Bagaimana cara menentukan permulaan Ramadhan 1430 H (dan juga tahun sebelum atau sesudahnya…)? Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah
kamu karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kamu karena melihat
hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) 30 hari.” (Bukhori – 1776) Berdasarkan
hadits tersebut Nahdhatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berketetapan
mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para
ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal
penentuan awal bulan Hijriyah wajib menggunakan rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan melihat bulan secara langsung. Termasuk bulan Ramadhan Syawwal dan Dzul Hijjah. Hukum melakukan rukyatul hilal adalah fardlu kifayah dalam pengertian harus ada umat Islam yang melakukannya; jika tidak maka umat Islam seluruhnya berdosa. Bila
tertutup awan atau menurut Hisab hilal masih di bawah ufuk, NU tetap
merukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan (istikmal)
bulan berjalan menjadi 30 hari. Karena memang sejak zaman Rasululloh
SAW, dan tersurat dalam hadits di atas, Rasul SAW telah memberikan
solusi berupa penggenapan/istikmal. Hisab bagi NU hanya sebagai alat
bantu, bukan sebagai penentu masuknya awal bulan qamariyah. Hilal
dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan
Hijriyah berikutnya apabila memenuhi salah satu syarat-syarat berikut:
(1)-Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak
kurang daripada 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi)
tidak kurang daripada 3°. Atau (2)-Ketika bulan terbenam, umur bulan
tidak kurang daripada 8 jam selepas ijtimak/konjungsi berlaku. Ketentuan
ini berdasarkan Taqwim Standard Empat Negara Asean, yang ditetapkan
berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) Di komunitas RHI,
bahkan kriteria MABIMS ini belum pernah terbukti. Terkahir hilal Sya’ban
1430 H adalah fenomenanya. Bahkan hilal muda Sya’ban 1430 H, tidak ada
satu orangpun yang melaporkan melihatnya (ICOP dan MCW) di seantero
dunia. Sementara itu organisasi Islam Muhammadiyah dan Persatuan
Islam (Persis) juga mengakui Rukyat sebagai awal penentu awal bulan
Hijriyah. Namun, Muhammadiyah mulai tahun 1969 tidak lagi melakukan
Rukyat dan memilih menggunakan Hisab. Muhammadiyah berpendapat rukyatul
hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat
sulit sementara Islam adalah agama yang tidak berpandangan sempit, maka
hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Hisab
yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, sebagaimana dilakukan
NU, akan tetapi dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
jadi bukti bahwa bulan baru sudah masuk atau belum. Pasca 2002 Persatuan
Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah menggunakan Kriteria
Wujudul Hilal. Sebagian muslim di Indonesia lewat
organisasi-organisasi tertentu yang mengambil jalan pintas merujuk
kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam
penentuan awal bulan Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul
Fitri dan Idul Adha. Cara ini dinamakan Rukyat Global. Penganut kriteria
ini berdasarkan pada hadist yang menyatakan, jika satu penduduk negeri
melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meski yang lain mungkin
belum melihatnya. Hadits ini menurut Fatwa MUI,
adalah bisa berlaku manakala Daulah Islamiyah Global telah terbentuk.
Bila ini belum, maka mengikuti pemerintah masing-masing dulu saja. KAPAN sih AWAL RAMADHAN 1430 H..? (Menurut Hadits di atas dgn HISAB-RUKYAT) RUKYAH HILAL – SULIT Ada
yang mengatakan, bahwa Rukyah Hilal itu SULIT. Dan ini pula yang
mendasari Muhammadiyah mengambil keputusan untuk tidak melakukan Rukyah
lagi. Tetapi Muhammadiyah sebenarnya masih mengakui adanya dan
muktabarnya Rukyah, bila terjadi perselisihan dengan Hisab. Dalam Himpunan Putusan Tarjih di halaman 149 disebutkan, sbb: 11. Masalah Hisab Dan Ru’yah “Dialah
yang membuat matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menentukan
gugus manazil-manazilnya agar kamu sekalian mengerti bilangan tahun dan
hisab.” (Al-Quran surat Yunus ayat 5). Apabila
ahli hisab menetapkan bahwa bulan belum tampak (tanggal) atau sudah
wujud tetapi tidak kelihatan, padahal kenyataan ada orang yang melihat
pada malam itu juga; manakah yang mu’tabar. Majlis Tarjih memutuskan
bahwa Di lapangan sering muncul kata-kata, “saya sudah 30 kali rukyah, tapi belum pernah bisa melihat”. dan semacamnya…. Apakah
benar Rukyah hilal itu sulit….? Saya mengatakan bahwa Rukyah Hilal,
mudah; tetapi juga sulit. Tergantung kita memahami persalannya atau
tidak. Dan Rukyah Hilal tidak sekedar untuk menentukan awal Ramadhan,
Syawwal dan Dzul Hijjah. Tetapi saya mencoba melakukan 2 kali sebulan,
adalah untuk ‘time keeping’. Dan saya merasa selama Rukyah Hilal itu
dipandu dengan HISAB yang benar, maka yang terjadi adalah sesuatu yang
menyenangkan dan mudah. Selama 3 kali saya Rukyah, ternyata saya
bisa melihat hilal minimal sekali. Saya melakukan kegiatan Rukyah sejak
2005 setelah bergabung dengan ICOP. Dan saya aktif memberikan laporan
baik ke RHI, ICOP juga ke MCW. CONTOH APLIKASI HISAB-RUKYAT MENENTUKAN AWAL RAMADHAN 1430 H: Hari Pertama Ijtimak: Peluang Rukyah nya: Hilal Negatif… Hari Kedua Ijtimak: Peluang melihat Hilal : Hilal Mudah dilihat, asal cerah… Itu khan di Sukoharjo, Jawa Tengah…belum seluruh wilayah Indonesia. OK,
berikut simulasi Rukyah Hilal dari dua lokasi di Indonesia,
masing-masing Banda Aceh mewakili koordinat Indonesia bagian barat dan
Merauke mewakili koordinat Indonesia bagian timur. Simulasi Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Aceh: Simulasi Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Aceh: Simulasi Hilal hari pertama ijtimak/konjungsi di Merauke: Simulasi Hilal hari kedua ijtimak/konjungsi di Merauke: Selamat menghisab
Berpuasa
dan Id Fitrah itu dengan ru’yah dan tidak berhalangan dengan hisab.
Menilik hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw
bersabda: ”Berpuasalah karena melihat tanggal dan berbukalah karena
melihatnya. Maka bilamana tidak terlihat olehmu, maka sempurnakan
bilangan bulan sya’ban tiga puluh hari.
ru’yahlah yang mu’tabar. Menilik hadits dari Abu Hurairah r.a. yang berkata bahwa Rasulullah bersabda:”Berpuasalah karena kamu melihat tanggal dan berbukalah (berlebaranlah) karena kamu melihat tanggal. Bila kamu tertutup oleh
mendung, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban 30 hari.”(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Ada beberapa alasan bagi kebolehan penggunaan hisab, baik dari sudut pandang syar’i maupun dari sudut pandang astronomis (falakiah). Pertama, semangat al-Quran adalah penggunaan hisab. Dalam surat ar-Rahman ayat 5 ditegaskan bahwa matahari dan Bulan beredar dengan hukum yang pasti dan peredarannya itu dapat dihitung. Ayat ini tidak sekedar memberi informasi, tetapi juga mengandung dorongan untuk melakukan perhitungan gerak matahari dan Bulan. Kemudian ayat 5 dari surat Yunus menegaskan bahwa kegunaan perhitungan gerak matahari dan Bulan itu antara lain adalah untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Atas dasar itu Syaikh Syaraf al-Qudah dari Yordania menegaskan, “Pada asasnya perhitungan bulan kamariah itu adalah dengan menggunakan hisab.”
Kalau memang semangat al-Quran adalah hisab, lalu mengapa Nabi saw sendiri menggunakan dan memerintahkan melakukan rukyat? Menurut Muhammad Rasyid Rida dan Mustafa az-Zarqa’, perintah melakukan rukyat itu adalah perintah berilat, maksudnya perintah yang disertai ilat (kausa hukum). Menurut kaidah fikhiah, hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Apabila ada ilatnya, maka hukum diberlakukan dan apabila tidak ada ilatnya, maka hukum tidak berlaku. Ilat perintah rukyat adalah keadaan umat yang ummi (tidak kenal baca tulis dan hisab) pada zaman Nabi saw. Ini ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi saw bersabda, “Kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian. Maksud beliau terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari.” Ini artinya bahwa setelah keadaan ummi itu hilang dan umat Islam telah menguasai baca tulis dan pengetahuan hisab, maka rukyat tidak digunakan lagi dan kembali kepada prinsip pokok, yaitu hisab.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyala
h sarana untuk mengetahui masuknya bulan baru. Sebagai sarana, rukyat merupakan sarana yang lemah dan tidak begitu akurat. Hisab yang menggunakan kaidah-kaidah astronomi lebih memberikan kepastian dan akurasi tinggi, serta terhindar dari kemungkinan keliru dan kedustaan. Oleh karena itu, menurut Yusuf al-Qaradawi, apabila kita telah memiliki sarana yang lebih pasti dan akurat, maka mengapa kita harus jumud bertahan dengan suatu sarana yang tidak menjadi tujuan pada dirinya. Ahmad Muhammad Syakir, ahli hadis abad ke-20 dari Mesir yang menurut al-Qaradawi merupakan seorang salafi murni, menegaskan bahwa wajib menggunakan hisab untuk menentukan bulan kamariah dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
Kedua, alasan astronomi, bahwa dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Dr. Nidhal Qasum, salah seorang penulis, mengeluh karena menurutnya adalah suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga hari ini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas, padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, ketiadaan kalender Islam terpadu hingga hari ini disebabkan oleh kuatnya umat Islam berpegang kepada faham rukyat sehingga tidak dapat membuat suatu sistem penanggalan yang akurat dan kuat. Haruslah diakui bahwa rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan, karena tanggal baru bisa diketahui dengan metode rukyat pada h-1.
Ketiga, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya rukyat memaksa umat Islam untuk berbeda memulai awal bulan kamariah termasuk bulan-bulan ibadah. Hal itu adalah karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat pada visibilitas pertama tidak dapat mengkaver seluruh muka bumi, sehingga pada hari yang sama ada muka bumi yang telah merukyat dan ada muka bumi yang belum dapat merukyat. Akibatnya adalah bahwa yang telah berhasil merukyat akan memulai bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, dan bagian muka bumi yang belum dapat merukyat akan menggenapkan bulan berjalan dan memulai bulan baru lusa, sehingga terjadilah perbedaan memulai tanggal.
Ragaan 1 memperlihat keadaan rukyat Syawal 1404 H pada hari Jumat tanggal 29 Juni 1984. Daerah dalam garis lengkung adalah kawasan yang dapat melihat hilal Syawal 1404 H pada hari Jumat sore 29 Juni 1984. Ini berati bahwa kawasan tersebut (sebagian besar benua Amerika dan satu kawasan kecil di Afrika) memasuki 1 Syawal 1404 pada hari Sabtu 30 Juni 1984. Sedangkan kawasan di luar garis lengkung yang meliputi Eropa, Asia, Australia dan Afrika kecuali satu kawasan kecil di pantai barat, memasuki 1 syawal 1404 lusa, yaitu hari Ahad 1 Juli 1984 karena kawasan itu belum dapat merukyat pada hari Jumat sore sehingga harus menggenapkan Ramadan 30 hari. [Catatan: menag tahun 1984 mengumumkan Idulfitri 1404 H jatuh hari Sabtu 39 Juni 1984 atas dasar laporan rukyat dari beberapa tempat (tinggi Bulan 2º s/d 2,5º). Thomas Djamaluddin mengeliminir rukyat ini dan menganggapnya tidak akurat, para perukyat terkicuh oleh obyek-onyek bumi atau angkasa].
Selain itu rukyat secara normal hanya dapat dilakukan dari kawasan yang terletak 60º ke utara dan ke selatan dari garis khatulistiwa. Kawasan pada garis lingtang tinggi (di atas 60º) akan terlambat dapat melihat hilal. Bahkan pada kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin Bulan hanya terlihat pada saat telah besar.
Lingkaran Artika adalah kawasan di atas garis lintang utara 66º 33’ 39” untuk tahun 2009, dan Lingkaran Antartika adalah kawasan di atas garis lintang selatan. Kawasan itu adalah kawasan yang mengalami malam terus menerus selama musim dingin dan siang terus menerus selama musim panas. Lama malam dan siang pada musim-musim tersebut tergantung jaraknya ke kutub. Semakin dekat ke kutub semakin lama malam dan siang terus menerusnya. Di kutub sendiri malam dan siang terus menerus mencapai 6 bulan. Pada musim dingin itu matahari berada di bawah ufuk. Oleh karena itu Bulan ketika melintasi garis konjungsi berada dekat matahari dan karena itu juga tidak muncul ke atas ufuk, kecuali setelah amat jauh dari garis konjungsi, yaitu saat Bulan itu sudah sangat besar. Oleh karena itu rukyat tidak bisa dipedomani karena munculnya Bulan yang tidak normal.
Keempat, jangkauan rukyat terbatas, di mana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh maksimal 9 atau 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin untuk menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Jadi orang Indonesia tidak mungkin menanti terjadinya rukyat di New York (selisih waktu 12 jam) karena ketika di New York rukyat terjadi sekitar pukul 06:00 sore misalnya, di Indonesia sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan kamariah di seluruh dunia.
Kelima, rukyat tidak memungkinkan orang di seluruh dunia untuk melakukan puasa Arafah pada hari yang sama. Apabila di Mekah pada suatu sore rukyat telah berhasil dilakukan, sementara di Indonesia belum dapat dilakukan, maka akibatnya terjadi perbedaan memasuki bulan Zulhijah dan akibatnya terjadi perbedaan jatuhnya tanggal 9 Zulhijah sehingga terjadi perbedaan atau permasakahan mengenai pelaksanaan puasa Arafah.
Oleh karena itu dalam upaya dunia Islam saat ini untuk menyatukan penanggalan Hijriah internasional, rukyat telah ditinggalkan. Ini tercermin dalam keputusan “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Second Experts’ Meeting for the Study of Establishment of Islamic Calendar)” yang diselenggarakan oleh ISESCO di Rabat 15-16 Oktober 2008 yang berbunyi:
Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.
Pada saat ini ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu lembaga OKI (Organisasi Konferensi Islam) sedang melakukan uji validitas empat usulan kalender Islam terpadu berdasarkan prinsip hisab guna menyatukan sistem penanggalan hijriah di seluruh dunia. Uji validitas dilakukan untuk 90 tahun ke depan hingga tahun 2100.
Tahun ini terjadi empat lebaran baik tingkat nasional maupun internasional. Mengapa hal ini terjadi ?, menurut Fahmi Amhar karena umat Islam tidak bersatu dan tidak memiliki institusi pemersatu di level global (Kedaulatan Rakyat, 19 Oktober 2006, p. 12). Karena itu menurut hemat penulis, sudah saatnya para ahli terkait duduk bersama tanpa tendensi politis merumuskan teori yang sesuai tuntutan syar'i dan sains. Bila pemahaman Islam tanpa didukung sains maka akan memunculkan fanatisme sempit (Komaruddin Hidayat, The Jakarta Post, 10 Nopember 2006, p. 24).
Hal ini nampak pada artikel yang ditulis oleh K.H. Maimun Zubair yang dimuat di website NU. Dalam tulisannya Maimun Zubair menyatakan bahwa "orang yang berbuka pada hari Senin, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senin, atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar'iyyah yang dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan as-salaf as-salih yang senantiasa berpegang pada al-Qur'an dan as-Sunnah (http : www.nu.or.id)". Bahkan menurutnya, mereka yang berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006 dianggap menentang waliyyul amri (Departemen Agama).
Berdarkan realitas tersebut kiranya perlu dipaparkan kembali awal Syawal 1427 H di berbagai negara. Hal ini dimaksudkan untuk menambah wawasan sekaligus untuk refleksi bersama.
22 Oktober 2006
Berdasarkan laporan Islamic Crescents' Observation Project (ICOP), negara yang berlebaran pada hari Ahad 22 Oktober 2006 adalah Nigeria. Bashir Sani salah seorang anggota ICOP melaporkan tentang keunikan yang terjadi di Nigeria tentang laporan rukyatul hilal. Keanehan ini terjadi lagi pada tahun ini ada kelompok yang mengaku berhasil melihat hilal awal Syawal pada Sabtu sore tanggal 21 Oktober 2006. Padahal ijtimak baru terjadi pada hari Ahad 22 Oktober 2006 pukul 6:15 am. Di Indonesia juga ada kelompok yang berlebaran pada hari Ahad 22 Oktober 2006, yaitu Jamaah Tariqat Naqsyabandiyah masjid al-Anwar di Padang (TV7, Berita Sore, 22 Oktober 2006).
23 Oktober 2006
ICOP melaporkan ada 31 negara yang berlebaran pada hari Senin 23 Oktober 2006. Jumlah ini tidak termasuk Indonesia, meskipun telah dilaporkan oleh Suwandojo Siddiq dan Mutoha dari Indonesia ke ICOP, bahwa Muhammadiyah berdasarkan surat edaran No. 12/MI.M/1.0/E 2006 menetapkan 1 Syawal 1427 H jatuh pada hari Senin 23 Oktober 2006. Negara-negara dimaksud antara lain, Saudi Arabia (istikmal), Emirat Arab (istikmal), Kuwait (istikmal), Bahrain (istikmal), Qatar (istikmal), Yaman (istikmal), Irak (istikmal), Sudan (istikmal), Turkey (hisab), Swedia (hisab), Ukraina (hisab), Denmark (hisab), Perancis (hisab), Italy (hisab), dan Belanda (hisab).
Menurut Anwar Muhammad salah seorang anggota ICOP dari Saudi Arabia melaporkan bahwa tim rukyatul hilal Saudi Arabia tidak berhasil melihat hilal. Pada saat itu tim menggunakan GPS, komputer, teleskop, dan binokuler, yang tersebar di tiga tempat, yaitu Ahsa, Riyad, dan Madinah al-Munawwarah. Begitu pula Bacil Moudhaffar salah seorang anggota ICOP dari Irak melaporkan tidak berhasil melihat hilal di Bagdad meskipun menggunakan binokuler.
24 Oktober 2006
Data yang terhimpun oleh ICOP menunjukkan bahwa negara yang berlebaran pada hari Selasa 24 Oktober 2006 berjumlah 22 negara, termasuk Indonesia. Negara-negara dimaksud antara lain, Malaysia (istikmal), Brunai Darussalam (istikmal), Sri lanka (istikmal), Mesir (istimal), Iran (istikmal), Jordan (istikmal), Spanyol (istikmal), Jerman (istikmal), dan Australia.
Berdasarkan laporan Kassim Bahali, tim rukyatul hilal Malaysia yang melakukan rukyat di pos observatorium Khwarizmi tidak berhasil melihal hilal awal Syawal. Karena itu, awal Syawal di Malaysia ditetapkan pada hari Selasa 24 Oktober 2006. Begitu halnya tim rukyatul hilal Brunai Darussalam yang tersebar di berbagai tempat, seperti Bukit Shahbandar, Jerudong, Bukit Ambak, dan Bukit Lumut tidak berhasil melihat hilal awal Syawal, maka awal Syawal 1427 H di Brunai Darussalam jatuh pada hari Selasa 24 Oktober 2006.
Sementara itu, Hossein Ebrahimpour anggota ICOP dari Australia melaporkan berhasil melihat hilal pada hari Senin 23 Oktober 2006 di Newcastle Australia.
25 Oktober 2006
Ada dua negara yang berlebaran pada hari Rabu 25 Oktober 2006, yaitu India dan Pakistan. Hal ini terjadi karena menurut laporan Mohammed Amin, berdasarkan data hisab pada hari Senin 23 Oktober 2006 posisi hilal di wilayah India masih tipis dan masih dibawah standar imkanur rukyat yang dipedomani para ahli falak di India. Pada saat itu juga tidak ada laporan keberhasilan rukyat. Begitu halnya di Pakistan, Fahmi Hashmi dan Saiful Islam melaporkan bahwa tim rukyatul hilal yang diketuai mufti Munib-ur- Rehman mengumumkan pada hari Senin tidak berhasil melihat hilal. Oleh karena itu awal Syawal 1427 H ditetapkan jatuh pada hari Rabu bertepatan dengan tanggal 25 Oktober 2006.
Di Indonesia dilaporkan juga ada kelompok masyarakat yang berlebaran pada hari Rabu 25 Oktober 2006. Kelompok ini berpegang pada sistem Aboge (selengkapnya baca http : www.hidayatullah.com).
Tabel Awal Syawal 1427 di Berbagai Negara
22 Oktober 2006 | 23 Oktober 2006 | 24 Oktober 2006 | 25 Oktober 2006 |
Nigeria dan Indonesia. | Saudi Arabia, UAE, Kuwait, Bahrain, Qatar, Pakistan, Irak, Lebanon, Libya, Sudan, Yaman, Tunisia, Somalia, Djibonti, Senegal, Turkey, Swedia, Austria, Ukraina, Denmark, Norwegia, Czeck, Belanda, Italy, Perancis, Belgia, Australia, UK, Canada, Guyana, USA, dan Indonesia. | Malaysia, Brunai Darussalam, Philipina, Sri Lanka, Iran, Oman, Jordan, Syria, Mesir, al-Jazair, Maroko, Afrika Selatan, Tanzania, Malawi, Spanyol, Jerman, Australia, UK, Canada, Guyana, USA, dan Indonesia. | India, Pakistan, dan Indonesia. |
2 negara | 32 negara | 22 negara | 3 negara |
Memperhatikan data awal Syawal 1427 H diberbagai negara terlihat lebaran ganda tahun ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Karena itu pernyataan Maimun Zubair yang menyatakan mereka yang berlebaran hari Senin 23 Oktober 2006 dianggap sesat dan menentang waliyyul amri (Depag) terlalu berlebihan dan menyudutkan kelompok lain, terutama Persyarikatan Muhammadiyah. Sebaiknya di era reformasi dan informasi sikap seperti itu dihindari dan tidak perlu terjadi. Sekiranya belum ada titik temu sikap yang perlu dikembangkan adalah independensi dan dialog (meminjam istilah Ian G. Barbour) atau dalam bahasa Amien Rais "lakum ru'yatukum waliy hisabiy (bagimu rukyatmu dan bagiku hisabku)" (baca Republika, Rabu 14 Januari 1998).
Namun demikian langkah-langkah menuju unifikasi perlu diusahakan secara bertahap dan terencana terutama kajian ulang terhadap standar imkanur rukyat yang dipedomani Departemen Agama RI, sebagaimana yang diamanatkan dari hasil Musyawarah Ulama Ahli Hisab dan Ormas Islam tentang Kriteria Imkanur Rukyat di Indonesia pada tanggal 24-26 Maret 1998/25-27 Zulkaidah 1418 H di Hotel USSU, Cisarua-Bogor, hingga kini belum direspons dan ditindaklanjuti oleh Departemen Agama RI.
Dunia Islam telah mengenal banyak kelender, akan tetapi kalender-kalender itu lebih merupakan kalender lokal yang hanya cocok bagi daerah untuk mana ia dibuat. Memang ada suatu kalender Islam yang dapat dianggap bersifat internasional, yaitu kalender hisab urfi. Kalender ini merupakan sistem penanggalan yang tertua dalam sejarah Islam dan digunakan secara luas bahkan hingga saat ini. Akan tetapi kalender ini juga banyak memiliki kelmahan baik secara teknis maupun dari segi kesesuaiannya dengan Sunnah Nabi saw sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian lain.
Ketiadaan kalender komprehensif dan terunifikasi di kalangan umat Islam menyebabkan Dunia Islam mengalami semacam kekacauan pengorganisasian waktu. Hal ini tampak sekali dalam kenyataan bahwa untuk hari raya idul fitri atau idul adha misalnya bisa terjadi perbedaan yang mencapai empat hari. Idul fitri tahun lalu (1428 H), misalnya, jatuh pada hari yang bervariasi sejak dari hari Kamis, Jumat, Sabtu hingga hari Ahad.
Menyadari kenyataan ini dan sebagai upaya menyatukan sistem waktu dalam dunia Islam, para ahli di bidang ini telah mulai melakukan riset dan pengkajian untuk menemukan suatu bentuk kalender Islam internasional yang bersifat unifikasi. Pioner dalam arah ini dapat disebut nama Mohammad Ilyas dari Malaysia yang telah mewakafkan seluruh kehidupan ilmiah untuk bidang ini.
Diakui bahwa upaya tersebut hingga hari ini memang belum mencapai kesepakatan bulat, karena masih terdapat beberapa hal prinsipil yang harus didiskusikan dan disepakati. Akan tetapi paling tidak sudah terdapat gerak yang semakin mendekat kepada titik temu bersama. Bagaimana usulan-usulan yang muncul dan sejauhmana kemajuan yang telah dicapai dalam bidang ini akan coba disajikan dalam tulisan ini. Namun pembicaraan akan didahului dengan uraian tentang arti penting kalender dalam agama dan peradaban Islam dan permasalahannya.
Setelah membaca artikel Susiknan Azhari berjudul "Menggagas Paradigma Baru Hisab di Muhammadiyah" (SM No. 8/91, Tahun 2006), saya merasa perlu memberikan sedikit masukan sebagai bahan pertimbangan demi tercapainya apa yang diharapkan oleh penulis artikel tersebut, pada khususnya, dan Muhammadiyah pada umumnya.
Perlu dikemukakan bahwa di kalangan kaum Muslimin yang menggunakan hisab, termasuk di Indonesia, ada dua pendapat atau madzhab yang
tampaknya tidak mudah dipertemukan: hisab `urfi dan hisab haqiqi. Bahkan di kalangan pengikut madzhab hisab haqiqi pun, termasuk
sementara warga Muhammadiyah, perbedaan pendapat juga ditemukan. Perbedaan tersebut tentu saja menimbulkan perbedaan, terutama. dalam
menentukan awal bulan Ramadlan dan Syawwal.
Hisab 'Urfi
Hisab `urfi (`urf = kebiasaan atau tradisi) adalah hisab yang melandasi perhitungannya dengan kaidah-kaidah tradisional. Sedangkan
hisab haqiqi (haqiqah= realitas atau yang sebenarnya) dengan menggunakan kaidah-kaidah astronomik dan matematik.
Menurut hisab `urfi, umur setiap bulan Qamariyah ditentukan berdasarkan pemerataan (averaging) waktu peredaran bulan mengelilingi
bumi dalam setahun (354 11/30 hari). Dari angka pecahan ini dapat diperoleh data bahwa dalam 1 daur atau 1 siklus (yakni 30 tahun)
terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitat).
Tahun kabisat berumur 355 hari, sedangkan tahun basitat berumur 354 hari. Tahun-tahun panjang (kabisat) pada setiap daur ditetapkan
(dengan dasar yang tidak jelas, tetapi diakui secara tradisional) pada tahun-tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26, dan ke-29.
Sedangkan tahun-tahun lainnya dinyatakan sebagai tahun-tahun basitat. Mengenai umur setiap bulan Qamariyah, hisab `urfi menetapkan (juga
dengan dasar yang tidak jelas, tetapi diakui secara tradisional) bahwa bulan-bulan gasal (diawali dengan bulan Muharram) selalu berumur 30
hari, sedangkan bulan-bulan genap (diawali dengan bulan Shafar) selalu berumur 29 hari (lihat tabel). Tetapi khusus pada tahun kabisat, bulan
Dzulhijjah (bulan genap) dihitung berumur 30 hari. Karena umur setiap bulan sudah ditentukan sedemikian rupa secara definitif, maka madzhab
hisab ini sama sekali tidak memerlukan ru'yatul hilal.
Tabel Distribusi Umur Bulan Qamariyah Menurut Hisab `Urfi
No. Nama Bulan Umur (hari)
1. Muharram 30 hari
2. Shafar 29 hari
3. Rabi'ul Awwal 30 hari
4. Rabi'ul Akhir 29 hari
5. Jumadal Ula 30 hari
6 Jumadal Akhirah 29 hari
7. Rajab 30 hari
8. Sya'ban 29 hari
9. Ramadlan 30 hari
10. Syawwal 29 hari
11. Dzulqa'dah 30 hari
12. Dzulhijjah 29 hari*
* Pada tahun kabisat berumur 30 hari.
Berdasarkan hisab `urfi ini tanggal 1 Muharram tahun 1 Hijriyyah jatuh pada hari Kamis atau Jum'at tanggal 15 atau 16 Juli tahun 622 M.
Karena itu tahun 1427 H sekarang ini merupakan tahun ke-17 dalam daur ke-48, yang berarti tahun basitat. Dengan demikian umur bulan
Dzulhijjah tahun ini adalah 29 hari.
Enam Madzhab Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi sendiri terdiri dari 6 madzhab atau aliran: (1) madzhab ijtima` qablal-ghurub, (2) madzhab ijtima` qablal-fajr, (3) madzhab
hilal di atas ufuq haqiqi, (4) madzhab hilal di atas ufuq hissi, (5) madzhab hilal di atas ufuq mar'i, dan (6) madzhab hilal pada
imkanur-ru'yat.
Madzhab pertama dan kedua pada dasarnya hanya berpegang pada peristiwa ijtima` (lengkapnya ijtima`un-nayirain) atau conjunction, yakni
bertemunya matahari dan bulan pada bujur astronomik (dawa'irul-buruj) yang sama, tanpa mempertimbangkan posisi hilal di ufuq barat pada saat
terbenam matahari di akhir bulan yang sedang berjalan. Karena itu, bagi kedua madzhab ini ru'yatul-hilal tidak dianggap penting.
Menurut madzhab pertama, bila ijtima` terjadi sebelum matahari terbenam, berarti keesokan harinya sudah masuk tanggal 1 bulan baru.
Sedangkan, menurut madzhab kedua, bila ijtima` terjadi sebelum terbit fajar pada akhir bulan yang sedang berjalan, berarti sisa malam itu
sudah termasuk tanggal 1 bulan berikutnya. Setahu saya, madzhab kedua ini banyak dianut umat Islam di Arab Saudi, sedangkan di Indonesia
hanya dianut oleh sebagian kecil umat Islam saja.
Madzhab ketiga sampai dengan keenam pada dasarnya menetapkan awal bulan Qamariyah berdasarkan posisi hilal di ufuq barat pada saat
matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan. Menurut madzhab ketiga, tanggal 1 dinyatakan sudah masuk bila posisi hilal ada di atas
ufuq haqiqi. Ufuq haqiqi adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus dengan garis vertikal dari si pengamat. Madzhab
ini tidak mempermasalahkan koreksi-koreksi dengan tinggi tempatpengamat (Dip), parallaks (ikhtilaful-manzar) atau beda lihat,
refraction (daqa'iqul-ikhtilaf) atau pembiasan sinar, dan jari-jari atau semidiameter bulan.
Madzhab keempat (hilal di atas ufuq hissi) berpendirian, bila pada saat matahari terbenam di akhir bulan yang sedang berjalan hilal sudah
ada (wujud, exist) di atas ufuq hissi, berarti malamnya sudah dianggap tanggal 1 bulan baru. Ufuq hissi adalah bidang datar yang melewati
mata si pengamat dan sejajar dengan ufuq haqiqi. Berbeda dengan madzhab ketiga, yang memperhitungkan tinggi hilal dari titik pusat
bumi, madzhab ini memperhitungkan tinggi hilal dari atas permukaan bumi. Madzhab keempat ini, meskipun kurang populer, diakui
eksistensinya oleh Musyawarah Hisab yang diadakan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama pada tahun 1970 di Yogyakarta.
Madzhab kelima (hilal di atas ufuq mar'f), yang merupakan pengembangan dari madzhab ketiga dan keempat, berpegang pada posisi hilal di atas
ufuq mar'i (visible horizon). Ufuq mar'i adalah bidang datar yang merupakan batas pemandangan mata pengamat. Madzhab kelima ini, yang
antara lain diikuti oleh almarhum Sa`adoeddin Djambek, ketua Badan Hisab dan Ru'yat Departemen Agama yang pertama dan Mantan Ketua
Majelis Pendidikan dan Pengajaran Pusat (Mapendappu) PP Muhammadiyah, melengkapi perhitungannya dengan koreksi-koreksi kerendahan ufuq
(Dip), refraction, parallaks dan semidiameter bulan (yang rata-rata sekitar 16 menit busur). Madzhab ini dapat dipadukan dengan
ru'yatul-hilal.
Terakhir, madzhab kelima (hilal pada imkanur-ru'yat) menetapkan bahwa posisi hilal di ufuq barat pada saat matahari terbenam setelah
terjadinya ijtima` di akhir bulan yang sedang berjalan harus mencapai ketinggian tertentu yang memungkinkan untuk dilihat (ru'yat). Dalam
hal ini ada perbedaan mengenai tinggi hilal itu, tetapi biasanya berkisar antara minimal 5 derajat dan maksimal 10 derajat di atas
ufuq. Batas minimal ketinggian hilal yang ditetapkan oleh Badan Hisab dan Ru'yat Internasional yang berpusat di Istanbul (Turki) adalah 7
derajat.
Sampai di sini kiranya jelas bahwa perbedaan dalam menetapkan awal Ramadlan dan Syawwal (`Idul-Fitri) tidak hanya disebabkan oleh
perbedaan cara atau metodenya: ru'yat dan hisab, tetapi juga disebabkan oleh berbagai macam madzhab hisab yang dipergunakan.
Perbedaan Penafsiran
Menurut hemat saya perbedaan-perbedaan cara menentukan awal Ramadlan dan Syawwal itu, selain disebabkan oleh perbedaan data astronomik yang
diacu, juga berakar pada perbedaan pemahaman dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang terkait. Pada umumnya umat Islam menafsirkan
firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 185 sebagai alasan pembenaran (raison d'etre) dan bahkan sebagai bukti sahnya ru'yatul-hilal;
apalagi dalam hadits dijelaskan bahwa Nabi selalu melakukan ru'yat atau istikmal (penggenapan bulan Sya`ban menjadi 30 hari) bila cuaca
tidak memungkinkan dilakukannya ru'yatul-hilal.
Bila kita perhatikan secara seksama sebenarnya kata-kata yang dipakai dalam firman Allah tersebut bukanlah ra'a, yara, ru'yat, melainkan
syahida, yang pengertiannya tidak terbatas pada penglihatan dengan mata kepala. Selain itu ayat tersebut juga tidak menggunakan kata-kata
hilal, badr atau qamar; melainkan syahr yang semakna dengan month (bukan moon atau crescent) dalam bahasa Inggris. Dengan demikian,
secara etimologik, frasa syahidasy-syahr tidak sama dengan ra'al-hilal. Menurut pendapat saya, ru'yatul-hilal adalah salah
satu—bukan satu-satunya—cara untuk mengetahui awal bulan itu.
Perbedaan pemahaman juga terjadi terhadap firman Allah dalam Q.S. Al-Baqarah (2): 187 dan Q.S. Yaasin (36): 39. Q.S. Al-Baqarah (2): 187
yang artinya: "Makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, [karena cahaya] fajar." Oleh para pengikut madzhab
hisab ijtima` qablal-fajr dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah fajar. Sedangkan Q.S. Yaasin (36): 39, yang artinya: "Dan telah
Kami tetapkan posisi-posisi (manazil) bulan hingga ia kembali seperti pelepah bunga kelapa (`urjun) yang tua," oleh para penganut madzhab
hisab qablal-ghurub dianggap sebagai alasan bahwa batas hari adalah terjadinya ijtima`, bukan fajar dan bukan pula terlihatnya bulan di
saat matahari terbenam pada akhir bulan yang sedang berjalan.
Saya sengaja tidak memberikan penilaian terhadap berbagai macam madzhab atau metode yang selama ini dianut oleh umat Islam, di
Indonesia khususnya. Saya hanya berharap, mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi catatan tambahan atas artikel saudara Susiknan
Azhari—atau bahkan sedikit memberi jawaban terhadap beberapa pertanyaan yang secara implisit dikemukakannya.[]
Penjelasan Fiqh Gerhana : "Kasus Dua Gerhana Juli 2009" |
Gerhana adalah peristiwa masuknya suatu benda langit ke dalam bayanag-bayang benda langit lain. Setiap benda langit yang mengorbit di angkasa selalu menghela bayang-bayangnya yang timbul akibat pancaran sinar matahari ke arahnya, seperti dalam kehidupan di Bumi kita melihat bahwa sebatang pohon atau sebuah bangunan akan menimbulkan bayang-bayang pada saat disinari matahari. Begitu pula halnya benda-benda langit. Apabila suatu benda langit melintas di dalam bayang-bayang tersebut, maka terjadilah gerhana bagi benda langit tersebut.
Gerhana Bulan bagi kita di Bumi adalah peristiwa ketika Bulan melintas pada bayang-bayang Bumi. Hal ini terjadi pada saat oposisi, yaitu ketika Matahari, Bumi dan Bulan berada pada satu garis lurus di mana Bumi berada di tengah. Oposisi adalah lawan konjungsi, di mana pada konjungsi Bulan berada di tengah, sementara pada oposisi Bumi yang berada di tengah. Gerhana Bulan hanya terjadi pada saat oposisi dan tidak akan terjadi pada saat lain. Saat oposisi itu adalah pada waktu Bulan Purnama. Jadi gerhana Bulan hanya terjadi pada saat Bulan Purnama. Akan tetapi perlu sangat diperhatikan bahwa tidak setiap saat oposisi atau saat Bulan Purnama pasti terjadi gerhana Bulan, karena Bulan saat oposisi itu tidak selalu berada persis pada garis lurus antara ketiga benda langit itu. Jadi singkatnya gerhana Bulan hanya terjadi pada saat opsisi, tetapi tidak pada setiap saat oposisi terjadi gerhana Bulan.
Bayang-bayang Bumi itu ada dua macam, yaitu (1) bayang-bayang inti yang pekat (gelap) yang disebut umbra, dan (2) bayang-bayang semu yang tidak pekat dan berada di laur atau menyelimuti bayang-bayang inti, dan disebut penumbra. Gerhana Bulan total terjadi apabila seluruh badan Bulan masuk dalam bayang-bayang pekat (umbra) Bumi. Apabila badan Bulan hanya berada dalam bayang-bayang semu (penumbra), maka keadaan itu disebut gerhana Bulan penumbral. Lebih lanjut, apabila sebagian badan Bulan masuk ke dalam bayang-bayang pekat (umbra) Bumi dan sebagian lain berada dalam bayang-bayang semu (penumbra), maka gerhana semacam itu disebut gerhana Bulan sebagian.
Karena Bulan berada di belakang Bumi saat gerhana Bulan, maka yang bisa melihat gerhana Bulan adalah orang yang berada pada separuh bola Bumi yang gelap yang menghadap ke Bulan dan membelakangi matahari. Sedangkan orang yang berada pada parohan bagian Bumi yang terang karena menghadap Matahari tidak dapat melihat gerhana Bulan karena ia membelakangi Bulan (Bulan yang sedang gerhana berada di sebalik Bumi).
Namun dikecualikan dalam kasus yang disebut dengan gerhana horizontal, yaitu orang di kawasan muka bumi yang dapat melihat matahari saat menjelang terbenam atau sesaat setelah terbit dan sekaligus dapat melihat Bulan yang sedang gerhana di dekat ufuk. Sebenarnya ketika Matahari menjelang terbenam dan sekaligus Bulan Purnama sedang gerhana itu, Bulan sesungguhnya berada di bawah ufuk. Namun akibat adanya refraksi cahaya melalui atmosfer Bumi, maka posisi Bulan tampak menjadi sedikit lebih tinggi dari posisi geometrisnya yang sebenarnya sehingga dapat dilihat. Hal ini terjadi pada setiap gerhana bagi orang di bagian muka bumi yang sedang menjelang matahari terbenam atau sesaat sesudah terbit dan Bulan baru saja terbenam atau segera akan terbit.
Pada tanggal 7 Juli 2009 M (14 Rajab 1430 H) akan terjadi gerhana Bulan penumbral, yaitu Bulan Purnama masuk ke dalam bayang-bayang semu (penumbra) Bumi. Tidak semua badan Bulan masuk ke dalam penumbra Bumi, sehingga gerhana Bulan penumbral 7 Juli besok itu tidak akan begitu dirasakan. Gerhana Bulan mulai pada pukul 08:38 Waktu Universal (WU) atau pukul 15:38 WIB dan berakhir pukul 10:40:21 WU atau pukul 17:40:21 (menurut shoftware Javascript Lunar Eclipse Explorer / JLEE). Menurut perhitungan kalender Muhammadiyah, gerhana Bulan tersebut mulai pukul 15:33 WIB dan berakhir pada pukul 17:44. Ini artinya di Yogyakarta awal gerhana tidak dapat dilihat di Yogyakarta karena Yogyakarta masih siang (pukul 15:33 WIB) dan Bulan masih 25º di bawah ufuk. Di lain pihak di Yogyakarta akan dapat dilihat gerhana horizontal menjelang matahari tenggelam dan Bulan sudah mendekati ufuk. Berhubung hari Selasa 7 Juli 2009 Matahari tenggelam di Yogyakarta pukul 17:35, maka kesempatan melihat gerhana hanya beberapa menit saja karena pada pukul 17:40 menurut JLEE atau pukul 17:44 menurut kalender Muhammadiyah gerhana berakhir.
Secara umum seluruh pulau Sumatera, bagian barat Jawa dan bagian barat Kalimantan tidak dapat melihat gerhana Bulan penumbral tanggal 7 Juli 2009 M. Bagian lainnya dapat melihatnya dan akan mengalami Bulan terbit dalam keadaan gerhana, artinya akan mengalami gerhana horizontal.
Gerhana Matahari adalah tertutupnya piringan matahari oleh piringan Bulan jika dilihat dari bumi karena Bulan saat itu berada persis di tengah-tengah antara bumi dan matahari. Dengan kata lain gerhana Matahari adalah masuknya Bumi masuk ke dalam bayangan gelap Bulan sehingga orang yang berada pada bagian bumi yang terkena bayangan gelap itu mengalami gerhana matahari.
Gerhana Matahari, yaitu tertutupnya piringan Matahari oleh Bulan dilihat dari permukaan bumi, bisa secara keseluruhan dan bisa juga sebagian. Apabila piringan matahari tertutup keseluruhannya, maka keadaan ini disebut gerhana total (al-kusf al-kull³). Dalam kasus gerhana total, bayangan Bulan ada dua macam, yaitu (a) bayangan gelap yang disebut umbra dan (b) bayangan semu yang disebut penumbra. Kawasan muka bumi yang terkena bayangan gelap Bulan (umbra) akan mengalami gerhana total dan kawasan muka bumi yang terkena bayangan semu (penumbra) akan mengalami gerhana sebagian. Bagian muka bumi yang terkena bayangan gelap Bulan (umbra) sehingga mengalami gerhana total itu tidak luas dan hanya merupakan jalur sempit sekitar 250 km.
Apabila jarak Bulan saat gerhana jauh dari bumi, maka piringan Bulan terlihat kecil dan tidak dapat menutupi seluruh piringan matahari, melainkan hanya menutupi bagian tengah saja dari piringan matahari, maka keadaan ini dinamakan gerhana cincin (al-kusf al-¥alq³), karena piringan matahari tampak seperti lingkaran (cincin) bercahaya. Dengan ungkapan berbeda dapat dikatakan bahwa gerhana cincin terjadi adalah karena bayangan gelap Bulan (umbra) tidak mencapai muka bumi karena Bulan berada pada posisi yang jauh dari bumi. Yang mengenai bumi adalah bayangan antumbra, sedangkan umbra tergantung dan tidak sampai ke muka bumi. Antumbra adalah bagian dari bayangan semu Bulan yang terletak di ujung kerucut bayangan gelap Bulan. Orang yang berada di dalam antumbra akan melihat gerhana matahari cincin dan orang yang berada di dalam penumbra akan melihat gerhana sebagian.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa gerhana ada tiga macam, yaitu gerhana matahari total, gerhana matahari cincin, dan gerhana matahari sebagian. Dalam beberapa sumber dikatakan bahwa ada jenis keempat dari gerhana matahari, yaitu yang disebut dengan gerhana hibrid, atau disebut juga gerhana anular-total. Artinya gerhana yang dari suatu tempat di muka bumi terlihat sebagai gerhana total, sementara pada tampat lain terlihat sebagai gerhana cincin.
Pada tahun ini (2009) terjadi dua kali gerhana matahari. Pertama, gerhana matahari cincin yang terjadi tanggal 26 Januari 2009 dan kedua, gerhana total Rabu 22 Juli 2009. Gerhana matahari total Rabu 22 Juli 2009 jejak bayang-bayang umbranya bermula dari Teluk Khambhat, India, pada pukul 00 :53 WU (07 :53 WIB), bergerak ke arah timur melintasi Nepal, Bangladesh, Myanmar, Cina, Jepang dan terus ke laut Pasifik di mana umbra meninggalkan planet bumi untuk kembali ke angkasa pada pukul 04 :18 WU (11 :18 WIB) setelah menyapu muka bumi sepanjang 15.200 km. Ragaan 4 memperlihatkan jejak gerhana total dan kawasan muka bumi yang terkena gerhana baik total maupun sebagian.
D. Fikih Gerhana
Terkait dengan gerhana salat sunnat gerhana. Dasar syar‘i salat gerhana matahari dan gerhana bulan ditunjukkan oleh sejumlah hadis, antara lain,
Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan) bahwa pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah saw, maka ia lalu menyuruh orang menyerukan “ash-shalatu jami‘ah”. Kemudian beliau maju, lalu mengerjakan salat empat kali rukuk dalam dua rakaat dan empat kali sujud [HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad].
Artinya: Dari Abu Mas’ud r.a., ia berkata: Nabi saw telah bersabda: Sesungguhnya matahari dan Bulan tidak gerhana karena kematian seseorang, akan tetapi keduanya adalah dua tanda kebesaran Allah. Maka apabila kamu melihat gerhana keduanya, maka berdirilah dan kerjakan salat [HR al-Bukhari dan Muslim].
Hadis pertama merupakan sunnah fikliah yang menggambarkan perbuatan Rasulullah saw melakukan salat saat terjadinya gerhana. Hadis kedua merupakan sunnah kauliah yang berisi perintah Nabi saw untuk melakukan salat pada saat terjadinya gerhana.
E. Cara Melaksanakan Salat Kusufain
1. Apabila terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan, maka dilaksanakan salat kusuf dan Imam menyerukan ash-shalatu jami‘ah. Salat kusuf dilaksanakan berjamaah, serta tanpa azan dan tanpa iqamah.
2. Salat kusufain dilakukan dua rakaat yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan rukuk, qiyam dan sujud dua kali pada masing-masing rakaat.
3. Pada masing-masing rakaat dibaca al-Fatihah dan surat panjang dengan jahar (oleh imam).
4. Setelah membaca al-Fatihah dan surat, diucapkan takbir, kemudian rukuk dengan membaca tasbih yang lama, kemudian mengangkat kepala dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah, rabban± wa lakal-¥amd, kemudian berdiri lurus, lalu membaca al-Fatihah dan surat panjang tetapi lebih pendek dari yang pertama, kemudian bertakbir, lalu rukuk sambil membaca tasbih yang lama tetapi lebih singgkat dari yang pertama, kemudian bangkit dari rukuk dengan membaca sami‘all±hu liman ¥amidah rabbana wa lakal-¥amd, kemudian sujud, dan setelah itu mengerjakan rakaat kedua seperti rakaat pertama.
5. Setelah selesai salat gerhana imam berdiri sementara para jamaah masih duduk, dan menyampaikan khutbah yang berisi wejangan serta peringatan akan tanda-tanda kebesaran Allah serta mendorong mereka memperbanyak istigfar, sedekah dan berbagai amal kebajikan. Khutbahnya satu kali karena dalam hadis tidak ada pernyataan khutbah dua kali.
3. Waktu Pelaksanaan Salat Kusufain
Salat kusufain dilaksanakan pada saat terjadinya gerhana, berdasarkan beberapa hadis antara lain,
Artinya: Dari al-Mughirah Ibn Syu‘bah r.a. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Terjadi gerhana matahari pada hari meninggalnya Ibrahim. Lalu ada orang yang mengatakan terjadinya gerhana itu karena meninggalnya Ibrahim. Maka Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana) [HR al-Bukhari].
Dalam hadis ini digunakan kata idz± (إذا) yang merupakan zharf zaman (keterangan waktu), sehingga arti pernyataan hadis itu adalah: Bersegeralah mengerjakan salat pada waktu kamu melihat gerhana yang merupakan tanda kebesaran Allah itu. Yang dimaksud dengan gerhana di sini adalah gerhana total (al-kusf al-kulli), gerhana sebagian (al-kusuf al-juz‘i) dan gerhana cincin (al-kusuf al-halqi) berdasarkan keumuman kata gerhana (kusuf).
Ibn Qud±mah menegaskan,
Waktu salat gerhana itu adalah sejak mulai kusuf hingga berakhirnya. Jika waktu itu terlewatkan, maka tidak ada kada (qadha) karena diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, Apabila kamu melihat hal itu, maka berdoalah kepada Allah dan kerjakan salat sampai matahari itu terang (selesai gerhana). Jadi Nabi saw menjadikan berakhirnya gerhana sebagai akhir waktu salat ... ... ... Apabila gerhana berakhir ketika salat masih berlangsung, maka salatnya diselesaikan dengan dipersingkat ... ... ... Jika matahari terbenam dalam keadaan gerhana, maka berakhirlah waktu salat gerhana dengan terbenamnya matahari, demikian pula apabila matahari terbit saat gerhana bulan (di waktu pagi) [Al-Mughni, II: 145].
Imam ar-Rafi‘i menegaskan,
Sabda Nabi saw Apabila kamu melihat gerhana, maka salatlah sampai matahari terang (selesai gerhana) menunjukkan arti bahwa salat tidak dilakukan sesudah selesainya gerhana. Yang dimaksud dengan selesainya gerhana adalah berakhirnya gerhana secara keseluruhan. Apabila matahari terang sebagian (baru sebagian piringan matahari yang keluar dari gerhana), maka hal itu tidak ada pengaruhnya dalam syarak dan seseorang (yang belum melaksanakan salat gerhana) dapat melakukannya, sama halnya dengan gerhana hanya sebagian saja (V: 340).
Imam an-Nawawi (w. 676/1277) menyatakan, “Waktu salat gerhana berakhir dengan lepasnya seluruh piringan matahari dari gerhana. Jika baru sebagian yang lepas dari gerhana, maka (orang yang belum melakukan salat gerhana) dapat mengerjakan salat untuk gerhana yang tersisa seperti kalau gerhana hanya sebagian saja [Raudlat at-Thalibin, II: 86].
Salat kusufain dilakukan oleh orang yang berada pada kawasan yang mengalami gerhana. Sedangkan orang di kawasan yang tidak mengalami gerhana tidak melakukan salat kusufain. Salat gerhana matahari dilaksanakan di siang hari karena gerhana Matahari hanya dialami oleh orang yang berada pada kawasan Bumi yang berhadapan dengan matahari. Gerhana Bulan dilaksanakan pada malam hari karena gerhana Bulan hanya dapat dialami oleh orang yang berada pada kawasan Bumi yang gelap dan menghadap Bulan serta membelakangi Matahari. Hanya saja gerhana Bulan horizontal, yaitu gerhana yang dialami oleh orang pada kawasan Bumi menjelang terbenamnya matahari atau sesaat sesudah terbitnya matahari, dapat melakukan salat gerhana saat gerhana horizontal itu.
Gerhana Bulan 7 Juli 2009 akan dialami oleh sebagian besar kawasan Indonesia selain dari seluruh pulau Sumatera, bagian barat Jawa dan bagian barat Kalimantan. Kawasan-kawasan ini tidak mengalami gerhana Bulan 7 Juli 2009. Oleh karena itu mereka di kawasan ini tidak melaksanakan salat gerhana Bulan & Juli 2009.
Mengenai gerhana Matahari Rabu 22 Juli 2009, merupakan gerhana Matahari sebagian (parsial) bagi Indonesia. Gerhana dialami oleh Indonesia, kecuali bagian selatan Sumatera, bagian selatan Kalimantan, bagian selatan Sulawesi, seluruh Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah ini tidak mengalami gerhana matahari 22 Juli 2009.
Saatnya Mengecek Kembali Arah Kiblat |
Oleh Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, M.A. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Majalah TIRAS No. 48/Th. II/26 Desember 1996 melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian kota Palembang arah kiblat masjidnya 23,82 % melenceng ke arah Utara dan 34,92 % ke arah Selatan ka'bah. Hal yang sama juga terjadi di Cirebon dan Purwokerto. Di wilayah Yogyakarta juga ditemukan ada beberapa masjid arah kiblatnya kurang sesuai. Baru-baru ini salah satu harian di Saudi Arabia melaporakan di Mekah terdapat 200 masjid arah kiblatnya tidak sesuai. Hal ini terjadi karena proses pengukurannya dilakukan secara sederhana (www.kompas.com, akses tanggal 7 April 2009). Kasus semacam ini sangat dimungkinkan. Hanya saja yang perlu dipahami perbedaan hasil perhitungan tersebut karena beberapa faktor, diantaranya cara penentuan arah, peralatan yang digunakan, dan data geografis ka'bah. Data geografis ka'bah yang berkembang di masyarakat adalah sebagai berikut.
Data Geografis Ka'bah
Faktor lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya berita acara penentuan arah kiblat. Sehingga tidak dapat dikomparasikan antara proses pengukuran terdahulu dengan sekarang.
Rasdul Qiblah sebuah solusi Kesempatan yang sangat tepat untuk mengetahui secara persis arah kiblat adalah saat posisi matahari berada tepat di atas ka'bah (rasdul Qiblah). Posisi matahari tepat berada di atas Ka'bah akan terjadi ketika lintang Ka'bah sama dengan deklinasi matahari, pada saat itu matahari berkulminasi tepat di atas Ka'bah. Dengan demikian arah jatuhnya bayangan benda yang terkena cahaya matahari itu adalah arah kiblat. Dalam setiap tahun akan ditemukan dua kali posisi matahari di atas Ka'bah. Pada tahun ini kesempatan tersebut datang pada tanggal 28 Mei 2007 pukul 11.57 LMT dan 16 Juli 2007 pukul 12.06 LMT. Bila waktu Mekah (LMT) dikonversi menjadi waktu Indonesia bagian barat (WIB) maka harus ditambah dengan 4 jam 21 menit sama dengan pukul 16.18 WIB dan 16.27 WIB. Oleh karena itu, setiap tanggal 27 Mei atau 28 Mei pukul 16.18 WIB dapat mengecek arah kiblat dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah. Begitu pula setiap tanggal 15 Juli atau 16 Juli juga dapat dilakukan pengecekan arah kiblat dengan metode tersebut. Penentuan arah kiblat menggunakan bayangan matahari ini merupakan cara yang paling sederhana dan bebas hambatan. Penentuan dengan kompas masih bisa diganggu oleh pengaruh medan magnet. Dengan demikian arah mata angin yang ditetapkan berdasar jarum kompas, belum tentu menentukan arah yang sebenarnya. Dengan mengandalkan bayangan matahari yang tengah berada di atas Ka'bah, penentuan arah kiblat tidak terganggu oleh apapun. Hambatan terjadi kalau pada saat itu langit berawan. Dalam praktiknya, tidak perlu langkah yang rumit untuk menentukan arah kiblat berdasar jatuhnya bayangan benda yang disinari matahari. Pengamat (observer) cukup menggunakan tongkat atau benda lain sejenis untuk diletakkan di tempat yang memperoleh cahaya matahari. Cahaya matahari yang menyinari benda tersebut akan menghasilkan bayangan. Arah bayangan ini merupakan arah kiblat. Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut sejatinya bisa dilakukan di semua tempat di permukaan bumi. Hanya saja, waktunya berbeda. Area yang terpisah dari Ka'bah kurang dari 90 derajat, akan bisa melihat matahari yang posisinya sedang berada di atas Ka'bah. Wilayah yang terpisah lebih dari 90 derajat dari Ka'bah, sudah gelap saat matahari berada di posisi tersebut, Wilayah Indonesia bagian Barat (WIB) dan tengan (WITA), masih bisa menempuh cara ini untuk mengetahui arah kiblat. Sementara itu, Wilayah Indonesia bagian Timur (WIT) harus melakukannya di waktu yang lain. Dengan kata lain, cara ini dapat digunakan selama masih bisa melihat matahari. Fenomena ini membuka mata bahwa selain sebagai sumber energi, matahari juga merupakan alat untuk menciptakan bayang-bayang, dengan bayang-bayang tersebut manusia bisa menentukan arah. Penentuan arah kiblat dengan cara tersebut jauh lebih sederhana dibandingkan penentuan dengan cara lain. Tanpa mengandalkan cahaya maatahari, untuk menentukan arah kiblat perlu menemukan tiga hal penting, yakni posisi pengamat, posisi Ka'bah, dan arah mata angin. Posisi pengamat berdasar lintang dan bujur geografis bisa ditentukan dengan mengandalkan global positioning system (GPS). Cara yang sama juga bisa digunakan untuk menentukan posisi Ka'bah. Langkah yang agak rumit harus ditempuh untuk menentukan arah mata angin secara tepat. Jarum yang ditunjukkan kompas, masih harus dipadu dengan data soal posisi kutub utara magnetik bumi. Setelah menemukan ketiganya, masih diperlukan proses perhitungan yang tidak sederhana. Oleh karena itu dianjurkan agar umat Islam menjadikan kesempatan posisi matahari di atas Ka'bah pada tanggal 28 Mei 2007 hari ini sebagai momentum penentuan arah kiblat. Penentuan ini juga perlu dilakukan di lapangan yang sering dipakai salat Id, juga mushala di perkantoran. Wa Allahu a'lam bi as-Sawab |
Kebersamaan Idul Fitri 1429 H |
Oleh Dr. Susiknan Azhari (Direktur Pusat Studi Falak Universitas Muhammadiyah Yogyakarta) | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Minggu, 18 Januari 2009 08:24 | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Tiap tahun, saat menyambut Idul Fitri umat Islam sering dikhawatirkan dengan perbedaan permulaan jatuhnya awal Syawal versi pemerintah dan versi berbagai organisasi besar Islam. Perbedaan ini timbul karena masing-masing pihak menggunakan metode yang berbeda dalam penentuan awal bulan dalam Kalender Hijriah, khususnya dalam penentuan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Ada yang menggunakan hisab (perhitungan) saja, ada yang hanya menggunakan rukyat (pengamatan) saja, ada yang berusaha mengintegrasikan antara hisab dan rukyat. Bahkan ada yang mencukupkan dengan "wiridan" dalam kamar untuk mendapatkan ilham.
Pada saat itu kaum muslimin tidak dapat menginformasikan berita hasil rukyat ke seluruh penjuru dunia yang amat luas dalam waktu satu hari, karena sarana komunikasi sangat terbatas. Namun pada saat sekarang, sarana komunikasi yang tersedia dapat digunakan untuk menyebarkan berita ke seluruh penjuru dalam beberapa detik, seperti internet, telepon, televisi, dan radio. Dalam hal ini HTI berkomunikasi secara langsung dengan anggota Hizbut Tahrir lainnya, baik yang berada di Indonesia maupun yang di luar negeri. Sementara itu untuk menentukan Idul Adha HTI mengikuti Mekah dengan menjadikan wukuf di Arafah sebagai standarnya. Kaitannya dengan hasil rukyat di Indonesia dan Saudi Arabia, persoalan yang muncul hingga kini para pelaku rukyat belum dapat membuktikan hasil rukyat secara "otentik". Selama ini baru sebatas pengakuan yang diperkuat dengan sumpah dan disyahkan oleh para hakim/mufti. Sebetulnya jika hasil rukyat di Saudi Arabia otentik maka akan membantu umat Islam se dunia dalam merumuskan Kalender Islam Internasional. Hasil penelitian Ayman Kordi salah seorang ahli falak dari King Saud University menyimpulkan bahwa selama 40 tahun hasil rukyatul hilal yang diumumkan pemerintah Saudi Arabia 87 % salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan (Bangla Post, London 18 September 2008).
Kurve Rukyat Hilal Syawal 1429 (Senin, 29 September 2008) Berdasarkan kurve rukyat hilal di atas dan pengumumam yang disampaikan oleh Mohammad Syawkat Odeh pendiri Al-Masyru' al-Islamiy li Rashdi al-Ahillah di Yordania tertanggal 21 Ramadan 1429 H/21 September 2008 bahwa mayoritas negara-negara di kawasan Timur Tengah akan beridul fitri pada hari Rabu, 1 Oktober 2008. Keputusan ini didasarkan hasil hisab bahwa di Mekah ijtimak terjadi pada hari Senin 29 September 2008 pukul 11.12 waktu setempat ( sebelum Zuhur), bulan terbenam pada pukul 18.04 waktu setempat, dan matahari terbenam pukul 18.12 waktu setempat. Negara-negara dimaksud diantaranya adalah Saudi Arabia, Mesir, Irak, Kuwait, Qatar, Sudan, UEA, dan Syria. Begitu pula masyarakat muslim di London akan berlebaran berdasarkan hasil hisab pada hari Rabu 1 Oktober 2008 sebagaimana disampaikan oleh Qamar Uddin, sedangkan Libya yang memulai puasa pada hari Ahad 31 Agustus 2008 akan beridul Fitri pada hari Selasa 30 September 2008 dengan berpegang pada teori ijtimak qabla al-fajr.
Wacana Takwim Urfi Dalam Penanggalan Islam[1] Abstrak Takwim
Urfi adalah sistem penanggalan yang bersifat perhitungan rata-rata.
Takwim yang berdasarkan hisab Urfi disepakati oleh para ulama tidak sah
untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam. Namun
karena kemudahan dan keajegan perhitungan takwim yang berdasarkan hisab
Urfi, maka dapat dijadikan alternatif dalam wacana unifikasi penanggalan
Hijriah Internasional dalam Islam. Kata Kunci: Takwim, Hisab Urfi, Hisab Hakiki. Pendahuluan Perbedaan
dalam penetapan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah sering kita
jumpai di kalangan umat Islam di Indonesia. Dalam mengawali puasa
Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda, demikian juga
ketika melaksanakan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Maka lalu
muncullah istilah lebaran ganda. Perbedaan seperti ini setelah reformasi di Indonesia seolah menjadi hal yang lumrah terjadi. Walaupun terwujud kesepakatan para ulama ahli ilmu Falak dari kalangan pesantren dan para ahli astronomi di Indonesia dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah tetap saja ada kelompok-kelompok yang berbeda dengan hasil kesepakatan tersebut. Misalnya
kita kilas balik pelaksanaan ibadah puasa Ramadan 1430 H. Pemerintah
mengumumkan bahwa berdasarkan hasil perhitungan hisab dan pelaksanaan
rukyah pada tanggal Jumat, 29 Syakban 1430 H/ 18 September 2009 bahwa
posisi hilal masih di bawah ufuk maka hilal tidak mungkin
bisa dirukyah. Sehingga esok harinya; Sabtu merupakan hari terakhir di
bulan yang sedang berjalan; bulan Syakban. Permulaan ibadah puasa atau
jatuhnya tanggal 1 Ramadan 1430 H adalah hari Minggu 20 September 2009. Namun
sebagian kelompok tarekat tertentu dan pengikut Kejawen yang
menggunakan penanggalan Aboge atau Asopon memulai puasa Ramadan mereka
pada hari yang berbeda dengan hasil penetapan pemerintah di atas.
Perbedaan ini lebih banyak lagi jika menelusurinya pada
kelompok-kelompok yang lebih kecil scopenya di masyarakat. Penentuan
dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu
menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta
menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Di
antara sumber yang merupakan salah satu akar permasalahan penyebab
perbedaan tersebut adalah perhitungan takwim atau kalender yang
berdasarkan hisab Urfi. Kalender berdasarkan hisab Urfi inilah yang
dipedomani oleh pengikut Kejawen yang menggunakan penanggalan Aboge atau
Asopon. Dalam
makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penetapan kalender
berdasarkan hisab Urfi, karakteristiknya, wacana menjadikan kalender
berdasarkan hisab Urfi menjadi alternatif dalam wacana unifikasi
penanggalan dalam Islam, dan aspek hukum menjadikan kalender berdasarkan hisab Urfi sebagai pedoman dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam. Sejarah Penanggalan Islam Di
masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal
dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama
peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya
nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh
pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman
Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya
Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu
Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada'
(haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan
peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui
peristiwa penting itu namanya diabadikan (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com). Terhadap
penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama
bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu
dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal,
Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan,
Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Menurut al-Biruni
sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama-nama bulan dalam
Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan
Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini
dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan
bahwa nama-nama bulan Kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan
sejak akhir abad V Masehi (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 136).[2] Susiknan Azhari, mengilustrasikan tentang perkembangan penamaan bulan-bulan tersebut, sebagai berikut:
(Azhari, pdf) Pada
masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam
terbentuk dengan nama kalender Hijriah. Dengan berbagai usulan dan
pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam
dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang
merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah
nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 15 Juli 622 M.
Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai
tahun 17 H (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun. Fungsi Penanggalan Acuan
yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua
benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di
Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus
sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Kamariah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Kamariah-Syamsiah, Luni-Solar) (http://www.nu.or.id). Sistem
penanggalan dan ukuran waktu ini dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk
mendata, mencatat; proses dokumentasi, merencanakan peristiwa dan
kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti
yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita
membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[3]
Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang
menggambarkan pergerakan Matahari dan Bulan untuk kepentingan ibadah dan
bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting.
Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian
kekuasaan (Setyanto, 2008: 40). Pelaksanaan
ibadah dalam Islam sebagian dikaitkan pada waktu atau tanggal tertentu.
Seperti seputar penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah. Tetapi
sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan
bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi
juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. Selain
itu, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau
sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya
penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat
dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat
kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim
merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi
historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat
universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem
kalender Hijriah ke sistem kalender Masehi. Program komputer sederhana
konversi kalender Hijriah-Masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal
yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam
kehidupan Rasulullah (T. Djamaluddin, http: //t-djamaluddin.space.live.com).
Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang
kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad
saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada
yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun
beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah,
15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan
70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan
Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah.
Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara
matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga
saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M (http: //t-djamaluddin.space.live.com). Penanggalan Berdasarkan Hisab Urfi Dalam
sistem penetapan kalender Urfi yang berdasarkan pada perhitungan
rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara
Urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan
yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap
berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai
bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari (Anwar:
8). Biasanya
untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan
kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan
pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29
hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang
waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke
konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi
titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub
ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan satu bulan/month.
Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/ new month (Fathurohman SW, 2006). Kalender
ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit,
35 detik. Itu berarti lebih pendek hari, 21 jam (sekitar 11 hari)
dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa
satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau
kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354
11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun
Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan
pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19
tahun sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan
demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari =
10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur (hhtp://afdacairo.blogspot.com). Sistem
hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan
hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada
tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim penanggalan berdasarkan hisab urfi memiliki karakteristik: 1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M; 2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 3. dalam
satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun
pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu
periode biasanya digunakan syair: كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه Tiap
huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak
bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat
terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29 [4]; 4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 5. bulan-bulan
gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya
29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah
satu hari menjadi genap 30 hari); 6. panjang
periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631).
Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30
tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 =
10.631,01204) (Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim: 136-137). 7. perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar sebelum
melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan
berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya
secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan. Kalender Hijriah yang menganut prinsip Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan
haram[5]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. QS at-Taubah/9 ayat 36. Nama-nama dan panjang bulan Hijriah dalam Hisab Urfi sebagai berikut:
Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah Dalam
sistem penetapan kalender Urfi didasarkan pada perhitungan rata-rata
dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini
bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil/
gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua
puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan
kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada tahun
Kabisah, bulan Zulhijah yang merupakan bulan terakhir; bulan ke-12
ditambahkan satu hari. Dalam
penetapan awal bulan yang mengemuka di Indonesia, dalam hal ini
penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijah kadang terdapat perbedaan
antara penanggalan berdasarkan perhitungan secara Urfi dengan hasil
putusan pemerintah dalam sidang Isbatnya. Patokan pemerintah dalam
penetapan sidang Isbat adalah posisi hilal yang sebenarnya sebagai
pertanda masuknya awal bulan berdasarkan perhitungan visibilitas hilal;
imkanur rukyah yang dikuatkan dengan hasil rukyatul hilal. Berdasarkan
hisab Hakiki, ketentuan masuknya awal bulan itu tergantung posisi
hilal. Apabila menurut hasil perhitungan hisab pada tanggal 29 bulan
yang sedang berlangsung, ketinggian hilal memungkinkan untuk dirukyah
(imkanur rukyah)—dalam hal ini pemeritah kita mengikuti
kriteria yang disepakati MABIMS (Mentri Agama Brunei Darussalam,
Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yakni ketinggian hilal minimal 2˚,
elongasi minimal 3˚, dan umur hilal minimal 8 jam; maka itu pertanda
masuknya awal bulan berikutnya. Esok hari adalah tanggal satu bulan yang
baru. Namun apabila belum memenuhi kriteria tersebut, maka besok
harinya merupakan hari terakhir (tanggal 30) dari bulan yang sedang berjalan. Dengan
demikian ketentuan tentang umur suatu bulan sangat bergantung pada
visibilitas hilal awal bulan tersebut. Kenyataannya umur bulan itu tidak
mesti berselang-seling antara 30 dan 29 hari untuk bulan ganjil dan
genap. Bisa saja umurnya justru sebaliknya 29 dan 30 hari. Bisa juga
umur bulan itu berturut-turut 29 atau berturut-turut 30 hari. Itulah
logikanya yang kadang menjadikan perhitungan yang berdasarkan hisab
Urfi ini terkadang berbeda dengan kenyataan; yang didasarkan pada
perhitungan yang berdasarkan hisab Hakiki. Misalnya untuk perhitungan
tanggal 1 Syawal, berdasarkan hisab Urfi Ramadan itu selalu berumur 30
hari (karena merupakan bulan ganjil—bulan ke-9). Pada hal bisa jadi
kenyataannya berdasarkan hisab Hakiki, umur Ramadan itu 29 hari.
Sehingga mereka yang merayakan Idul Fitri berdasarkan hisab Urfi
terlambat satu hari dari ketetapan pemerintah. Atau kejadiannya adalah
kebalikan peristiwa di atas, misalnya dalam penetapan tanggal 1
Ramadan. Berdasarkan hisab Urfi Syakban itu selalu berumur 29 hari
(karena merupakan bulan genap—bulan ke-8). Bisa jadi kenyataannya dan
berdasarkan hisab Hakiki umur Syakban pada waktu itu 30 hari. Sehingga
mereka yang perhitungannya berdasarkan hisab Urfi melaksanakan ibadah
puasa Ramadan sehari mendahului ketetapan pemerintah. Patut dicatat hisab Urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia
dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan
penentuan waktu ibadah. Penyebabnya karena perata-rataan peredaran Bulan
tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan
(Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, 2008: 137). Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah (Anwar: 8). Takwim Berdasarkan Hisab Urfi: Alternatif Dalam Wacana Unifikasi Penanggalan Dalam Islam Unifikasi kalender Hijriah Internasional digagas pertama kali oleh Mohammad Ilyas (ahli ilmu Falak berkebangsaan Malaysia).
Sejak digulirkan telah banyak wacana yang berkembang seputar hal ini,
antara lain pembagian penanggalan berdasarkan pembagian wilayah atau
zona tertentu, penentuan tentang perhitungan permulaan hari, garis
tanggal, penentuan tentang dasar acuan penanggalannya, pihak yang punya
otoritas yang mengambil kebijakan jika terjadipermasalahan, dan
persoalan-persoalan lainnya. Pada
kesempatan kali ini kita tidak akan membahas unifikasi kalender Hijriah
ini lebih jauh. Tapi akan disinggung salah satu aspek dalam penentuan
kalender Hijriah Internasional tersebut yakni tentang penentuan dasar
acuan penanggalannya. Di
antara alternatif yang ditawarkan para ahli Astronomi dan ilmu Falak
dalam penentuan dasar acuan penanggalannya berlandaskan penanggalan
bulan Kamariah yang berdasarkan hisab Urfi. KH
Slamet Hambali (2008) adalah anggota Lajnah Falakiah Nahdatul Ulama di
antara ahli Falak yang mendukung pendapat di atas. Menurutnya
penanggalan berdasarkan pada kalender hisab Urfi bersifat tetap dan
tidak berubah-ubah sehingga akan memudahkan. Umur bulan dalam
penanggalan berdasarkan hisab Urfi bersifat tetap sama dengan
penanggalan Syamsiah/ Masehi. Penanggalan
Hijriah Internasional dengan menggunakan hisab Urfi sebagai acuan
penanggalannya menyisakan beberapa persoalan, antara lain: perhitungan
berdasarkan hisab Urfi ini disepakati oleh Ulama tidak bisa dijadikan
panduan dalam melaksanakan ibadah. Karena penanggalan tersebut tidak
bisa dijadikan panduan dalam melaksanakan ibadah, maka penggunaannya
dibatasi untuk keperluan administrasi kenegaraan dan sosial saja. Untuk
keperluan penentuan pelaksanaan ibadah diperlukan penanggalan
tersendiri yang berbeda. Pada hal tujuan utama dari univikasi kalender
Hijriah Internasional adalah mengatukan umat Islam dalam satu
penanggalan yang terpadu dan kesatuan dalam pelaksanaan ibadah. Maka
dualisme ini selain akan membingungkan masyarakat juga dianggap kurang
efektif dan efisien. Penutup Penanggalan
Hijriah; penanggalan Islam adalah pedoman bagi seluruh masyarakat Islam
dalam pelaksanaan kegiatan ibadah mereka. Kalender yang berdasrkan
hisab hakikilah yang dapat dijadikan pedoman untuk hal tersebut. Karena
kalender hisab hakiki didasarkan pada peredaran ril bulan (qamar). Adapun penanggalan yang didasarkan pada hisab Urfi; penanggalan yang
berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan
mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur
bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga
puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari.
Pada hal dalam kenyataannya tidaklah tepat sesuai selalu seperti itu, dengan penampakan hilal (newmoon) pada awal bulan. Sehingga perhitungan secara Urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab. Daftar Pustaka Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998. ____________, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001. Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001. ____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag ____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007. ____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007. ____________, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008. ____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader Depag ____________, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag ____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992. ___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995. Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976. Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, Power point makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. ___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006. ___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008. ___________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004. Hambali, Slamet, Orasi Ilmiah dalam Seminar Nasional tanggal 7 November 2009, Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008. Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008. Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1. Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1. Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007. Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1. Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1
Muharram 1430H.
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com. T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com ____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com.Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008. [1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com email: jay_falak@yahoo.co.id [2] Selengkapnya baca Ali Hasan Musa. At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. [3] Kalender
adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk
penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari,
Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115. Oman
Fathurohman SW mendefinikannya sebagai sejumlah sistem untuk menata
hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau
peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara
tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian
penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat
pengelompokkan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang
memuat informasi lain seperti hari-hari libur, hari-hari atau
tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Oman
Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. [4] Cara
menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah
dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk
deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk
tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh
tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk
tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain
adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah.
Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia
memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15. KH Noor Ahmad SS: Potret Dinamis Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia[1] Abstrak Tidak banyak ulama yang berkhidmad terhadap ilmu Falak. Di antara ulama tradisional Indonesia
yang mencurahkan segenap waktu dan fikiran di sepanjang hayatnya untuk
mendalami ilmu Falak adalah KH Noor Ahmad SS yang berasal dari Kriyan,
Kalinyamatan-Jepara. Ketika awal mempelajari ilmu Falak tahun 1950an
yang berkembang ketika itu adalah metode hisab yang berbasiskan
perhitungan Hakiki Taqribi. Pada priode selanjutnya sesuai dengan
perkembangan pengetahuan tentang ilmu Falak, berkembang perhitungan
Hakiki Tahqiqi. Karya-karyanya yang dihasilkannya pun menggambarkan
pengembaraan intelektualnya tersebut. Kata Kunci: KH Noor Ahmad SS, Ilmu Falak, A. Pendahuluan Sejarah
perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat dunia Islam
memasuki priode modernnya pada awal abad ke-20, ilmu Falak pun
bersentuhan dengan kemoderenan; ilmu pengetahuan yang berasal dari
Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date
mulai ditinggalkan digantikan dengan penemuan baru yang lebih sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Falak sebagai
bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam mengalami hal sama. Dalam
perhitungan awal bulan Kamariah misalnya, sebelum abad ke-20, di dunia
Islam umumnya berkembang berkembang metode hisab yang belakangan
diidentifikasi sebagai metode hisab Hakiki Taqribi. Perhitungannya masih
berpatokan pada asumsi Bumi sebagai pusat peredaran Bulan dan Matahari;
yang disebut dengan Geosentris. Perhitungan awal bulan yang dilakukan menggunakan tabel-tabel astronomi yang dirumuskan oleh Ulugh
Beik (w. 1449 M) yang biasanya disebut Zeij Sulthani. Tabel astronomi
Ulugh Beik ini merupakan penemuan yang sangat berharga pada masanya.
Tabel ini telah digunakan bahkan juga oleh para astronom di Barat selama
berabad-abad lamanya. Setelah
Nicolas Copernicus menemukan teori Heliosentris, bahwa Mataharilah
pusat tata surya kita (bukan Bumi sebagaimana yang diyakini sebelumnya).
Penemuan ini tentu saja akan berpengaruh terhadap metode dan rumus ilmu
Falak atau astronomi yang selama ini digunakan. Pembaharuan yang
digulirkan inipun kemudian sampai ke Indonesia. Diperkirakan sampai ke Indonesia pada pertengahan abad ke-20. Pelopornya adalah dua buah kitab yakni kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah
karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Kedua kitab
tersebut oleh mereka yang menunaikan ibadah haji dan lalu menyempatkan
diri untuk belajar di tanah suci. Metode baru ini dikemudian hari
disebut dengan metode Hakiki Tahqiqi. Perlu
juga dinyatakan di sini bahwa dalam perkembangan ilmu Falak di
Indonesia tidak bersifat linier antara perkembangan sains dengan realita
yang terjadi pada masa itu. Dengan asumsi bahwa pada pertengahan abad
ke-20 metode hisab Hakiki Tahqiqi akan berkembang dengan pesat
menggantikan teori lama yang telah gugur secara ilmiah; dan metode hisab
Hakiki Taqribi mulai ditinggalkan orang. Tapi kenyataannya tidak
seperti demikian. Metode hisab Hakiki Tahqiqi mulai dipelajari orang
sedangkan metode hisab Hakiki Taqribi tetap memiliki pengikut fanatiknya
bahkan sampai dengan sekarang ini. Pada
akhir abad ke-20 telah banyak para sarjana muslim yang pakar di bidang
astronomi. Mereka telah berhasil merumuskan metode hisab yang memiliki
tingkat akurasi yang tinggi. Dalam ilmu Falak diistilahkan dengan metode
hisab Hakiki Kontemporer. Dalam
makalah ini akan dikaji lebih lanjut kiprah salah seorang ahli Falak
yakni KH Noor Ahmad SS. Ia adalah salah seorang ahli ilmu Falak dari
kalangan Nahdatul Ulama yang mumpuni. Ia mengalami dinamika ketiga
priode modern perkembangan ilmu Falak di Indonesia tersebut. Akan
dibahas bagaimana karya-karya yang dihasilkannya bermetamorfosis dari
yang basis metode hisab Hakiki Taqribi lalu beralih metode hisab Hakiki
Tahqiqi. Selanjutnya berhadapan dengan metode hisab Hakiki Kontemporer. B. Sejarah Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia Dalam
sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal abad ke
20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab ilmu Falak oleh para ulama
ahli Falak Indonesia. Seiring
kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekah pada awal abad kedua
puluh, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air. Ketika
berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama
seperti: tafsir, hadis, fiqh, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang
mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu
kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan
tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada para murid mereka di tanah air[2]. Pada
dekade itu misalnya, Syekh Abdurrahman ibn Ahmad al-Mishra pada tahun
1314H/1896M datang ke Betawi. Ia membawa Zeij (tabel astronomi) Ulugh
Beik (w. 1449 M) yang berdasarkan teori Geosentris. Ia kemudian
mengajarkannya pada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di antara
muridnya adalah Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi (w.
1329H/1911M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang
dikenal dengan Mufti Betawi. Lalu Ahmad Dahlan as-Simarani atau at-Tarmasi mengajarkannya di daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tazkirah al-Ikhwan fi Ba’dhi Tawarikhi A’mal al-Falakiyati bi Semarang. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazhu an-Niyam fi ma Yata’allaq bi ahillah wa ash-Shiyam. Buku ini di samping memuat masalah ilmu Falak, juga terdapat di dalamnya tentang masalah puasa[3].
Adapun pemikirannya tentang ilmu Falak kemudian dibukukan oleh salah
seorang muridnya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri
bin Muhammad Habib bin Abdul Muhit bin Tumenggung Tjakra Jaya yang
menulis kitab Sullamun Nayyiran. Itulah kitab-kitab yang dihasilkan oleh ulama Falak nusantara pada priode awal ini. Pada priode kedua, ditandai dengan kuatnya pengaruh kitab Mathla’ as-Sa’id fi Hisab al-Kawakib ‘ala Rashd al-Jadid karangan Husen Zaid al-Mishra dan al-Manahij al-Hamidiyah karangan Abd al-Hamid Mursy Ghais al-Falaki asy-Syafi’i. Menurut M. Taufik bahwa
kitab ilmu Falak yang ditulis oleh ulama Falak nusantara pada priode
kedua ini banyak yang merupakan cangkokan dari kedua kitab tersebut. Di
antara kitab-kitab karangan ulama Nusantara tersebut adalah kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang[4]. Masih banyak lagi kitab-kitab ilmu Falak karya para ulama Indonesia, yang selain menjadikan al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah sebagai rujukan utamanya juga merujuk karya ulama Indonesia sebelum mereka (yang telah mempelajari dan mencangkok kitab al-Mathla’ as-Sa’id fi Hisbah al-Kawakib ‘Ala Rasd al-Jadid dan al-Manahij al-Hamidiyah),--yang merupakan guru mereka sendiri ataupun guru dari guru mereka. Di antaranya adalah Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik. C. Biografi Intelektual KH Noor Ahmad SS KH
Noor Ahmad SS lahir di Jepara pada hari kamis Kliwon 14 Desember 1932
M/ 19 Rajab 1351 H. Ia adalah satu di antara ulama ahli ilmu Falak yang
disegani di Indonesia
yang masih hidup hingga saat ini. Pendidikan pesantren yang pernah
dienyam antara lain di Tebu Ireng Jombang, Langitan Babat Lamongan, dan
Lasem[5]. Guru-gurunya
adalah KH Rif’an Kudus, KH Turaichan Adjhuri (Menara Kudus), KH Abdul
Jalil (guru dari KH Turaikhan Adjhuri), KH Zubaer Umar al-Jailani
(pengarang kitab al-Khulashah al-Wafiyah), H. Abdur Rohim (Murid
Sa’adoeddin Djambek), dan KH Misbahul Munir Magelang. Menurut
penulis pengertian guru di sini adalah tidak semata-mata guru dengan
pengertian belajar secara langsung atau formal kepada yang bersangkutan.
Namun dapat juga berarti berguru secara “tidak langsung”, sebagai teman
berdiskusi dalam masalah ilmu Falak atau bahkan sebagai suatu
penghormatan kepada seseorang yang diakui ketinggian dan kedalaman
ilmunya dengan menganggapnya sebagai guru. Misalnya ada pendapat yang
menyatakan KH Noor Ahmad SS berguru kepada H. Abdur Rachim, pada hal
menurut penuturannya, ia pernah hanya bertemu dengan H. Abdur Rachim dan
sempat berbincang-bincang dengannya[6]. Namun tidak ada pernyataan pernah berguru kepadanya. Karyanya antara lain kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah: Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar. Dalam kitab-kitab yang dikarangnya, ia menggunakan nama Abu Sayf al-Mujab Noor Ahmad ibn Shiddiq ibn Saryani. Ia juga menulis artikel atau tulisan yang dipresentasikan pada seminar atau pertemuan yang
pernah diikutinya yang antara lain: Cara Rukyat yang Akurat,
Efektifitas Rukyatul Hilal dengan Hisab Hakiki Taqribi, Sistem Hisab Nur
al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqqat, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, dan Hisab Awal Bulan Hijriah. D. Metode Hisab Urfi dan Hakiki Dalam sistem hisab
Urfi berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan
mengelilingi Bumi. Perhitungan secara Urfi ini bersifat tetap, umur
bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga
puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari.
Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil)
selamanya akan berumur tiga puluh hari.[7] Biasanya
untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan
kalender Kamariah dibuat secara Urfi. Kalender Kamariah Urfi didasarkan
pada peredaran Bulan mengelilingi Bumi dalam orbitnya dengan masa 29
hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang
waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtima’) ke
konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi
titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub
ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan bulan/month.
Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/ new month.[8] Kalender
ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit,
35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari)
dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tiga puluh tahunnya. Masa
satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau
kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354
11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah
yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada
bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun
sisanya merupakan tahun Basitah yang berumur 354 hari. Dengan
demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari =
10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur. [9] Sistem
hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan
hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada
tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Menurut Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim penanggalan berdasarkan hisab urfi memiliki karakteristik: 1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M; 2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 3. dalam
satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun
pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu
periode biasanya digunakan syair: كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه Tiap
huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak
bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat
terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29[10]; 4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 5. bulan-bulan
gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya
29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah
satu hari menjadi genap 30 hari); 6. panjang
periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631).
Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30
tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 =
10.631,01204).[11] 7. perhitungan berdasarkan hisab Urfi ini biasanya dijadikan sebagai ancar-ancar sebelum
melakukan perhitungan penanggalan ataupun perhitungan awal bulan
berdasarkan hisab Hakiki. Bila tanpa melakukan perhitungan sebelumnya
secara Urfi tentulah para ahli Falak tersebut akan mengalami kesulitan. Sistem
kalender Islam; kalender Hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal
ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab Hakiki.
Hisab Hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan
dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep
yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki: 1. Umur Bulan Menurut
sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak
beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi
umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh
hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan
atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran
Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[12] Sistem
ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam
sistem penetapan kalender Urfi yang berdasarkan pada perhitungan
rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara
urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan
yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap
berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai
bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada
hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.[13] Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar,
karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal
ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan
numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut
juga dengan aritmathical calendar. [14]
Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul “Dibalik Persoalan Awal
Bulan Islam” menjelaskan bahwa sistem kalender Hijriah atau penanggalan
Islam adalah sebuah sistem kalender yang tidak memerlukan pemikiran
koreksi, karena betul-betul mengandalkan fenomena fase bulan; dalam
bahasa T. Djamaluddin, kalender Kamariah merupakan kalender yang paling
sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ditandai oleh penampakan
hilal (visibilitas hilal) sesudah matahari terbenam (maghrib).[15] Dalam kalender Kamariah, umur bulan (syahr)
bisa diketahui dengan mudah melalui pengamatan yang sederhana terhadap
Bulan. Hal itu terkait dengan sunnatullah tentang siklus pergerakan
Bulan yang membuat Bulan hadir dalam pengamatan manusia di Bumi dalam
posisi dan bentuk penampakan yang selalu berubah setiap hari secara
signifikan. Perubahan itu berupa pergeseran posisinya ke arah Timur
sejauh rata-rata 12° setiap hari dan pergeseran itu sekaligus
mengakibatkan perubahan bentuk penampakannya. Mengenai fenomena ini
Al-Qur' an (Yasin/36: 39) menyatakan: "Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua."[16] Keadaan
seperti itu tidak terjadi pada Matahari yang hadir dengan bentuk
penampakan yang relatif sama setiap hari. Meskipun sebenarnya posisi
Matahari itu juga bergeser, yakni ke Utara atau ke Selatan, tetapi
pergeserannya itu yang terjadi tersebut tidak secara mencolok karena per
hari rata-rata hanya sebesar 0° 15' 24,54". Karena itu --tidak seperti
dalam kalender Kamariah--umur bulan dalam kalender Syamsiah tidak bisa
dengan mudah diketahui lewat pengamatan yang sederhana terhadap
Matahari.[17] 2. Permulaan Hari Dalam
kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya
matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai
dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189 Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung
saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau
pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang
berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari. [18] Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena
ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap
30 tahun; satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Kamariah
yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah
yang didasarkan pada perhitungan/hisab hakiki yang berbeda dengan
kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi. 3. New Month (Bulan Baru) Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab,
di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh
terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal. KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman
yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi
yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[19] Dalam kitab Nur al-Anwar
dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari
terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam.
Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan
pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu: a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah. b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi
sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal
bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan
hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan
kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat
Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak
Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [21] Keduanya
sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat
Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan
Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan
apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya
bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari
terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [22] Selanjutnya
kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi
kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau
dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa
ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam
perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang
berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas
tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang
berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya
merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan
memiliki standar atau patokan yang berbeda. Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset
itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang
berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal
bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada
saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. Dalam
menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul
hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok
ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda
masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah
menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk
dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada
mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk
memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping
itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [23] 4. Hilal Hilal
(bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan
sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari
menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya
karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam
mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan
tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari)
yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim,
tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Pendefinian
hilal bisa beragam karena itu bagian dari riset ilmiah, semua definisi
itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih
definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi
yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai
berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat
sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya
yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa
tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke
matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan
hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila
jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam
bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[24]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month).
Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok
atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah
(imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru. E. KH Noor Ahmad SS: Dari Metode Hakiki Taqribi ke Hakiki Tahqiqi Departemen Agama telah mencoba melakukan pengklasifikasian kitab-kitab ilmu Falak karya ulama dan ahli Astronomi Indonesia
terkait dengan perhitungan penetapan awal bulan Kamariah tersebut ke
dalam beberapa kategori sesuai dengan tingkat akurasi penghitungannya.
Secara garis besar perhitungan hisab rukyat awal bulan itu ada dua,
yakni hisab Urfi dan Hakiki. Tentang metode hisab Urfi ini telah
disinggung sebelumnya. Kemudian
hisab Hakiki yang didasarkan pada peredaran bulan yang sebenarnya ini
dibagi lagi menjadi tiga tingkatan, sebagai berikut: 1. Hisab Hakiki Taqribi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya rendah. 2. Hisab Hakiki Tahqiqi, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya sedang. 3. Hisab Hakiki kontemporer, kitab yang tingkat akurasi penghitungannya tinggi Pemilahan ini dicetuskan dalam forum seminar sehari ilmu Falak tanggal 27 April 1997 di Tugu, Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan klasifikasi di atas, maka kitab Sullam an-Nayyiran karya Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri, Syams al-Hilal karya Noor Ahmad SS Jepara, dan Fath ar-Rauf al-Mannan
karya Abu Hamdan Abdul Jalil adalah tergolong hisab Hakiki Taqribi yang
tingkat akurasinya rendah. Karena kitab ini basis data yang dijadikan
acuannya adalah Zeij (tabel astronomi) Ulugh Beik (w. 1449 M) dan dalam
pelaksanaan pengamatannya berdasarkan teori Geosentrisnya Ptolomeus.
Sedangkan teori ini secara ilmiah telah gugur. Ketinggian
hilal dihitung dari titik pusat Bumi, bukan dari permukaan Bumi dan
berpedoman pada gerak rata-rata Bulan; setiap hari bulan bergerak dari
arah barat ke timur 12˚. Rumus ketinggian hilal adalah selisih waktu
ijtimak dan waktu ghurub kemudian di bagi dua. Akibatnya apabila ijtimak
terjadi sebelum ghurub, maka pastilah ketinggian hilal itu positif di
atas ufuk[25].
Kenyataannya hasil perhitungannya itu tidak didukung oleh
argumentasi-argumentasi ilmiah sebagai pengungkapan data, fakta, dan
kenyataannya dalam praktek di lapangan. Dengan kata lain hasil
perhitungannya terkadang berbeda dengan kenyataan yang ditemui di
lapangan ketika observasi rukyatul hilal dilakukan. Perhitungan
hisab ini juga belum memberikan informasi tentang azimut Matahari dan
Bulan. Di samping itu diperlukan beberapa ta’dil atau koreksi agar hasil perhitungannya menjadi akurat[26]. Metode
hisab Hakiki Tahqiqi dalam pengamatannya telah berdasarkan pada teori
Nicolas Copernicus, teori Heliosentris yang menyatakan Matahari adalah
pusat dari tatasurya. Perhitungannya telah menggunakan rumus-rumus
spherical trigonometri dengan melakukan banyak koreksian/ta’dil data
pergerakan Matahari dan Bulan. Dalam menentukan ketinggian hilal dengan
memperhatikan koordinat lintang dan bujur, deklinasi dan sudut waktu
Bulan dengan koreksi refraksi, paralaks, Dip, dan semi diameter Bulan.
Metode hisab ini menyajikan data tentang ijtimak, terbenamnya Matahari,
tinggi hilal, azimut Matahari dan Bulan sehingga sangat membantu dalam
pelaksanaan rukyatul hilal[27]. Metode yang masuk kategori hisab Hakiki Tahqiqi antara lain kitab al-Khulashah al-Wafiyah karya Zubair Umar al-Jailani, Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Adjhuri, Nur al-Anwar karya Noor Ahmad SS Jepara, al-Maksuf karya Ahmad Soleh Mahmud Jauhari Cirebon, Ittifaq Dzat al-Bain karya Muhammad Zuber Abdul Abdul Karim Gresik, Hisab Hakiki karya K Wardan Dipo Ningrat, al-Qawa’id al-Falakiyah karya Abd al-Fatah as-Sayyid ath-Thufi al-Falaki, dan Badi’ah al-Mitsal karya Ma’shum Jombang. Dan yang tergolong metode hisab Hakiki Kontemporer antara lain: metode al-Mawaqit karya Khafid, Ephimeris Depatemen Agama, al-Falakiyah karya Sriyatin Shadiq. Metode hisab
Hakiki Kontemporer yang memiliki tingkat akurasi tinggi karena telah
berbasiskan ilmu Astronomi. Metode dalam melakukan perhitungannya telah
melakukan koreksi yang banyak dan menyajikan data-data yang lengkap
untuk keperluan rukyatul hilal. Dalam
perjalanan intelektualnya, Noor Ahmad SS mempelajari ilmu Falak sejak
tahun 1950an. Dalam melakukan perhitungan-perhitungan yang dalam kajian
ilmu Falak masih secara manual tanpa ada alat bantu. Pada priode-priode
selanjutnya barulah ditemukan kalkulator dan program komputer. Pada masa awal belajar ilmu Falak; sesuai dengan perkembangan ilmu Falak ketika itu di Indonesia,
metode hisab yang berkembang adalah metode hisab Hakiki Taqribi. Buah
karya yang dihasilkannya pada priode ini juga berbasiskan metode hisab
Hakiki Taqribi. Antara lain ia menulis kitab Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, dan Syams al-Hilal. Sesuai
dengan perkembangan pengetahuan dalam ilmu Falak sebagai akibat
persentuhannya dengan ilmu pengetahuan modern, maka ilmu Falakpun
menapaki perhitungan atau hisab berbasiskan Hakiki Tahqiqi. Priode ini
kita sebut sebagai priode kedua dari tahapan pengembaraan intelektual
yang dilakukan Noor Ahmad SS, ia mempelajari ilmu Falak yang berbasiskan
hisab Hakiki Tahqiqi di antaranya: hisab kalender Menara Kudus, kitab Badi’ah al-Mitsal, Khulashah al-Wafiyah, Hisab Haqiqi, Mathla’ as-Sa’id, Muntaha Nataij al-Aqwal, dan Bulugh al-Wathar. Ia pun kemudian mereformulasi ulang pemikirannya dalam ilmu Falak sehingga melahirkan kitab Nur al-Anwar. KH Noor Ahmad SS menyebutkan bahwa hisab Nur al-Anwar adalah hisab Qath’i yang
disebut juga Hisab Hakiki Tahqiqi. Sistem perhitungannya dapat dibantu
dengan perangkat pendukung modern sesuai dengan kemajuan IPTEK. Hasilnya
akurat sesuai dengan perhitungan nautika. Dalam proses
perhitungannya didukung oleh data tahun, bulan hari, jam, menit, detik,
garis lintang, garis bujur dan lain-lainnya sehingga hasil hisab ini
dapat dibuat grafik posisi Matahari dan Bulan secara tepat kapan saja
dan di mana saja. Hisab ini praktis digunakan dalam kegiatan rukyatul
hilal[28]. Bahkan sekarang telah dibuat oleh salah seorang anak dari KH Noor Ahmad SS software Nur al-Anwar. Dengan demikian proses perhitungan dengan sofrware ini akan semakin mudah karena usernya
hanya tinggal memasukkan data-data yang diminta, maka hasil
perhitungannya dengan segera dapat diperoleh. Dinyatakan bahwa jika kita
melakukan perhitungan dengan metode hisab Nur al-Anwar
menggunakan data yang disajikan dalam metode hisab Hakiki Kontemporer,
maka akan menghasilkan hasil perhitungan yang tingkat akurasinya tinggi.
F. Kontribusi Noor Ahmad SS bagi Perkembangan Ilmu Falak di Indonesia Ia merupakan ahli ilmu Falak yang mempelopori perubahan sistem buruj sebagai basis perhitungan Falak para ulama tradisional Indonesia kepada sistem derajat[29]. Perubahan kecil ini membuat suatu loncatan besar dalam pembelajaran ilmu Falak yang berbasis kitab-kitab ilmu Falak karangan para ulama tradisional sehingga menjadi lebih mudah dalam proses perhitungannya dan lebih sesuai dengan model perhitungan ilmu Falak yang berbasis ilmu Astronomi modern. Karyanya antara lain kitab-kitab ilmu Falak yang pernah ditulis adalah: Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar.
Kitab yang terakhir inilah yang merupakan magnum opus pemikiran ilmu
Falaknya. Kitab ini banyak digunakan oleh kalangan pesantren di daerah
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan merupakan salah satu sistem perhitungan
ilmu Falak yang dijadikan rujukan Depag Noor Ahmad SS merupakan salah satu di antara para ulama ahli Falak Indonesia yang cukup diperhitungkan. Di antara prestasinya adalah mengubah keputusan pemerintah Saudi Arabia dalam menentukan waktu wukuf pada tahun 1988. Waktu itu, pemerintah Saudi Arabia
berkeras ingin menentukan hari waktu Wukuf dalam pelaksanaan ibadah
haji yang tidak sesuai dengan perhitungan ilmu Falak. Tapi disesuaikan
begitu saja sehingga pelaksanaannya pada hari Jum’at, agar dapat menjadi
momentum Haji Akbar. Melihat rekayasa pemerintah Saudi Arabia,
di Indonesia PBNU yang pada waktu itu dipimpin oleh KH Abdurrahman
Wahid pun bertidak cepat. PBNU secara resmi mengutus KH Noor Ahmad SS
untuk meluruskan kesalahan pemerintah Saudi Arabia
tersebut. Maka Noor Ahmad pun berada dalam rombongan haji para pengurus
PBNU. Di Mekah, KH Nur Ahmad kemudian membuat penuturan tertulis dalam
bahasa Arab yang menyatakan bahwa klaim pemerintah Saudi Arabia
adalah salah. Ia menyertakan berbagai pandangan hingga setebal delapan
belas lembar lalu dikirim ke beberapa pihak, termasuk pemerintah
kerajaan Saudi Arabia dan Kedutaan Indonesia di sana[30]. Lalu ia mengumpulkan orang-orang Indonesia yang bermukim di Mekah, untuk melakukan tekanan secara politik. Ia berpesan, jika benar Saudi Arabia
tetap memutuskan dan mengumumkan bahwa wukuf jatuh pada hari Jumat,
maka mereka harus tetap melaksanakan wukuf pada hari Sabtu. Akhirnya,
pemerintah Saudi Arabia bersedia merubahnya pendiriannya dan jadilah akhirnya wukuf bersama-sama pada hari Sabtu[31]. Jadwal
Salat Sepanjang masa yang dibuatnya dijadikan panduan dalam
melaksanakan ibadah salat di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
sekitarnya. Bahkan penulis menemukan jadwal salat sepanjang masa ini
digunakan juga oleh beberapa pihak di daerah Lampung. Sebagai
seorang ahli ilmu Falak yang dimumpuni, ia mentransfer ilmunya melalui
pelajaran tentang ilmu Falak di pondok pesantrennya di Setinggil,
Jepara. Di samping itu di usianya yang sudah senja, ia masih tetap aktif
dalam seminar dan lokakarya ilmu Falak baik di tingkat lokal dan
nasional. Ia adalah contoh hidup sebagai seorang yang sepanjang hidupnya
didarmabaktikan untuk pengembangan ilmu Falak. Di antara bentuk
pengakuan atas ketinggian ilmunya di bidang ilmu Falak, ia tercatat
sebagai anggota Badan Hisab Rukyah (BHR) Departemen Agama G. Catatan Akhir Menurut
mengklasifikasian yang dilakukan Departemen Agama dinyatakan bahwa
tingkat akurasi metode perhitungan Syams al-Hilal karya Noor Ahmad SS
adalah tergolong metode perhitungan ilmu Falak yang Hakiki Taqribi yang
tingkat akurasinya rendah. Dan kitab Nur al-Anwar
tergolong metode hisab yang Hakiki Tahqiqi yang tingkat akurasinya
sedang. Dalam metode hisab yang Hakiki Tahqiqi telah dilakukan
koreksian-koreksian hilal dan Matahari agar sesuai dengan keadaan riil;
yang sebenarnya. Dalam
metode hisab Hakiki Kontemporer, metode al-Mawaqit karya Khafid
misalnya. Menurut Khafid dalam metode al-Mawaqit terdapat banyak sekali
koreksian-koreksian untuk posisi hilal dan matahari. Walaupun jika
dipilah-pilah, masing-masing koreksian itu hanya kecil pengaruhnya
terhadap perhitungan misalnya sampai detik (˝). Tetapi jika diakumulasi
koreksian-koreksian itu akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan
dalam perhitungan. Perlu juga kiranya dalam tulisan ini didekati dengan pendekatan historical knowledge,
(latar belakang perkembangan ilmu pengetahuan). Pendekatan ini dalam
kerangka memposisikan karya-karya Noor Ahmad SS dalam pemetaan ilmu
Falak di Indonesia. Sehingga kita akan memposisikannya secara
proposional sesuai dengan perkembangan ilmu Falak pada saat itu dan
menjawab persoalan umat pada masanya. Bukan secara serta menyatakan
pensejajarannya dengan metode Hisab Hakiki Kontemporer ataupun hanya melihat ketertinggalannya dari perkembangan ilmu Hisab Hakiki Kontemporer. H. Penutup Demikianlah Noor Ahmad SS dengan penuh semangat dan
dedikasinya untuk perkembangan ilmu Falak. Semoga ini memberikan
inspirasi untuk kemajuan ilmu Falak yang berbasis ilmu Falak tradisional
untuk mengadopsi ilmu falak yang berbasis ilmu Astronomi modern. Hal
ini menjadi penting untuk menunjang perkembangan ilmu Falak (Astronomi
Islam) dalam berinteraksi dengan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Wa Allahu a’lamu bi ash-shawab Daftar Pustaka Ahmad SS, Noor, 1998, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998 ____________, 2000, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan,
Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah
dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali
Songo Semarang ____________,2000, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang ____________, 2001, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang ____________, 2003, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang ____________,2006, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang ____________,1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah ____________, 1986, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah Amin, Syaifullah, Kh Nur Ahmad, Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia, http://www.nu.or.id/ Azhari, Susiknan, 2001, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, ____________, 2007, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2 ____________, 2008, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2 Depag Depag ____________, 2004, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag ____________, 1992, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press ___________,1994/1995, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag Djambek, Sa’adoeddin, 1976, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas Fathurohman SW, Oman, 2004, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag Hambali, Slamet, 2008, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali Songo Semarang Karim MS, Abdul, 2006, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1 Khazin, Muhyiddin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3 ____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag Murtadho, Moh, 2008, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, cet.ke1 Rachim, Abdur, 1983, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, Cet.ke-1 ____________,1998, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998 Saksono, Toto, 2007, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies Shadiq, Sriyatin, 2008, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal,
Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan
Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Zulhijjah- 1
Muharram 1430H
Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008 [1] Jayusman, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung, http://jayusmanfalak.blogspot.com emai: jay_falak@yahoo.co.id [2] Muhyiddin Khazin, 2008, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, h. 28-29 [3] Ibid, h. 29 [7] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8 [8] Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. [10] Cara
menentukan suatu tahun itu termasuk tahun Kabisah atau basitah adalah
dengan membagi tahun tersebut dengan angka 30. Jika sisanya termasuk
deretan angka-angka pada syair di atas maka tahun tersebut termasuk
tahun Kabisah, jika tidak maka termasuk tahun Basitah. Sebagai contoh
tahun 1430 H, 1430: 30= 47 daur sisa 20. Bilangan 20 tidak termasuk
tahun Kabisah, maka tahun 1430 H adalah tahun Basitah. Contoh yang lain
adalah tahun 1431 daur sisa 21. Bilangan 21 termasuk tahun Kabisah.
Sa’aduddin Djambek agak berbeda dalam penentuan tahun Kabisah ini, ia
memasukkan tahun ke 16 sebagai tahun Kabisah dan tidak tahun yang ke 15. [12] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag [15] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'I,
Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 133-134. Lebih lanjut lih
Moedji Raharto. “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam”, dimuat dalam
majalah Forum Dirgantara, No. 02/TH. /Oktober/1994, h. 25 dan T.
Djamaluddin. “Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya”, dimuat dalam harian Republika, Jum’at, 10 Juni 1994, h. 8. [17] Ibid [18] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag [19] Noor Ahmad SS, 1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, h. 6 [22] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109 [23] Misalnya
Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap
ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu
terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah
yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata
“wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual
sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal
dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari
Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus
diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari
arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. [24] T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com[25] Murtadho, op.cit, h.225-226 [26] Ibid [27] Ibid, 226-227 [28] Noor Ahmad SS 2003, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar,
Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah
dan daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh PPM IAIN Wali
Songo Semarang, h. 2 [30] Syaifullah Amin, Kh Nur Ahmad, Usulnya untuk Mengubah Waktu Haji Diterima Pemerintah Saudi Arabia, http://www.nu.or.id/ Takwim Hijriah: Penanggalan Islam Pedoman untuk Pelaksanaan Ibadah JAYUSMAN Lektor IAIN Raden Intan Lampung jay_falak@yahoo.co.id Abstrak Takwim Hijriah hisab hakiki adalah sistem penanggalan yang berpedoman pada pergerakan ril bulan. Dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Jumlah hari setiap bulannya tidak bersifat tetap atau konstan dan bukan pula tidak beraturan tetapi tergantung pada posisi hilal yang sebenarnya pada akhir suatu bulan. Inilah kiranya di antara karakteristik takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki dan yang membedakannya dengan yang berdasarkan hisab urfi. Takwim hijriah yang berdasarkan hisab hakiki inilah yang disepakati oleh para ulama untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah dalam Islam. Key word: Takwim Hijriah, Hisab Hakiki, Hisab Urfi, Pedoman Pelaksanaan Ibadah. A. Pendahuluan Akhir-akhir ini jamak kita mendapati perbedaan seputar penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Dalam mengawali puasa Ramadan terkadang terdapat beberapa hari yang berbeda. Misalnya pemerintah mengumumkan hari Minggu adalah permulaan puasa Ramadan 1430 H. Padahal sebagian kelompok tarekat tertentu telah memulai puasa Ramadan mereka hari Sabtunya. Lain lagi dengan kelompok Kejawen yang baru berpuasa pada hari Senin. Perbedaan ini lebih banyak lagi jika menelusurinya pada kelompok-kelompok yang lebih kecil scopenya di masyarakat. Penentuan dan penetapan waktu dalam pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut itu menjadi sangat penting artinya untuk kemantapan; keyakinan serta menghapuskan keragu-raguan apa lagi dalam hal pelaksanaan ibadah mahdhah. Dan masyarakat tidak dibuat bingung dengan beranekaragamnya praktek yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang penetapan kalender Islam atau Hijriah; fungsi dan karakteristiknya. Penanggalan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan ibadah bagi umat Islam.
B. Sejarah Penanggalan Islam Di masa pra Islam, belum dikenal penomoran tahun sebagaimana yang dikenal dan dapati pada masa sekarang. Sebuah tahun ditandai dengan nama peristiwa yang terjadi, seperti tahun Fil/Gajah (tahun lahirnya nabi Muhammad) karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah oleh pasukan bergajah yang dipimpin raja Abrahah yang berasal dari Yaman Selatan, sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Fil/105. Setelah datangnya Islam, dinamakanlah tahun wafatnya Siti Khadijah dan paman nabi; Abu Thalib dengan tahun Huzn (tahun penuh duka cita), tahun pertama hijrahnya Nabi sebagai tahun Idzn/Izin yaitu tahun diizinkannya untuk berhijrah. Tahun kedua disebut tahun Amr/perintah yaitu tahun diperintahkannya untuk berperang, tahun kesepuluh disebut tahun Wada' (haji Wada'/Perpisahan). Penamaan suatu tahun itu terkait dengan peristiwa monumental yang terjadi pada tahun tersebut sehingga melalui peristiwa penting itu namanya diabadikan.[1] Terhadap penamaan bulan, bangsa Arab telah mengenal dan menetapkan nama-nama bulan seperti yang kita dapati hingga saat ini yang juga selalu dikaitkan dengan fenomena alam, yaitu: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, dan Zulhijah. Menurut al-Biruni sebagaimana dikutip oleh Ali Hasan Musa bahwa nama-nama bulan dalam Kalender Kamariah mulai dikenalkan sejak tahun 412 M. Nama-nama bulan Kamariah tersebut berubah-ubah selama empat kali sampai yang kini dipakai oleh umat Islam. Dalam uraiannya, Ali Hasan Musa menyatakan bahwa nama-nama bulan Kamariah yang berkembang sekarang mulai digunakan sejak akhir abad V Masehi.[2] Susiknan Azhari, mengilustrasikan tentang perkembangan penamaan bulan-bulan tersebut, sebagai berikut:
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab ra. (tahun 17 H) kalender Islam terbentuk dengan nama kalender hijriah. Dengan berbagai usulan dan pendapat akhirnya rapat memutuskan dan memilih awal kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah, yang merupakan usulan dari Ali ra. Sejak saat itu, ditetapkan tahun hijrah nabi sebagai tahun satu, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan 16 Juli 622 M. Dan tahun dikeluarkannya keputusan itu langsung ditetapkan sebagai tahun 17 H.[4] Dengan demikian maka perhitungan tahun Hijriah itu diberlakukan mundur sebanyak tujuh belas tahun. C. Fungsi Penanggalan Hijriah Acuan yang digunakan untuk menyusun penanggalan adalah siklus pergerakan dua benda langit yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan manusia di Bumi, yakni Bulan dan Matahari. Kalender yang disusun berdasarkan siklus sinodik Bulan dinamakan Kalender Bulan (Kamariah, Lunar). Kalender yang disusun berdasarkan siklus tropik Matahari dinamakan Kalender Matahari (Syamsiah, Solar). Sedangkan kalender yang disusun dengan mengacu kepada keduanya dinamakan Kalender Bulan-Matahari (Kamariah-Syamsiah, Luni-Solar).[5] Sistem penanggalan dan ukuran waktu ini dibutuhkan dalam kehidupan kita untuk mendata, mencatat; proses dokumentasi, merencanakan peristiwa dan kegiatan penting dalam kehidupan secara pribadi maupun sosial dalam arti yang lebih luas. Dalam pengertian yang praktis dan sederhana kita membutuhkan kalender untuk penentuan hari dan tanggal.[6] Adapun pada awalnya kalender merupakan sebuah tabel astronomi yang menggambarkan pergerakan matahari dan bulan untuk kepentingan ibadah dan bercocok tanam saja. Sehingga satuan tahun bukanlah hal yang penting. Tahun seringkali/diawali dengan peristiwa bersejarah ataupun pergantian kekuasaan.[7] Pelaksanaan ibadah dalam Islam sebagian dikaitkan pada waktu atau tanggal tertentu. Seperti seputar penetapan awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan yang terkait dengan penetapan bulan-bulan itu saja yang ada di tengah-tengah masyarakat muslim. Tapi juga misalnya perhitungan haul yang terkait dengan kewajiban berzakat bagi mereka yang berada serta ibadah puasa-puasa sunnah yang dilaksanakan pada tanggal-tanggal tertentu. Selain itu, fungsi lain dari kalender adalah merekonstruksi peristiwa atau sejarah di masa lampau. Banyak peristiwa yang terjadi sebelum dimulainya penanggalan Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab yang dapat dihitung ulang, seperti tentang kelahiran nabi Muhammad saw. Alat uji atau mengecek ulang kebenaran perhitungan penanggalan tersebut adalah riwayat yang menggambarkan peristiwa tersebut. Riwayat kronologis kehidupan Rasulullah menyatakan tentang hari atau musim merupakan alat uji terbaik dalam analisis konsistensi historis-astronomisnya. Urutan hari tidak pernah berubah dan berisifat universal. Pencocokan musim diketahui dengan melakukan konversi sistem kalender hijriah ke sistem kalender masehi. Program komputer sederhana konversi kalender hijriah-masehi dapat digunakan sebagai pendekatan awal yang praktis dalam merekonstruksi kronologi kejadian penting dalam kehidupan Rasulullah.[8] Beragam informasi dijumpai di buku-buku tarikh tentang kejadian-kejadian itu. Haekal menyatakan tentang kelahiran Nabi Muhammad saw saja terdapat berbagai pendapat. Ada yang menyatakan lahir pada tanggal 2, 8, 9, atau 12. Bulannya pun beragam: Muharam, Safar, Rabiul awal, Rajab, atau Ramadan tahun Gajah, 15 tahun sebelum tahun Gajah, 30 tahun setelah tahun Gajah, atau bahkan 70 tahun setelah tahun Gajah. Namun kebanyakan pendapat menyatakan Rasulullah saw dilahirkan pada hari Senin 12 Rabiul awal tahun Gajah. Peristiwa itu terjadi 53 tahun sebelum hijrah (secara matematis-astronomis dapat dinyatakan sebagai tahun -53 H). Sehingga saat kelahiran nabi tersebut bertepatan dengan hari Senin 5 Mei 570 M.[9] D. Penanggalan Berdasarkan Hisab Urfi Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari.[10] Biasanya untuk memudahkan dan kepentingan praktis perhitungan dalam pembuatan kalender Kamariah dibuat secara urfi. Kalender Kamariah urfi didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi dalam orbitnya dengan masa 29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik setiap satu bulannya. Rentang waktu tersebut adalah rentang waktu dari konjungsi (ijtimak) ke konjungsi berikutnya. Dengan perkataan lain, rentang waktu antara posisi titik pusat Matahari, Bulan, dan Bumi berada pada bidang kutub ekliptika yang sama. Rentang waktu itu disebut dengan bulan/month. Dengan demikian, perhitungan kalender Kamariah di mulai dari menghitung awal bulan atau bulan baru/new month.[11] Kalender ini terdiri 12 bulan, dengan masa satu tahun 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik. Itu berarti lebih pendek 10 hari, 21 jam (sekitar 11 hari) dibanding dengan kalender Masehi dalam setiap tahunnya. Masa satu tahun sama dengan 354 hari, 8 jam, 48 menit, 35 detik yang kalau kita sederhanakan dapat dikatakan bahwa satu tahun itu sama dengan 354 11/30 hari. Dalam siklus 30 tahun, akan terjadi 11 tahun Kabisah yang berumur 355 hari dan sebagai tambahan satu hari ditempatkan pada bulan Zulhijah (bulan Zulhijahnya berumur 30 hari). Sedangkan 19 tahun sisanya merupakan tahun Basithah yang berumur 354 hari. Dengan demikian jumlah hari dalam masa 30 tahun = 30 x 354 hari + 11 hari = 10631 hari, yang diistilahkan dengan satu daur. [12] Sistem hisab ini tak ubahnya seperti Kalender Miladiah (Syamsiah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun Kabisah tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. Dari paparan tentang penanggalan berdasarkan hisab urfi, dapat dinyatakan bahwa penanggalan tersebut memiliki karakteristik: 1. awal tahun pertama Hijriah (1 Muharam 1 H) bertepatan dengan hari Kamis tanggal 15 Juli 622 M berdasarkan hisab atau hari Jum’at tanggal 16 Juli 622 berdasarkan rukyat; 2. satu periode (daur) membutuhkan waktu 30 tahun; 3. dalam satu periode/ 30 tahun terdapat 11 tahun panjang (kabisat) dan 19 tahun pendek (basitah). Untuk menentukan tahun kabisat dan basitah dalam satu periode biasanya digunakan syair:
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه Tiap huruf yang bertitik menunjukkan tahun kabisat dan huruf yang tidak bertitik menunjukkan tahun basitah. Dengan demikian, tahun-tahun kabisat terletak pada tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26, dan 29. Sebagai contoh tahun 1417 H mempunyai bilangan tahun 7 (1417: 30 = 47 daur sisa 7 tahun), jadi tahun 1417 H adalah tahun kabisat; 4. penambahan satu hari pada tahun kabisat diletakkan pada bulan yang kedua belas/ Zulhijah; 5. bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari, sedangkan bulan-bulan genap umurnya 29 hari (kecuali pada tahun kabisat bulan terakhir/ Zulhijah ditambah satu hari menjadi genap 30 hari); 6. panjang periode 30 tahun adalah 10.631 hari (355 x 11 + 354 x 19 = 10.631). Sementara itu, periode sinodis bulan rata-rata 29,5305888 hari selama 30 tahun adalah 10.631,01204 hari (29,5305888 hari x 12 x 30 = 10.631,01204).[13]
Kalender Hijriah yang menganut prinsip Lunar calendar yang terdiri 12 bulan. Bulan yang pertama adalah Muharam dan bulan terakhir adalah Zulhijah. Hal ini didasarkan pada firman Allah: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram[14]. Itulah (ketetapan) agama yang lurus. QS at-Taubah/9 ayat 36. Nama-nama dan panjang bulan Hijriah--dalam Hisab Urfi--itu , sebagai berikut:
E. Penanggalan Hijriah Berdasarkan Hisab Hakiki Sistem kalender Islam; kalender hijriah yang dapat dijadikan acuan dalam hal ibadah adalah kalender yang berdasarkan perhitungan atau hisab hakiki. Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Berikut ini kita akan melihat beberapa konsep yang terkait dengan penanggalan Islam yang berdasarkan hisab Hakiki: 1. Umur Bulan Menurut sistem ini umur bulan tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[15] Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu.[16] Kalender hijriah dikategorikan sebagai sistem penanggalan astronomical calendar, karena didasarkan pada realitas fenomena astronomi yang terjadi. Hal ini berbeda dengan kalender masehi yang hanya didasarkan pada aturan numerik (rata-rata perhitungan fenomena astronominya), sehingga disebut juga dengan aritmathical calendar. [17] Moedji Raharto dalam artikelnya yang berjudul “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam” menjelaskan bahwa sistem kalender Hijriah atau penanggalan Islam adalah sebuah sistem kalender yang tidak memerlukan pemikiran koreksi, karena betul-betul mengandalkan fenomena fase bulan; dalam bahasa T. Djamaluddin, kalender Kamariah merupakan kalender yang paling sederhana yang mudah dibaca di alam. Awal bulan ditandai oleh penampakan hilal (visibilitas hilal) sesudah matahari terbenam (maghrib).[18] Dalam kalender Kamariah, umur bulan (syahr) bisa diketahui dengan mudah melalui pengamatan yang sederhana terhadap Bulan. Hal itu terkait dengan sunnatullah tentang siklus pergerakan Bulan yang membuat Bulan hadir dalam pengamatan manusia di Bumi dalam posisi dan bentuk penampakan yang selalu berubah setiap hari secara signifikan. Perubahan itu berupa pergeseran posisinya ke arah Timur sejauh rata-rata 12° setiap hari dan pergeseran itu sekaligus mengakibatkan perubahan bentuk penampakannya. Mengenai fenomena ini Al-Qur' an (Yasin/36: 39) menyatakan: "Kami tetapkan bagi Bulan manzilah-manzilah, sehingga kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua."[19] Keadaan seperti itu tidak terjadi pada Matahari yang hadir dengan bentuk penampakan yang relatif sama setiap hari. Meskipun sebenarnya posisi Matahari itu juga bergeser, yakni ke Utara atau ke Selatan, tetapi pergeserannya itu yang terjadi tersebut tidak secara mencolok karena per hari rata-rata hanya sebesar 0° 15' 24,54". Karena itu --tidak seperti dalam kalender Kamariah--umur bulan dalam kalender Syamsiah tidak bisa dengan mudah diketahui lewat pengamatan yang sederhana terhadap Matahari.[20] 2. Permulaan Hari Dalam kalender hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari setiap harinya. Penentuan awal bulan; bulan baru ditandai dengan munculnya hilal di ufuk Barat waktu Magrib setelah terjadinya konjungsi atau ijtimak. Ini berdasarkan firman Allah: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji… QS al-Baqarah/ 2 ayat 189 Ketika masuknya waktu Magrib berarti telah memasuki hari yang baru; terjadinya pergantian tanggal dan sekaligus meninggalkan hari yang sebelumnya. Dalam ilmu astronomi, pergantian atau permulaan hari berlangsung saat posisi Matahari berkulminasi bawah, yakni pada pukul 24.00 atau pukul 12.00 malam. Ini yang dijadikan patokan dalam kalender yang berbasiskan peredaran Matahari (Solar Calendar). Sementara itu pergantian atau permulaan hari dalam penanggalan Islam dalam penentuan awal bulan Kamariah adalah saat terbenamnya Matahari. [21] Penanggalan hijriah yang berdasarkan atas astronomical fenomena ini tidak mengenal tahun kabisat yang berjumlah 11 tahun dalam setiap 30 tahun; satu daur sebagaimana yang terdapat dalam penanggalan Kamariah yang berdasarkan hisab urfi. Inilah penanggalan atau kalender hijriah yang didasarkan pada perhitungan/hisab hakiki yang berbeda dengan kalender yang didasarkan pada perhitungan/ hisab urfi. 3. New Month (Bulan Baru) Dalam penentuan telah masuknya bulan baru atau awal bulan Kamariah terdapat perbedaan ahli hisab, di antaranya yang berpendapat bahwa awal bulan baru itu ditentukan oleh terjadinya ijtimak sedangkan yang lain mendasarkannya pada posisi hilal. KH Noor Ahmad SS menyatakan ijtimak/ konjungsi/ iqtiran/ pangkreman yaitu apabila Matahari dan Bulan berada pada kedudukan/bujur astronomi yang sama. Dalam astronomi dikenal dengan istilah konjungsi (conjunction) dan dalam bahasa Jawa disebut pangkreman. Ijtimak dalam ilmu hisab dikenal juga dengan istilah ijtimak an-nayyirain.[22] Dalam kitab Nur al-Anwar dijelaskan bahwa ijtimak itu adakalanya terjadi setelah Matahari terbenam dan pada waktu yang lain terjadi sebelum matahari terbenam. Ijtimak setelah Matahari terbenam, posisi hilal masih di bawah ufuk dan pasti tidak dapat dirukyah. Adapun apabila ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam ada tiga kemungkinan, yaitu: a. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan mungkin bisa dirukyah. b. Hilal sudah wujud di atas ufuk dan tidak mungkin bisa dirukyah c. Hilal belum wujud di atas ufuk/masih di bawah ufuk dan pasti tidak mungkin bisa dirukyah. [23] Kelompok yang berpegang pada sistem ijtimak menetapkan jika ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam, maka sejak Matahari terbenam itulah awal bulan baru sudah mulai masuk. Mereka sama sekali tidak mempermasalahkan hilal dapat dirukyah atau tidak. Sedangkan kelompok yang berpegang pada posisi hilal menetapkan jika pada saat Matahari terbenam posisi hilal sudah berada di atas ufuk, maka sejak Matahari terbenam itulah perhitungan bulan baru dimulai. [24] Keduanya sama dalam penentuan awal masuknya bulan Kamariah, yakni pada saat Matahari terbenam. Namun keduanya berbeda dalam menetapkan kedudukan Bulan di atas ufuk. Aliran ijtimak qabl ghurub sama sekali tidak mempertimbangkan dan memperhitungkan kedudukan hilal di atas ufuk pada saat sunset. Sebaliknya kelompok yang berpegang pada posisi hilal saat sunset menyatakan apabila hilal sudah berada di atas ufuk itulah pertanda awal masuknya bulan baru. Bila hilal belum wujud berarti hari itu merupakan hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. [25] Selanjutnya kedua kelompok ini masing-masingnya terbagi lagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. Perbedaan ini disebabkan atau dikaitkan dengan fenomena-fenomena yang terdapat di sekitar peristiwa ijtimak dan ghurub asy-syams. Dan dalam perkembangan wacana dalam penetapan awal bulan Kamariah, kelompok yang berpegang pada posisi hilal inilah yang lebih mendominasi. Akan dibahas tentang kelompok yang berpedoman pada wujudul hilal dan kelompok yang berpedoman pada imkanu rukyah dalam penentuan awal bulan. Keduanya merupakan bagian dari mereka yang berpegang pada posisi hilal dan memiliki standar atau patokan yang berbeda. Mereka yang berpedoman pada wujudul hilal menyatakan bahwa pedoman masuknya awal bulan adalah telah terjadi ijtimak sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah wujud di atas ufuk. Sementara itu mereka yang berpedoman pada imkanu rukyah menyatakan bahwa patokan masuknya awal bulan adalah telah ijtimak terjadi sebelum terbenam Matahari dan pada saat sunset itu hilal telah berada di atas ufuk pada ketinggian yang memungkinkan untuk dirukyah. Dalam menentukan masuknya awal bulan, mereka yang berpedoman pada wujudul hilal berpatokan pada posisi hilal sudah di atas ufuk tanpa mematok ketinggian tertentu. Jika hilal telah di atas ufuk otomatis pertanda masuknya awal bulan. Mereka yang berpedoman pada imkan ar-rukyah menentukan ketinggian tertentu hilal sehingga memungkinkan untuk dirukyah. Kriteria ketinggian hilal ini pun dimaknai berbeda-beda ada mereka yang menyatakan bahwa ketinggian hilal untuk memungkinkan untuk dirukyah itu harus 2°, 3°, 4°,7°, atau 9°. Di samping itu ada kriteria-kriteria lain sebagai pendukung seperti illuminasi bulan, jarak antara Bulan dan Matahari saat ghurub, posisi hilal terhadap Matahari, jangka waktu antara ijtimak dan terbenamnya Matahari, dan lainnya. [26] 4. Hilal Hilal (bulan sabit pertama yang bisa diamati setelah konjungsi) digunakan sebagai penentu waktu ibadah. Perubahan yang jelas dari hari ke hari menyebabkan bulan dijadikan penentu waktu ibadah yang baik. Nampaknya karena alasan kemudahan dalam penentuan awal bulan dan kemudahan dalam mengenali tanggal dari perubahan bentuk (fase) bulan inilah kelebihan tahun Kamariah. Ini berbeda dengan kalender Syamsiah (kalender matahari) yang menekankan pada keajegan (konsistensi) terhadap perubahan musim, tanpa memperhatikan tanda perubahan hariannya. Pendefinisian hilal bisa beragam karena ia merupakan bagian dari riset ilmiah, semua definisi itu semestinya saling melengkapi satu dengan lainnya. Bukan dipilih definisi parsial, tapi hilal harus didefinisikan dengan sebuatu definisi yang komprehensif. Misalnya, definisi lengkap yang dirumuskan sebagai berikut: hilal adalah bulan sabit pertama yang teramati di ufuk barat sesaat setelah Matahari terbenam, tampak sebagai goresan garis cahaya yang tipis, dan bila menggunakan teleskop dengan pemroses citra bisa tampak sebagai garis cahaya tipis di tepi bulatan bulan yang mengarah ke matahari. Dari data-data rukyatul hilal jangka panjang, keberadaan hilal dibatasi oleh kriteria hisab tinggi minimal sekian derajat bila jaraknya dari matahari sekian derajat dan beda waktu terbenam bulan-matahari sekian menit serta fraksi iluminasi sekian prosen[27]. Penting artinya perhitungan posisi hilal ini. Karena perhitungan posisi hilal terkait dengan penentuan awal bulan (new month). Jika hilal telah wujud di atas ufuk menurut kriteria sebagian kelompok atau ketinggian hilal telah memenuhi kriteria visibilitas untuk dirukyah (imkanu rukyah) menurut sebagian kelompok yang lain, maka esok harinya adalah tanggal satu bulan yang baru. F. Penanggalan Hijriah yang Berdasarkan Hisab Urfi Tidak Bisa Dijadikan Landasan untuk Ibadah Hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Umur bulan Kamariah tidaklah konstan (tetap) dan tidak pula tidak beraturan, tapi bergantung posisi hilal setiap awal bulan. Boleh jadi umur bulan itu berselang seling antara dua puluh sembilan dan tiga puluh hari. Atau bisa jadi umur bulan itu berturut-turut dua puluh sembilan atau berturut-turut tiga puluh hari. Semua ini bergantung pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya; posisi hilal pada awal bulan tersebut.[28] Sistem ini tentu saja berbeda dengan penetapan kalender secara urfi. Dalam sistem penetapan kalender urfi yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Dengan demikian bulan Ramadan sebagai bulan kesembilan (ganjil) selamanya akan berumur tiga puluh hari. Pada hal dalam kenyataannya tidak selalu seperti itu. Patut dicatat hisab urfi sudah digunakan di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia dalam masa yang sangat panjang. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan terbukti bahwa sistem hisab ini kurang akurat digunakan untuk keperluan penentuan waktu ibadah (awal Ramadan, awal Syawal, dan awal Zulhijah). Penyebabnya karena perata-rataan peredaran bulan tidaklah tepat sesuai dengan penampakan hilal (new moon) pada awal bulan.[29] Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah .[30]
G. Penutup Penanggalan Hijriah; penanggalan Islam adalah pedoman bagi seluruh masyarakat Islam dalam pelaksanaan kegiatan ibadah mereka. Kalender yang berdasrkan hisab hakikilah yang dapat dijadikan pedoman untuk hal tersebut. Karena kalender hisab hakiki didasarkan pada peredaran ril bulan (qamar). Adapun penanggalan yang didasarkan pada hisab urfi; penanggalan yang berdasarkan pada perhitungan rata-rata dari peredaran Bulan mengelilingi Bumi. Perhitungan secara urfi ini bersifat tetap, umur bulan itu tetap setiap bulannya. Bulan yang ganjil; gasal berumur tiga puluh hari sedangkan bulan yang genap berumur dua puluh sembilan hari. Pada hal dalam kenyataannya tidaklah tepat sesuai selalu seperti itu, dengan penampakan hilal (new moon) pada awal bulan. Sehingga perhitungan secara urfi ini disepakati oleh para ulama tidak dapat dijadikan sebagai pedoman untuk pelaksanaan ibadah. Wa Allah a’lamu bi ash-shawab. Daftar Pustaka Ahmad SS, Noor, (Tanpa Judul), Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998. ____________, Sistem Hisab Nur al-Anwar dan Fath Ra’uf al-Mannan, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000. ____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1421H/2000M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2000. ____________, Hisab dan Kedudukannya dalam Ibadah Muaqat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1422H/2001M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2001. ____________, Upaya Menyatukan Visi Terhadap Peristiwa Bersejarah Menurut Hisab Nur al-Anwar, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1424H/2003M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2003. ____________, Menuju Cara Rukyat yang Akurat, Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1427H/2006M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2006. ____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz al-Awal fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995. ____________, Risalah Syam al-Hilal al-Juz ats-Tsani fi Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf , Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1995. ____________, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986. ____________, Jadwal al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, 1986. Anwar, Syamsul, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader Azhari, Susiknan, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta: Lazuari, Cet.ke-1, 2001. ____________, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag ____________, Hisab dan Rukyat Wacana untuk Membangun Kebersamaan di tengah Perbedaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 2007. ____________, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, Cet. Ke-2, 2007. ____________, Ensiklopedi Hidab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.ke-2, 2008. ____________ dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
Depag Depag ____________, Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Depag ____________, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992. ___________, Pedoman Penghitungan Awal Bulan Qamariyah, Jakarta: Depag RI, 1994/1995. ___________,Pedoman Penentuan Arah Kiblat, Jakarta: Depag RI, 1994/1995. ___________, Pedoman Penentuan Jadwal Waktu Salat Sepanjang Masa, Jakarta: Depag RI, 1994/1995. Djambek, Sa’adoeddin, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976. Fathurohman SW, Oman, Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, Power point makalah disampaikan pada Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah, Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. ___________, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag Izzuddin, Ahmad, Fiqh Hisab Rukyat Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007. ___________, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006. ___________, Problematika Hisab Rukyat di Indonesia, Makalah pada Orientasi Hisab Rukyat se-Jawa Tengah, Semarang 28-30 November 2008. ___________, Melacak Pemikiran Hisab Rukyah Tradisional (Studi atas Pemikiran Muhammad Mas Manshur al-Batawi), Puslit IAIN Wali Songo, 2004. Hambali, Slamet, Hisab Awal Bulan Sistem Ephemeris Makalah pada Lokakarya Imsakiyah Ramadhan 1429H/2008M se Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta. Semarang: PPM IAIN Wali Songo, 2008. Karim MS, Abdul, Mengenal Ilmu Falak, Semarang: Intra Pustaka Utama, Cet.ke-1, 2006 Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.ke-3, 2008. ____________, Hisab Awal Bulan Sistem Nurul Anwar (Kajian Astronomis) dalam Depag Kontribusi Ulama Betawi Terhadap Ilmu Falak, hhtp://islamic-center.or.id. Murtadho, Moh, Ilmu Falak Praktis, Malang: UIN Malang Press, 2008, cet.ke1. Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Liberty, 1983, Cet.ke-1. ____________, Penyerasian Metode dan Sistem Penetapan Awal Bulan Qamariyah di Indonesia, Makalah pada Musyawarah Kriteria Imkanur Rukyah di Indonesia, Bogor: 24-26 Maret 1998. Saksono, Toto, Mengkompromikan Rukyat & Hisab, Jakarta: Amythas Publicita bekerja sama dengan Center for Islamic Studies, 2007. Samarani, as-, Abah Zacky, Data ketinggian hilal masa nabi Muhammad SAW, http://blogcasa.wordpress.com. Setyanto, Hendro, Membaca Langit, Jakarta: al-Ghuraba, 2008, Cet.ke-1. Shadiq, Sriyatin, Makalah Simulasi dan Metode Rukyatul Hilal, Pelatihan Hisab Rukyah Tingkat Nasional, Ponpes Setinggil, Kriyan Kalinyamatan Jepara pada tanggal 26-29 Desember 2008M/ 28 Dulhijjah- 1 Muharram 1430H. Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com. T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com ____________, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com. Wawancara dengan KH Noor Ahmad SS, 28 Desember 2008.
[1] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi Berdasarkan Hisab Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriyah, http: //t-djamaluddin.space.live.com
[2] Selengkapnya baca Ali Hasan Musa. At-Tauqit wa at-Taqawim, cet. II (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 186. dapat dibaca dalam Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, hlm. 136. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
[3] Susiknan Azhari, Upaya Penyatuan Kalender Islam Internasional, Susiknan Azhari, power point, pdf
[4] Taqwim Hijriyah, hhtp://afdacairo.blogspot.com [5] Abdul Salam Nawawi, Mengapa Islam Memakai Kalender Bulan?, http://www.nu.or.id
[6] Kalender adalah sistem pengorganisasian satuan-satuan waktu dengan tujuan untuk penandaan serta perhitungan waktu dalam jangka panjang. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hidab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) Cet.ke-2, hlm. 115. Oman Fathurohman SW mendefinikannya sebagai sejumlah sistem untuk menata hari-hari secara teratur. Kalender merupakan koleksi kaidah atau peraturan yang dijadikan dasar untuk menyusun kronologis waktu secara tepat. Dalam kehidupan sehari-hari, kalender digunakan dalam pengertian penanggalan. Kalender dalam arti penanggalan, di samping memuat pengelompokan hari ke dalam minggu, bulan, dan tahun, juga kadang memuat informasi lain seperti hari-hari libur, hari-hari atau tanggal-tanggal bersejarah, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
[7] Hendro Setyanto, Membaca Langit, (Jakarta: al-Ghuraba, 2008), Cet.ke-1, hlm. 40
[8] T. Djamaluddin, Rekonstruksi Kejadian Zaman Nabi , http: //t-djamaluddin.space.live.com [9] Ibid [10] Syamsul Awar, Almanak Berdasarkan Hisab Urfi Kurang Sejalan Dengan Sunnah Nabi saw: Surat Terbuka Untuk Pak Darmis, Almanak_Hijriah.pdf – Adobe Reader, hlm. 8
[11] Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006.
[13] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam, hlm. 136-137 [14] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan ihram. [15] Azhari, Susiknan, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag [17] Hendro, Membaca Langit, hlm. 46
[18] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'I, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 133-134. Lebih lanjut lih Moedji Raharto. “Dibalik Persoalan Awal Bulan Islam”, dimuat dalam majalah Forum Dirgantara, No. 02/TH. /Oktober/1994, h. 25 dan T. Djamaluddin. “Kalender Hijriah, Tuntunan Penyeragaman Mengubur Kesederhanaannya”, dimuat dalam harian Republika, Jum’at, 10 Juni 1994, hlm. 8. [19] Abdul Salam Nawawi, Mengapa Islam Memakai Kalender Bulan?, http://www.nu.or.id
[20] Ibid [21] Oman Fathurohman SW, Saadoeddin Djambek dan Hisab Awal Bulannya dalam Depag
[22] Ahmad SS, Noor 1986, Risalah al-Falak Nur al-Anwar min Muntaha al-Aqwal fi Ma’rifah Hisab as-Sinin wa al-Hilal wa al-Ijtima’ wa al-Kusuf wa al-Khusuf ’ala al-Haqiqi bi at-Tahqiqi bi ar-Rashd al-Jadid, Kudus: Madrasah Tasywiq ath-Thullab Salafiyah, hlm. 6
[23] Ibid, hlm. 33
[25] Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2007), Cet. Ke-2, hlm. 109
[26] Misalnya Muhammadiyah dalam hal ini memilih posisi Bulan dan Matahari terhadap ufuk sebagai tanda awal bulan, yakni apabila Matahari lebih dulu terbenam daripada Bulan setelah sebelumnya telah terjadi ijtimak. Inilah yang dikenal dengan “wujudul-hilal”.Kata “hilal” pada kata “wujudul-hilal”, dengan demikian, bukan hilal dalam arti visual sebagaimana ditunjukkan dalam hadis-hadis Nabi saw. melainkan hilal dalam arti konsepsual, yakni bagian permukaan Bulan yang tersinari Matahari menghadap ke Bumi. Atau lebih tepat lagi, istilah itu harus diartikan Matahari sudah terlampaui oleh Bulan dalam peredarannya dari arah barat ke timur; pembatasnya adalah ufuk. Oman Fathurohman SW, makalah Kalender Muhammadiyah Konsep dan Implementasinya, disampaikan dalam Musyawarah Ahli Hisab Muhammadiyah di Yogyakarta, 29-30 Juli 2006. [27] T Djamaluddin, Redefinisi Hilal menuju Titik Temu Kalender Hijriyyah, http://t-djamaluddin.space.live.com [28] Susiknan Azhari, Hisab Hakiki Model Muhammad Wardan: Penelusuran Awal dalam Depag
[29] Susiknan Azhari dan Ibnor Azli Ibrahim, Kalender Jawa Islam: Memadukan Tradisi dan Tuntutan Syar'i dalam Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. I, 2008, h. 137. 07-susiknan.pdf –Adobe Reader
|