Bagaimana cara menentukan permulaan Ramadhan 1430 H (dan juga tahun sebelum atau sesudahnya…)?

Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) 30 hari.” (Bukhori – 1776)

Berdasarkan hadits tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan melihat bulan secara langsung. Termasuk bulan Ramadhan Syawwal dan Dzul Hijjah.

Hukum melakukan rukyatul hilal adalah fardlu kifayah dalam pengertian harus ada umat Islam yang melakukannya; jika tidak maka umat Islam seluruhnya berdosa.

Bila tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, NU tetap merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal) bulan berjalan menjadi 30 hari. Karena memang sejak zaman Rasululloh SAW, dan tersurat dalam hadits di atas, Rasul SAW telah memberikan solusi berupa penggenapan/istikmal. Hisab bagi NU hanya sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah.

Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut: (1)-Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang daripada 3°. Atau (2)-Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku.

Ketentuan ini berdasarkan Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS)

Di komunitas RHI, bahkan kriteria MABIMS ini belum pernah terbukti. Terkahir hilal Sya’ban 1430 H adalah fenomenanya. Bahkan hilal muda Sya’ban 1430 H, tidak ada satu orangpun yang melaporkan melihatnya (ICOP dan MCW) di seantero dunia.

Sementara itu organisasi Islam Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu awal bulan Hijriyah. Namun, Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan Rukyat dan memilih menggunakan Hisab. Muhammadiyah berpendapat rukyatul hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit sementara Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah.

Hisab yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, sebagaimana dilakukan NU, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Pasca 2002 Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah menggunakan Kriteria Wujudul Hilal.

Sebagian muslim di Indonesia lewat organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Cara ini dinamakan Rukyat Global. Penganut kriteria ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin belum melihatnya. Hadits ini menurut Fatwa MUI, adalah bisa berlaku manakala Daulah Islamiyah Global telah terbentuk. Bila ini belum, maka mengikuti pemerintah masing-masing dulu saja.

KAPAN sih AWAL RAMADHAN 1430 H..? (Menurut Hadits di atas dgn HISAB-RUKYAT)

  • Hari Kamis 20 Agustus 2009 adalah saat atau waktu untuk melakukan penentuan Awal Ramadhan 1430 H adalah saat GHURUUB/SUNSET (Matahari terbenam) setelah terjadi KONJUNGSI/IJTIMAK (Matahari dan Bulan segaris astronomis). Untuk memahami konjugsi adalah persis saat terjadi Gerhana Matahari Total/Cincin/Sebagian, karena posisi Matahari dan Bulan segaris dan selintang.
  • Hari Kamis, 20 Agustus 2009 saat Sunset itulah saat mengamalkan Hadits di atas. Karena bertepatan secara HISAB dengan tanggal 29 Sya’ban 1430 H (bulan sebelum Ramadhan).
  • Pada saat itu, 20 Agustus 2009, MUHAMMADIYAH dan PERSIS, serta penganut kriteria WUJUDUL HILAL (Hilal telah ada) telah menetapkan berdasarkan Hisab (Perhitungan ilmu Falak-Astronomi), dimana Hilal sebagai penentu awal Ramdhan 1430 H adalah MUSTAHIL DILIHAT pada saat harus diRUKYAH. Kondisi inilah yang dikatakan sebagai makna dari GHUBBIYA (terhalang) dalam hadits di atas. Jadi, kalau Hilal itu GHUBBIYA, maka perintah Rasululloh SAW lewat hadits di atas adalah agar ISTIKMAL (digenapkan) jumlah bilangan hari dalam bulan Sya’ban. Karena saat dan waktu RUKYAH itu adalah tanggal 29 Sya’ban 1430 H, maka genapnya menjadi 29 + 1 = 30. Jadi esok hari adalah masih tanggal 30 Sya’ban 1430 H.
  • Pada saat itu, 20 Agustus 2009, NU dan Depag, MUI, serta penganut kriteria MAUJUDUL HILAL (Hilal terlihat ada) akan melakukan pengamatan atau observasi atau RUKYAH Hilal untuk memastikan hasil Hisab (Perhitungan ilmu Falak-Astronomi), dimana Hilal sebagai penentu awal Ramdhan 1430 H adalah memang BENAR MUSTAHIL DILIHAT pada saat harus diRUKYAH. Bila -atas idzin Alloh SWT – Hilal terlihat, maka esoknya sudah harus berpuasa alias sudah memasuki 1 Ramadhan 1430 H. Tetapi hal ini belum pernah dan insya Alloh tidak akan pernah terjadi, perhitungan HISAB bertentangan dengan fakta di alam. Sebab Sunnatuloh adalah tidak pernah berubah. Oleh karena secara HISAB Hilal itu MUSTAHIL DILIHAT, maka hasil RUKYAH nantinya juga insya Alloh – pasti akan MUSTAHIL TERLIHAT. Kondisi KEMUSTAHILAN secara HISAB ini pulalah yang dikatakan sebagai makna dari GHUBBIYA (terhalang) dalam hadits di atas. Jadi, kalau Hilal itu GHUBBIYA, maka perintah Rasululloh SAW lewat hadits di atas adalah agar ISTIKMAL (digenapkan) jumlah bilangan hari dalam bulan Sya’ban. Karena saat dan waktu RUKYAH itu adalah tanggal 29 Sya’ban 1430 H, maka genapnya menjadi 29 + 1 = 30. Jadi esok hari adalah masih tanggal 30 Sya’ban 1430 H.
  • Pada Jum’at, tanggal 21 Agustus 2009, MUHAMMADIYAH, PERSIS dan para penganut kriteria WUJUDUL HILAL, sudah tinggal menunggu esoknya untuk memulai Awal Ramadhan 1430 H.
  • Pada Jum’at, tanggal 21 Agustus 2009, NU, dan para penganut kriteria MAUJUDUL-HILAL (Hilal terlihat-ada), bisa menunggu seperti teman2nya penganut kriteria WUJUDUL-HILAL, esoknya adalah awal Ramadhan 1430 H, atau tetap melakukan RUKYAH-HILAL. Tetapi RUKYAH-HILAL pada hari Jum’at, 21 Agustus 2009 ini sekedar untuk menambah wawasan. Sebab Syar’i nya sudah Kamis, sehari sebelumnya. Meski HILAL GAGAL DILIHAT, maka jumlah hari bulan Sya’ban 1430 H tetap 30 hari. Karenanya esoknya pasti sudah 1 Ramadhan 1430 H. Lebih2 bila HILAL terlihat, maka lebih mantap dan yakin serta ada kepuasan dalam wawasan, sekaligus menikmati dan mengagungkan ciptaan Alloh SWT.

RUKYAH HILAL – SULIT

Ada yang mengatakan, bahwa Rukyah Hilal itu SULIT. Dan ini pula yang mendasari Muhammadiyah mengambil keputusan untuk tidak melakukan Rukyah lagi. Tetapi Muhammadiyah sebenarnya masih mengakui adanya dan muktabarnya Rukyah, bila terjadi perselisihan dengan Hisab.

Dalam Himpunan Putusan Tarjih di halaman 149 disebutkan, sbb:

11. Masalah Hisab Dan Ru’yah
Berpuasa dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab. Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw bersabda: ”Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari.

“Dialah yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menentukan gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan tahun dan hisab.” (Al-Quran surat Yunus ayat 5).

Apabila ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataan ada orang yang melihat pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar. Majlis Tarjih memutuskan bahwa
ru’yahlah yang mu’tabar. Menilik hadits dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:”Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh
mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari
.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Di lapangan sering muncul kata-kata, “saya sudah 30 kali rukyah, tapi belum pernah bisa melihat”.

dan semacamnya….

Apakah benar Rukyah hilal itu sulit….? Saya mengatakan bahwa Rukyah Hilal, mudah; tetapi juga sulit. Tergantung kita memahami persalannya atau tidak. Dan Rukyah Hilal tidak sekedar untuk menentukan awal Ramadhan, Syawwal dan Dzul Hijjah. Tetapi saya mencoba melakukan 2 kali sebulan, adalah untuk ‘time keeping’. Dan saya merasa selama Rukyah Hilal itu dipandu dengan HISAB yang benar, maka yang terjadi adalah sesuatu yang menyenangkan dan mudah.

Selama 3 kali saya Rukyah, ternyata saya bisa melihat hilal minimal sekali. Saya melakukan kegiatan Rukyah sejak 2005 setelah bergabung dengan ICOP. Dan saya aktif memberikan laporan baik ke RHI, ICOP juga ke MCW.

CONTOH APLIKASI HISAB-RUKYAT MENENTUKAN AWAL RAMADHAN 1430 H:

Hari Pertama Ijtimak:

  • Lokasi/Kota = Sukoharjo (-7o 44? , 110o 47?),
  • Tgl 29 Sya’ban 1430 H = 20 Agustus 2009
  • Hari Ijtimak = Kamis, 20 Agustus 2009 jam 17:02 WIB
  • Sunset pada 17:37 WIB, pada Azimuth=282o 19’
  • Moonset pada 17:31 WIB, Azimuth=279o 51’, Moon alt= -2o 3’
  • Kesimpulan HILAL MUSTAHIL TERLIHAT
  • Sukoharjo dan Indonesia, ada pada Warna Merah, artinya MUSTAHIL MELIHAT HILAL
Peta Visibiltas Hilal 1 Ramadhan 1430 HPeta Visibiltas Hilal 1 Ramadhan 1430 H

Peluang Rukyah nya: Hilal Negatif…

Hilal berada di bawah ufuk, alias negatifHilal berada di bawah ufuk, alias negatif

Hari Kedua Ijtimak:

  • Lokasi/Kota = Sukoharjo (-7o 44? , 110o 47?),
  • Tgl 30 Sya’ban 1430 H = 21 Agustus 2009
  • Hari Ijtimak = Kamis, 20 Agustus 2009 jam 17:02 WIB
  • Sunset = 17:37 WIB, lokasi pada Azimuth=281o 59’
  • Moonset= 18:27 WIB, Azimuth=275o 18’, Moon alt= 11o 8’
  • Kesimpulan à HILAL MUDAH TERLIHAT
  • Sukoharjo dan Indonesia, ada pada Warna Hijau, artinya MUDAH SEKALI MELIHAT HILAL
Peta Visibiltas Hilal Ramadhan 1430 H - hari 2Peta Visibiltas Hilal Ramadhan 1430 H – hari 2

Peluang melihat Hilal : Hilal Mudah dilihat, asal cerah…

Hilal sangat mudah dilihat, peluang langka...Hilal sangat mudah dilihat, peluang langka…

Itu khan di Sukoharjo, Jawa Tengah…belum seluruh wilayah Indonesia.

OK, berikut simulasi Rukyah Hilal dari dua lokasi di Indonesia, masing-masing Banda Aceh mewakili koordinat Indonesia bagian barat dan Merauke mewakili koordinat Indonesia bagian timur.

Simulasi Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Aceh:

Visual Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di AcehVisual Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Aceh

Simulasi Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Aceh:

Visual Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di AcehVisual Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Aceh

Simulasi Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Merauke:

Visual Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di MeraukeVisual Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Merauke

Simulasi Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Merauke:

Visual Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di MeraukeVisual Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Merauke

Selamat menghisab

apakah penggunaan hisab itu syar’i dan apakah sesuai dengan sunnah Nabi saw? Apa dasar yang membenarkan penggunaan hisab itu?

            Ada beberapa alasan bagi kebolehan penggunaan hisab, baik dari sudut pandang syar’i maupun dari sudut pandang astronomis (falakiah). Pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari surat Yunus menegaskan bahwa kegunaan perhitungan gerak matahari dan Bulan itu antara lain adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar itu Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada asasnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.”

            Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat, maksudnya perintah yang disertai ilat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.

            Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyala

h sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.

            Kedua, alasan astronomi, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dr. Nidhal Qasum, salah seorang penulis, mengeluh karena menurutnya adalah suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga hari ini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas, padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat. Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada h-1.

            Ketiga, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.

 

 

Ragaan 1 memperlihat keadaan rukyat Syawal 1404 H pada hari Jumat tanggal 29 Juni 1984. Daerah dalam garis lengkung adalah kawasan yang dapat melihat hilal Syawal 1404 H pada hari Jumat sore 29 Juni 1984. Ini berati bahwa kawasan tersebut (sebagian besar benua Amerika dan satu kawasan kecil di Afrika) memasuki 1 Syawal 1404 pada hari Sabtu 30 Juni 1984. Sedangkan kawasan di luar garis lengkung yang meliputi Eropa, Asia, Australia dan Afrika kecuali satu kawasan kecil di pantai barat, memasuki 1 syawal 1404 lusa, yaitu hari Ahad 1 Juli 1984 karena kawasan itu belum dapat merukyat pada hari Jumat sore sehingga harus menggenapkan Ramadan 30 hari. [Catatan: menag tahun 1984 mengumumkan Idulfitri 1404 H jatuh hari Sabtu 39 Juni 1984 atas dasar laporan rukyat dari beberapa tempat (tinggi Bulan 2º s/d 2,5º). Thomas Djamaluddin mengeliminir rukyat ini dan menganggapnya tidak akurat, para perukyat terkicuh oleh obyek-onyek bumi atau angkasa].

            Selain itu rukyat secara normal hanya dapat dilakukan dari kawasan yang terletak 60º ke utara dan ke selatan dari garis khatulistiwa. Kawasan pada garis lingtang tinggi (di atas 60º) akan terlambat dapat melihat hilal. Bahkan pada kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin Bulan hanya terlihat pada saat telah besar.

Lingkaran Artika adalah kawasan di atas garis lintang utara 66º 33’ 39” untuk tahun 2009, dan Lingkaran Antartika adalah kawasan di atas garis lintang selatan. Kawasan itu adalah kawasan yang mengalami malam terus menerus selama musim dingin dan siang terus menerus selama musim panas. Lama malam dan siang pada musim-musim tersebut tergantung jaraknya ke kutub. Semakin dekat ke kutub semakin lama malam dan siang terus menerusnya. Di kutub sendiri malam dan siang terus menerus mencapai 6 bulan. Pada musim dingin itu matahari berada di bawah ufuk. Oleh karena itu Bulan ketika melintasi garis konjungsi berada dekat matahari dan karena itu juga tidak muncul ke atas ufuk, kecuali setelah amat jauh dari garis konjungsi, yaitu saat Bulan itu sudah sangat besar. Oleh karena itu rukyat tidak bisa dipedomani karena munculnya Bulan yang tidak normal.

            Keempat, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal 9 atau 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti terjadinya rukyat di New York (selisih waktu 12 jam) karena ketika di New York rukyat terjadi sekitar pukul 06:00 sore misalnya, di Indonesia sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia.

Kelima, rukyat tidak memungkinkan orang di seluruh dunia untuk melakukan puasa Arafah pada hari yang sama. Apabila di Mekah pada suatu sore rukyat telah berhasil dilakukan, sementara di Indonesia belum dapat dilakukan, maka akibatnya terjadi perbedaan memasuki bulan Zulhijah dan akibatnya terjadi perbedaan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah sehingga terjadi perbedaan atau permasakahan mengenai pelaksanaan puasa Arafah.

            Oleh karena itu dalam upaya dunia Islam saat ini untuk menyatukan penanggalan Hijriah internasional, rukyat telah ditinggalkan. Ini tercermin dalam keputusan “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar)” yang diselenggarakan oleh ISESCO di Rabat 15-16 Oktober 2008 yang berbunyi:

Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.

Pada saat ini ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) sedang melakukan uji validitas empat usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.

Tahun ini terjadi empat lebaran baik tingkat nasional maupun internasional. Mengapa hal ini terjadi ?, menurut Fahmi Amhar karena umat Islam tidak bersatu dan tidak memiliki institusi pemersatu di level global (Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 2006, p. 12). Karena itu menurut hemat penulis, sudah saatnya para ahli terkait duduk bersama tanpa tendensi politis merumuskan teori yang sesuai tuntutan syar'i dan sains. Bila pemahaman Islam tanpa didukung sains maka akan memunculkan fanatisme sempit (Komaruddin Hidayat, The Jakarta Post, 10 Nopember 2006, p. 24).

Hal ini nampak pada artikel yang ditulis oleh K.H. Maimun Zubair yang dimuat di website NU. Dalam tulisannya Maimun Zubair menyatakan bahwa "orang yang berbuka pada hari Senin, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senin, atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar'iyyah yang dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan as-salaf as-salih yang senantiasa berpegang pada al-Qur'an dan as-Sunnah (http : www.nu.or.id)". Bahkan menurutnya, mereka yang berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006 dianggap menentang waliyyul amri (Departemen Agama).

Berdarkan realitas tersebut kiranya perlu dipaparkan kembali awal Syawal 1427 H di berbagai negara. Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan sekaligus untuk refleksi bersama.


22 Oktober 2006

Berdasarkan laporan Islamic Crescents' Observation Project (ICOP), negara yang berlebaran pada hari Ahad 22 Oktober 2006 adalah Nigeria. Bashir Sani salah seorang anggota ICOP melaporkan tentang keunikan yang terjadi di Nigeria tentang laporan rukyatul hilal. Keanehan ini terjadi lagi pada tahun ini ada kelompok yang mengaku berhasil melihat hilal awal Syawal pada Sabtu sore tanggal 21 Oktober 2006. Padahal ijtimak baru terjadi pada hari Ahad 22 Oktober 2006 pukul 6:15 am. Di Indonesia juga ada kelompok yang berlebaran pada hari Ahad 22 Oktober 2006, yaitu Jamaah Tariqat Naqsyabandiyah masjid al-Anwar di Padang (TV7, Berita Sore, 22 Oktober 2006).


23 Oktober 2006

ICOP melaporkan ada 31 negara yang berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006. Jumlah ini tidak termasuk Indonesia, meskipun telah dilaporkan oleh Suwandojo Siddiq dan Mutoha dari Indonesia ke ICOP, bahwa Muhammadiyah berdasarkan surat edaran No. 12/MI.M/1.0/E 2006 menetapkan 1 Syawal 1427 H jatuh pada hari Senin 23 Oktober 2006. Negara-negara dimaksud antara lain, Saudi Arabia (istikmal), Emirat Arab (istikmal), Kuwait (istikmal), Bahrain (istikmal), Qatar (istikmal), Yaman (istikmal), Irak (istikmal), Sudan (istikmal), Turkey (hisab), Swedia (hisab), Ukraina (hisab), Denmark (hisab), Perancis (hisab), Italy (hisab), dan Belanda (hisab).

Menurut Anwar Muhammad salah seorang anggota ICOP dari Saudi Arabia melaporkan bahwa tim rukyatul hilal Saudi Arabia tidak berhasil melihat hilal. Pada saat itu tim menggunakan GPS, komputer, teleskop, dan binokuler, yang tersebar di tiga tempat, yaitu Ahsa, Riyad, dan Madinah al-Munawwarah. Begitu pula Bacil Moudhaffar salah seorang anggota ICOP dari Irak melaporkan tidak berhasil melihat hilal di Bagdad meskipun menggunakan binokuler.


24 Oktober 2006

Data yang terhimpun oleh ICOP menunjukkan bahwa negara yang berlebaran pada hari Selasa 24 Oktober 2006 berjumlah 22 negara, termasuk Indonesia. Negara-negara dimaksud antara lain, Malaysia (istikmal), Brunai Darussalam (istikmal), Sri lanka (istikmal), Mesir (istimal), Iran (istikmal), Jordan (istikmal), Spanyol (istikmal), Jerman (istikmal), dan Australia.

Berdasarkan laporan Kassim Bahali, tim rukyatul hilal Malaysia yang melakukan rukyat di pos observatorium Khwarizmi tidak berhasil melihal hilal awal Syawal. Karena itu, awal Syawal di Malaysia ditetapkan pada hari Selasa 24 Oktober 2006. Begitu halnya tim rukyatul hilal Brunai Darussalam yang tersebar di berbagai tempat, seperti Bukit Shahbandar, Jerudong, Bukit Ambak, dan Bukit Lumut tidak berhasil melihat hilal awal Syawal, maka awal Syawal 1427 H di Brunai Darussalam jatuh pada hari Selasa 24 Oktober 2006.

Sementara itu, Hossein Ebrahimpour anggota ICOP dari Australia melaporkan berhasil melihat hilal pada hari Senin 23 Oktober 2006 di Newcastle Australia.


25 Oktober 2006

Ada dua negara yang berlebaran pada hari Rabu 25 Oktober 2006, yaitu India dan Pakistan. Hal ini terjadi karena menurut laporan Mohammed Amin, berdasarkan data hisab pada hari Senin 23 Oktober 2006 posisi hilal di wilayah India masih tipis dan masih dibawah standar imkanur rukyat yang dipedomani para ahli falak di India. Pada saat itu juga tidak ada laporan keberhasilan rukyat. Begitu halnya di Pakistan, Fahmi Hashmi dan Saiful Islam melaporkan bahwa tim rukyatul hilal yang diketuai mufti Munib-ur- Rehman mengumumkan pada hari Senin tidak berhasil melihat hilal. Oleh karena itu awal Syawal 1427 H ditetapkan jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 25 Oktober 2006.

Di Indonesia dilaporkan juga ada kelompok masyarakat yang berlebaran pada hari Rabu 25 Oktober 2006. Kelompok ini berpegang pada sistem Aboge (selengkapnya baca http : www.hidayatullah.com).


Tabel Awal Syawal 1427 di Berbagai Negara


22 Oktober 2006

23 Oktober 2006

24 Oktober 2006

25 Oktober 2006

Nigeria dan Indonesia.

Saudi Arabia, UAE, Kuwait, Bahrain, Qatar, Pakistan, Irak, Lebanon, Libya, Sudan, Yaman, Tunisia, Somalia, Djibonti, Senegal, Turkey, Swedia, Austria, Ukraina, Denmark, Norwegia, Czeck, Belanda, Italy, Perancis, Belgia, Australia, UK, Canada, Guyana, USA, dan Indonesia.

Malaysia, Brunai Darussalam, Philipina, Sri Lanka, Iran, Oman, Jordan, Syria, Mesir, al-Jazair, Maroko, Afrika Selatan, Tanzania, Malawi, Spanyol, Jerman, Australia, UK, Canada, Guyana, USA, dan Indonesia.

India, Pakistan, dan Indonesia.

2 negara

32 negara

22 negara

3 negara


Memperhatikan data awal Syawal 1427 H diberbagai negara terlihat lebaran ganda tahun ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Karena itu pernyataan Maimun Zubair yang menyatakan mereka yang berlebaran hari Senin 23 Oktober 2006 dianggap sesat dan menentang waliyyul amri (Depag) terlalu berlebihan dan menyudutkan kelompok lain, terutama Persyarikatan Muhammadiyah. Sebaiknya di era reformasi dan informasi sikap seperti itu dihindari dan tidak perlu terjadi. Sekiranya belum ada titik temu sikap yang perlu dikembangkan adalah independensi dan dialog (meminjam istilah Ian G. Barbour) atau dalam bahasa Amien Rais "lakum ru'yatukum waliy hisabiy (bagimu rukyatmu dan bagiku hisabku)" (baca Republika, Rabu 14 Januari 1998).

Namun demikian langkah-langkah menuju unifikasi perlu diusahakan secara bertahap dan terencana terutama kajian ulang terhadap standar imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI, sebagaimana yang diamanatkan dari hasil Musyawarah Ulama Ahli Hisab dan Ormas Islam tentang Kriteria Imkanur Rukyat di Indonesia pada tanggal 24-26 Maret 1998/25-27 Zulkaidah 1418 H di Hotel USSU, Cisarua-Bogor, hingga kini belum direspons dan ditindaklanjuti oleh Departemen Agama RI.

Dunia Islam telah mengenal banyak kelender, akan tetapi kalender-kalender itu lebih merupakan kalender lokal yang hanya cocok bagi daerah untuk mana ia dibuat. Memang ada suatu kalender Islam yang dapat dianggap bersifat internasional, yaitu kalender hisab urfi. Kalender ini merupakan sistem penanggalan yang tertua dalam sejarah Islam dan digunakan secara luas bahkan hingga saat ini. Akan tetapi kalender ini juga banyak memiliki kelmahan baik secara teknis maupun dari segi kesesuaiannya dengan Sunnah Nabi saw sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian lain.

Ketiadaan kalender komprehensif dan terunifikasi di kalangan umat Islam menyebabkan Dunia Islam mengalami semacam kekacauan pengorganisasian waktu. Hal ini tampak sekali dalam kenyataan bahwa untuk hari raya idul fitri atau idul adha misalnya bisa terjadi perbedaan yang mencapai empat hari. Idul fitri tahun lalu (1428 H), misalnya, jatuh pada hari yang bervariasi sejak dari hari Kamis, Jumat, Sabtu hingga hari Ahad.

Menyadari kenyataan ini dan sebagai upaya menyatukan sistem waktu dalam dunia Islam, para ahli di bidang ini telah mulai melakukan riset dan pengkajian untuk menemukan suatu bentuk kalender Islam internasional yang bersifat unifikasi. Pioner dalam arah ini dapat disebut nama Mohammad Ilyas dari Malaysia yang telah mewakafkan seluruh kehidupan ilmiah untuk bidang ini.

Diakui bahwa upaya tersebut hingga hari ini memang belum mencapai kesepakatan bulat, karena masih terdapat beberapa hal prinsipil yang harus didiskusikan dan disepakati. Akan tetapi paling tidak sudah terdapat gerak yang semakin mendekat kepada titik temu bersama. Bagaimana usulan-usulan yang muncul dan sejauhmana kemajuan yang telah dicapai dalam bidang ini akan coba disajikan dalam tulisan ini. Namun pembicaraan akan didahului dengan uraian tentang arti penting kalender dalam agama dan peradaban Islam dan permasalahannya.

Setelah membaca artikel Susiknan Azhari berjudul "Menggagas Paradigma Baru Hisab di Muhammadiyah" (SM No. 8/91, Tahun 2006), saya merasa perlu memberikan sedikit masukan sebagai bahan pertimbangan demi tercapainya apa yang diharapkan oleh penulis artikel tersebut, pada khususnya, dan Muhammadiyah pada umumnya.


Perlu dikemukakan bahwa di kalangan kaum Muslimin yang menggunakan hisab, termasuk di Indonesia, ada dua pendapat atau madzhab yang
tampaknya tidak mudah dipertemukan: hisab `urfi dan hisab haqiqi. Bahkan di kalangan pengikut madzhab hisab haqiqi pun, termasuk
sementara warga Muhammadiyah, perbedaan pendapat juga ditemukan. Perbedaan tersebut tentu saja menimbulkan perbedaan, terutama. dalam
menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawwal.

Hisab 'Urfi
Hisab `urfi (`urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah tradisional. Sedangkan
hisab haqiqi (haqiqah= realitas atau yang sebenarnya) dengan menggunakan kaidah-kaidah astronomik dan matematik.

Menurut hisab `urfi, umur setiap bulan Qamariyah ditentukan berdasarkan pemerataan (averaging) waktu peredaran bulan mengelilingi
bumi dalam setahun (354 11/30 hari). Dari angka pecahan ini dapat diperoleh data bahwa dalam 1 daur atau 1 siklus (yakni 30 tahun)
terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitat).

Tahun kabisat berumur 355 hari, sedangkan tahun basitat berumur 354 hari. Tahun-tahun panjang (kabisat) pada setiap daur ditetapkan
(dengan dasar yang tidak jelas, tetapi diakui secara tradisional) pada tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan ke-29.
Sedangkan tahun-tahun lainnya dinyatakan sebagai tahun-tahun basitat. Mengenai umur setiap bulan Qamariyah, hisab `urfi menetapkan (juga
dengan dasar yang tidak jelas, tetapi diakui secara tradisional) bahwa bulan-bulan gasal (diawali dengan bulan Muharram) selalu berumur 30
hari, sedangkan bulan-bulan genap (diawali dengan bulan Shafar) selalu berumur 29 hari (lihat tabel). Tetapi khusus pada tahun kabisat, bulan
Dzulhijjah (bulan genap) dihitung berumur 30 hari. Karena umur setiap bulan sudah ditentukan sedemikian rupa secara definitif, maka madzhab
hisab ini sama sekali tidak memerlukan ru'yatul hilal.

Tabel Distribusi Umur Bulan Qamariyah Menurut Hisab `Urfi
No. Nama Bulan Umur (hari)
1. Muharram 30 hari
2. Shafar 29 hari
3. Rabi'ul Awwal 30 hari
4. Rabi'ul Akhir 29 hari
5. Jumadal Ula 30 hari
6 Jumadal Akhirah 29 hari
7. Rajab 30 hari
8. Sya'ban 29 hari
9. Ramadlan 30 hari
10. Syawwal 29 hari
11. Dzulqa'dah 30 hari
12. Dzulhijjah 29 hari*
* Pada tahun kabisat berumur 30 hari.

Berdasarkan hisab `urfi ini tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyyah jatuh pada hari Kamis atau Jum'at tanggal 15 atau 16 Juli tahun 622 M.
Karena itu tahun 1427 H sekarang ini merupakan tahun ke-17 dalam daur ke-48, yang berarti tahun basitat. Dengan demikian umur bulan
Dzulhijjah tahun ini adalah 29 hari.

Enam Madzhab Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi sendiri terdiri dari 6 madzhab atau aliran: (1) madzhab ijtima` qablal-ghurub, (2) madzhab ijtima` qablal-fajr, (3) madzhab
hilal di atas ufuq haqiqi, (4) madzhab hilal di atas ufuq hissi, (5) madzhab hilal di atas ufuq mar'i, dan (6) madzhab hilal pada
imkanur-ru'yat.

Madzhab pertama dan kedua pada dasarnya hanya berpegang pada peristiwa ijtima` (lengkapnya ijtima`un-nayirain) atau conjunction, yakni
bertemunya matahari dan bulan pada bujur astronomik (dawa'irul-buruj) yang sama, tanpa mempertimbangkan posisi hilal di ufuq barat pada saat
terbenam matahari di akhir bulan yang sedang berjalan. Karena itu, bagi kedua madzhab ini ru'yatul-hilal tidak dianggap penting.

Menurut madzhab pertama, bila ijtima` terjadi sebelum matahari terbenam, berarti keesokan harinya sudah masuk tanggal 1 bulan baru.
Sedangkan, menurut madzhab kedua, bila ijtima` terjadi sebelum terbit fajar pada akhir bulan yang sedang berjalan, berarti sisa malam itu
sudah termasuk tanggal 1 bulan berikutnya. Setahu saya, madzhab kedua ini banyak dianut umat Islam di Arab Saudi, sedangkan di Indonesia
hanya dianut oleh sebagian kecil umat Islam saja.

Madzhab ketiga sampai dengan keenam pada dasarnya menetapkan awal bulan Qamariyah berdasarkan posisi hilal di ufuq barat pada saat
matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan. Menurut madzhab ketiga, tanggal 1 dinyatakan sudah masuk bila posisi hilal ada di atas
ufuq haqiqi. Ufuq haqiqi adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus dengan garis vertikal dari si pengamat. Madzhab
ini tidak mempermasalahkan koreksi-koreksi dengan tinggi tempatpengamat (Dip), parallaks (ikhtilaful-manzar) atau beda lihat,
refraction (daqa'iqul-ikhtilaf) atau pembiasan sinar, dan jari-jari atau semidiameter bulan.

Madzhab keempat (hilal di atas ufuq hissi) berpendirian, bila pada saat matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan hilal sudah
ada (wujud, exist) di atas ufuq hissi, berarti malamnya sudah dianggap tanggal 1 bulan baru. Ufuq hissi adalah bidang datar yang melewati
mata si pengamat dan sejajar dengan ufuq haqiqi. Berbeda dengan madzhab ketiga, yang memperhitungkan tinggi hilal dari titik pusat
bumi, madzhab ini memperhitungkan tinggi hilal dari atas permukaan bumi. Madzhab keempat ini, meskipun kurang populer, diakui
eksistensinya oleh Musyawarah Hisab yang diadakan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama pada tahun 1970 di Yogyakarta.

Madzhab kelima (hilal di atas ufuq mar'f), yang merupakan pengembangan dari madzhab ketiga dan keempat, berpegang pada posisi hilal di atas
ufuq mar'i (visible horizon). Ufuq mar'i adalah bidang datar yang merupakan batas pemandangan mata pengamat. Madzhab kelima ini, yang
antara lain diikuti oleh almarhum Sa`adoeddin Djambek, ketua Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama yang pertama dan Mantan Ketua
Majelis Pendidikan dan Pengajaran Pusat (Mapendappu) PP Muhammadiyah, melengkapi perhitungannya dengan koreksi-koreksi kerendahan ufuq
(Dip), refraction, parallaks dan semidiameter bulan (yang rata-rata sekitar 16 menit busur). Madzhab ini dapat dipadukan dengan
ru'yatul-hilal.

Terakhir, madzhab kelima (hilal pada imkanur-ru'yat) menetapkan bahwa posisi hilal di ufuq barat pada saat matahari terbenam setelah
terjadinya ijtima` di akhir bulan yang sedang berjalan harus mencapai ketinggian tertentu yang memungkinkan untuk dilihat (ru'yat). Dalam
hal ini ada perbedaan mengenai tinggi hilal itu, tetapi biasanya berkisar antara minimal 5 derajat dan maksimal 10 derajat di atas
ufuq. Batas minimal ketinggian hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Internasional yang berpusat di Istanbul (Turki) adalah 7
derajat.

Sampai di sini kiranya jelas bahwa perbedaan dalam menetapkan awal Ramadlan dan Syawwal (`Idul-Fitri) tidak hanya disebabkan oleh
perbedaan cara atau metodenya: ru'yat dan hisab, tetapi juga disebabkan oleh berbagai macam madzhab hisab yang dipergunakan.

Perbedaan Penafsiran
Menurut hemat saya perbedaan-perbedaan cara menentukan awal Ramadlan dan Syawwal itu, selain disebabkan oleh perbedaan data astronomik yang
diacu, juga berakar pada perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait. Pada umumnya umat Islam menafsirkan
firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 185 sebagai alasan pembenaran (raison d'etre) dan bahkan sebagai bukti sahnya ru'yatul-hilal;
apalagi dalam hadits dijelaskan bahwa Nabi selalu melakukan ru'yat atau istikmal (penggenapan bulan Sya`ban menjadi 30 hari) bila cuaca
tidak memungkinkan dilakukannya ru'yatul-hilal.

Bila kita perhatikan secara seksama sebenarnya kata-kata yang dipakai dalam firman Allah tersebut bukanlah ra'a, yara, ru'yat, melainkan
syahida, yang pengertiannya tidak terbatas pada penglihatan dengan mata kepala. Selain itu ayat tersebut juga tidak menggunakan kata-kata
hilal, badr atau qamar; melainkan syahr yang semakna dengan month (bukan moon atau crescent) dalam bahasa Inggris. Dengan demikian,
secara etimologik, frasa syahidasy-syahr tidak sama dengan ra'al-hilal. Menurut pendapat saya, ru'yatul-hilal adalah salah
satu—bukan satu-satunya—cara untuk mengetahui awal bulan itu.

Perbedaan pemahaman juga terjadi terhadap firman Allah dalam Q.S.  Al-Baqarah (2): 187 dan Q.S. Yaasin (36): 39. Q.S. Al-Baqarah (2): 187
yang artinya: "Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, [karena cahaya] fajar." Oleh para pengikut madzhab
hisab ijtima` qablal-fajr dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah fajar. Sedangkan Q.S. Yaasin (36): 39, yang artinya: "Dan telah
Kami tetapkan posisi-posisi (manazil) bulan hingga ia kembali seperti pelepah bunga kelapa (`urjun) yang tua," oleh para penganut madzhab
hisab qablal-ghurub dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah terjadinya ijtima`, bukan fajar dan bukan pula terlihatnya bulan di
saat matahari terbenam pada akhir bulan yang sedang berjalan.

Saya sengaja tidak memberikan penilaian terhadap berbagai macam madzhab atau metode yang selama ini dianut oleh umat Islam, di
Indonesia khususnya. Saya hanya berharap, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi catatan tambahan atas artikel saudara Susiknan
Azhari—atau bahkan sedikit memberi jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang secara implisit dikemukakannya.[]

Penjelasan Fiqh Gerhana : "Kasus Dua Gerhana Juli 2009"

            Gerhana adalah peristiwa masuknya suatu benda langit ke dalam bayanag-bayang benda langit lain. Setiap benda langit yang mengorbit di angkasa selalu menghela bayang-bayangnya yang timbul akibat pancaran sinar matahari ke arahnya, seperti dalam kehidupan di Bumi kita melihat bahwa sebatang pohon atau sebuah bangunan akan menimbulkan bayang-bayang pada saat disinari matahari. Begitu pula halnya benda-benda langit. Apabila suatu benda langit melintas di dalam bayang-bayang tersebut, maka terjadilah gerhana bagi benda langit tersebut.

            Gerhana Bulan bagi kita di Bumi adalah peristiwa ketika Bulan melintas pada bayang-bayang Bumi. Hal ini terjadi pada saat oposisi, yaitu ketika Matahari, Bumi dan Bulan berada pada satu garis lurus di mana Bumi berada di tengah. Oposisi adalah lawan konjungsi, di mana pada konjungsi Bulan berada di tengah, sementara pada oposisi Bumi yang berada di tengah. Gerhana Bulan hanya terjadi pada saat oposisi dan tidak akan terjadi pada saat lain. Saat oposisi itu adalah pada waktu Bulan Purnama. Jadi gerhana Bulan hanya terjadi pada saat Bulan Purnama. Akan tetapi perlu sangat diperhatikan bahwa tidak setiap saat oposisi atau saat Bulan Purnama pasti terjadi gerhana Bulan, karena Bulan saat oposisi itu tidak selalu berada persis pada garis lurus antara ketiga benda langit itu. Jadi singkatnya gerhana Bulan hanya terjadi pada saat opsisi, tetapi tidak pada setiap saat oposisi terjadi gerhana Bulan.

            Bayang-bayang Bumi itu ada dua macam, yaitu (1) bayang-bayang inti yang pekat (gelap) yang disebut umbra, dan (2) bayang-bayang semu yang tidak pekat dan berada di laur atau menyelimuti bayang-bayang inti, dan disebut penumbra. Gerhana Bulan total terjadi apabila seluruh badan Bulan masuk dalam bayang-bayang pekat (umbra) Bumi. Apabila badan Bulan hanya berada dalam bayang-bayang semu (penumbra), maka keadaan itu disebut gerhana Bulan penumbral. Lebih lanjut, apabila sebagian badan Bulan masuk ke dalam bayang-bayang pekat (umbra) Bumi dan sebagian lain berada dalam bayang-bayang semu (penumbra), maka gerhana semacam itu disebut gerhana Bulan sebagian.

            Karena Bulan berada di belakang Bumi saat gerhana Bulan, maka yang bisa melihat gerhana Bulan adalah orang yang berada pada separuh bola Bumi yang gelap yang menghadap ke Bulan dan membelakangi matahari. Sedangkan orang yang berada pada parohan bagian Bumi yang terang karena menghadap Matahari tidak dapat melihat gerhana Bulan karena ia membelakangi Bulan (Bulan yang sedang gerhana berada di sebalik Bumi).

            Namun dikecualikan dalam kasus yang disebut dengan gerhana horizontal, yaitu orang di kawasan muka bumi yang dapat melihat matahari saat menjelang terbenam atau sesaat setelah terbit dan sekaligus dapat melihat Bulan yang sedang gerhana di dekat ufuk. Sebenarnya ketika Matahari menjelang terbenam dan sekaligus Bulan Purnama sedang gerhana itu, Bulan sesungguhnya berada di bawah ufuk. Namun akibat adanya refraksi cahaya melalui atmosfer Bumi, maka posisi Bulan tampak menjadi sedikit lebih tinggi dari posisi geometrisnya yang sebenarnya sehingga dapat dilihat. Hal ini terjadi pada setiap gerhana bagi orang di bagian muka bumi yang sedang menjelang matahari terbenam atau sesaat sesudah terbit dan Bulan baru saja terbenam atau segera akan terbit.   

            Pada tanggal 7 Juli 2009 M (14 Rajab 1430 H) akan terjadi gerhana Bulan penumbral, yaitu Bulan Purnama masuk ke dalam bayang-bayang semu (penumbra) Bumi. Tidak semua badan Bulan masuk ke dalam penumbra Bumi, sehingga gerhana Bulan penumbral 7 Juli besok itu tidak akan begitu dirasakan. Gerhana Bulan mulai pada pukul 08:38 Waktu Universal (WU) atau pukul 15:38 WIB dan berakhir pukul 10:40:21 WU atau pukul 17:40:21 (menurut shoftware Javascript Lunar Eclipse Explorer / JLEE). Menurut perhitungan kalender Muhammadiyah, gerhana Bulan tersebut mulai pukul 15:33 WIB dan berakhir pada pukul 17:44. Ini artinya di Yogyakarta awal gerhana tidak dapat dilihat di Yogyakarta karena Yogyakarta masih siang (pukul 15:33 WIB) dan Bulan masih 25º di bawah ufuk. Di lain pihak di Yogyakarta akan dapat dilihat gerhana horizontal menjelang matahari tenggelam dan Bulan sudah mendekati ufuk. Berhubung hari Selasa 7 Juli 2009 Matahari tenggelam di Yogyakarta pukul 17:35, maka kesempatan melihat gerhana hanya beberapa menit saja karena pada pukul 17:40 menurut JLEE atau pukul 17:44 menurut kalender Muhammadiyah gerhana berakhir.

            Secara umum seluruh pulau Sumatera, bagian barat Jawa dan bagian barat Kalimantan tidak dapat melihat gerhana Bulan penumbral tanggal 7 Juli 2009 M. Bagian lainnya dapat melihatnya dan akan mengalami Bulan terbit dalam keadaan gerhana, artinya akan mengalami gerhana horizontal.

            Gerhana Matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan Bulan jika dilihat dari bumi karena Bulan saat itu berada persis di tengah-tengah antara bumi dan matahari. Dengan kata lain gerhana Matahari adalah masuknya Bumi masuk ke dalam bayangan gelap Bulan sehingga orang yang berada pada bagian bumi yang terkena bayangan gelap itu mengalami gerhana matahari.

            Gerhana Matahari, yaitu tertutupnya piringan Matahari oleh Bulan dilihat dari permukaan bumi, bisa secara keseluruhan dan bisa juga sebagian. Apabila piringan matahari tertutup keseluruhannya, maka keadaan ini disebut gerhana total (al-kus­f al-kull³). Dalam kasus gerhana total, bayangan Bulan ada dua macam, yaitu (a) bayangan gelap yang disebut umbra dan (b) bayangan semu yang disebut penumbra. Kawasan muka bumi yang terkena bayangan gelap Bulan (umbra) akan mengalami gerhana total dan kawasan muka bumi yang terkena bayangan semu (penumbra) akan mengalami gerhana sebagian. Bagian muka bumi yang terkena bayangan gelap Bulan (umbra) sehingga mengalami gerhana total itu tidak luas dan hanya merupakan jalur sempit sekitar 250 km. 

            Apabila jarak Bulan saat gerhana jauh dari bumi, maka piringan Bulan terlihat kecil dan tidak dapat menutupi seluruh piringan matahari, melainkan hanya menutupi  bagian  tengah  saja dari piringan matahari, maka keadaan ini dinamakan gerhana cincin (al-kus­f al-¥alq³), karena piringan matahari tampak seperti lingkaran (cincin) bercahaya. Dengan ungkapan berbeda dapat dikatakan bahwa gerhana cincin terjadi adalah karena bayangan gelap Bulan (umbra) tidak mencapai muka bumi karena Bulan berada pada posisi yang jauh dari bumi. Yang mengenai bumi adalah bayangan antumbra, sedangkan umbra tergantung dan tidak sampai ke muka bumi. Antumbra adalah bagian dari bayangan semu Bulan yang terletak di ujung kerucut bayangan gelap Bulan. Orang yang berada di dalam antumbra akan melihat gerhana matahari cincin dan orang yang berada di dalam penumbra akan melihat gerhana sebagian.

            Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gerhana ada tiga macam, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari cincin, dan gerhana matahari sebagian. Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa ada jenis keempat dari gerhana matahari, yaitu yang disebut dengan gerhana hibrid, atau disebut juga gerhana anular-total. Artinya gerhana yang dari suatu tempat di muka bumi terlihat sebagai gerhana total, sementara pada tampat lain terlihat sebagai gerhana cincin.

            Pada tahun ini (2009) terjadi dua kali gerhana matahari. Pertama, gerhana matahari cincin yang terjadi tanggal 26 Januari 2009 dan kedua, gerhana total Rabu 22 Juli 2009. Gerhana matahari total Rabu 22 Juli 2009 jejak bayang-bayang umbranya bermula dari Teluk Khambhat, India, pada pukul 00 :53 WU (07 :53 WIB), bergerak ke arah timur melintasi Nepal, Bangladesh, Myanmar, Cina, Jepang dan terus ke laut Pasifik di mana umbra meninggalkan planet bumi untuk kembali ke angkasa pada pukul 04 :18 WU (11 :18 WIB) setelah menyapu muka bumi sepanjang 15.200 km. Ragaan 4 memperlihatkan jejak gerhana total dan kawasan muka bumi yang terkena gerhana baik total maupun sebagian.

 

D. Fikih Gerhana

            Terkait dengan gerhana salat sunnat gerhana. Dasar syar‘i salat gerhana matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,

Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw, maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].

Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a., ia berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].

            Hadis pertama merupakan sunnah fikliah yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.

E. Cara Melaksanakan Salat Kusufain

1.       Apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan salat kusuf dan Imam menyerukan ash-shalatu jami‘ah. Salat kusuf dilaksanakan berjamaah, serta tanpa azan dan tanpa iqamah.

2.      Salat kusufain dilakukan dua rakaat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam dan sujud dua kali pada masing-masing rakaat.

3.      Pada masing-masing rakaat dibaca al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).

4.      Setelah membaca al-Fatihah dan surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk dengan membaca tasbih yang lama, kemudian mengangkat kepala dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu membaca al-Fatihah dan surat panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil membaca tasbih yang lama tetapi lebih singgkat dari yang pertama, kemudian bangkit dari rukuk dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah itu mengerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.

5.      Setelah selesai salat gerhana imam berdiri sementara para jamaah masih duduk, dan menyampaikan khutbah yang berisi wejangan serta peringatan akan tanda-tanda kebesaran Allah serta mendorong mereka memperbanyak istigfar, sedekah dan berbagai amal kebajikan. Khutbahnya satu kali karena dalam hadis tidak ada pernyataan khutbah dua kali.

 

            3. Waktu Pelaksanaan Salat Kusufain

            Salat kusufain dilaksanakan pada saat terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,

      Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].

            Dalam hadis ini digunakan kata idz± (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kus­f al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juz‘i) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).

            Ibn Qud±mah menegaskan,

Waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ... ... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].

            Imam ar-Rafi‘i menegaskan,

    Sabda Nabi saw Apabila kamu melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana) menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan. Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari yang keluar dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak dan seseorang (yang belum melaksanakan salat gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana hanya sebagian saja (V: 340). 

            Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].

            Salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami gerhana tidak melakukan salat kusufain. Salat gerhana matahari dilaksanakan di siang hari karena gerhana Matahari hanya dialami oleh orang yang berada pada kawasan Bumi yang berhadapan dengan matahari. Gerhana Bulan dilaksanakan pada malam hari karena gerhana Bulan hanya dapat dialami oleh orang yang berada pada kawasan Bumi yang gelap dan menghadap Bulan serta membelakangi Matahari. Hanya saja gerhana Bulan horizontal, yaitu gerhana yang dialami oleh orang pada kawasan Bumi menjelang terbenamnya matahari atau sesaat sesudah terbitnya matahari, dapat melakukan salat gerhana saat gerhana horizontal itu.

            Gerhana Bulan 7 Juli 2009 akan dialami oleh sebagian besar kawasan Indonesia selain dari seluruh pulau Sumatera, bagian barat Jawa dan bagian barat Kalimantan. Kawasan-kawasan ini tidak mengalami gerhana Bulan 7 Juli 2009. Oleh karena itu mereka di kawasan ini tidak melaksanakan salat gerhana Bulan & Juli 2009.

 

            Mengenai gerhana Matahari Rabu 22 Juli 2009, merupakan gerhana Matahari sebagian (parsial) bagi Indonesia. Gerhana dialami oleh Indonesia, kecuali bagian selatan Sumatera, bagian selatan Kalimantan, bagian selatan Sulawesi, seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah ini tidak mengalami gerhana matahari 22 Juli 2009.

Saatnya Mengecek Kembali Arah Kiblat
Oleh Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, M.A.   

Majalah TIRAS No. 48/Th. II/26 Desember 1996 melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian kota Palembang arah kiblat masjidnya 23,82 % melenceng ke arah Utara dan 34,92 % ke arah Selatan ka'bah. Hal yang sama juga terjadi di Cirebon dan Purwokerto. Di wilayah Yogyakarta juga ditemukan ada beberapa masjid arah kiblatnya kurang sesuai. Baru-baru ini salah satu harian di Saudi Arabia melaporakan di Mekah terdapat 200 masjid arah kiblatnya tidak sesuai. Hal ini terjadi karena proses pengukurannya dilakukan secara sederhana (www.kompas.com, akses tanggal 7 April 2009).

Kasus semacam ini sangat dimungkinkan. Hanya saja yang perlu dipahami perbedaan hasil perhitungan tersebut karena beberapa faktor, diantaranya cara penentuan arah, peralatan yang digunakan, dan data geografis ka'bah. Data geografis ka'bah yang berkembang di masyarakat adalah sebagai berikut.

 

 

Data Geografis Ka'bah

 

No

Sumber Data

Lintang

Bujur

1

Atlas PR Bos 38

21º 31´         LU

39º 58´         BT

2

Mohammad Ilyas

21º               LU

40º               BT

3

Saadoe'ddin Djambek (1)

21º 20´         LU

39º 50´         BT

4

Saadoe'ddin Djambek (2)

21º 25´         LU

39º 50´         BT

5

Nabhan Masputra

21º 25´ 14,7 LU

39º 49´ 40"  BT        

6

Ma'shum bin Ali

21º 50´         LU

40º 13´         BT

7

Google Earth

21º 25´ 21,2 LU

39º 49´ 34"  BT

8

Monzur Ahmed

21º 25´ 18    LU

39º 49´ 30"  BT

9

Ali Alhadad

21º 25´ 23,2 LU

39º 49´ 38"  BT

10

Gerhard Kaufmann

21º 25´ 21,4 LU

39º 49´ 34"  BT

11

S. Kamal Abdali

21º 25´ 24    LU

39º 49´ 24"  BT

12

Muhammad Basil at-Ta'i

21º 26´         LU

39º 49´         BT

13

Mohammad Odeh

21º 25´ 22    LU

39º 49´ 31"  BT

 

Faktor lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya berita acara penentuan arah kiblat. Sehingga tidak dapat dikomparasikan antara proses pengukuran terdahulu dengan sekarang.

 

Rasdul Qiblah sebuah solusi

Kesempatan yang sangat tepat untuk mengetahui secara persis arah kiblat adalah saat posisi matahari berada tepat di atas ka'bah (rasdul Qiblah). Posisi matahari tepat berada di atas Ka'bah akan terjadi ketika lintang Ka'bah sama dengan deklinasi matahari, pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka'bah. Dengan demikian arah jatuhnya bayangan benda yang terkena cahaya matahari itu adalah arah kiblat.

            Dalam setiap tahun akan ditemukan dua kali posisi matahari di atas Ka'bah. Pada tahun ini kesempatan tersebut datang pada tanggal 28 Mei 2007 pukul 11.57 LMT dan 16 Juli 2007 pukul 12.06 LMT. Bila waktu Mekah (LMT) dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan pukul 16.18 WIB dan 16.27 WIB. Oleh karena itu, setiap tanggal 27 Mei atau 28 Mei  pukul 16.18 WIB dapat mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah. Begitu pula setiap tanggal 15 Juli atau 16 Juli juga dapat dilakukan pengecekan arah kiblat dengan metode tersebut.

            Penentuan arah kiblat menggunakan bayangan matahari ini merupakan cara yang paling sederhana dan bebas hambatan. Penentuan dengan kompas masih bisa diganggu oleh pengaruh medan magnet. Dengan demikian arah mata angin yang ditetapkan berdasar jarum kompas, belum tentu menentukan arah yang sebenarnya.

            Dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah, penentuan arah kiblat tidak terganggu oleh apapun. Hambatan terjadi kalau pada saat itu langit berawan. Dalam praktiknya, tidak perlu langkah yang rumit untuk menentukan arah kiblat berdasar jatuhnya bayangan benda yang disinari matahari. Pengamat (observer) cukup menggunakan tongkat atau benda lain sejenis untuk diletakkan di tempat yang memperoleh cahaya matahari. Cahaya matahari yang menyinari benda tersebut akan menghasilkan bayangan. Arah bayangan ini merupakan arah kiblat.

            Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut sejatinya bisa dilakukan di semua tempat di permukaan bumi. Hanya saja, waktunya berbeda. Area yang terpisah dari Ka'bah kurang dari 90 derajat, akan bisa melihat matahari yang posisinya sedang berada di atas Ka'bah. Wilayah yang terpisah lebih dari 90 derajat dari Ka'bah, sudah gelap saat matahari berada di posisi tersebut, Wilayah Indonesia bagian Barat (WIB) dan tengan (WITA), masih bisa menempuh cara ini untuk mengetahui arah kiblat. Sementara itu, Wilayah Indonesia bagian Timur (WIT) harus melakukannya di waktu yang lain. Dengan kata lain, cara ini dapat digunakan selama masih bisa melihat matahari.

            Fenomena ini membuka mata bahwa selain sebagai sumber energi, matahari juga merupakan alat untuk menciptakan bayang-bayang, dengan bayang-bayang tersebut manusia bisa menentukan arah. Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut jauh lebih sederhana dibandingkan penentuan dengan cara lain. Tanpa mengandalkan cahaya maatahari, untuk menentukan arah kiblat perlu menemukan tiga hal penting, yakni posisi pengamat, posisi Ka'bah, dan arah mata angin.

            Posisi pengamat berdasar lintang dan bujur geografis bisa ditentukan dengan mengandalkan global positioning system (GPS). Cara yang sama juga bisa digunakan untuk menentukan posisi Ka'bah. Langkah yang agak rumit harus ditempuh untuk menentukan arah mata angin secara tepat. Jarum yang ditunjukkan kompas, masih harus dipadu dengan data soal posisi kutub utara magnetik bumi. Setelah menemukan ketiganya, masih diperlukan proses perhitungan yang tidak sederhana.

            Oleh karena itu dianjurkan agar umat Islam menjadikan kesempatan posisi matahari di atas Ka'bah pada tanggal 28 Mei 2007 hari ini sebagai momentum penentuan arah kiblat. Penentuan ini juga perlu dilakukan di lapangan yang sering dipakai salat Id, juga mushala di perkantoran.

Wa Allahu a'lam bi as-Sawab


Kebersamaan Idul Fitri 1429 H
Oleh Dr. Susiknan Azhari (Direktur Pusat Studi Falak Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)   
Minggu, 18 Januari 2009 08:24

Tiap tahun, saat menyambut Idul Fitri umat Islam sering dikhawatirkan dengan perbedaan permulaan jatuhnya awal Syawal versi pemerintah dan versi berbagai organisasi besar Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan dalam Kalender Hijriah, khususnya dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Ada yang menggunakan hisab (perhitungan) saja, ada yang hanya menggunakan rukyat (pengamatan) saja, ada yang berusaha mengintegrasikan antara hisab dan rukyat. Bahkan ada yang mencukupkan dengan "wiridan" dalam kamar untuk mendapatkan ilham.


Hisab
Pada prinsipnya hasil hisab tidak ada artinya tanpa adanya kriteria, di Indonesia sekurang-kurangnya ada dua kriteria untuk menentukan awal bulan kamariah yaitu hisab wujudul hilal dan hisab imkanur rukyat. Bagi hisab wujudul hilal awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi tiga unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak (konjungsi), ijtimak terjadi sebelum ghurub (Ijtima' qabla al-ghurub), dan matahari terbenam terlebih dahulu dibandingkan bulan (moonset after sunset). Bila ketiga unsur ini terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru. Sementara itu, imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI awal bulan kamariah terjadi apabila memenuhi empat unsur, yaitu telah terjadi peristiwa ijtimak, ijtimak terjadi sebelum ghurub, tinggi hilal pada saat matahari terbenam minimal 2 derajat, dan umur bulan minimal 8 jam. Bila keempat unsur ini terpenuhi maka keesokan harinya dianggap masuk tanggal baru. Lalu bagaimana mengetahui unsur-unsur tersebut? Disinilah peran penting hisab sebagai metode untuk menginformasikan unsur-unsur dimaksud. Karena itu tidak mengherankan hasil hisabnya sama tetapi keputusan akhirnya bisa berbeda. Contoh kongkretnya sebagaimana yang terjadi pada saat menentukan awal Syawal 1428 H yang lalu.

Untuk kasus awal Syawal 1429 H baik perspektif hisab wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah maupun hisab imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI kesimpulannya sama bahwa 1 Syawal 1429 H jatuh pada hari Rabu tanggal 1 Oktober 2008, dikarenakan hasil hisab kontemporer menunjukkan belum memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan kedua teori tersebut sehingga usia bulan Ramadan disempurnakan menjadi tiga puluh hari. Perhatikan data berikut ini : ijtimak terjadi pada hari Senin 29 September 2008 pukul 15.13 WIB, ketinggian hilal pada saat matahari terbenam di Yogyakarta – 00º 51' 51" (bulan terbenam terlebih dahulu dibandingkan matahari), dan umur bulan = 17.36 – 15.13 = 2 jam 23 menit.


Rukyat
Penentuan awal bulan melalui rukyat pun masih dibedakan atas rukyat lokal dan rukyat global. Pada rukyat lokal hanya mengakui hasil rukyat satu wilayah (wilayatul hukmi). Paham ini dipedomani oleh Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia. Dalam Ahkamul Fuqaha nomor 369 poin 5 b dijelaskan bahwa NU dalam menetapkan awal bulan kamariah khususnya Ramadan, Syawal, dan Zulhijah menggunakan matlak lokal. Keputusan ini kemudian diperkuat dengan hasil keputusan Bahsul Masail Muktamar XXX NU di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur pada tanggal 21 – 27 November 1999 M/ 13 – 19 Syakban 1420 H, yang menyebutkan : Umat Islam Indonesia maupun Pemerintah Republik Indonesia tidak dibenarkan mengikuti rukyat al-hilal internasional karena berbeda mathlak dan tidak berada dalam kesatuan hukum. Sementara itu, paham rukyat global diikuti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengakui hasil rukyat dunia, dengan kata lain dimana pun ada yang berhasil melihat hilal maka wajib diikuti. Pemahaman ini muncul dikarenakan hadis-hadis yang berkaitan dengan rukyat bersifat umum. Ini menunjukkan bahwa rukyat yang dimaksud adalah rukyat dari siapa saja, sedangkan ikhtilaful matali' (perbedaan matlak), yang digunakan oleh sebagian ulama sebagai alasan untuk berbeda dalam berpuasa dan beridul fitri merupakan fakta untuk penetapan hukum sesuai dengan perkembangan sosio-historis yang dijumpai oleh ulama terdahulu.

Pada saat itu kaum muslimin tidak dapat menginformasikan berita hasil rukyat ke seluruh penjuru dunia yang amat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi sangat terbatas. Namun pada saat sekarang, sarana komunikasi yang tersedia dapat digunakan untuk menyebarkan berita ke seluruh penjuru dalam beberapa detik, seperti internet, telepon, televisi, dan radio. Dalam hal ini HTI berkomunikasi secara langsung dengan anggota Hizbut Tahrir lainnya, baik yang berada di Indonesia maupun yang di luar negeri. Sementara itu untuk menentukan Idul Adha HTI mengikuti Mekah dengan menjadikan wukuf di Arafah sebagai standarnya.

Kaitannya dengan hasil rukyat di Indonesia dan Saudi Arabia, persoalan yang muncul hingga kini para pelaku rukyat belum dapat membuktikan hasil rukyat secara "otentik". Selama ini baru sebatas pengakuan yang diperkuat dengan sumpah dan disyahkan oleh para hakim/mufti. Sebetulnya jika hasil rukyat di Saudi Arabia otentik maka akan membantu umat Islam se dunia dalam merumuskan Kalender Islam Internasional. Hasil penelitian Ayman Kordi salah seorang ahli falak dari King Saud University menyimpulkan bahwa selama 40 tahun hasil rukyatul hilal yang diumumkan pemerintah Saudi Arabia 87 % salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Bangla Post, London 18 September 2008).

 

Kurve Rukyat Hilal Syawal 1429
(Senin, 29 September 2008)

Berdasarkan kurve rukyat hilal di atas dan pengumumam yang disampaikan oleh Mohammad Syawkat Odeh pendiri Al-Masyru' al-Islamiy li Rashdi al-Ahillah di Yordania tertanggal 21 Ramadan 1429 H/21 September 2008 bahwa mayoritas negara-negara di kawasan Timur Tengah akan beridul fitri pada hari Rabu, 1 Oktober 2008. Keputusan ini didasarkan hasil hisab bahwa di Mekah ijtimak terjadi pada hari Senin 29 September 2008 pukul 11.12 waktu setempat ( sebelum Zuhur), bulan terbenam pada pukul 18.04 waktu setempat, dan matahari terbenam pukul 18.12 waktu setempat. Negara-negara dimaksud diantaranya adalah Saudi Arabia, Mesir, Irak, Kuwait, Qatar, Sudan, UEA, dan Syria. Begitu pula masyarakat muslim di London akan berlebaran berdasarkan hasil hisab pada hari Rabu 1 Oktober 2008 sebagaimana disampaikan oleh Qamar Uddin, sedangkan Libya yang memulai puasa pada hari Ahad 31 Agustus 2008 akan beridul Fitri pada hari Selasa 30 September 2008 dengan berpegang pada teori ijtimak qabla al-fajr.


Selanjutnya bagi masyarakat muslim Indonesia yang perlu dicermati adalah pelaksanaan rukyat pada tanggal 29 September 2008 di berbagai pos observasi yang ditentukan. Para hakim perlu berhati-hati menerima laporan rukyatul hilal. Jika para hakim memahami dan konsisten dengan teori imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI akan menolak hasil rukyatul hilal yang dilaporkan pada saat itu karena belum memenuhi visibilitas hilal. Begitu pula Menteri Agama wajib menolak laporan hasil rukyatul hilal pada sidang isbat nanti jika ada yang mengaku berhasil melihat hilal pada hari Senin 29 September 2008. Jika langkah ini dapat ditempuh kebersamaan beridul fitri antara pemerintah dan ormas-ormas Islam besar dapat terwujud. Semoga.

Wacana Takwim Urfi Dalam Penanggalan Islam[1]



Abstrak


Takwim Urfi adalah sistem penanggalan yang bersifat perhitungan rata-rata. Takwim yang berdasarkan hisab Urfi disepakati oleh para ulama tidak sah untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam. Namun karena kemudahan dan keajegan perhitungan takwim yang berdasarkan hisab Urfi, maka dapat dijadikan alternatif dalam wacana unifikasi penanggalan Hijriah Internasional dalam Islam.



Kata Kunci: Takwim, Hisab Urfi, Hisab Hakiki.



Pendahuluan



Perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah sering kita jumpai di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda, demikian juga ketika melaksanakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka lalu muncullah istilah lebaran ganda.


Perbedaan seperti ini setelah reformasi di Indonesia seolah menjadi hal yang lumrah terjadi. Walaupun terwujud  kesepakatan para ulama ahli ilmu Falak dari kalangan pesantren dan para ahli astronomi di Indonesia dalam penentuan awal bulan  Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tetap saja ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan hasil kesepakatan tersebut.


Misalnya kita kilas balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan 1430 H. Pemerintah mengumumkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan hisab dan pelaksanaan rukyah pada tanggal Jumat, 29 Syakban 1430 H/ 18 September 2009 bahwa posisi hilal masih di bawah ufuk  maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah. Sehingga esok harinya; Sabtu merupakan hari terakhir di bulan yang sedang berjalan; bulan Syakban. Permulaan ibadah puasa atau jatuhnya tanggal 1 Ramadan 1430 H adalah hari Minggu 20 September 2009.


Namun sebagian kelompok tarekat tertentu dan pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon memulai puasa Ramadan mereka pada hari yang berbeda dengan hasil penetapan pemerintah di atas. Perbedaan ini lebih banyak lagi jika menelusurinya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil scopenya di masyarakat.


Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.


Di antara sumber yang merupakan salah satu akar permasalahan penyebab perbedaan tersebut adalah perhitungan takwim atau kalender yang berdasarkan hisab Urfi. Kalender berdasarkan hisab Urfi inilah yang dipedomani oleh pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon.   


Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penetapan kalender berdasarkan hisab Urfi, karakteristiknya, wacana menjadikan kalender berdasarkan hisab Urfi menjadi alternatif dalam wacana unifikasi penanggalan dalam Islam, dan aspek hukum  menjadikan kalender berdasarkan hisab Urfi sebagai pedoman dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam.



Sejarah Penanggalan Islam


Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com).


Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama-nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan Kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 136).[2] Susiknan Azhari, mengilustrasikan tentang perkembangan penamaan bulan-bulan tersebut, sebagai berikut:



No
I
II
III
IV
1
Natiq
Mujab
Al-Mu’tamar
Muharam
2
Thaqil
Mujar
Najir
Safar
3
Thaliq
Murad
Khawan
Rabiul Awal
4
Najir
Malzam
Sawan
Rabiul Akhir
5
Samah
Masdar
Hantam
Jumadil Awal
6
Amnah
Hubar
Zubar
Jumadil Akhir
7
Ahlak
Hubal
Al-Asam
Rajab
8
Kasa’
Muha’
‘Adil
Syakban
9
Zahir
Dimar
Nafiq
Ramadan
10
Bart
Dabir
Waghil
Syawal
11
Harf
Hifal
Hawagh
Zulkaidah
12
Na’s
Musbal
Burak
Zulhijah

(
Azhari, pdf)


Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender Hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun.

Fungsi Penanggalan


Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Kamariah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Kamariah-Syamsiah, Luni-Solar) (http://www.nu.or.id).


Sistem penanggalan dan ukuran waktu ini dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi, merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[3] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan Matahari dan Bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan (Setyanto, 2008: 40).


Pelaksanaan ibadah dalam Islam sebagian dikaitkan pada waktu atau tanggal tertentu. Seperti seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu.


Selain itu, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang,  seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw.  Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut.  Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender Hijriah ke sistem kalender Masehi. Program komputer sederhana konversi kalender Hijriah-Masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com).


         Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M (http: //t-djamaluddin.space.live.com).



Penanggalan Berdasarkan Hisab Urfi



Dalam sistem penetapan kalender Urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar: 8).


Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman SW, 2006).


Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya.


Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.


Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim penanggalan berdasarkan hisab urfi memiliki karakteristik:
1.      awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2.      satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun;
3.      dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29 [4];
4.      penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;
5.      bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari); 
6.      panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204) (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim: 136-137).
7.      perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.


Kalender Hijriah yang menganut prinsip Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah.  Hal ini didasarkan pada firman Allah:


Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[5]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus.  QS at-Taubah/9 ayat 36.


Nama-nama dan panjang bulan Hijriah dalam Hisab Urfi sebagai berikut:

No
Nama Bulan
Jumlah Hari
No
Nama Bulan
Jumlah Hari
1
Muharam
30 hari
7
Rajab
30 hari
2
Safar
29 hari
8
Syakban
29 hari
3
Rabiul Awal
30 hari
9
Ramadan
30 hari
4
Rabiul Akhir
29 hari
10
Syawal
29 hari
5
Jumadil Awal
30 hari
11
Zulkaidah
30 hari
6
Jumadil Akhir
29 hari
12
Zulhijah
29/30 hari


Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah



Dalam sistem penetapan kalender Urfi didasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil/ gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada tahun Kabisah, bulan Zulhijah yang merupakan bulan terakhir; bulan ke-12 ditambahkan satu hari.


Dalam penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan visibilitas hilal; imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal.


Berdasarkan hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah (imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita  mengikuti kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal 2˚, elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang baru. Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok harinya merupakan hari terakhir (tanggal 30)  dari bulan yang sedang berjalan.


Dengan demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari.  


Itulah logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab Urfi ini terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada perhitungan yang berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30 hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari. Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya  adalah kebalikan peristiwa di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1 Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu berumur 29 hari (karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya dan berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah.
Patut dicatat hisab Urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 137). Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah (Anwar: 8).



                                                                                   
Takwim Berdasarkan Hisab Urfi: Alternatif Dalam Wacana Unifikasi Penanggalan Dalam Islam



Unifikasi kalender Hijriah Internasional digagas pertama kali oleh Mohammad Ilyas (ahli ilmu Falak berkebangsaan Malaysia). Sejak digulirkan telah banyak wacana yang berkembang seputar hal ini, antara lain pembagian penanggalan berdasarkan pembagian wilayah atau zona tertentu, penentuan tentang perhitungan permulaan hari, garis tanggal, penentuan tentang dasar acuan penanggalannya, pihak yang punya otoritas yang mengambil kebijakan jika terjadipermasalahan, dan persoalan-persoalan lainnya.


Pada kesempatan kali ini kita tidak akan membahas unifikasi kalender Hijriah ini lebih jauh. Tapi akan disinggung salah satu aspek dalam penentuan kalender Hijriah Internasional tersebut yakni tentang penentuan dasar acuan penanggalannya.


Di antara alternatif yang ditawarkan para ahli Astronomi dan ilmu Falak dalam penentuan dasar acuan penanggalannya berlandaskan penanggalan bulan Kamariah yang berdasarkan hisab Urfi.


KH Slamet Hambali (2008) adalah anggota Lajnah Falakiah Nahdatul Ulama di antara ahli Falak yang mendukung pendapat di atas. Menurutnya penanggalan berdasarkan pada kalender hisab Urfi bersifat tetap dan tidak berubah-ubah sehingga akan memudahkan. Umur bulan dalam penanggalan berdasarkan hisab Urfi bersifat tetap sama dengan penanggalan Syamsiah/ Masehi.


Penanggalan Hijriah Internasional dengan menggunakan hisab Urfi sebagai acuan penanggalannya menyisakan beberapa persoalan, antara lain: perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini disepakati oleh Ulama tidak bisa dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah. Karena penanggalan tersebut tidak bisa dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah, maka penggunaannya dibatasi untuk keperluan administrasi kenegaraan dan sosial saja.


Untuk keperluan penentuan pelaksanaan ibadah diperlukan penanggalan tersendiri yang berbeda. Pada hal tujuan utama dari univikasi kalender Hijriah Internasional adalah mengatukan umat Islam dalam satu penanggalan yang terpadu dan kesatuan dalam pelaksanaan ibadah. Maka dualisme ini selain akan membingungkan masyarakat juga dianggap kurang efektif dan efisien.  



Penutup



Penanggalan Hijriah; penanggalan Islam adalah pedoman bagi seluruh masyarakat Islam dalam pelaksanaan kegiatan ibadah mereka. Kalender yang berdasrkan hisab hakikilah yang dapat dijadikan pedoman untuk hal tersebut. Karena kalender hisab hakiki didasarkan pada peredaran ril bulan (qamar).


Adapun penanggalan yang didasarkan pada hisab Urfi; penanggalan  yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Pada hal dalam kenyataannya tidaklah tepat sesuai selalu seperti itu, dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan. Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah.  Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.



Daftar Pustaka



Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.




____________,  Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001.



Anwar,  Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader



Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001.



____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.



____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007.



____________,  Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.



____________,  Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008.



____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader


                         


Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.



____________,  Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.



____________,  Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press,  1992.



___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.



Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas,  1976.



Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, Power point makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta,  29-30 Juli 2006.



___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.



Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika,  2006.



___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008.



___________,  Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004.



Hambali, Slamet, Orasi Ilmiah dalam Seminar Nasional tanggal 7 November 2009, Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008.



Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3,  2008.



Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id.



Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1.



Rachim, Abdur,  Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1.



Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.


Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.



Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H.


 

Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo.blogspot.com.



T. Djamaluddin,  Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com


____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.


Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.




[1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com  email: jay_falak@yahoo.co.id
[2] Selengkapnya baca Ali Hasan Musa. At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186.



                [3] Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115. Oman Fathurohman SW mendefinikannya sebagai sejumlah sistem untuk menata hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat pengelompokkan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain seperti hari-hari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya,  disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.



[4]   Cara menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah. Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15.
KH Noor Ahmad SS: Potret Dinamis Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia[1]



Abstrak


Tidak banyak ulama yang berkhidmad terhadap ilmu Falak. Di antara ulama tradisional Indonesia yang mencurahkan segenap waktu dan fikiran di sepanjang hayatnya untuk mendalami ilmu Falak adalah KH Noor Ahmad SS yang berasal dari Kriyan, Kalinyamatan-Jepara. Ketika awal mempelajari ilmu Falak tahun 1950an yang berkembang ketika itu adalah metode hisab yang berbasiskan perhitungan Hakiki Taqribi. Pada priode selanjutnya sesuai dengan perkembangan pengetahuan tentang ilmu Falak, berkembang perhitungan Hakiki Tahqiqi. Karya-karyanya yang dihasilkannya pun menggambarkan pengembaraan intelektualnya tersebut.

Kata Kunci: KH Noor Ahmad SS, Ilmu Falak,



A.     Pendahuluan


Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat.


Teori-teori lama yang sudah out of date mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama.


Dalam perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia Islam umumnya berkembang berkembang metode hisab yang belakangan diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari; yang disebut dengan Geosentris.


Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh  Ulugh Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masanya. Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama berabad-abad lamanya.


Setelah Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya). Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab tersebut oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan diri untuk belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi.


Perlu juga dinyatakan di sini bahwa dalam perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak seperti demikian. Metode hisab Hakiki Tahqiqi mulai dipelajari orang sedangkan metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya bahkan sampai dengan sekarang ini.


Pada akhir abad ke-20 telah banyak para sarjana muslim yang pakar di bidang astronomi. Mereka telah berhasil merumuskan metode hisab yang memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Dalam ilmu Falak diistilahkan dengan metode hisab Hakiki Kontemporer.


Dalam makalah ini akan dikaji lebih lanjut kiprah salah seorang ahli Falak yakni KH Noor Ahmad SS. Ia adalah salah seorang ahli ilmu Falak dari kalangan Nahdatul Ulama yang mumpuni. Ia mengalami dinamika ketiga priode modern perkembangan ilmu Falak di Indonesia tersebut. Akan dibahas bagaimana karya-karya yang dihasilkannya bermetamorfosis dari yang basis metode hisab Hakiki Taqribi lalu beralih metode hisab Hakiki Tahqiqi. Selanjutnya berhadapan dengan metode hisab Hakiki Kontemporer.



B.     Sejarah Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia



Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke 20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama ahli Falak Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad kedua puluh, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air[2].


Pada dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra pada tahun 1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) yang berdasarkan teori Geosentris. Ia kemudian mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w. 1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang dikenal dengan Mufti Betawi.


Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan)  dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyati bi Semarang. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa[3]. Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang menulis kitab Sullamun Nayyiran. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini.


Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya  pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Menurut M. Taufik  bahwa kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang[4].


Masih banyak lagi kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan  al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik.



C.     Biografi Intelektual KH Noor Ahmad SS



KH Noor Ahmad SS lahir di Jepara pada hari kamis Kliwon 14 Desember 1932 M/ 19 Rajab 1351 H. Ia adalah satu di antara ulama ahli ilmu Falak yang disegani di Indonesia yang masih hidup hingga saat ini. Pendidikan pesantren yang pernah dienyam antara lain di Tebu Ireng Jombang, Langitan Babat Lamongan, dan Lasem[5]. 


Guru-gurunya adalah KH Rif’an Kudus, KH Turaichan Adjhuri (Menara Kudus), KH Abdul Jalil (guru dari KH Turaikhan Adjhuri), KH Zubaer Umar al-Jailani (pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah), H. Abdur Rohim (Murid Sa’adoeddin Djambek), dan KH Misbahul Munir Magelang.


Menurut penulis pengertian guru di sini adalah tidak semata-mata guru dengan pengertian belajar secara langsung atau formal kepada yang bersangkutan. Namun dapat juga berarti berguru secara “tidak langsung”, sebagai teman berdiskusi dalam masalah ilmu Falak atau bahkan sebagai suatu penghormatan kepada seseorang yang diakui ketinggian dan kedalaman ilmunya dengan menganggapnya sebagai guru. Misalnya ada pendapat yang menyatakan KH Noor Ahmad SS berguru kepada H. Abdur Rachim, pada hal menurut penuturannya, ia pernah hanya bertemu dengan H. Abdur Rachim dan sempat berbincang-bincang dengannya[6]. Namun tidak ada pernyataan pernah berguru kepadanya.


Karyanya antara lain kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah:  Taufiq  ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar. Dalam kitab-kitab yang dikarangnya, ia menggunakan nama Abu Sayf al-Mujab Noor Ahmad ibn Shiddiq ibn Saryani.


Ia juga menulis artikel atau tulisan yang dipresentasikan pada seminar atau pertemuan  yang pernah diikutinya yang antara lain: Cara Rukyat yang Akurat, Efektifitas Rukyatul Hilal dengan Hisab Hakiki Taqribi, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqqat, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, dan Hisab Awal Bulan Hijriah.



D.     Metode Hisab Urfi dan Hakiki


Dalam sistem  hisab Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari.[7]


Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik  setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtima’) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung  awal bulan atau bulan baru/ new month.[8] 


Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya.


Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari.  Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur. [9] Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.


Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim penanggalan berdasarkan hisab urfi memiliki karakteristik:
1.      awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M;
2.      satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun;
3.      dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه
Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada

tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[10];
4.      penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;
5.      bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari); 
6.      panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).[11]
7.      perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar  sebelum melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan.



Sistem kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki. Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:


1.      Umur Bulan


Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[12]


Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender Urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.[13]


Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar. [14] Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam” menjelaskan bahwa sistem kalender Hijriah atau penanggalan Islam adalah sebuah sistem kalender yang tidak memerlukan pemikiran koreksi, karena betul-betul mengandalkan fenomena fase bulan; dalam bahasa T. Djamaluddin, kalender Kamariah merupakan kalender yang paling sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ditandai oleh penampakan hilal (visibilitas hilal) sesudah matahari terbenam (maghrib).[15]


Dalam kalender Kamariah, umur bulan (syahr) bisa diketahui dengan mudah melalui pengamatan yang sederhana terhadap Bulan. Hal itu terkait dengan sunnatullah tentang siklus pergerakan Bulan yang membuat Bulan hadir dalam pengamatan manusia di Bumi dalam posisi dan bentuk penampakan yang selalu berubah setiap hari secara signifikan. Perubahan itu berupa pergeseran posisinya ke arah Timur sejauh rata-rata 12° setiap hari dan pergeseran itu sekaligus mengakibatkan perubahan bentuk penampakannya. Mengenai fenomena ini Al-Qur' an (Yasin/36: 39) menyatakan: "Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua."[16]


Keadaan seperti itu tidak terjadi pada Matahari yang hadir dengan bentuk penampakan yang relatif sama setiap hari. Meskipun sebenarnya posisi Matahari itu juga bergeser, yakni ke Utara atau ke Selatan, tetapi pergeserannya itu yang terjadi tersebut tidak secara mencolok karena per hari rata-rata hanya sebesar 0° 15' 24,54". Karena itu --tidak seperti dalam kalender Kamariah--umur bulan dalam kalender Syamsiah tidak bisa dengan mudah diketahui lewat pengamatan yang sederhana terhadap Matahari.[17]


2.      Permulaan Hari


Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:


Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189


Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan  sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.


Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan  hari  berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan  hari  dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari. [18]


Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun; satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Kamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/hisab hakiki yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi.
3.      New Month (Bulan Baru)


Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.


KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak  dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak  an-nayyirain.[19]


Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:


a.       Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.


b.      Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah


c.       Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk  dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [20]



Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak  terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.


Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [21]


Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [22]


Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams.  Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.


Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak  sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.


Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan  bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [23]



4.      Hilal


            Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.


            Pendefinian hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[24]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya  adalah tanggal satu bulan yang baru.



E.      KH Noor Ahmad SS: Dari Metode Hakiki Taqribi ke Hakiki Tahqiqi



Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama dan ahli Astronomi Indonesia terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitungannya. Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua, yakni hisab Urfi dan Hakiki. Tentang metode hisab Urfi ini telah disinggung sebelumnya.


Kemudian hisab Hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini dibagi lagi menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut:


1.      Hisab Hakiki Taqribi,  kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah.


2.      Hisab Hakiki Tahqiqi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang.


3.      Hisab Hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi



Pemilahan ini dicetuskan dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan klasifikasi di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri, Syams al-Hilal karya Noor Ahmad SS Jepara, dan Fath ar-Rauf al-Mannan karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus. Sedangkan  teori ini secara ilmiah telah gugur. Ketinggian hilal dihitung dari titik pusat Bumi, bukan dari permukaan Bumi dan berpedoman pada gerak rata-rata Bulan; setiap hari bulan bergerak dari arah barat ke timur 12˚. Rumus ketinggian hilal adalah selisih waktu ijtimak dan waktu ghurub kemudian di bagi dua. Akibatnya apabila ijtimak terjadi sebelum ghurub, maka pastilah ketinggian hilal itu positif di atas ufuk[25]. Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan.


Perhitungan hisab ini juga belum memberikan informasi tentang azimut Matahari dan Bulan. Di samping itu diperlukan beberapa ta’dil atau koreksi  agar hasil perhitungannya menjadi akurat[26].


Metode hisab Hakiki Tahqiqi dalam pengamatannya telah berdasarkan pada teori Nicolas Copernicus, teori Heliosentris yang menyatakan Matahari adalah pusat dari tatasurya. Perhitungannya telah menggunakan rumus-rumus spherical trigonometri dengan melakukan banyak koreksian/ta’dil data pergerakan Matahari dan Bulan. Dalam menentukan ketinggian hilal dengan memperhatikan koordinat lintang dan bujur, deklinasi dan sudut waktu Bulan dengan koreksi refraksi, paralaks, Dip, dan semi diameter Bulan. Metode hisab ini menyajikan data tentang ijtimak, terbenamnya Matahari, tinggi hilal, azimut Matahari dan Bulan sehingga sangat membantu dalam pelaksanaan rukyatul hilal[27].


 Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain  kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang.


Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Depatemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode  hisab Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data yang lengkap untuk keperluan rukyatul hilal.


Dalam perjalanan intelektualnya, Noor Ahmad SS mempelajari ilmu Falak sejak tahun 1950an. Dalam melakukan perhitungan-perhitungan yang dalam kajian ilmu Falak masih secara manual tanpa ada alat bantu. Pada priode-priode selanjutnya barulah ditemukan kalkulator dan program komputer.


Pada masa awal belajar ilmu Falak; sesuai dengan perkembangan ilmu Falak ketika itu di Indonesia, metode hisab yang berkembang adalah metode hisab Hakiki Taqribi. Buah karya yang dihasilkannya pada priode ini juga berbasiskan metode hisab Hakiki Taqribi. Antara lain ia menulis kitab Taufiq  ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, dan Syams al-Hilal.


Sesuai dengan perkembangan pengetahuan dalam ilmu Falak sebagai akibat persentuhannya dengan ilmu pengetahuan modern, maka ilmu Falakpun menapaki perhitungan atau hisab berbasiskan Hakiki Tahqiqi. Priode ini kita sebut sebagai priode kedua dari tahapan pengembaraan intelektual yang dilakukan Noor Ahmad SS, ia mempelajari ilmu Falak yang berbasiskan hisab Hakiki Tahqiqi  di antaranya: hisab kalender Menara Kudus, kitab Badi’ah al-Mitsal, Khulashah al­-Wafiyah, Hisab Haqiqi, Mathla’ as-Sa’id, Muntaha Nataij al-Aqwal,  dan Bulugh al-Wathar. Ia pun kemudian mereformulasi ulang  pemikirannya dalam ilmu Falak sehingga melahirkan kitab Nur al-Anwar.


KH Noor Ahmad SS menyebutkan bahwa hisab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang disebut juga Hisab Hakiki Tahqiqi. Sistem perhitungannya dapat dibantu dengan perangkat pendukung modern sesuai dengan kemajuan IPTEK. Hasilnya akurat sesuai dengan perhitungan nautika. Dalam proses perhitungannya didukung oleh data tahun, bulan hari, jam, menit, detik, garis lintang, garis bujur dan lain-lainnya sehingga hasil hisab ini dapat dibuat grafik posisi Matahari dan Bulan secara tepat kapan saja dan di mana saja. Hisab ini praktis digunakan dalam kegiatan rukyatul hilal[28].


Bahkan sekarang telah dibuat oleh salah seorang anak dari KH Noor Ahmad SS software Nur al-Anwar. Dengan demikian proses perhitungan dengan sofrware ini akan semakin mudah karena usernya hanya tinggal memasukkan data-data yang diminta, maka hasil perhitungannya dengan segera dapat diperoleh. Dinyatakan bahwa jika kita melakukan perhitungan  dengan metode hisab Nur al-Anwar menggunakan data yang disajikan dalam metode hisab Hakiki Kontemporer, maka akan menghasilkan hasil perhitungan yang tingkat akurasinya tinggi.



F.      Kontribusi Noor Ahmad SS bagi Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia



Ia merupakan ahli ilmu Falak yang mempelopori perubahan sistem buruj sebagai basis perhitungan Falak para ulama tradisional Indonesia kepada sistem derajat[29].  Perubahan kecil ini membuat suatu loncatan besar dalam pembelajaran ilmu Falak yang berbasis kitab-kitab  ilmu Falak karangan para ulama tradisional sehingga menjadi lebih mudah dalam proses  perhitungannya dan lebih sesuai dengan model perhitungan ilmu Falak yang berbasis ilmu Astronomi modern.


Karyanya antara lain kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah:  Taufiq  ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar. Kitab yang terakhir inilah yang merupakan magnum opus pemikiran ilmu Falaknya. Kitab ini banyak digunakan oleh kalangan pesantren di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan merupakan salah satu sistem perhitungan ilmu Falak yang dijadikan rujukan Depag RI dalam sidang penetapan; isbat pada awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.


Noor Ahmad SS merupakan salah satu di antara para ulama ahli Falak Indonesia yang cukup diperhitungkan. Di antara prestasinya adalah mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988. Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia berkeras ingin menentukan hari waktu Wukuf dalam pelaksanaan ibadah haji yang tidak sesuai dengan perhitungan ilmu Falak. Tapi disesuaikan begitu saja sehingga pelaksanaannya pada hari Jum’at, agar dapat menjadi momentum Haji Akbar. Melihat rekayasa pemerintah Saudi Arabia, di Indonesia PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman Wahid pun bertidak cepat. PBNU secara resmi mengutus KH Noor Ahmad SS untuk meluruskan kesalahan pemerintah Saudi Arabia tersebut. Maka Noor Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus PBNU. Di Mekah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam bahasa Arab yang menyatakan bahwa klaim pemerintah Saudi Arabia adalah salah. Ia menyertakan berbagai pandangan hingga setebal delapan belas lembar lalu dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan Indonesia di sana[30].


Lalu ia mengumpulkan orang-orang Indonesia yang bermukim di Mekah, untuk melakukan tekanan secara politik. Ia berpesan, jika benar Saudi Arabia tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa wukuf jatuh pada hari Jumat, maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari Sabtu. Akhirnya, pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu[31].
Jadwal Salat Sepanjang masa yang dibuatnya dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah salat di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sekitarnya. Bahkan penulis menemukan jadwal salat sepanjang masa ini digunakan juga oleh beberapa pihak di daerah Lampung.


Sebagai seorang ahli ilmu Falak yang dimumpuni, ia mentransfer ilmunya melalui pelajaran tentang ilmu Falak di pondok pesantrennya di Setinggil, Jepara. Di samping itu di usianya yang sudah senja, ia masih tetap aktif dalam seminar dan lokakarya ilmu Falak baik di tingkat lokal dan nasional. Ia adalah contoh hidup sebagai seorang yang sepanjang hidupnya didarmabaktikan untuk pengembangan ilmu Falak. Di antara bentuk pengakuan atas ketinggian ilmunya di bidang ilmu Falak, ia tercatat sebagai anggota Badan Hisab Rukyah (BHR) Departemen Agama RI dan Penasehat Lajnah Falakiyah PBNU.



G.     Catatan Akhir



Menurut mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa tingkat akurasi metode perhitungan Syams al-Hilal karya Noor Ahmad SS adalah tergolong metode perhitungan ilmu Falak yang Hakiki Taqribi yang tingkat akurasinya rendah. Dan  kitab Nur al-Anwar tergolong metode hisab yang Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya sedang. Dalam metode hisab yang Hakiki Tahqiqi telah dilakukan koreksian-koreksian hilal dan Matahari agar sesuai dengan keadaan riil; yang sebenarnya.


Dalam metode hisab Hakiki Kontemporer, metode al-Mawaqit karya Khafid misalnya. Menurut Khafid dalam metode al-Mawaqit terdapat banyak sekali koreksian-koreksian untuk posisi hilal dan matahari. Walaupun jika dipilah-pilah, masing-masing koreksian itu hanya kecil pengaruhnya terhadap perhitungan misalnya sampai detik (˝). Tetapi jika diakumulasi koreksian-koreksian itu akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perhitungan.


Perlu juga kiranya dalam tulisan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge, (latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam kerangka memposisikan karya-karya Noor Ahmad SS dalam pemetaan ilmu Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya secara proposional sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan pensejajarannya dengan metode Hisab Hakiki Kontemporer ataupun   hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer.



H.     Penutup



Demikianlah Noor Ahmad SS dengan penuh semangat  dan dedikasinya untuk perkembangan ilmu Falak. Semoga ini memberikan inspirasi untuk kemajuan ilmu Falak yang berbasis ilmu Falak tradisional untuk mengadopsi ilmu falak yang berbasis ilmu Astronomi modern. Hal ini menjadi penting untuk menunjang perkembangan ilmu Falak (Astronomi Islam) dalam berinteraksi dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab




Daftar Pustaka



Ahmad SS, Noor, 1998, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998



____________, 2000, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang


____________,2000, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang



____________, 2001, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang



____________, 2003, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang




____________,2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang



____________,1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf  wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah



____________, 1986, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf  wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah



Amin, Syaifullah, Kh Nur Ahmad, Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia,  http://www.nu.or.id/



Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1,



____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2



____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2



Depag RI,  Ditjen Binbaga Islam, 1990,  Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI



Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI



____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI




____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press




___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI



Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas



Fathurohman SW, Oman, 2004, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI



Hambali, Slamet, 2008, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang



Karim MS, Abdul, 2006, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1



Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3



____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI



Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id



Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1



Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1



____________,1998, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998



Saksono, Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies


Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1 Muharram 1430H


 

Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo.blogspot.com



T. Djamaluddin,  Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com



Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008






[1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com  emai: jay_falak@yahoo.co.id

[2]  Muhyiddin Khazin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, h. 28-29



[3] Ibid, h. 29
[4] Moh Murtadho,  2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1, h 29



[5] Susiknan Azhari , Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2,  h.161-162



[6] Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008



            [7] Syamsul Awar,  Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8


                                      
             [8] Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya,  disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.



                [9] Taqwim Hijriyah,  hhtp://afdacairo.blogspot.com



[10]   Cara menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah. Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15.



[11] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam, hlm. 136-137
   [12] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, h. 30-31



            [13] Syamsul Awar,  Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw, hlm. 8



[14] Hendro, Membaca Langit, hlm. 46



[15] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'I, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 133-134. Lebih lanjut lih Moedji Raharto. “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam”, dimuat dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/TH. /Oktober/1994, h. 25 dan T. Djamaluddin. “Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya”, dimuat dalam harian Republika, Jum’at, 10 Juni 1994, h. 8.



[16] Abdul Salam Nawawi, Mengapa Islam Memakai Kalender Bulan?, http://www.nu.or.id

[17] Ibid
[18] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 114-115



[19] Noor Ahmad SS, 1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf  wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, h. 6



[20] Ibid, hlm. 33



                [21] Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99



[22] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109



            [23] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya,  disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.


[25] Murtadho, op.cit, h.225-226

[26] Ibid
[27] Ibid, 226-227
[28] Noor Ahmad SS 2003, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang, h. 2



[29] Susiknan Azhari , Ensiklopedi Hisab Rukyat,  loc.cit
[30] Syaifullah Amin, Kh Nur Ahmad, Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia,  http://www.nu.or.id/


Takwim Hijriah: Penanggalan Islam Pedoman untuk Pelaksanaan Ibadah

JAYUSMAN

Lektor IAIN Raden Intan Lampung

jay_falak@yahoo.co.id

Abstrak

Takwim Hijriah hisab hakiki adalah sistem penanggalan yang berpedoman pada pergerakan ril bulan. Dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan dan bukan pula tidak beraturan tetapi tergantung pada posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan. Inilah kiranya di antara karakteristik takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki dan yang membedakannya dengan yang berdasarkan hisab urfi. Takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam.

Key word: Takwim Hijriah, Hisab Hakiki, Hisab Urfi, Pedoman Pelaksanaan Ibadah.

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini jamak kita mendapati perbedaan seputar penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda. Misalnya pemerintah mengumumkan hari Minggu adalah permulaan puasa Ramadan 1430 H. Padahal sebagian kelompok tarekat tertentu telah memulai puasa Ramadan mereka hari Sabtunya. Lain lagi dengan kelompok Kejawen yang baru berpuasa pada hari Senin. Perbedaan ini lebih banyak lagi jika menelusurinya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil scopenya di masyarakat.

Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.

Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah; fungsi dan karakteristiknya. Penanggalan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam.

B. Sejarah Penanggalan Islam

Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.[1]

Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama-nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan Kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi.[2] Susiknan Azhari, mengilustrasikan tentang perkembangan penamaan bulan-bulan tersebut, sebagai berikut:

Nama-Nama Bulan Kamariah

No

I

II

III

IV

1

Natiq

Mujab

Al-Mu’tamar

Muharam

2

Thaqil

Mujar

Najir

Safar

3

Thaliq

Murad

Khawan

Rabiul Awal

4

Najir

Malzam

Sawan

Rabiul Akhir

5

Samah

Masdar

Hantam

Jumadil Awal

6

Amnah

Hubar

Zubar

Jumadil Akhir

7

Ahlak

Hubal

Al-Asam

Rajab

8

Kasa’

Muha’

‘Adil

Syakban

9

Zahir

Dimar

Nafiq

Ramadan

10

Bart

Dabir

Waghil

Syawal

11

Harf

Hifal

Hawagh

Zulkaidah

12

Na’s

Musbal

Burak

Zulhijah[3]

Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H.[4] Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun.

C. Fungsi Penanggalan Hijriah

Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Kamariah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Kamariah-Syamsiah, Luni-Solar).[5]

Sistem penanggalan dan ukuran waktu ini dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi, merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[6] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.[7]

Pelaksanaan ibadah dalam Islam sebagian dikaitkan pada waktu atau tanggal tertentu. Seperti seputar penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu.

Selain itu, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.[8]

Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.[9]

D. Penanggalan Berdasarkan Hisab Urfi

Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari.[10]

Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara urfi. Kalender Kamariah urfi didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/new month.[11]

Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tahunnya.

Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basithah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur. [12] Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.

Dari paparan tentang penanggalan berdasarkan hisab urfi, dapat dinyatakan bahwa penanggalan tersebut memiliki karakteristik:

1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M berdasarkan hisab atau hari Jum’at tanggal 16 Juli 622 berdasarkan rukyat;

2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun;

3. dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:

كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه

Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Sebagai contoh tahun 1417 H mempunyai bilangan tahun 7 (1417: 30 = 47 daur sisa 7 tahun), jadi tahun 1417 H adalah tahun kabisat;

4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah;

5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari);

6. panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).[13]

Kalender Hijriah yang menganut prinsip Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah:

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[14]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. QS at-Taubah/9 ayat 36.

Nama-nama dan panjang bulan Hijriah--dalam Hisab Urfi--itu , sebagai berikut:

No

Nama Bulan

Jumlah Hari

No

Nama Bulan

Jumlah Hari

1

Muharam

30 hari

7

Rajab

30 hari

2

Safar

29 hari

8

Syakban

29 hari

3

Rabiul Awal

30 hari

9

Ramadan

30 hari

4

Rabiul Akhir

29 hari

10

Syawal

29 hari

5

Jumadil Awal

30 hari

11

Zulkaidah

30 hari

6

Jumadil Akhir

29 hari

12

Zulhijah

29/30 hari

E. Penanggalan Hijriah Berdasarkan Hisab Hakiki

Sistem kalender Islam; kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki:

1. Umur Bulan

Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[15]

Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.[16]

Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar. [17] Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam” menjelaskan bahwa sistem kalender Hijriah atau penanggalan Islam adalah sebuah sistem kalender yang tidak memerlukan pemikiran koreksi, karena betul-betul mengandalkan fenomena fase bulan; dalam bahasa T. Djamaluddin, kalender Kamariah merupakan kalender yang paling sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ditandai oleh penampakan hilal (visibilitas hilal) sesudah matahari terbenam (maghrib).[18]

Dalam kalender Kamariah, umur bulan (syahr) bisa diketahui dengan mudah melalui pengamatan yang sederhana terhadap Bulan. Hal itu terkait dengan sunnatullah tentang siklus pergerakan Bulan yang membuat Bulan hadir dalam pengamatan manusia di Bumi dalam posisi dan bentuk penampakan yang selalu berubah setiap hari secara signifikan. Perubahan itu berupa pergeseran posisinya ke arah Timur sejauh rata-rata 12° setiap hari dan pergeseran itu sekaligus mengakibatkan perubahan bentuk penampakannya. Mengenai fenomena ini Al-Qur' an (Yasin/36: 39) menyatakan: "Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua."[19]

Keadaan seperti itu tidak terjadi pada Matahari yang hadir dengan bentuk penampakan yang relatif sama setiap hari. Meskipun sebenarnya posisi Matahari itu juga bergeser, yakni ke Utara atau ke Selatan, tetapi pergeserannya itu yang terjadi tersebut tidak secara mencolok karena per hari rata-rata hanya sebesar 0° 15' 24,54". Karena itu --tidak seperti dalam kalender Kamariah--umur bulan dalam kalender Syamsiah tidak bisa dengan mudah diketahui lewat pengamatan yang sederhana terhadap Matahari.[20]

2. Permulaan Hari

Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah:

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189

Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya.

Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari. [21]

Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun; satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Kamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/hisab hakiki yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi.

3. New Month (Bulan Baru)

Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal.

KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[22]

Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu:

a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah.

b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah

c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [23]

Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak.

Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [24]

Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [25]

Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda.

Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah.

Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [26]

4. Hilal

Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya.

Pendefinisian hilal bisa beragam karena ia merupakan bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[27]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru.

F. Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah

Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[28]

Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.

Patut dicatat hisab urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah (awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah). Penyebabnya karena perata-rataan peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (new moon) pada awal bulan.[29] Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah .[30]

G. Penutup

Penanggalan Hijriah; penanggalan Islam adalah pedoman bagi seluruh masyarakat Islam dalam pelaksanaan kegiatan ibadah mereka. Kalender yang berdasrkan hisab hakikilah yang dapat dijadikan pedoman untuk hal tersebut. Karena kalender hisab hakiki didasarkan pada peredaran ril bulan (qamar).

Adapun penanggalan yang didasarkan pada hisab urfi; penanggalan yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Pada hal dalam kenyataannya tidaklah tepat sesuai selalu seperti itu, dengan penampakan hilal (new moon) pada awal bulan. Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab.

Daftar Pustaka

Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.

____________, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.

____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000.

____________, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001.

____________, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003.

____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2006.

____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz al-Awal fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.

____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz ats-Tsani fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995.

____________, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.

____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986.

Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader

Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001.

____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007.

____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007.

____________, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008.

____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader

Depag RI, Ditjen Binbaga Islam, Laporan Keputusan Musyawarah Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1990.

Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Depag RI, 1981.

____________, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992.

___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.

___________,Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.

___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995.

Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976.

Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, Power point makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.

___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007.

___________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006.

___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008.

___________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004.

Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008.

Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008.

____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, 2004.

Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id.

Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1.

Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1.

____________, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998.

Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007.

Samarani, as-, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com.

Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1.

Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H.

Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com.

T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com

____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.

Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.



[1] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com

[2] Selengkapnya baca Ali Hasan Musa. At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader

[3] Susiknan Azhari, Upaya Penyatuan Kalender Islam Internasional, Susiknan Azhari, power point, pdf

[4] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com

[5] Abdul Salam Nawawi, Mengapa Islam Memakai Kalender Bulan?, http://www.nu.or.id

[6] Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115. Oman Fathurohman SW mendefinikannya sebagai sejumlah sistem untuk menata hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat pengelompokan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain seperti hari-hari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.

[7] Hendro Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), Cet.ke-1, hlm. 40

[8] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi , http: //t-djamaluddin.space.live.com

[9] Ibid

[10] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8

[11] Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.

[12] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com

[13] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam, hlm. 136-137

[14] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram.

[15] Azhari, Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag RI, h. 30-31

[16] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw, hlm. 8

[17] Hendro, Membaca Langit, hlm. 46

[18] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'I, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 133-134. Lebih lanjut lih Moedji Raharto. “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam”, dimuat dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/TH. /Oktober/1994, h. 25 dan T. Djamaluddin. “Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya”, dimuat dalam harian Republika, Jum’at, 10 Juni 1994, hlm. 8.

[19] Abdul Salam Nawawi, Mengapa Islam Memakai Kalender Bulan?, http://www.nu.or.id

[20] Ibid

[21] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag RI, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 114-115

[22] Ahmad SS, Noor 1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, hlm. 6

[23] Ibid, hlm. 33

[24] Depag RI, 1981, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Depag RI, 1981), hlm. 99

[25] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109

[26] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.

[28] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag RI, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Depag RI, 2004), hlm. 30-31

[29] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 137. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader

[30] Syamsul Anwar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8

Make a Free Website with Yola.