangan ummat disebabkan salah satunya oleh beredarnya hadits: “perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat” secara luas di masyarakat, sehingga berbeda pendapat menjadi sebuah hal biasa bahkan dianggap sebagai penambah khasanah dan kekayaan wacana . Beda pendapat sebenarnya merupakan kewajaran dalam beragama dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda, terlebih keterpautan jarak yang relatif lama dengan Rasulullah Shalallaahu alaihi wassallaam, namun kita harus mengembalikan kepada dasar hukum yang paling asasi untuk mendapatkan kebenaran dan keselamatan jalan keluar . 

C. Ahlu Sunnah Wal Jamaah 
Sunnah secara bahasa memiliki arti jalan, Ibn Manzhur berkata sunnah adalah jalan yang baik atau yang buruk (Lisanul Arab 17/89). Adapun menurut istilah berarti apa yang datang dari Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat fisik, atau perilaku, atau perjalanan hidup sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi. Asy Syatibi menambahkan pengertian sunnah adalah lawan dari bid’ah, menurut ahli ushul berarti apa-apa yang dinukil dari Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam secara khusus dari hal-hal yang belum dinashkan dalam Al Qur’an, dinashkan dari sisi Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam dan merupakan penjelas dari Al Kitab. Shalih Ad Dimasyqi menyimpulkan makna ahlussunnah adalah setiap orang yang mengikuti sunnah .
Al Jamaah adalah nisbah persatuan di atas kebenaran. Tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang teguh) pada al haq, tidak mau keluar dari jamaah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan salaful ummah . Kata kunci al jamaah adalah kebenaran bukan kelompok, jadi sebagaimana atsar dari Ibn Mas’ud radhiyallaahu anhu termasuk kategori al jamaah adalah senantiasa mengikuti kebenaran meskipun sendirian . Kebenaran tersebut adalah melaksanakan Islam dengan disandarkan pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wassallaam dan para sahabatnya .
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullaah Shalallaahu alaihi wassallaam bersama para sahabat dan tabi’in dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari qiamat . Ahlu Sunnah Wa al Jamaah memiliki nisbah nama lain, seperti: Firqatun Najiyah (Kelompok Yang Selamat) , Thaifah Mansyurah (Golongan Yang Ditolong) , Al Ghuraba (Kelompok Orang Asing) , dalam wacana orientalisme, disebut dengan Islam Ortodoks . 
Berdasarkan hal-hal tersebut, nama Ahlu Sunnah Wa al Jamaah adalah nama syar’i yang melekat pada individu dan atau kelompok/golongan yang selalu konsisten dan komitmen dalam kebenaran yang tidak hanya dan tidak bisa berdasarkan klaim individu atau kelompok Islam tertentu , juga tidak sama dengan Asy ‘ariyah maupun Maturidiyah , dalam hal ini keduanya tidak bisa selalu diidentikkan dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.


D. Mu’tazilah
Mu’tazilah sering dikenal sebagai kelompok pendewa akal, meletakkan akal di atas nash, baik Al Qur’an terlebih Al Hadits , sehingga masuk dalam firqah aqlaniyyun . Firqah ini sering menolak nash-nash yang bertentangan -menurut mereka- dengan akal sehat meskipun shahih, seperti penolakan Al Nazhzham (salah satu tokoh mu’tazilah) terhadap hadits terbelahnya bulan, dan menuduh Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu yang meriwayatkannya sebagai seorang pembohong besar. Tokoh lainnya, Ibrahim Al Jahidz, mencemooh para muhaditsin sebagai kelompok orang yang tidak mempergunakan pertimbangan akal . Mu’tazilah juga dianggap sebagai pioneer ajaran sistematik kaum mutakallimun . 
Asal usul Mu’tazilah dalam bahasa berasal dari kata I’tizaal yang berarti meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri . Nama mu’tazilah sesuai pendapat yang kuat, adalah nama yang diberikan oleh Hasan Al Bashri. Asy Syahrastani menyebutnya dengan kelompok Ahl al-Adl wa at-Tauhid, Qadariyyah atau ‘Adliyyah dikarenakan pendapat mereka bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak untuk berbuat sesuatu di luar kekuasaan Allah Tabaraka wa Ta’ala . 
Terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai sumber awal munculnya firqah mu’tazilah, namun yang cukup terkenal dan sering dinisbahkan sebagai kelahirannya adalah menyingkirnya murid tercerdas Hasan Al Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al Ghazzaly dari majelis ilmu sang guru karena perbedaan pendapat untuk menghukumi orang Islam yang berbuat dosa . Mu’tazilah kemudian masuk dalam kategori Ahlu bid’ah karena berseberangan pendapat dengan Ahlu sunnah dalam beberapa hal yang merupakan pokok dan prinsip keIslaman sebagaimana yang sudah diajarkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam.
Sebagaimana lazimnya nama ahlu bid’ah yang selalu terlekat kata wal furqah yang berarti berpecah belah, maka mu’tazilah sebagai ahlu bid’ah pun terpecah menjadi beberapa kelompok di antara mereka. Beberapa pecahan mu’tazilah berdasarkan klasifikasi keyakinan dan amalan mereka; al majusi, al tsanawiyah, al wa’idiyyah, al muathilah, al qadariyyah, al haraqiyyah, al munfiyyah, al lafdziyah, al quburiyyah . Pecahan mu’tazilah berdasarkan klasifikasi tokoh; al washiliyyah, al huzailliyyah, an nazhzamiyyah, al khabitiyyah dan al haditsiyah, al bisyariyyah, al mu’amariyyah, al mardariiyah, ats tsumamah, hisyamiyah, al jazizhiyah, al khayyathiyyah dan al ka’biyyah, al jiba’iyyah dan basyaniyyah . Firqah ini pernah menjadi aliran resmi dalam agama pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M), yang terkenal dengan pemaksaan keimanan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Hal ini berlanjut pada masa kekhalifahan Al Mu’tashim (833-842 M) dan Al Watsiq (227-232 H/842-847 M) . Imam as Sunnah Ahmad ibn Hanbal rahimahullah kemudian membantah pendapat tersebut pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakil (847-861 M), yang sekaligus merubah haluan aliran resmi dalam pemerintahan kembali menjadi sunni . 
Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan dalam pemerintahan sangat berpengaruh terhadap haluan aliran resmi beragama, termasuk dalam agama Islam. Kebijakan pendidikan juga mendapat perhatian besar untuk mendukung setiap aliran yang telah ditetapkan negara, sebagaimana Khalifah Biamrillah (996-1020 M) Khalifah ke-6 Daulat Fahimiah yang berhaluan Syi’ah membangun perpustakaan Jami’ah Al Azhar yang diberi nama Bait al Hikmah dengan haluan kurikulum berdasarkan ajaran aliran Syi’ah. Namun kemudian pada tahun 567 H/ 1171 M setelah ditaklukkan Shalahuddin Al Ayyubi dan dirikannya Daulat Al Ayyubiyah (1711-1269 M) yang menyatakan tunduk pada Abbasiah di Baghdad, maka secara otomatis kurikulum Jami’ah Al Azhar beserta perpustakaannya dirubah haluan menjadi Sunni . 
Beberapa contoh pemikiran tokoh- tokoh mu’tazilah diantaranya Abu al Hudzali al Allaf, memiliki kemampuan dialektika yang besar, al shalah wa ashlah, Tuhan yang Maha Bijaksana mesti berbuat karena hikmah dan terbaik untuk manusia. Tokoh lain Al Nazhzham berpendapat keadilan Allah ditunjukkan pada ketidakmampuan mengurangi nikmat di surga maupun menambah azab penghuni neraka, berbuat negative mustahil disandarkan kepada Allah, dia juga mengembangkan teori lompatan (tafrah) untuk menerangkan kemungkinan gerak melewati sebuah ruang yang dapat dibagi secara tidak terbatas, juga teori ketersembunyian dan manifestasi (kumun wa buruz). Ali Al Jubai berpendapat tanpa adanya wahyu manusia sudah terkena taklif dengan kemampuan akalnya, dan mengakui adanya al syari’ah al nabawiyyah selain al syari’ah al al aqliyyah . Dalam wacana kontemporer, Muhammad Abduh dianggap memiliki kedekatan pemikiran dengan mu’tazilah , dan pemikiran tersebut menurun -meski tidak semuanya-kepada muridnya, Rasyid Ridha . 

E. Titik Perbedaan




F. Penutup
Simpulan makalah Perselisihan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terangkum dalam point-point sebagai berikut:
1. Islam terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan merupakan kenyataan berdasarkan fakta dan nash. Diantara kesemuanya hanya 1 (satu) yang selamat, yaitu: Ahlu Sunnah dan yang lainnya masuk neraka sebagai ahlu bid’ah, dan ini berbeda hukumnya dengan kafir yang kekal selamanya di dalam neraka.
2. Ahlu Sunnah Wa al Jamaah sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, memiliki nama lain Firqat an Najiyah, Thaifah al Mansyurah, Al Ghuraba, dan dalam wacana orientalisme sering disebut dengan Islam Ortodoks. Kelompok ini memiliki komitmen pada kebenaran dan kemurnian ajaran Islam sebagaimana yang dipraktikkan salaf al ummah, yaitu: Rasul Shalallaahu alaihi wa salam, Shahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, serta yang orang istiqamah mengikuti mereka sampai hari qiamat. 
3. Nama Ahlu Sunnah Wa al Jamaah senantiasa melekat pada individu/kelompok yang senantiasa memiliki komitmen pada kebenaran/kemurnian ajaran Islam. Al Jamaah sendiri berarti orang yang senantiasa komitmen pada kebenaran, meskipun sendirian. Nama ini merupakan nama syari’i yang tidak bisa berdasarkan klaim atau sekadar pengakuan belaka.
4. Kebalikan dari Ahlu Sunnah Wa al Jamaah adalah Ahlu Bid’ah Wa al Firqah, yang berarti individu/kelompok yang menyelisihi jalan lurus ajaran Islam yang telah diajarkan oleh salaf al ummah. Ahlu Bid’ah diancam di Akhirat dengan neraka tetapi tidak kekal di dalamnya, selama kebid’ahan yang dilakukannya tidak sampai pada tingkat kekufuran.
5. Salah satu firqah yang termasuk golongan ahlu bid’ah adalah mu’tazilah, kelompok yang dikenal dengan aqlaniyyun, pendewa akal. Mu’tazilah dinisbahkan pada peristiwa menyingkirnya Washil ibn Atha’ Al Ghazaly dari majelis Hasan Al Bashri, yang kemudian dianggap sebagai pendiri firqah. Firqah ini pernah menjadi aliran resmi negara pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah Al Makmun, Al Muthasim, dan Al Watiq (ada yang menyebut Al Watsiq). 
6. Titik perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terdapat pada 5 (lima) hal pokok, yang sekaligus merupakan ushul al khomsyah mu’tazilah, yaitu: Tauhid, Al Adil, Al Wa’ad Wal Waid, Al Manzilah baynal Manzilatain, dan Al Amru bil Ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar. Perselisihan yang lain nampak dalam masalah hadits, mu’tazilah menolak menggunakan hadits ahad untuk hujjah masalah aqidah karena menurut mereka berstatus dzan. 

Wallaahu a’lam bishawab.

G. Daftar Pustaka

Al Quran Al Kariim

Abdullah Al Buraikan, Ibrahim Muhammad, “Pengantar Studi Aqidah Islam”, diterjemahkan oleh Anis Matta, Rabbani Press, Jakarta, 1998

Afghan, Ali Masduki dan Munis, Syaifudin, “Kontrvesi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”, LKIS, Yogyakarta, 2000

Afrizal, “Ibn Rusyd: 7 Perdebatan Utama dalam Teologi Islam”, Erlangga, Jakarta, 2006

Al Albani, Muhammad Nashiruddin, “Sifat Shalat Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam”, diterjemahkan oleh Muhammad Thalib, Media Hidayah, Yogyakarta, 2000

Al Atsari, Abu Nuaim, “I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah (KH. Siradjudin Abbas)”, Majalah Al Furqon Edisi 7 Tahun V, 2006 ISSN: 1693-8755

Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, “Islam Warna-Warni: Tradisi Beda Pendapat dalam Islam”, diterjemahkan oleh Razaq dan Usman, Hikmah, Bandung, 2003

Al Barbahariy, Abu Muhammad Hasan, “Syarhus Sunnah”, diterjemahkan Zainal Abidin, Dar El Hujjah, Jakarta, 2003

Al Hilally, Salim Ied, “Al Ghuraba”, Cahaya Tauhid Press, Gresik, 1998

-------------------------, dalam Muslim Al Atsari, “Adakah Isi dan Kulit dalam Ajaran Islam”, Majalah As Sunnah edisi 02 Tahun XI, 2007 ISSN: 1693-3311

Al Jauziyah, Ibn Qayyim, “Membedah Akar Bid’ah”, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002

At Tamimi, Muhammad, “Kitab Tauhid”, diterjemahkan Muhammad Yusuf Harun, Hibah Dept. Urusan Islam, Wakaf, Da’wah, dan Penyuluhan Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2003

Al Utsaimin, Muhammad ibn Shalih, “Prinsip-prinsip Dasar Keimanan”, diterjemahkan Aly Makhtum Assalamy, Hibah Dept. Urusan Islam, Wakaf, Da’wah, dan Penyuluhan Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2003

Al Qahthaniy, Said ibn Ali, “Syarh Al Aqidah Al Wasyitiyah Ibn Taimiyah”, diterjemahkan Hawin Murtadho, Pustaka At Tibyan, Surakarta, 2000

Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006

WACANA ISLAM LIBERALNov 10, '07 6:04 PM
unt

Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global.
Zuhron Arofi

Buku setebal 579 halaman ini di bagi kedalam enam bagian pembahasan yang di tulis oleh 32 orang tokoh yang kompeten dalam bidangnya. Bagian pertama membahas tentang menentang teokrasi. Kaum muslim liberal berkeberatan terhadap perbelakuan syari’ah karena beberapa alasan. Argumen tradisional yang terdapat dalam artikel 1 dan 2 menerapkan bentuk silent sharia: wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada kontruksi pemikiran manusia. Nabi merupakan pemimpin pemerintahan, sekaligus juga pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya.
Alasan lain yang diungkapkan adalah pengaruh-pengaruh kekuatan politik yang bersifat merusak yang dimiliki oleh mereka yang memerintah atas nama Tuhan. Taleqani ( artikel 3 ), seorang pemimpin revolusi Iran mengungkapkan kekhawatirannya terhadap munculnya teokrasi di Iran dalam pidato terakhirnya sebelum ia meninggal pada tahun 1979, mengkritik larangan-larangan kepolisian yang kadang-kadang dibebankan kepada rakyat atas nama agama. Keberatan lain yang dimunculkan adalah bahwa tuntutan hukum Islam mengalihkan perhatian kaum Muslim dari perhatian terhadap isu-isu yang substantif. Fuad Zakariyya ( Mesir, lahir 1927) mengemukakan sebuah pernyataan :
Elemen penting dari mimpi indahnya kaum revivalis adalah sebuah pelaksanaan syaria’ akan dengan sendirinya menguapkan semua masalah yang menyebabkan kita menderita. Bagaimana caranya? Tidak seorang pun yang tahu. Kebanyakan dari mereka tampaknya begitu yakin bahwa bimbingan illahi akan memandu kita dalam melaksanakan syar’ah. Kemudian, kekuatan-kekuatan dari syurga akan turun tangan untuk memecahkan masalah-masalah kita tanpa melibatkan usaha dari siapapun.

Keberatan terakhir menyatakan bahwa orang-orang yang menginginkan pemberlakuan hukum syari’ah pada dasarnya salah dalam memahami status syari’ah. Al Quran memaksudkan syari’ah sebagai sebuah jalan, bukan sebagai sebuah sistem hukum yang siap pakai untuk diberlakukan. 
Kedua adalah tentang demokrasi. Tema yang kedua ini scara luas diperdebatkan dalam model “liberal sharia”, dengan penekanan khusus pada konsep syura ( syuara), atau musyawarah, yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan. Pendekatan lain mengenai demokrasi adalah “silent sharia”, yang pragmatis, hal ini seperti yang di contohkan oleh Muhammadi Natsir ( artikel 5 ), semuanya menguti Al Quran tetapi argumen utama mereka adalah pentingnya demokrasi dalam kondisi-kondisi nasional tertentu. Ketiga adalah hak-hak perempuan. Posisi Islam liberal tentang hak-hak perempuan harus berbenturan dengan sejumlah pernyataan al Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Contoh adalah ayat yang menjelaskan tentang poligami, yang secara rasio merupakan bentuk diskrimanis terhadap kaum perempuan, hak-hak dalam hukum waris dan otoritas kesaksian hukum bagi kaum pria yang lebih besar. Keempat hak-hak non muslim. Ketika kaum muslim mampu menaklukkan para non muslim maka isu tentang hubungan antar agama muncul di tahun pertama. Syari’ah menjamin hak non muslim, terutama para ahli kitab ( kaum Yahudi dan Kristen ), untuk tetap menjalankan agama mereka, spanjang mereka memberikan kesetiaan dan membayar upeti kepada pemimpin Muslim yang berkuasa. Kelima kebebasan berfikir, bagian ini mencakup semua topik mengenai ketidaksepakatan intelektual, yang merupakan inti dari persoalan Islam liberal. Kebebasan berfikir tentu saja secara logis merupakan pangkal dari prinsip-prinsip liberal lainya. Sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran-pemikiran mereka yang lain. Kebebasan berfikir diobrolkan dalam rubrik ijtihad. Keenam adalah gagasan tentang kemajuan. Bagian yang terakhir dalam buku ini adalah merujuk kepada para penulis yang mencoba mengemukakan pandanganya tentang moderniatas dan perubahan sebagai perkembangan-perkembangan positif yang potensial. Sika ini sebagai sebuah bentuk reflesi peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan-pandangan sejarah tradisional dalam Islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai sebuah kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan.
Bentuk-bentuk Islam liberal 
Islam liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu Islam dan barat. Para penulis dalam buku ini menempatkan penekanan masing-masing sesuai dengan kopetensi yang berbeda, namun semuanya dapat di analisis dalam konteks yang lainya. Maka dari itu Kurzman dalam pengantar buku ini mencoba membagi Islam liberal kedalam tiga model sebagai berikut : 
Syari’ah liberal ( liberal sharia ) 
Bentuk pertama ini menyatakan bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh: Piagam Madinah ( Medina document) – dimana Rasulullah menjamin hak-hak non muslim untuk hidup dibawah pemerintahan muslim—menghadirkan sebuah contoh bagaimana syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Liberal syari’a merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh, ini di dasarkan pada tiga penjelasan. Pertama, liberal sharia menghidari tuduhan-tuduhan ketidakotentikan otentisas dengan mendasarkan porsi-porsi liberal secara kuat dalam sumber Islam ortodoks. Kedua, liberal sharia menyatakan bahwa porsi-porsi liberal bukan sekedar pilihan manusia, melainkan perintah Tuhan. Ketiga liberal sharia itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan, berpendapat bahwa Islam liberal lebih tua dari pada liberalisme barat merupakan sebuah retorika yang kuat dikalangan orang-orang yang terlalu sering menginternalisasi citra orang-orang barat tentang inferioritas dan keterbelakangan. 
Silent sharia
Bentuk argumentasi Islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai topik-topik tertentu. ” Silent sharia” bersandar kepada tafsir al Quran untuk membentuk pikiran utama. 
Sharia’ah yang ditafsirkan ( interprerted sharia )
Bentuk ketiga argumentasi Islam Liberal, dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal barat, berpednapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syari’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kaum liberal yang lainnya berpendapat, menyangkut dasar-dasar empiris, bahwa keanekaragaman penafsiran merupakan salah satu dari tradisi Islam. 
Beberapa hal yang penting dalam buku ini yang patut menjadi catatan adalah: pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal. Kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya. Ketiga, bahwa istilah liberal mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia islam, dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, dan permusuhan kepada Islam. Keempat, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai sebuah alat untuk menganalisis, bukan kategori yang mutlak. Kelima, tidak ada klaim apapun mengenai kebenaran interpretasi liberal terhadap islam. 
Sebagai kesimpulan dari buku ini adalah, bahwa wacana yang ditawarkan oleh para tokoh intelektual mengenai Islam liberal merupakan sebuah gugatan terhadap kemapanan tafsir dan tradisi keagamaan yang selama ini telah berjalan. Mereka mecoba untuk merumuskan dan memahami kembali doktrin Islam yang bersifat universal dan disuguhkan dalam bentuk yang lebih fleksibel, dari mulai persoalan kenegaraan, pluralisme, hak-hak perempuan, demokrasi, kebebasan berfikir, dan pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam untuk mendapatkan solusi-solusi yang cerdas terhadap segala persoalan ummat.

Aksi BBMNov 10, '07 3:33 AM
untuk



Aksi BBM...... menolak kenaikan BBM......
eh... tapi kok Naik juga yah... BBM Nya....
terus perjuangkan rakyat... temen-temen

Palistina 3Nov 10, '07 3:29 AM
untuk



Teriakan kebenaran,,.. teriakkan suara tanpa penindasan...
untuk Palistina....

aksi ini di bundaran Magelang (Alun-alun).....

Aksi Palistina 2Nov 10, '07 3:15 AM
untuk




Masih jalan kaki.... walaupun berbeda bendera.. umat Islam harus tetap bersatu..
tu..immawati pada berjalan tegak... terus berjuang immawati
MENUJU PENDIDIKAN YANG HUMANISNov 7, '07 7:21 PM
untuk


PENDIDIKAN kita mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Bisa juga dikatakan bahwa pendidikan kita mengalami “kegagalan” apabila kita menengok beberapa kasus beberapa saat yang lalu telah muncul ke permukaan. Kenyataan ini telah menjadi keprihatinan bersama masyarakat kita. Jangan sampai kondisi demikian akan selalu menggelapkan raut muka dan wajah buruk pendidikan kita. Sudah saatnya, reformasi pendidikan perlu untuk segera dan secara massif diupayakan, yaitu gagasan dan langkah untuk menuju pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. 

Berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan kita, mengindikasikan bahwa pendidikan belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa sosial dan kemanusiaan. Radikalisme agama adalah salah satu problem nasional yang perlu dipecahkan. Salah satu upaya strategisnya adalah dengan membangun paradigma pendidikan yang berwawasan kemanusiaan. Dengan pendidikan yang bermodelkan seperti ini maka sikap moderatisme dalam beragama adalah hasil yang tidak bisa dinafikan begitu saja. Dan ini sangat penting karena memiliki benah merah pemikiran yang jelas. 

Mencetak calon pemimpin bangsa tidak bisa lepas dari peran dan fungsi pendidikan. Siapa saja yang kini telah menjadi orang-orang sukses adalah berkat hasil dari produk pendidikan yang bisa diandalkan. Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah cermin dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Pendidikan bukan hanya berupa transfer ilmu (pengetahuan) dari satu orang ke satu (beberapa) orang lain, tapi juga mentrasformasikan nilai-nilai (bukan nilai hitam di atas kertas putih) ke dalam jiwa, kepribadiaan, dan struktur kesadaran manusia itu. Hasil cetak kepribadian manusia adalah hasil dari proses transformasi pengetahuan dan pendidikan yang dilakukan secara humanis. 

Tapi, selama ini kita hanya melihat pendidikan hanya sebagai momen “ritualisasi”. Makna baru yang dirasakan cenderung tidak begitu signifikan. Apalagi, menghasilkan insan-insan pendidikan yang memiliki karakter manusiawi. Pendidikan kita sangat miskin dari sarat keilmuan yang meniscayakan jaminan atas perbaikan kondisi sosial yang ada. Pendidikan hanya menjadi “barang dagangan” yang dibeli oleh siapa saja yang sanggup memperolehnya. Akhirnya, pendidikan belum menjadi bagian utuh dan integral yang menyatu dalam pikiran masyarakat keseluruhan. 

Ivan Illich, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas. 

Implikasi atas kapitalisasi pendidikan itu maka masyarakat kita akan susah mendapatkan akses yang lebih luas untuk memperoleh pengetahuan. Yang mampu mengakses adalah mereka yang memang mempunyai banyak uang karena pendidikan adalah barang dagangan yang mewah. Hal ini nampak dalam kondisi pendidikan bangsa kita. Akhirnya, kita semua terpaksa harus membayar mahal demi memperoleh pendidikan. Padahal, belum tentu kualitas yang dihasilkannya akan menjamin atas pembentukan kepribadian yang memiliki kesadaran atas kemanusiaan. 

Sistem pendidikan nasional yang ada selama ini mengandung banyak kelemahan. Dari soal buruknya manajemen pendidikan sampai pada soal mengenai minimnya dana untuk pengembangan pendidikan. Ahli pendidikan, HAR Tilaar, seperti dikutip Qodri Azizi, menyebut ada beberapa kelemahan dalam sistem pendidikan nasional. Pertama, sistem pendidikan itu kaku dam sentralistik. Pola uniformitas dalam tubuh persekolahan, misalnya dalam pembuatan kurikulum yang tidak dipahami menurut kebutuhan masing-masing penyelenggara pendidikan. Kedua, sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Di sini masyarakat hanya dianggap sebagai obyek saja. Masyarakat tidak pernah diperlakukan atau diposisikan sebagai subyek dalam pendidikan. Ketiga, dua problem di atas didukung oleh sistem birokrasi kaku yang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa.2 

Di saat bangsa kita sedang mengalami devaluasi nilai dan moralitas maka sangat diperlukan wacana mengenai pendidikan yang memberdayakan. Nilai-nilai kemanusiaan perlu dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan. Pendidikan yang humanis adalah harapan besar kita. 

Pendidikan yang Membebaskan 

Pendidikan adalah media kultural untuk membentuk “manusia”. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. Kata Driyarkara, pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan. 

Banyak sekali kritikus pendidikan yang sangat menyayangkan kondisi buruk pendidikan karena ternyata sudah keluar dari jalur dan cita-cita aslinya. Tulisan ini akan banyak menyoroti fenomena pendidikan dengan menggali pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illich. Seperti kita ketahui bersama, “otokritik pendidikan” niscaya untuk selalu dilakukan agar pendidikan bisa kembali pada cita-cita murninya semula. 

Paulo Freire banyak kita kenal dengan gagasan “penyadaran (conscientizacao)”-nya. Beliau merefleksikan kembali gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat”.3 Gagasan Freire sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas. 

“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis. 

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. 

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan. 

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual. 

Menggugat Pendidikan Gaya Bank 

Freire mengurai secara ganblang problem pengetahuan yang dipolakan dari sistem pendidikan yang “menindas” dan kontra-pembebasan. Dalam bukunya, Pendidikan Kaum Tertindas, Freire menegaskan bahwa pola pendidikan yang selama ini terjadi bahwa hubungan antara guru dan murid dengan menggunakan model “watak bercerita” (narrative): seorang subyek yang bercerita (guru) dan obyek-obyek yang patuh dan mendengarkan (murid-murid).4 Tugas guru dalam proses pendidikan adalah dengan menceritakan realitas-realitas, seolah-olah sesuatu yang tidak bergerak, statis, terpisah satu sama lain, dan dapat diramalkan. Akhirnya guru Cuma “mengisi” para murid dengan bahan-bahan yang dituturkan, padahal itu terlepas dari realitas dan terpisah dari totalitas. Pendidikan yang bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa yang diceritakan kepadanya. Pendidikan menjadi kegiatan “menabung”, ibaratnya para murid adalah celengannya dan para guru adalah penabungnya. 

Konsep pendidikan itu disebut oleh Freire sebagai pendidikan “gara bank”. Akhirnya, murid hanya beraktivitas seputar menerima pengetahuan, mencatat, dan menghafal. Dalam model pendidikan ini secara jelas kita bisa melihat bahwa pendidikan adalah alat kekuasaan guru yang dominatif dan “angkuh”. Tidak ada proses komunikasi timbal-balik dan tidak ada ruang demokratis untuk saling mengkritisi. Guru dan murid berada pada posisi yang tidak berimbang. Freire kembali menegaskan bahwa dengan demikian pengetahuan seolah-olah adalah “anugerah” yang dihibahkan oleh mereka yang mengangap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa, alias bodoh. Di sinilah terselip ideologi penindasan. 

Raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebagai kebalikan dari model pendidikan “gaya bank” adalah usaha ke arah rekonsiliasi, untuk memecahkan kontradiksi antara guru dan murid. Dalam tulisan yang lain, Freire memberikan jalan keluar atas kondisi pendidikan yang menindas seperti itu dengan menggagas pendikan yang berorientasi kemanusiaan. Satu-satunya alat efektif dalam pendidikan pemanusiaan adalah “hubungan timbal-balik” permenen berbentuk dialog antara para pemimpin revolusioner (guru) dan kaum tertindas (siswa). Hal ini tentunya dengan membongkar bangunan awal struktur pendidikan, di mana guru sebagai kelompok “penindas” menuju “revolusioner”. 

Dialog yang terbangun ini kemudian disusul dengan mempraktekan pendidikan “ko-eksistensial”, yaitu para guru dan para murid sama-sama bertindak terhadap kenyataan, sama-sama menjadi subyek-Subyek, bukan hanya dalam tugas menyikap kenyataan, supaya mengetahuinya secara kritis, namun juga dalam tugas menciptakan kembali pengetahuan tadi. Ini amat berat memang.5 Tapi, yang jelas, dengan mendialogkan antara penegtahuan dan realitas maka akan tercipta pengetahuan baru yang merefleksikan kembali cita-cita revolusioner. 

Kembali pada konsep pendidikan revolusioner. Untuk menciptakan makna baru bagi pengetahuan yang membebaskan, kita bisa memakai pendekatan “humanisme dialektis”-nya Karl Marx tentang perkembangan pribadi lewat interaksi dialektis antara individu dengan lingkungannya. Di sini pendidikan dinilai sebagai cara penyelesaian pertentangan-pertentangan mendasar antara kebutuhan-kebutuhan aktualisasi diri para pelajar, dan juga pantulan pertentangan antara murid dengan guru.6 Untuk melenturkan pertentangan antara individu dan komunitas --seperti telah sebagian dikemukakan di muka-- maka perlu perantaraan atau mediasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal serta informal. Salah satunya adalah sekolah. Walaupun di dalamnya juga memuat pertentangan antara murid dengan sekolah, tidak lagi antara guru dan murid. Intinya, sekolah menjadi harapan untuk menciptakan murid yang berpengetahuan yang berorientasi kemanusiaan. 

Pendidikan dan Realitas Sosial 

Mengaitkan antara kurikulum dengan realitas sosial adalah strategi untuk menciptakan model pendidikan yang berorientasi kemanusiaan. Kurikulum sengaja dibentuk untuk membaca realitas sosial. Kurikulum adalah “alat baca” dan panduan strategis bagi peserta didik untuk meneropong dunia sekitarnya. Sehingga, manakala mereka sudah selesai dari bangku sekolah formal, dengan hasil didikan yang diperolehnya selama ini maka itu bisa difungsikan untuk membaca realitas sekitarnya. 

Lantas, bagaimana upaya kita dalam proses membangun kurikulum yang berbasis kemasyarakatan? Langkah awal yang bisa ditempuh adalah dengan merombak pola pikir dan kognisi para pendidik selama ini. Mereka adalah para pembuat kurikulum yang harus bertanggung jawab atas kualitas dan mutu pendidikan yang dikonsepkannya. Saya merasa, para pendidik dan pembuat kurikulum tidak mempunyai keseriusan dalam membuat konsep dan gagasan yang lebih serius dalam upaya membangun masyarakat yang cerdas. Di sini cerdas tidak dimaknai sebagai bentuk penguatan kognisi saja, tapi juga penguatan pada aspek emosi, kepribadian, dan kesadaran diri si terdidik. 

Mau tidak mau, si terdidik harus punya kesadaran kritis dalam meneropong atau menyoroti realitas yang dihadapinya. Obyek yang diamati akan sangat banyak, beragam, dan kompleks sekali. Sehingga, diperlukan perangkat analisis yang amat jitu dan tepat sasaran. Kemungkinan karakter pendidikan semacam ini perlu dibarengi dengan pengkondisian atas situasi proses belajar-mengajar yang elegan, egaliter, demokratis, dan manusiawi. Tanpa itu akan sangat mustahil bisa diharapkan. 

Kembali pada soal kasus radikalisme agama dan moderatisme beragama. Seperti telah disebut terdahulu bahwa pendidikan humanis adalah solusi paradigmatik atas kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan beragama kita yang pernah mengalami anomali akibat kekerasan yang merebak dalam kehidupan sosial kita, terutamanya yang dikaitkan dengan problem agama. Sikap anti-kemanusiaan yang ditimbul karena padangan sempit ini disebabkan karena beberapa kelompok Islam radikal gagap dalam membaca realitas sosial. Apapun wujud yang ada di muka bumi dianggap sebagai bentuk kekafiran dan kekufuran maka mereka harus “memberantasnya” sampai ke akar-akarnya, tanpa melihatnya secara lebih terbuka dan memahami kompleksitas obyek realitas yang dibacanya. Akhirnya, kekerasan kemudian yang berbicara. 

Perilaku kekerasan yang dihinggapi oleh rasa emosi yang mendalam selamanya tidak akan memecahkan persoalan. Hanya dengan keterbukaan dan moderasi (tawassuth) maka kita akan bisa melihat realitas secara obyektif. Pembacaan demikian adalah tugas penting pendidikan. Sejauhmana pendidikan itu mampu membangun kepribadian manusia yang berkarakter terbuka, manusiawi, dan memiliki kesadaran yang tinggi ketika harus menghadapi realitas yang diliputi bertumpuk persoalan pelik. Hanya dengan kedewasaan yang tinggi, manusia terdidik akan mampu menghadapi persoalan yang tengah dihadapinya. Sesulit apapun, segala persoalan akan terselesaikan dengan baik. 

Pendidikan yang mengajarkan anti-kekerasan alias yang berwajahkan humanis adalah cita-cita dan harapan kita semua. Kita sangat berharap mudah-mudahan para pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini mau dan sudi memikirkan hakikat pendidikan yang diterapkan dalam kurikulum di berbagai sekolah dan perguruan tinggi. Dan harus ada ketegasan dalam membuat suatu jaminan bahwa pendidikan sangat jauh dari jiwa kapitalisasi. Pendidikan adalah wilayah kultural yang tidak bsia dipolitisasi dan dikapitalisasi. 

Pendidikan yang humanis akankah hanya menjadi ilusi atau justru kenyataan bagi kehidupan kita? Mudah-mudahan yang terbaiklah yang akan kita rasakan nanti di kemudian hari. 


**** 

1 Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-10. 

2 M. Escobar dkk (ed.), Sekolah Kapitalisme yang Licik, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xvi. 

3 Paparan lebih mendalam lihat Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, cet. III, (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 49-52. 

4 Lihat juga Paulo Freire, “Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan”, dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 457. 

5 Samuel Bowles dan Herbert Gintis, “Pendidikan Revolusioner” dalam Menggugat Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 428-433. 


sumber :www.bruderfic.or.id/h-152/menuju-pendidikan-yang-humanis.html

KIAI HAJI AHMAD DAHLAN (1868-1923)Nov 6, '07 11:44 PM
untuk


Kiai Haji Ahmad Dahlan, dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1285 H yang bertepatan tahun 1868 M, dengan nama Muhammad Darwisj. Ayahnya Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Muhammad Sulaiman yang memiliki garis keturunan sampai ke Maulana Malik Ibrahim, adalah pejabat Kapengulon Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Penghulu Khatib di Masjid Besar Kesultanan. Sedangkan ibunya Nyai Abubakar adalah putri Kiai Haji Ibrahim bin Kiai Haji Hasan juga pejabat Kapengulon Kesultanan di Yogyakarta.
Muhammad Darwisj memperoleh pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri. Sambil belajar kepada ayahnya ia menjalani pergaulan dan pendidikan pesantren yang mencerminkan identitas santri. Pada waktu itu masalah identitas menjadi persoalan yang serius di kalangan bumiputra, sehingga boleh dikatakan anak-anak Kauman tidak ada yang berani sekolah Gubernemen, karena akan dicap sebagai kafir. Pandangan yang berkembang masa itu di lingkungan kaum santri terhadap penjajah kolonial Belanda adalah kafir, barang siapa mengikutinya maka ia pun termasuk ke dalamnya. Begitulah jiwa zaman yang dominan saat itu dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian masyarakat. Karena itu, Darwisj kecil senantiasa mengaji Alquran, Hadis, Fiqih, dan tata bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Kegiatan itu adalah kebiasaan yang hampir setiap hari dilakukan kalangan anak-anak kiai di Kauman. Di sisi lain kebiasaan kegiatan olahraga seperti bermain sepak bola dan latihan ilmu beladiri berupa pencak silat tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Mengaji di surau, shalat berjamaah di masjid dan bermain olah kanuragan adalah menjadi identitas anak Kauman.
Selain itu, kehidupan ekonomi sehari-hari di lingkungan Kauman juga disibukkan dengan bakulan yang pada umumnya berdagang kain batik. Oleh sebab itu, jalinan hubungan dagang antarsudagar kain batik dari berbagai kota sudah lama terbentuk di kalangan mereka. Sejalan dengan itu, di bidang keagamaan yang mereka tekuni pun turut membentuk terciptanya jaringan ulama, kiai di kota-kota di Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa. Begitulah suasana kehidupan masyarakat kampung Kauman yang religius, giat usaha, militan dalam agama, percaya diri dan penuh keramahan yang berlandaskan akhlak mulia, menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya jiwa kepribadian Muhammad Darwisj.
Ketika Muhammad Darwisj berumur 15 tahun (1883), ia memutuskan berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Keberangkatannya itu dibiayai oleh kakak iparnya bernama Kiai Haji Soleh. Seorang kiai juga saudagar kaya. Darwisj muda rupanya juga berniat untuk belajar agama Islam secara lebih mendalam lagi di tanah suci. Niatnya untuk belajar segera terlaksana seusai menunaikan ibadah haji, ia pun menetap di Makkah untuk belajar agama dengan sungguh-sungguh. Setelah lima tahun mukim dan menjadi murid para syaikh dan ulama terkemuka di Makkah ia pun pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sepulang dari tanah suci namanya lebih dikenal dengan nama Haji Ahmad Dahlan. la menikah dengan Siti Walidah binti Kiai Haji Fadhil yang terkenal kelak sebagai Nyai Dahlan, yang masih saudara dari garis ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah beliau memperoleh putra: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisjah, Irfan Dahlan, Siti Zuharah.
Selama lima tahun pertama di tanah suci Makkah, Ahmad Dahlan banyak memperoleh pengalaman hidup yang berharga terutama menyangkut soal pemahamannya terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam dan informasi tentang keadaan maju mundurnya masyarakat Islam di berbagai belahan dunia. Sebagai seorang pribadi yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, walau usianya baru dua puluhan tahun, ia pun mulai merintis jalan pembaruan di kalangan umat Islam. Misalnya membetulkan arah kiblat shalat pada masjid yang dipandang tidak tepat arahnya yang sesuai perhitungan menurut ilmu falakiyah yang dikuasainya. Usaha ini sempat menimbulkan insiden yang hampir saja ia dan istrinya meninggalkan Kauman Yogyakarta selama-lamanya menuju luar kota. Kemudian memberikan pelajaran agama di sekolah negeri yang tidak pernah dilakukan oleh kiai lainnya. Menganjurkan memberikan perhatian terhadap kaum dhu'afa, anak yatim, kehidupan dan perlindungan lahir batin, serta untuk kalangan fakir miskin. Hal ini diajarkan supaya dipraktikkan oleh murid-muridnya yang selalu setia mengaji kepadanya, tapi beliau tetap saja mengulang-ulang menerangkan surat Al-Ma'un. Sehingga menimbulkan protes di kalangan muridnya. Setelah dijelaskan lalu pengajian dibubarkan dan muridnya membawa pulang ke rumahnya masing-masing anak yatim untuk disantuni secukupnya. Pembaruan perilaku keagamaan yang sesuai dengan ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. secara lurus dan senang beramal shaleh merupakan semangat yang selalu disampaikan kepada sahabat dan muridnya di berbagai tempat.
Dengan bekal kemampuan yang dimilikinya Kiai Dahlan muda yang mulai sibuk dengan pekerjaan pembaruannya ia tetap menekuni sejumlah kitab yang menjadi literatur wajib di pondok pesantren di tanah Jawa. Selain membaca dan mempelajari kitab-kitab kuning karangan ulama klasik, kitab-kitab terbitan baru yang dikarang oleh ulama mutakhir diikuti dengan saksama bahkan dilakukan studi perbandingan. Di antara kitab-kitab yang sempat tercatat sebagai kesukaan serta disebut-sebut sebagai bacaan yang memberi inspirasi beliau dalam perjuangan yang dipilihnya kemudian ialah: Kitab Tauhid, Tafsir Juz 'Amma dan Al-Islam wan Nashraniyyah, karangan Syaikh Moh. Abduh; Tafsir al-Manar dan Majalah Al-'Urwatul Wutsqa, karangan Sayid Rasyid Ridha; Kitab Kanzul ‘Ulum; Kitab-kitab Fil Bid'ah, antara lain. Kitab Attawassul wal Wasilah karangan Ibnu Taimiyyah; Dairatul Ma'arif karangan Farid Wajdi; Kitab Idharulhaq karangan Rahmatullah Al-Hindi; Kitab-kitab Hadis karangan Ulama Mazhab Hambali; Tafshilun Nasyatain Takhsilus Sa 'adatain; Matan AI-Hikam li 'Athaillah; Al-Qashaid 'Ath-Thasiyah, Li 'Abdullah Al-Aththas, dan lain-lain.
Sikap dan perilaku Kiai Dahlan yang berhaluan modernis itu mulai dikenal secara luas sebagai orang muda yang rasional dan kritis terhadap agama. Kehadirannya telah menarik perhatian sejumlah kalangan kiai di sekitarnya dan kalangan priyayi yang terlibat pergerakan dan pendidikan. Dahlan muda yang selalu haus terhadap ilmu agama tersalurkan keinginannya untuk menambah kedalaman pengetahuannya dengan cara berguru ngaji kepada sejumlah kiai. Di antaranya kepada Kiai Mohamad Nur, kakak iparnya sendiri, Kiai Haji Said, Kiai Mukhsin, Kiai Abdulhamid di Lempuyangan, R. Ng. Sosrosugondo (ayahanda dari Ir. Suratin tokoh sepak bola), dan R. Wedana Dwijosewoyo. Dalam hal belajar ilmu hadis ia berguru kepada Kiai Makhfudh dan Syaikh Khaiyat. Dalam mempelajari ilmu falak ia belajar kepada Kiai Haji Dahlan dari Semarang putra dari Kiai Termas yang juga menantu Kiai Saleh Darat dari Semarang, juga memperoleh bimbingan dari Syaikh Mohamad Jamil Jambek dari Bukittinggi.
Ketekunannya terhadap ilmu agama dan keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam yang ia jumpai di berbagai kota di Jawa telah memperkuat semangat belajarnya untuk lebih mendalam lagi serta meneguhkan cita-citanya agar segera melakukan perubahan kehidupan keagamaan. Karena itulah pada tahun 1902, ketika usianya menginjak 34 tahun, beliau memutuskan berangkat lagi ke Makkah. Kesempatan ini ia betul-betul pergunakan waktunya untuk meningkatkan kefaqihan agamanya dan memantapkan pendirian hatinya menjalani hidup untuk berkhidmat menegakkan agama serta memperbaiki umat Islam di tanah air. Himmah yang bersemayam di dalam hati sanubarinya telah mempertemukan dirinya dengan ulama besar dari Mesir Syaikh Rasyid Ridha melalui kerabatnya yang telah lama menetap di Makkah, yaitu Kiai Haji Baqir. Pertemuannya dengan Syaikh Rasyid Ridha di Makkah telah ia gunakan untuk belajar dan berdiskusi secara langsung tentang pembaruan yang dilakukan di Mesir, serta lainnya. Rupanya dua tahun bermukim di Makkah untuk yang kedua kalinya ini banyak dilakukan perjumpaan dengan berbagai ulama besar yang berasal dari tanah air yang menganjurkan gerakan pembaruan keagamaan, seperti dengan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, dan lainnya. Setelah dua tahun lamanya menimba ilmu ia merasa cukup memperoleh bekal tambahan, segeralah Kiai Haji Ahmad Dahlan kembali ke tanah air tepatnya pada tahun 1904. Namun, beberapa waktu kemudian sekembalinya ia dari Makkah ayahnya meninggal dunia dan Kiai Haji Ahmad Dahlan diangkat sebagai pejabat agama (Penghulu) di lingkungan Kapengulon Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa jaringan ulama di Jawa dan luar Jawa itu sudah terbentuk secara baik. Hal ini dirasakan betul oleh Kiai Dahlan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 hubungan Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan para kiai, ulama di kota-kota di Jawa sangat erat dan semakin meningkat. Kunjungan silaturahmi yang dilakukannya selalu disambut dengan semangat munculnya kebangkitan agama di kalangan umat Islam. Apa yang dilakukan itu rupanya telah meningkatkan kesadaran intelektual, spiritual dan emosional keagamaan para kiai, ulama yang bersenyawa dengan kesadaran yang sama yang merebak dalam hati sanubari masyarakat secara luas. Himmah yang kuat untuk melakukan pembaruan masyarakat, akhirnya diwujudkannya dengan pendirian lembaga pendidikan keagamaan. Lembaga pendidikan ini rupanya sebagai wadah kemunculan organisasi pergerakan yang terus merebak di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan di Minangkabau. Apa yang dilakukan oleh tokoh agama dan kalangan kaum terpelajar di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa, telah mempercepat reformasi keagamaan, kemasyarakatan, dan politik pada waktu itu. Berdirinya Jamiatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam yang kelak kemudian berubah menjadi Syarikat Islam, langsung atau tidak langsung telah menyentuh dan menggerakkan perasaan pribadi Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Perlu dipahami pula bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan selain menjabat sebagai Khatib Amin di Kapengulon ia juga sebagai ulama yarig berhaluan modern, guru pendidik agama Islam yang lembut, serta organisator yang cerdas dan tangkas. la dipercaya untuk mengajarkan dasar-dasar agama Islam di sekolah-sekolah negeri, seperti di sekolah guru atau Kweekschool sering disebut Sekolah Raja di Jetis Yogyakarta; Sekolah Pamong Praja atau Osvia (Opleidingschool voor Inlandsch Ambtenaren) di Magelang, dan lainnya. Dengan tugas-tugas yang dilakukannya itu telah memperluas lingkungan pergaulannya yang sangat bermanfaat bagi terlaksananya gagasan yang sedang dipikirkannya, Pengalaman terlibat dalam dunia sekolah dan cita-citanya yang ingin memperbarui umat Islam lewat perubahan pemikiran, sikap dan perilaku memutuskan bahwa ia hams segera mendirikan sekolah agama, tetapi juga di dalamnya diajarkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum.
Setelah melakukan shalat istikharah berulang kali dan menyampaikan gagasan-gagasannya kepada beberapa orang sahabat dan sejawatnya yang aktif dalam pendidikan dan pergerakan Budi Utomo akhirnya ia memperoleh ilham mendirikan sebuah sekolah dengan nama "Sekolah Muhammadiyah" yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi ilmu pengetahuan umum dan huruf latin. Selanjutnya bagaikan bola salju yang digelindingkan maka makin lama makin besar bola itu. Demikian pula dengan perkumpulan atau Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang baru didirikan (8 Zulhijjah 1330 H /18 November 1912 M) di Yogyakarta, segera disambut hangat oleh para kiai dan ulama di berbagai kota di Jawa dan Minangkabau. Maka segeralah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah di sejumlah kota tersebut, dan terutama di Yogyakarta sendiri. Berbagai kelompok pengajian dan perkumpulan lalu bergabung dan menjadi bagian/ranting dari organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang dipimpinnya.
Sejak itu Kiai Haji Ahmad Dahlan bersama para murid dan sahabatnya sangat gigih memperjuangkan dan melakukan reformasi agama di lingkungah umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang pada waktu itu sedang terbelenggu oleh takhayul, bid'ah dan khurafat serta sinkretisme. Kehidupan umat Islam yang terbungkus dalam sikap taqlidisme, feodalisme, konservatisme dan tradisionalisme dipandang menjadi sebab keterbelakangan dan ketertinggalannya dibanding dengan umat lain dan harus segera ditinggalkan umat Islam. Selain itu kondisi bangsa Indonesia juga terpuruk dalam belenggu penjajahan kolonialisme Belanda. Ketulusikhlasan yang mendasari gerak perjuangannya ternyata menumbuhkembangkan modernitas bangsa Indonesia sekaligus mengembalikan kesadaran baru untuk melaksanakan agama secara murni dan lurus pada masa-masa selanjutnya.
Perjuangan Kiai Haji Ahmad Dahlan dan sejumlah kiai, ulama terpandang di berbagai wilayah di Jawa dan Sumatra serta tempat lainnya bagaikan fajar yang mulai menyinari gelapnya bumi. Mereka secara intensif melakukan silaturahmi dari kota satu ke kota lain berdiskusi dan menyampaikan dakwah, pengajian di pelosok-pelosok kota. Mereka terlibat dalam gerakan pembaruan sosial keagamaan dan pendidikan. Itulah sebabnya para kiai dan ulama tidak bisa dipisahkan dengan gemuruhnya bunyi lonceng kebangkitan nasional yang terus membahana. Dengan dilandasi niat yang tulus ikhlas para ulama dan kiai bersungguh-sungguh menyampaikan gagasan-gagasan keagamaan secara kritis dan cerdas ke tengah masyarakat guna memperbarui perilaku dan cara pandang keagamaan masyarakat yang dirasakan masih bercampur aduk dengan kepercayaan lokal.
Lebih jauh mengenai latar belakang didirikannya perkumpulan Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan antara lain karena beliau tergerak ingin mewujudkan perintah Allah yang selalu ditelaahnya dan disampaikan kepada muridnya. Seperti Surat Ali Imran [3]: 104 yang artinya,
Adakanlah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh manusia kepada keutamaan dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya perbuatan yang munkar. Umat yang berbuat demikian itulah yang akan berbahagia.
Sebuah dialog yang perlu dikemukakan di sini ialah ketika Kiai Dahlan menyebut Muhammadiyah sebagai nama organisasi perkumpulan yang dibentuknya itu, ternyata menjadi pertanyaan murid dan juga kadernya yang bernama Soedja'. "Kiai, mengapa Kiai mengambil nama itu, kedengarannya seperti nama untuk seorang wanita." Kemudian dijawab oleh Kiai Dahlan bahwa "Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan berarti umat Muhammad, pengikut Muhammad utusan Tuhan Yang Maha Penghabisan." Tujuan yang ingin diwujudkan ialah menghimpun kembali umat Islam untuk mengikuti jejak Nabi Besar Muhammad Saw., menegakkan kembali kemurnian agama Islam, membersihkan tauhid dari segala macam takhayul, bid'ah dan khurafat yang menjangkiti kehidupan umat Islam pada waktu itu.
Pada awal mula berdirinya Muhammadiyah, kedudukan Kiai Haji Ahmad Dahlan sendiri menjadi ketuanya, sekretarisnya Haji Abdullah Sirat yang juga menjabat Kiai Penghulu, dibantu oleh Mas Ngabehi Djojosugito sebagai sekretaris dan Muhamad Husni sebagai komisaris. Tokoh-tokoh lainnya yang duduk dalam kepengurusan pusat ialah Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, Raden Haji Sarkawi, Haji Muhammad, Raden Haji Djaelani, Haji Anies dan Haji Muhamad Fakih.
Sekalipun gagasan dan pergerakan yang telah didirikan KH.A. Dahlan bersama sejumlah sahabat dan muridnya itu memperoleh dukungan dan sambutan yang luas, tapi dijumpai pula sejumlah pihak yang menentang dan berusaha menggagalkannya. Bahkan dari pihak internal keluarganya sendiri pun ada yang menyayangkan keputusan Kiai Dahlan itu. Mereka tidak pernah melupakan peristiwa konfliknya dengan Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat, menyangkut pembetulan arah kiblat shalat masjid besar Kauman yang dilakukan murid-muridnya, sehingga menyebabkan dirobohkannya surau yang didirikan sebagai tempat shalat dan kegiatan pengajian KH.A. Dahlan. Sebenarnya sebagai kiai muda yang memiliki pengetahuan yang luas ketika melihat hal yang tidak benar tentang arah kiblat shalat telah berusaha menjelaskan kepada para kiai sepuh, tapi kewibawaan Kiai Dahlan muda rupanya belum bisa menundukkan wibawa kiai sepuh yang ada. Sehingga ketika Kiai Dahlan mendirikan masjid untuk dirinya yang sesuai dengan arah kiblat menurut ilmu falakiah yang dikuasainya mendapat reaksi dari kiai sepuh dengan merobohkannya rata dengan tanah. Beruntunglah waktu itu kakak iparnya Kiai Haji Soleh segera menenteramkan hatinya yang kecewa berat dan dapat menghiburnya sehingga ia mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Kauman. Sebagian penentangnya mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kiai Dahlan dengan lembaga pendidikannya dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam, telah murtad dari garis ajaran agama yang benar. Lebih dari itu beliau dikatakan telah menjadi Kiai Kristen, karena telah mendirikan sekolah dengan cara baru, yaitu melaksanakan pengajaran sekolah dengan bangku, papan tulis, mengizinkan orang laki-laki bersembahyang dengan celana panjang tanpa sarung. Demikianlah perjuangan yang dihadapi oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan beserta para murid dan sahabatnya.
Sampai akhir hayatnya (wafat tahun 1923) Kiai Haji Ahmad Dahlan menjadi Ketua Pusat Muhammadiyah. Dengan bendera Muhammadiyah yang dikibarkannya sejak 1912 telah melakukan banyak pekerjaan besar bagi kemajuan dan masa depan umat Islam. Bahkan hingga saat hari-hari akhir hayatnya ketika beliau menderita sakit keras, kemudian dinasihatkan untuk istirahat di pegunungan Gunung Bromo, Pasuruan, beliau tidak mau meninggalkan pekerjaan amar ma 'ruf nahi munkar. la memberikan pengajian kepada masyarakat yang dijumpainya. Ketika kembali ke Yogyakarta dan menderita sakit lagi, Kiai Dahlan diingatkan agar mau istirahat dari kegiatan-kegiatannya. Diingatkan oleh istrinya yang setia mendampinginya seakan-akan tidak percaya, sehingga Kiai Dahlan bertanya, "Mengapa saya harus istirahat?" Dijawab oleh istrinya,"Kiai lagi sakit, perlu istirahat, menunggu sembuh!" Namun, apa jawab Kiai Dahlan,"Ajaib benar, semua orang menyuruh aku berhenti beramal, tidak saya pedulikan, kini giliran engkau ikut pula seperti mereka!" Meneteslah air mata sang istri dan sambil menjelaskan maksudnya bahwa bila nanti kiai telah sembuh maka dapat bekerja lagi dengan lebih giat. Akhirnya Kiai Dahlan mengatakan, "Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama daripada amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan ataupun saya hentikan, lantaran sakitku ini, maka tidak ada orang yang akan sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah bagi yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya." Demikianlah ungkapan hati Kiai Dahlan di akhir hayatnya.
Kalimat lain yang sangat populer ialah pesannya agar "hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup pada Muhammadiyah" dimaksudkan supaya kader Muhammadiyah mau bekerja keras melanjutkan perjuangan dan membesarkan Persyarikatan Muhammadiyah.

Memilih Pemimpin yang AmanahNov 4, '07 1:38 PM
untuk

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.
(QS. Al Anfal: 27-28).
1. Kedua ayat tersebut secara lahiriyah menegaskan tentang larangan orang-orang beriman mengkhianati amanah Allah.
Macam-macam Amanah :
Harta, tahta, anak, istri, jabatan dan sebagainya. Termasuk amanah, yaitu setiap elemen yang berwenang memilih pejabat, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, bahkan pejabat militer dan lainnya, agar tidak menyalahgunakan pilihannya (Ibnu Taimiyah). Jadi hak memilih itupun suatu amanah. Oleh karena itu gunakan hak pilih itu dengan sebaik-baiknya.
2. Sikap tidak amanah akan menghantarkan orang ke lembah dosa, menghalalkan segala cara, untuk memenuhi/merealisir ambisinya, melegalkan segala sesuatu yang ilegal, melegalisasikan sesuatu yang tidak legitimet. Yang penting tujuan yang hendak dicapai, soal cara, segalanya dapat ditempuh. Tanpa basa-basi kalau perlu suap pun sebagai hal yang legal.
3. Orang-orang seperti itu telah mengkhianati Allah, Rasul dan orang-orang beriman.
4. Menurut Jumhur Ulama, memilih pemimpin atau mengangkat pemimpin / pejabat negara yang amanah merupakan suatu kewajiban dengan syarat bahwa pemimpin terpilih adalah orang yang terpercaya dan siap mengemban amanah besar dengan sebaik-baiknya. Ia mampu mengemban tugas berat ini dengan berpijak pada nilai-nilai agama.
5. Ibnu Taimiyah. Fungsi suatu jabatan apapun bentuknya ia harus dimanfaatkan untuk amar makruf nahi mungkar, menegakkan supremasi nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Ini berlaku untuk jabatan tertinggi negara seperti Presiden, Panglima Perang, Sampai jabatan terendah sekali pun, RT RW dsb.
6. Jabatan merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan sebaik-baiknya. Bila seseorang meminta jabatan padahal dia tidak berhak atas jabatan itu atau tidak mampu mengembannya, kelak di akhirat jabatan akan menyebabkan kehinaan dan penyesalan. (HR. Muslim).
7. Al Qur’an mengisyaratkan beberapa kriteria kelayakan seorang pemimpin.
a. Seorang calon pemimpin harus memiliki record (catatan: sejarah hidup) yang baik. Ia memiliki misi dan visi yang mulia demi menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan keterbelakangan pada seluruh sektor kehidupan.
Baca Kisah Nabi Ibrahim: Sejak pemuda sampai berjuang menegakkan tauhid memiliki track record yang baik.
b. Pemimpin itu harus satu keyakinan / aqidah.

“Janganlah orang-orang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai wali (pemimpin, teman dekat, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang beriman. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”.
(QS. Ali Imron: 28).
c. Memiliki kecakapan (kafa’ah) dan ilmu pengetahuan dalam kepemimpinannya dan sehat jasmani rohani.


“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 247)
d. Pemimpin harus bersih dari unsur nepotisme. Sebab betapapun bersihnya seorang pemimpin, apabila ia berada pada lingkaran kelompoknya, lambat laun kebersihannya boleh jadi akan dimanfaatkan kelompoknya.


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (QS. Ali Imron: 118)
8. Semoga segenap elemen bangsa ini dapat menjunjung tinggi nilai-nilai amanah. Tidak hanya pada saat disumpah sebagai pejabat, tetapi lebih konkrit dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tulisan ini dari hasil mengikuti Pengajian rutin di MAsjid Tanwir Komlek PTM. yang diasmpaikan oleh KH. Abu Ubaidah, BA.

Untuk KaderNov 2, '07 5:35 PM
untuk
<
Hai orang-orang yang beriman !

Jika kamu bertemu suatu pasukan,

bertahanlah, sambil sering-sering mengingat Allah, supaya kamu berhasil

Taatilah Allah dan Rasulnya

Dan janganlah kamu berselisih,

supaya kamu tidak kecewa dan kehilangan kekuatan,

sabar dan tabalah

Janganlah kamu seperti mereka yang meninggalkan rumah

Dengan sikap congkak ingin dilihat orang,

Dan merintangi orang dari jalan Allah.

Dan Allah meliputi segala orang yang mereka kerjakan.



Dan janganlah engkau megira

Bahwa orang-orang yang berjuang (jihad) dijalan Allah itu mati

Sesungguhnya mereka hidup,

Hidup dan tidak pernah padam disisih Robnya

Teruskan perjuangan teman-teman

Walau tubuh terluka bersimbah darah

Walau wajah terbalut oleh debu duka

Teruskan jalan ini, menuju keridhoan Illahi Rabbi.

Mba' Nur Hayati, S.HNov 2, '07 2:27 PM
untuk


nih,, penampakan selanjutnya,,,,... di pojok kegelapan..hii.hii
Immawati Siti Nurhayati,S.H.. 
Alhamdulillah sekarang dah jadi Ibu guru TK ABA.. hii...kayak nya kagak nyambung yah.. SH jadi guru TK.. tapi kita yakin kok. kader IMM banyak yang mengabdikan diri di Muhammadiyah maupun 'Aisyiyah.
selamat dan semangat yah,, Immawati Nurhayati. dia juga alumni IMM, tapi sekarang masih terus aktif Di NA Kota Magelang.

Pak Suryanto, S.P.d.INov 2, '07 2:04 PM
untuk




Assalamualakum, Pak Suryanto... 
ini Immawan Suryanto,,, sekarang mengabdi di P3SI UM Magelang...
Alhamdulillah, sampai sekarang kita masih sering ketemu ama sesepuh kita...
saran aja yah, buat temen-temen IMM, kalau ada kesulitan eee...ee.. yahhh... kesulitan dana kali yah... bisa tu pak suryanto dimintai masukan .hii...hiii kan dia juga termasuk Alumni IMM

Mba' Duwi Retning, S.ENov 2, '07 1:57 PM
untuk



Ini,, ummi Dwi Retning, selamat yah besuk dah jadi Ummi...
dulu bidang Kader PC IMM, yah... teritung sukses banget...
tau kaga' immawan/immawati... ummi Duwi ini ternyata suaminya juga orang IMM... hii..hii
kok bisa yah...
kabarnya orang Banjarnegara gitu....
selamat yah Ummi duwi Renting, S.E

Mas Syarifuddin... (Toing)Nov 2, '07 1:51 PM
untuk



hii...hii.....hiii.... ini immawan syarifuddin,, sekarang dah jadi pak guru...
yang pake topi itu lho,, bukan yang ake helem,, kalau yang pake helem mah itu pak satpam kampus Um MAgelang pas ngamanke aksi..
Alhamdulillah, Immawan Syarifudin ini, dah di wisuda kemarin September. selamat ya Immawan Udin
perjuanganmu akan kita teruskan

Sigit P.A (Pak Pres)Nov 2, '07 1:44 PM
untuk



wah yang pake topi koboi,,, mana kudanya..
hii..hii... ini namanya immaan Sigit Priatmaji, diam-diam dia juga jadi presidem mahasiswa ge...hiii..hiii.
IMM tahun 2006.. sekarang sedang belajar jadi juragan, semoga sukses kang singit

Mas Zuh....Nov 2, '07 1:34 PM
untuk





ini immawan M. Zuhron Arofi, yang sedang orasi di depan pak Wali Kota Magelang...
ya.. kira-kira tahun 2005 yang lalu... dah lama yah... sekarang sedang menyelesaikan s 2 di UMY... minta doa restunya yah.. biar cepet kelar



Oleh:Immawan Eko Prihtiono
Mahasiswa F. Ekonomi UM Magelang angkatan 06
sekarang aktif di IMM Komisariat Ekonomi
Sebuah Harapan :
“Untuk Pemuda Muslim
Generasi Muda Islam Yang Mau Memandang Jauh Kedepan
Menyongsong Surya Pertanda Munculnya Generasi Mu’min Yang Siap Merubah Dunia Dengan Amalnya”
Bangunlah Engkau Wahai Pemuda…..
Tak Kah Engkau Dengar Seruan Muhammad….
Engkaulah Sebaik-Baik Umat…!!!

Ada makna dalam kata mutiara di atas, penulis akan mencoba membahas dalam tulisan ini. Pemuda, Tentunya menarik untuk di pertanyakan dan di bayangkan, mengapa peran pemuda yang di tulis dalam judul diatas tidak mengambil judul “Peran manula sebagai agent social of changes” atau “Peran pemuda gaul sebagai agent social of changes”. Sosok Pemuda seperti apakah yang di maksud, dan peran seperti apakah yang begitu besar sampai di sebut sebagai agen perubahan…. ?????
Pemuda di pilih sebagai pelaku, karena memiliki potensi yang besar sebagai agen perubahan. Pemuda sebagai segmen yang tercerahkan, karena memiliki kemampuan intelektual. Penulis tidak akan membicarakan peran pemuda sebagai sosok yang faham akan teknologi atau faham ilmu-ilmu sosial, namun penulis akan membicarakan sosok pemuda yang dapat berperan sebagai orang yang memiliki kemampuan logis dalam berfikir. Sehingga dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Sebagai bagian dari pemuda, pemuda juga memiliki karakter positif antara lain idealis dan energik. Idealis yang dimaksud adalah belum terkotori oleh kepentingan pribadi, juga belum terbebani oleh beban posisi. Pemuda masih bebas menempatkan diri pada posisi yang di anggap terbaik, tanpa adanya resistansi (hambatan/perlawanan). Ada contoh kasus, Andi (nama samaran) yang memiliki beban sebagai mantan ketua organisasi A dan umurnya sudah tidak pemuda lagi dan seorang mahasiswa baru yang baru saja masuk anggota organisasi A, jika Andi dan mahasiswa baru itu berganti baju dalam berorganisasi, maka resistansi yang di miliki oleh Andi lebih besar di bandingkan dengan mahasiswa baru tadi, karena ideologi Andi akan dipertanyakan. Energik pemuda biasanya siap sedia melakukan kewajiban yang di bebankan oleh suatu ideologi ketika dia telah menyakini akan kebenaran ideologi tersebut, sebagai contoh adalah para shahabat yang siap sedia manakala mendengar perintah jihad dari Rosulnya.
Pejuang dan pendiri bangsa ini juga dari kalangan pemuda, Ir soekarno pernah berkata “Berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku kuasai dunia.” Mustafa Ghalayani juga mengutarakan “Ditangan mu pemuda terletak urusan umat/bangsa dan di kakimulah penentu hidup dan kejayaan bangsa”. Memang dalam diri pemuda terkumpul semangat yang di butuhkan oleh umat untuk kembali bangkit dari keterpurukan 1500th silam, semangat berani, obsesif, jujur, siap menerima perubahan (anti status quo), pembelaan tanpa mengharapkan kekuasaan, kekuatan fisik, kecerdasan akal, keikhlasan beramal, serta keteguhan dalam memegang prinsip idieologi haruslah menjadi dasar gerakan seorang pemuda sebagai agen perubahan.
Setiap zaman pemuda memegang peran penting, kisah Ibrahim as sang pembaharu, atau kisah pemuda kahfi yang masing-masing begitu sigap menerima kebenaran, atau orang-orang yang segera menerima dan mendukung dakwah Rosulullah saw pun ternyata adalah para pemuda, bahkan Abu Bakar yang cukup tua pun saat itu baru berusia 37th.
Ada tiga peran yang harus diperhatikan sosok pemuda. Pertma, Sebagai generasi penerus (Ath Thur:21) meneruskan nilai-nilai yang ada pada suatu kaum. Kedua, sebagai generasi pengganti (Al Maidah:54) menggantikan kaum yang memang sudah rusak dengan karakter mencintai dan di cintai Allah, lemah lembut kepada kaum mu’min, tegas kepada kaum kafir, dan tidak takut celaan orang mencela. Tiga, Sebagai generasi pembaharu (Maryam:42) memperbaiki dan memperbaharui kerusakan yang ada pada suatu kaum.
Kata kunci yang kedua adalah islam. Islam adalah sebuah ideolgi yang memberikan energi besar bagi perubahan. Hal ini di mungkinkan karena karakter islam yang bersifat syumul (universal), mencakupi seluruh aspek kehidupan dan mengatur seluruh bagian manusia. Islam tidak hanya sekedar mengatur ibadah spiritual saja, namun meliputi segala aspek yaitu politik, pendidikan, ekonomi, budaya dll. Dan Islam juga mewarnai pola pikir, emosi, perasaan, pemikiran dan juga fisik. Ber-islam-nya seseorang akan melahirkan sebuah totalitas. Dengan adanya syahadah, seorang muslim akan meyakini bahwa dia memang di ciptakan hanya untuk beribadah (Adz Dzariat:56), bahwa tidak ada yang dapat memberikan kemudharatan kecuali atas seizin Allah, sehingga dengan demikian tidak ada lagi sesuatupun yang di takuti. Kalaupun harus berperang, mereka meyakini bahwa apapun hasilnya akan berupa kebaikan, matinya adalah syahid dan hidupnya adalah mulia..
Dari dua kata pemuda dan Islam akan memberikan sebuah energi besar yang berlipat. Potensi tersebut seharusnya diarahkan dengan baik sehingga perubahan akan tercipta. Berbicara tantang perubahan, maka akan muncul pertanyaan. Mengapa harus ada perubahan ?
Kondisi saat ini sangat jauh dari ideal, tidak di pungkiri lagi bahwa masyarakat (termasuk Indonesia) saat ini sangat jauh dari islam. Contoh yang nampak di permukaan adalah moral masyarakat, budaya korupsi, bahkan mencapai Top heavy corruption (korupsi yang di lakukan pejabat Negara tanpa malu-malu lagi, bahkan di legitimasi dengan peraturan dan perundang-undangan), adanya pergaulan bebas yang Hedon (live stayl) bisa diibaratkan zaman sekarang dengan istilah jaholiyah moderen.
Perubahan adalah sunatullah, artinya suka atau tidak, kita akan menemui perubahan. Kalaupun kita diam, maka ada banyak pemikiran lain yang akan merubah perubahan ini (kapitalisme, sosialisme, dll) yang mencoba mengubah masyarakat sesuai dengan kehendak mereka. Oleh karena itu, diamnya kita berarti membiarkan ‘kekalahan’, ideologi yang kita yakini kebenarannya dan membiarkan terjadinya perubahan kearah yang tidak kita kehendaki. Dalam firman Allah bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum hingga mereka mengubah kondisi dirinya sendiri. (Qs Ar Ra’ad:11).
Melakukan perubahan adalah perintah di dalam islam, sebagaimana dalam suatu hadits Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang hari ini sama dengan hari kemarin adalah rugi dan orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin adalah celaka. Artinya kalau kita membiarkan kondisi statis tanpa perubahan, apalagi membiarkan perubahan kearah yang lebih buruk, berarti kita tidak termasuk orang yang beruntung. Dalam QS Al Imron:104 Allah memerintahkan agar ada kaum yang menyeru kepada kebaikan sebagai sebuah perubahan.

Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, mengapa harus saya yang melakukan perubahan dan bukan orang lain. Secara sederhana jawabannya adalah karena kita adalah orang-orang terpilih. Dari sekitar 5 M penduduk yang memeluk Islam, suatu segmen yang tidak terlalu besar. Dari sekian banyak pemeluk Islam, mungkin hanya sekitar 5% yang menjadi mahasiswa, berarti merupakan segmen yang kecil. Dan dari sekian pemuda muslim, hanya puluhan atau ratusan yang tertarik mengikuti kajian atau membaca tulisan yang bertemakan pemuda sebagai agen perubahan apalagi yang sadar bergerak menjadi agen perubahan. Orang-orang yang sedikit ini seharusnya tidak kemudian lepas tangan, artinya membiarkan perubahan berjalan kearah yang tidak kita kehendaki. Dengan kata lain, kita telah sadar akan potensi yang kita miliki, dan setiap potensi yang bermakna adanya tanggung jawab. Makin besar potensi yang di miliki seseorang maka makin besar pula tanggung jawab yang di miliki. Dalam hadits Rasulullah yang di riwayatkan Hakim, mengingatkan kita untuk mempergunakan lima kesempatan sebelum datangnya lima kesempatan, yang diantaranya adalah masa muda sebelum datangnya tua.
Kesadaran bahwa kita ‘harus’ menjadi agen perubahan, merupakan langkah awal yang kemudian harus di iringi dengan pemahaman bagaimana cara melakukan perubahan atau kearah manakah perubahan harus kita arahkan, dalam Qs Ali Imron:104, bahwa perubahan itu harus di lakukan kearah ‘kebaikan’, arah kebaikan yang di maksud adalah Islam dan Tauhid, sehingga sebagai tujuan jangka panjang adalah terbentuknya masyarakat dan pemerintahan Islami. Sebagaimana dulu Khilafah Islam mengusai seperlima dunia dan sebuah peradaban Islami yang luarbiasa berkembang pesat, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, pendidikan. Salah satu contoh adalah pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang waktu itu sangat sulit mencari orang miskin penerima haknya (zakat) karena masyarakat telah mengalami kemakmuran.
Tiga pendekatan yang dapat di lakukan untuk melakukan perubahan, yang pertama, dengan merubah pola fikir individu. Kedua dengan mengubah kelompok. Ketiga menekankan pada perubahan struktur sosial yang kemudian akan menyebar ke seluruh bagian masyarakat. Kita perlu malakukan ketiganya secara simultan, hanya saja perlu di tekankan bahwa perubahan yang langgeng adalah perubahan yang berasal dari pemahaman individu. A’a Gym dengan 3Mnya, mulai dari diri kita, mulai dari yang terkecil dan mulai saat ini juga.
Melakukan perubahan secara bertahap adalah ideal, dapat digambarkan seperti halnya penciptaan manusia. Penerapan aturan Islam secara spontan akan menimbulkan penolakan yang spontan pula, sehingga akan muncul fitnah’. Pemahaman yang benar akan Islam melalui perubahan pemikiran, perasaan dan kepatuhan terhadap peraturan, dan akan menimbulkan perubahan revolusioner seorang pemuda yang bisa melakukan perubahan, merekrontuksinya sebagaimana para shahabat. Ada dua kata kunci yang perlu kita ingat dalam melakukan perubahan ini, yang pertama adalah pembinaan sehingga akan memberikan pemahaman dan motifasi yang langgeng, kedua dengan kerja keras dengan beramal, karena Allah hanya menilai amal dan usaha kita bukan hasil dari usaha kita
wallahu alam bish ashabab



Oleh. Immawan Luqman Novanto
Takmir Masjid Tanwir Komlepk PTM Jl. Tidar No 21



Manusia hidup di dunia ini pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu, Allah swt telah menjelaskan didalam Al Quran bahwa jin dan manusia telah diciptakan memiliki maksud dan tujuan untuk beribadah kepadaNya. Firman Allah “telah aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariat (51):56). Makna ibadah menurut ulama Tauhid adalah meng-Esakan Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepadaNya. (Ahmad Tib, 2003:137). Sedangkan makna ibadah adalah taat kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lesan-lesan para Rosul. (Hasan, 1994:27). Sifat ketundukan dan pengakuan bahwa yang Maha Esa hanyalah Allah, adalah bekal seorang hamba dalam manjalankan tugas ibadah. Dengan mentaati perintah dan cara-cara yang Rosul ajarkan, seorang hamba akan lebih termotifasi ketaatannya dalam beribadah kepada Allah.
Pada waktu nabi menerima wahyu Al Quran, mulai saat itu pula ia menyebarkan misi keagamaan, dan reformasi sosial. Reaksi masyarakat Mekkah pada umumnya, khususnya suku Quraisy yang juga merupakan suku nabi sendiri menolak dan menentang secara ekstrim. Tetapi nabi berteguh dan terus berjuang untuk meraih sejumlah pengikut dalam masa lebih dari 13 tahun selama misinya di Mekkah. Secara umum disepakati bahwa periode Mekkah, Al Quran dan sunnah lebih banyak berisi tentang ajaran Agama (Tauhid) dan Moral. (Abdullahi ahmed, 2004:21). Tauhid sebagai ilmu, baru dikenal ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Istilah ilmu Tauhid itu sendiri baru muncul pada abad ketiga Hijriyah. Tepatnya dizaman pemerintahan khalifah Al Makmun, Kholifah ketujuh dinasti Bani Abas. (Yusran Asmuni, 2003:03) .Meskipun inti pokok risalah Nabi Muhammad saw adalah tauhid, namun pada masa beliau Tauhid belum merupakan ilmu keislaman yang berdiri sendiri, tetapi Tauhid sudah terbukti mampu menjadi pilar perjuangan umat Islam.
Muhammad Abduh mendefinisikan makna tauhid sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap padaNy, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepadaNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari padaNya, juga membahas tentang Rosul-rosul Allah meyakinkan kerosulan mereka, dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. (Muhammad Abduh, 1979 : 36). Musa Asy'arie menambahkan bahwa makna Tauhid menurut pandangan filsafat Islam adalah suatu sistem pandangan hidup yang menegaskan adanya proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan semua yang ada, berasal dan bersumber hanya pada satu Tuhan saja, yang menjadi asas kesatauan ciptaanNya dalam berbagai bentuk, jenis dan bidang kehidupan. (Asy'arie. 2002 : 181). Dari dua pandangan ini, ternyata Tauhid memiliki tema pembahasan dan peran yang sangat penting dalam membentuk pribadi seorang muslim. Tauhid yang menjadi proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan yang bersumber pada satu Tuhan saja, haruslah menjadi falsafah hidup seorang muslim.
Dalam pandangan Islam, Tauhid bukan sekedar mengenal dan memahami bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, buka sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud dan ke-Esa-an Nya serta bukan sekedar mengenal asma dan sifat-sifatNya, tetapi yang paling pokok dari itu adalah penerimaan dan resfons cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Namun yang terpenting adalah agar sikap ketauhidan ini dapat menyemangati kehidupan sehingga bukan hanya keshalehan individu yang kita harapkan dapat terwujud, melainkan juga keshalehan dan ketaqwaan sosialnya
Pandangan Hasan Hanafi yang di kutip oleh Kazuo Shimogaki menyebutkan bahawa, selama dalam sistem sosial masyarakat masih ada kesenjangan antara si kaya dengan miskin, adanya golongan penindas dan tertindas maka selama itu pula masyarakat dibalut oleh paham syirik (Shimogaki, 2003:20). Pengingkaran terhadap makna tauhid adalah perbuatan syirik, karena syirik bukan semata-mata tindakan yang ujudnya adalah penyembahan berhala atau kesukaan pergi kekuburan yang maknanya dalam ibadah, melainkan juga penguasaan manusia atas manusia lain.
Bagi seorang muslim dalam konteks Teologi, Tauhid adalah pernyataan iman kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, dalam suatu sistem, karena pernyataan iman seseorang kepada Tuhan, bukan hanya kepada pengakuan lesan, pikiran dan hati atau kalbu, tetapi juga tindakan dan aktualisasi, yang diwujudkan dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. . (Asy'arie. 2002 : 182). Dari berbagai pandangan tentang makna tauhid yang di maknai oleh Muhammad Abduh, Musa Asyari, dan Hasan Hanafi, dapat di tarik kesimpula bahwa makna Tauhid adalah tema sentral yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, dan Rosul-rosul Allah yang mempunyai konsekuensi dalam kehidupan berupa praktek sosial umat Islam yang konkrit.

Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam.
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang akan dilakukan. Allah menjelaskan dalam firmanNya bahwa, orang yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang mereka dalam keadaan beriman maka oleh Allah akan diberikan kehidupan yang baik dan juga akan diberi balasan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (An-Nahl: 97).
Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial Islam yang dianggap tidak komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah, antara lain Tauhid Sosial. Adie Usman Musa mengutip dari Syafi’i Ma’arif, beliau menyebutkan bahwa Tauhid Sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan Al-Qur’an, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan Tauhid Sosial Syafi’i Ma’arif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan.(Ade Usman, 2006. http:// my.opra.Com/adieusman/htm) Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Setiap aspek kehidupan yang dijalani merupakan refleksi dari prinsip-prinsip tauhid.
Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani al-munkar’. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowojoyo, menyatakan bahwa nilai-nilai Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. (Kuntowijoyo, 1991 : 197). Di dalam Al-Qur’an kita sering sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surah Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, ‘percaya kepada yang gaib’, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut dapat dilihat adanya trilogi iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, ada juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini, penulis menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam adalah Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
Manusia memiliki dua kekuatan. Pertama, Nazairah (penyelidikan) puncaknya adalah mengenal hakekat sesuatu menurut keadaan yang sebenarnya. Dua, Amaliah (tindakan) puncaknya melaksanakan menurut semestinya dalam urusan hidup dan penghidupan. (Syulthut, 1994 : 49). Oleh sebab itu tauhid juga bisa dibagi dalam dua tahapan dalam aktualisasinya, tauhid i'tiqadi ilmi (keyakinan teoritis) dengan tauhid amali suluki (amal perbuatan praktis) atau dengan istilah lain dua ketauhidan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. (Qordhawi,1996:33). Kedua bentuk kekuatan tauhid ini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, maka keduanya harus dijalankan secara seimbang.
AM Fatwa menegaskan bahwa setiap perbuatan pribadi akan menyebabkan berbagai implikasi kemasyarakatan, maka tanggung jawab pribadi itu memberi akibat adanya tanggung jawab sosial. Inilah yang sering dipahami dari rahasia susunan Al Quran bahwa setiap kali Kitab Suci menyabut kata iman (aamanu) yang merupakan perbuatan peribadi selalu diikuti dengan penyebutan amal saleh (aamilus shalihati) yang merupakan tindakan kemasyarakatan. (AM. Fatwa, 2001:51). Jika tauhid teoritis dapat melakukan perubahan batiniah dan pembebasan spiritual, maka tauhid praktis dapat melakukan rekonstruksi dan reformasi sosial. Tauhid ibadah atau tauhid praktis inilah yang di istilahkan oleh Prof. Dr. Amin Rais dengan sebutan Tauhid Soaial.
Prof. Dr. Amin Rais mengatakan bahwa yang dimaksud tauhid Sosial adalah dimensi sosial dari Tauhidullah. Dimaksudkan agar tauhid Ilahiyah dan Rububiyah yang sudah tertanam di kalangan kaum muslimin dan muslimat, bisa diturunkan lagi kedataran pergaulan sosial, realitas sosial, secara konkrit. ( Rais, 1998: 108) Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai. Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li al’alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat penjelasan diatas, Tauhid Sosial sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam konteks menjadikannya sebagai rahmatan li al’alamin. Proses menuju ke arah itu harus dimulai dari penguatan dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam dimensi amal berupa praktek sosial kepada sesama manusia. Dengan kata lain bahwa Tauhidullah harus diujudkan dalam praktek sosial.

INFORMASI PENTINGOct 29, '07 8:15 PM
untuk

Temen-temen Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah khususnya yang berdomisili di Magelang, dan sangat terbuka untuk temen-temen diluar Magelang,

tau kagak, bahwa besuk nih hari Ahad, 11 November 2007, insya Alloh pak Dien syamsudin ke Magelang nih....

pokoe harus datang, kalau kagak datang rugi....banget nih...

kemarin tu immawan Luqman bilang ama aku, kalau pengajian itu akan dimulai kira-kira jam 1 (satu) siang..


selain itu nih yah, Imawan Luqman ngasih posternya pak din dan lokasi kegiatan.

tu posternya di atas......hiii...hiiii.....


kegiatannya Insya Alloh akan dilaksanakan di lapangan Selamat, Secang, Magelang.

eh... ini sekedar pesen ajah dari temen-temen PC IMM. kalau temen-temen pengen berangkat bisa kumpul dan berangkat barang-bareng.

yah... mungkin seperti kampanye..

pake sepeda motor bareng-bareng sambil bawa bendera IMM......kixx..kixx..kixxx

kepastiannya sih, kita kumpul di kantor PDM Kota Magelang, dan sebagian di Masjid Tanwair.

Jl. Tidar No. 21 Magelang (0293)364889

ajak temen, tetangga, adik, atau ortu yah..

jangan sampai lupa...

ngikut.... ngajinya Prof. Dr.Din Syamsudin ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah...

wassalam



Magelang 29 Oktober 2007

Moderator

Dibawah Bendera Gerakan MahasiswaOct 29, '07 8:11 PM
untuk


Kakanda M. Zuhron Arofi, S.Pd.I
Sekarang sedang menyelesaikan studi S2 di UMY

I have a dream, sebuah kata yang diucapkan oleh Martin Leuther King pada tanggal 28 Agustus 1963. Tepatnya di Washington DC. Leuther King memang tidak sedang bermimpi dia berteriak dan terjun langsung menjadi parlemen jalanan bersama 200 ribu masa kulit hitam Amerika yang menginginkan perubahan. Konflik atas rasis yang mendiskriminasikan warga kulit hitam yang berujung pada sikap ketidak adilan, menuntut terpanggilnya masyarakat kulit hitam yang merasa tertindas oleh ketidak adilah untuk memperjuangkan haknya. Teriakan perubahan yang digaungkan oleh Leuther King seolah menjadi corong awal bagi bangkitnya sebuah rasa keadialan dan kesetaraan. Adalah sebuah keterwakilan yang kemudian menjadi pemicu pendorong perubahan sejarah baru dalam tata kehidupan masyarakat.
Babak baru kehidupan akan dimulai dengan pengharapan yang tinggi atas tercapainya tatanan masyarakat baru. Inilah yang biasa disebut dengan transisi sosial, sebuah transisi dimana hampir diseluruh belahan bumi pernah terjadi. Yang perlu kita sadari bahwa setiap perubahan sosial ada faktor-faktor penting yang bertengger di dalamnya. Menurut DR Ausaf Ali, seorang perintis sain-sain Islam, faktor-faktor tersebut meliputi: (1). munculnya kritik terhadap realitas dan praktek sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka yang cenderung terhadap tatanan baru. (2). adanya paradigma baru nilai-nilai, norma dan sistem penjelas yang berbeda dan (3) partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasikan masyarakatnya.
Sejarah negri ini telah mencatat dengan tinta emas dan dengan semangat perjuangan yang cemerlang menorehkan kejujuran dan kemurnian dari sebuah gerakan yang mampu menumbangkan sebuah rezim otoriter. Meski perlu kita sadari bahwa setiap arus perubahan tidak mesti akan berjalan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Ada hal yang terjadi yang diluar perkiraan sebelunya, dan ini adalah sebuah realitas yang harus kita terima. Dari waktu ke waktu sebuah generasi muncul hilang berganti dan menapaki sebuah peradaban baru untuk sebuah pencerahan dan kemandirian sebuah generasi. Semuanya dicirikan dengan aksentuasi gerakan yang riel dengan ditopang sebuah konsep besar yang berpayung pada perubahan demi terwujudnya tatanan baru yang ideal. Signifikansi peran mahasiswa sebagai aktor intelektual dan sekaligus bergerak riel menjadi parlemen jalanan adalah bukti nyata yang bisa kita rasakan. Sebut saja beberapa peristiwa penting yang terjadi di negeri ini, dari mulai gerakan kampus tahun 66, peristiwa malari ataupun gerakan mahasiswa 98, semua dimotori oleh mahasiswa sebagai agent of change. Sejarah memang telah berlalu, hanyut bersama arus perubahan yang bergulir, tetapi sejarah tidak pernah sirna dari catatan dan sejarah merupakan pijakan yang harus digunakan untuk mencapai perubahan dimasa berikutnya
Metamorfosis
Saya jadi teringat dengan sebuah obrolan yang saya lakukan dengan teman-teman satu kost, duduk santai di angkringan ditemani dengan segelas minuman hangat susu jae dan nasi kucing. Dalam obrolan itu kita membahas tentang diskursus masyarakat idealita dan masyarakat realita ( sejarah ). Masyarakat idealita adalah sebuah tatanan masyarakat ideal yang termaktub dalam kitab suci atau pada tataran konsep yang dimiliki oleh gerakan dan ideologi besar dunia. Sebut saja masyarakat sosialis yang memimpikan sebuah tatanan masyarakat berasas keadilan, kesamaan derajad, kepemilikan bersama serta terhapusnya kelas sosial dalam masyarakat. Atau dalam dunia muslim disebut sebagai masyarakat madani dengan tonggak awalnya adalah revolusi negara madinah. Semua itu telah terdokumentasi dengan baik dan menjadi reverensi bagi masyarakat modern untuk mewujudkannya. Sedangkan masyarakat realita adalah masyarakat yang secara nyata kita hadapi, yang terkadang kita mendapati jauh dari harapan masyarakat idealita. Bahkan Samuel Huntington dalam tesisnya yang cukup controversial The Class of Civilization ( 1993 ) mengemukakan bahwa akan terjadi benturan antar peradaban, benturan ini tidak lagi pada persoalan politik ekonomi dan ideologi, melainkan lebih pada konflik SARA ( suku, agama, ras dan antar golongan ) lebih detail lagi Kenichi Ohmae menjelaskan bahwa benturan itu terjadi tidak hanya antar peradaban, bahkan dalam peradaban yang samapun bisa terjadi konflik. Dan bukti nyatanya telah kita rasakan bersama. Jika realitas adalah demikian apakah masyarakat baru akan terwujud..?
Hal pertama yang harus kita sadari adalah bahwa disinilah letak peran dan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual yang secara sadar berdiri diantara komponen yang bersejajar dengan masyarakat lain, untuk mendorong sekaligus menggawangi tercapainya masyarakat ideal. Kaum intelektual dalam perspektif Howard M Fredisphel adalah mereka yang suka terhadap dinamika dan perkembangan masyarakat dan sekaligus terjun langsung untuk memberikan nilai-nilai ketauladan, kaum intelektual bukanlah mereka yang hanya berkutat dan asyik dalam pengembaraan wacana, bukan pula manusia langit yang tak pernah mau turun ke bumi. Maka dari itu gerakan intelektual harus mampu menelorkan konsep dan gagasan yang logis yang bisa diterima oleh masyarakat majemuk disinilah letak aksentuasi gerakan intelektual dari masyarakat mahasiswa yang sesungguhnya.
Menurut hemat saya gerakan mahasiswa mempunyai dua tipe yang mencirikan, pertama adalah gerakan intelektual, seperti yang telah dikemukakan di atas dan yang kedua adalah gerakan masa. Dua tipe gerakan ini adalah dua sisi yang saling berkaitan. Ibarat seekor burung kalau ia mau terbang bebas tanpa batas maka dia harus mempunyai dua sayap yang menopangnya. Dua sisi antara gerakan intelektual dan gerakan masa harus berjalan beriringan. Sebab jika tidak maka dia akan berjalan dengan pincang dan sulit menemukan keseimbangan. Adalah sebuah keharusan jika kedua basis ini digunakan sebagai alat untuk bermetamorfosis menuju kemandirian. Kemandirian merupakan pilihan sikap strategis untuk sebuah gerakan perubahan. Kemandirian juga merupakan sikap inti yang diambil tanpa pengaruh unsur-unsur yang menjadi pola parsial suatu gerakan perubahan. Meskipun demikian kemandirian bukanlah sikap yang acuh dan anti terhadap golongan lain, bukan pula sebuah sikap singgle fighter dalam mewujudkan proses transisi. Karena tidak mungkin kita akan berdiri tanpa kekuatan lain yang memback upnya.
Oleh karena itu mahasiswa harus membangun kerja sistemik berbasis masyarakat berjejaring untuk menghimpun kekuatan dan mendorong proses transisi menuju kemandirian


Al Quran adalah obat

Obat jiwa yang sangat mujarab

Tiada obat kegelisahan selain Al Quran

berfikir, merenung, dengarkan, dan hayati.

untaian ini akan membawa jiwa dalam kerinduan

untaian ini yang sudah mampu menerbangkan angan-angan sebuah peradaban.

untaian ini sudah mampu menjadi tonggok perjuangan.

dengarkan, fikirkan, dan renungkan.

Semakin sering seseorang membaca Al Quran akan menstimulasi penafsiran baru, pengembangan gagasan, menambah kesucian jiwa serta meningkatkan kesejahteraan batinnya.

Bahkan memungkinkan dirinya membaca fenomena alam semesta, menyibak tabir nya memaknai dan menghayati proses penciptaannya.

dari kami IMM Magelang





Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mendengar. (Al Hujurat (49):13). Ayat ini turun sebagai jawaban atas pandangan sempit atas sebagian masyarakat terhadap fenomena pluralisme identitas kulit dan kedudukan. Sebagai akibatnya mereka memandang diskriminatif terhadap orang lain yang berbeda warna kulit. Pluralisme terjadi dalam berbagai hal : Agama, kebudayaan, ilmu, ras, suku, bangsa, dan lain sebagainya.
Istilah pluralisme sebenarnya berasal dari bahasa latin: pluralis yang berarti jamak. lawan katanya dari monisme, dualisme, atau uniter (Ghafur.2005:13) dalam bahasa Islam kemajemukan merupakan sunnatullah. Dari catatan sejarah yang terjadi pada masa kehidupan Rasulullah saw menunjukkan bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah sebuah realitas yang tidak dapat dihindarkan dan merupakan sunnah yang harus dijalankan. Perbedaan di kalangan umat Islam sudah ada sejak Rasulullah masih hidup. Beliau menyaksikan di antara sahabat-sahabatnya berselisih pendapat tentang banyak hal. Di antaranya ada yang diluruskan, ada yang dibenarkan salah satunya, ada yang dibenarkan dua-duanya, dan ada pula yang dibiarkan.
Sebagai pemimpin umat, Rasulullah menyadari bahwa perbedaan dan silang pendapat adalah suatu yang niscaya. Justru dalam perbedaan itu terletak potensi yang sangat besar, yang jika dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran, justru akan membuahkan kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya, jika perbedaan itu disikapi secara salah dan dikelola semaunya, maka perbedaan itu akan berubah menjadi konflik yang pada ujungnya dapat mendatangkan bencana. Pendek kata, meniadakan perbedaan sama halnya dengan menentang sunatullah, menentang fitrah kemanusiaan sekaligus menentang diri kita sendiri.
Masalah pluralisme di zaman Rosulullah sudah terjadi, ketika Salman Al Farisi datang kepada Rosulullah dan bertanya tentang teman-temannya dalam agama yang dipeluknya sebelum Islam. Teman-teman salman itu mengerjakan ibadah shalat dan puasa menurut syariat yang berlaku sebelum nabi diutus, setelah Salman memuji teman-temannya Rasulullah menyatakan “Hai Salman, mereka termasuk penghuni neraka”. (Ilyas.2003:48). Ternyata pluralisme yang meyakini bahwa semua agama adalah benar niscaya akan terjebak pada kesalahan fatal, ummat Islam harus mengimani dan meyakini bahwa hanyalah Islam agama yang benar.
Kutipan ayat Al Quran surat Al Hujurat : 13 diatas, sering menjadi landasan teori para pengagung pluralisme. Tidak heran kalau tema pluralisme ini sangat hangat dibahas oleh rekan-rekan akademisi bahkan ummat Islam, sekedar mengutip dari tulisan saudariku Siti Kholisiah didalam buletin SINAR edisi1/Th.I/2007.”Banyak diantara kita kaum muslim memahami pluralisme keberagamaan sebagai gerakan penyamaan agama, bahwa semua agama adalah benar. Memang, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya salah.” (Kutip.hal:2). Dari tulisan saudariku Kholisiyah ini, yang penulis tangkap adalah, tema menyamakan bahwa semua agama masih ada unsur kebenaran. Islam telah memberikan doktrin bahwa barang siapa yang mencari agama selain dari pada Islam niscara tidak akan diterima oleh Allah. periksa QS. Ali Imran (3) : 19, 85)
Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa Islamlah satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT maka tentu saja agama-agama lain yang dianut dan diyakini oleh sebagian umat manusia ditolak kebenarannya, bukan keberadaannya. Sekali lagi yang di tolak adalah kebenarannya, bukan keberadaannya. Keberadaannya tidak ditolak karana Allah tidak mau memaksa manusia untuk memeluk agama Allah. Islam menganjurka kebebasan memilih agama. hanya saja jika manusia memilih agama selain Islam, di akhirat nanti mereka termasuk orang-orang yang merugi. priksa QS. Al Baqarah (2) 256.
Sikap mencampur adukkan dan memadukan unsur-unsur tertentu saja yang menguntungkan dan mengarah kepada pengaburan adalah bukan sikap seorang pluralis. sebab pluralisme bukan sikap singkritisme yaitu menciptakan agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari berbagai agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut (Kholisyah. Pluralisme Solusi Penyatuan Ummat.Dalam Buletin SINAR No 1). Seorang pluralis adalah orang yang dapat berinteraksi secara positif terhadap lingkungan kemajemukan selain itu seorang pluralis juga dituntut untuk commited terhadap apa yang diyakininya.
Umat Islam tidak akan terpancing oleh profokasi agama atau kelompok lain, sebab Islam sudah mengajarkan sikap husnudzan (berbaik sangka). Dengan membudayakan sekap husnudzan, niscaya akan terhindar dari perbuatan mendiskriditkan golongan dan akan terhindar dari terjadinya konflik.
Wallohu a’lam

Daftar Referensi :
1. Ghafur,Abdul. 2005. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks. Yogyakarta.
Alsaq Press.
2. Ilyas, Yunahar. 2003. Cakrawala Al Quran.Yogyakarta. Suara Muhammadiyah
3. Rais, Dahlan.DKK. 2005. Pedoman Hidup Islami 2. P3SI UMMGL. Jawa Tengah
4. Kholisyah, Siti.2007. Pluralisme Solusi Penyatuan Ummat.Dalam Buletin SINAR
No 1/Th.I/200
5. Al Quran dan Terjemahannya.

Make a Free Website with Yola.