Muhammadiyah selain dikenal sebagai organisasi Tajdid (pembaharuan) juga dikenal sebagai organisasi pemurnian agama atau purifikasi. Dua peran ini jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak buruk bagi organisasi, karena dua peran ini bisa saling berseberangan. Padahal keduanya di Muhammadiyah sudah mempunyai pengikut masing-masing. Dinamika keduanya terlihat jelas dalam arena Muktamar ke-45 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur awal juli lalu.

Peran-peran tajdid Muhammadiyah dimulai oleh pendirinya, KH. Ahmad Dahlan. Berbagai langkah KHA. Dahlan seperti meluruskan masjid, sholat Ied di lapangan, khotbah dengan bahasa non Arab merupakan langkah tajdid yang diterima sevara umum hingga saat ini. Ia pun dalam tajdid tidak segan-segan meniru institusi diluar Islam. Dalam hal p0endidikan, misalnya, Kyai leih memilih model pendidikan yang dikembangkan Belanda dengan menambah pelajaran agama ketimbang pendidikan model pesantren. Saat ini pun pesantren sudah mulai mengadop sistem ini dengan pengayaan yang lebih pada ilmu-ilmu agama.
Peran-peran purifikasi Muhammadiyah terlihat pada gerakan anti TBC (Tahayul, Bid’ah dan Khurafat). Gerakan yang membawa Muhammadiyah harus berhadapan secara diametral dengan kelompok masyarakat lain. Keranya yak heran gerakan ini mendapat halangan dari kelompok masyarakat lain meski yang mendukung gerakan ini juga tak kurang banyaknya. Baik peran tajdid maupun peran purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah ini tetap berujung pada ruju’ ilal Qur’an was Sunnah (kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnnah).
Perseturuan di Muktamar terlihat tatkala beberapa wilayah, salah satunya PWM Lampung, yang mempertanyakan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang mereka sejajarkan dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menurut mereka membingungkan masyarakat bawah. Isu ini ternyata tidak berhenti di pandangan umum PWM yang mesti telah dijelaskan secara gamblang oleh Prof. DR. HA. Syafi’i Ma’arif yang saat itu masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Pada sidang-sidang Komisi, permintaan terhadap pembubaran JIMM masih terus terulang. Bahkan tidak saja didalam sidang, isu ini juga menggema diluar sidang. Tatkala ada diskusi tentang JIMM di Media Centre, kelompok luar Muhammadiyah yang bergabung dalam HT (Hizbuth Thahrir Indonesia) ikut menggempur anak-anak JIMM sebagai agen liberalisme.
Meski sempat gencar diserang, tetapi dalam pernyataan terakhir tentang hasil Muktamar, JIMM tidak sempat disinggung. Hanya saja perjuangan perempuan Muhammadiyah untuk masuk ke pusaran Muhammadiyah terpotong. Ide ini menurut mereka merupakan bagian dari gerakan feminisme yang mereka kategorikan sebagai cabang dari liberalisme.
Baik sisi tajdid maupun purifikasi sebetulnya telah ada contoh jalan tengahnya, sebagaimana yang dijalankan oleh KHA. Dahlan tatkala menafsirkan surat Al-Ma’un yang menghasilkan Panti Asuhan dan Rumah Miskin merupakan tafsir baru yang berbau tajdid yang dilakukan Kyai meski tetap memperhatikan keaslian (purifikasi) ajaran. Sebetulnya dalam hal ini sudah ada rambu-rambunya, pembaharuan bisa dilakukan jika menyangkut hal ibadah keduniawian tetapi purifikasi jika menyangkut ibadah mahdhoh. Ini pun disadari oleh anak-anak JIMM sebagaimana dikatakan oleh Boy. Hanya saja yang menjadi persoalan jika yang satu mengatakan sebagai urusan keduniawian tetapi yang lain mengatakan sebagai ibadah mahdhoh, tentu ini memerlukan jalan tengah. Dan itu sebetulnya pilihan Muhammadiyah.
Pilihan posisi Muhammadiyah seperti saat ini, menurut Prof. Dr. HA. Syafii Maarif, sesuai dengan ayat 143 Surat Al Baqarah “Demikian itu Kami menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atar (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Ummatan Wasathan menurut mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, adalah umat moderta yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian, agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama dengan mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang ummat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
Peran-peran inilah yang akan dilakukan Muhammadiyah saat ini. Karenanya, dari berbagai kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi massa Islam yang membawa bendera moderta. Namun demikian peran demikian tidaklah mudah untuk bisa dilakukan Muhammadiyah. Karena di satu sisi harus berseberangan dengan kaum tradisional dan di sisi lain berseberangan pula dengan kaum garis keras. Di satu sisi, kaum tradisional menutup diri untuk membuka nuansa Islam yang telah dimilikinya. Dan di sisi lain, kaum garis keras memahami ajaranIslam secara tekstual.
Peran-peran posisi tengah ini sering terjebak dan berseberangan dengan yang lain. Dalam menerapkan ruju’ kepada Qur’an dan Hadits, pemahamannya sering berseberangan dengan kaum tradisional tetapi dalam menerapkan strategi dakwah sering bertentangan dengan kaum garis keras. Misalnya saja, dalam menerapkan fiqih di dalam peribadatan Muhammadiyah sering beriring bersamaan dengan kaum garis keras. Contoh dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Sehingga dalam masalah ini sering bertentangan dengan kaum tradisional. Tetapi dalam hal berstrategi sering beriringan dengan kaum tradisional, misalnya masalah pencantuman syariah dalam Pancasila. Sehingga dalam masalah ini seolah-olah berseberangan dengan kaum garis keras.
Karena pilihan yang demikian, sering Pimpinan Muhammadiyah menuai protes dari warganya yang memang beraneka ragam, baik yang dekat dengan kaum tradisional maupun dekat dengan kaum garis keras. Seperti masalah pencantuman tujuh kata di dalam Pancasila yang mewajibkan syariat, mereka menganggap Pimpinan Muhammadiyah anti syariah. Padahal itu masalah strategi dakwah saja yang menurut pimpinan belum waktunya untuk dicuatkan.

Perkembangan Global
Muhammadiyah juga menghadapi perkembangan global. Perkembangan global sampai saat ini, menurut rekomendasi Muktamar, memiliki kecenderungan untuk meminggirkan martabat kemanusiaan dan nilai spiritual kemanusiaan. Kondisi global tersebut ditandai dengan semakin parahnya kehancuran lingkungan hidup, pelanggaran HAM, eksploitasi kemiskinan, kemanusiaan dan perempuan. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam tertua dengan kekayaan jaringan amal usaha dan pengorganisasian yang relatif mapan, memiliki kewajiban rabbaniyah untuk berperan aktif dalam pengembangan peradaban global, guna mempertinggi fitrah ketuhanan dan martabat insaniyah kemanusiaan sebagai nilai dasar penegakan HAM, perbaikan lingkungan hidup yang berkelanjutan, good governance, kesetaraan gender, dan demokrasi.
Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab pemerintah adalah untuk lebih menngkatkan fungsi pelayanan publik (social services) bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang lebih baik, dan mampu memenuhi hak-hak dan kebutuhan pendidikan, dan gagal kerja. Dalam hubungan itu, sebagai bagian dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan global, Muhammadiyah perlu mengembangkan gerakan dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar, yang memiliki perhatian bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang terbebas dari penyakit sosial dan politik, terbebas dari gizi buruk dan terbebas dari tuna pendidikan.
Usia menjelang satu abad Muhammadiyah, sudah lebih dari cukup untuk berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas. Meskipun fokus dan perhatian Muhammadiyah harus tetap berada di dalam konteks Indonesia. Apa yang dikemukakan di atas membuat Muhammadiyah harus lebih memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global tersebut. Sebab pada kenyataannya, persoalan keislaman dan kemanusiaan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internasional. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dengan memaksimalkan peran jaringan amal usahanya untuk selalu merealisasi ijtihad dan tajdid baik dalam bidang pemikiran, gerakan, dan organisasi, sehingga pemenuhan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat terwujud.

Allah menentukan segala sesuatu di masa lampau 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Apa yang ditetapkan atas manusia tidak akan luput darinya, dan apa yang tidak ditetapkan tidak akan menimpanya. Dia mengetahui bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu yang telah ditentukan di sisiNya, dan di tempat-tempat yang telah ditentukannya.

Taqdir itu ada 4 macam :

Pertama, taqdir dalam ilmu dengan ilmu Allah segala sesuatu yang akan terjadi sudah diketahui sebelum manusia lahir sudah diketahui keadaannya. Apakah jadi manusia bahagia atau sebaliknya, jadi orang beriman atau kafir sudah diketahui Allah sebelumnya.

Dipalingkan darinya (rasul dan Al-Qur’an) orang yang dipalingkan (Az Dzariyat : 9)

Dipalingkan mendengarkan Al-Qur’an dan beriman kepadaNya di dunia, siapa yang telah dipalingkan darinya di masa azali. Tidak binasa dihadapan Allah, kecuali orang yang binasa , yakni orang yang telah dicatat dalam ilmu Allah bahwa ia akan binasa.


Kedua, Taqdir yang tercata di Lauhul mahfudz. Takdir ini bisa berubah. Firman Allah

“Allah menghapuskan (apa yang Ia kehendaki) dan menetapkan (apa yang Ia kehendaki) dan di sisiNyalah terdapat Umul-Kitab (Lauhul Mahfudz). Ar-Ra’du : 39.


Ketiga, taqdir di dalam rahim, yaitu bahwa malaikat diperintahkan supaya menulis: rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka atau bahagia.


Keempat, yaitu berbagai ketentuan yang akan terjadi pada waktu-waktu tertentu Allah menciptakan kebaikan, keburukan, serta menentukan kedatangannya kepada hamba-hambanya yang sudah ditentukan.

FirmanNya :

“Sesungguhnya orang-orang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka. (Ingatlah) pada hari mereka diseret mereka atas muka mereka (Dikatakan kepada mereka). Rasakanlah sentuhan api neraka. Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (Al-Qamar :47-49)

Bagian ini, jika hamba mendapatkan kemurahan dari Allah, maka ia dipalingkan darinya sebelum sampai kepadanya.

Dalam hadits disebutkan,

:Sedekah dan silatur rahim dapat menolak kematian buruk dan membalikkannya menjadi kebahagiaan.”

Dalam hadits yang lainnya :

“Sesungguhnya do’a dan bala’ berada diantara langit dan bumi dalam keadaan saling berperang, dan do’a menolak balak sebelum turun(ke bumi).

Tahun 1429 H beberapa pekan lagi akan berakhir dan datanglah tahun baru 1430 H. Kemudian akan disusul dengan tahun baru masehi 2009 yang biasanya perayaan tahun baru masehi tersebut penuh gegap gempita, pesta pora di mana-mana, kembang api menandai tenggelamnya tahun 2008 dan datangnya tahun baru 2009 dan kini umat Islam menyambut tahun baru 1430 H yang bertepatan dengan tanggal 29 Desember 2008. Menyadari hakikat tahun baru hijrah, umat Islam sebagai umat terbaik dan sepatutnya menjadi suri tauladan yang baik kepada orang lain haruslah mempunyai cara dan sikap yang menjunjung tinggi ajaran wahyu dalam menyambut datangnya tahun baru hijrah, agar dapat membedakan dengan cara dan adat orang lain. Sebagaimana Firman Allah : 
Artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran 110).
Sebagai Ummat Islam, Ummat Nabi Muhammad SAW, sepatutnya kita menyambut pergantian tahun yang ditentukan oleh Allah sebagai tahun yang dipakai dalam penentuan waktu dalam menjalankan Syariat Islam. Cara memperingati tahun baru seperti yang Rasulullah SAW sabdakan : " Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Alloh ta'ala menjadikan kaffarot / tertutup dosanya selama 50 tahun.
Pada awal tahun Hijriyah itulah permulaan fajar Islam mulai menyingsing dengan di awali dengan Hijrahnya Rasulullah SAW bersama para sabiqulan awwalun dari Kota Makkah ke Kota Madinah. Itulah tonggak sejarah Islam ,Ummat Islam, dicanangkan ke seluruh dunia. Kedatangan tahun baru Islam agak sepi akibat begitu lama umat Islam terjajah dan terlalu membesar-besarkan penggunaan kalendar masehi dibandingkan tahun hijrah dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini menyebabkan umat Islam sendiri tidak ingat bulan-bulan dalam Islam kecuali Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah saja. 
Inilah antara lain usaha besar kaum kuffar merusak serta menjauhkan umat Islam dari ruh Islam, termasuk memastikan umat Islam tidak menghayati tahun hijrah dalam kehidupan. Agak jarang umat Islam mengucapkan selamat tahun baru, umat Islam sudah terjajah oleh budaya kuffar. Mungkinkah umat Islam mampu memperkasai kembali penggunaan tahun baru hijrah. Jawabannya ada pada tindakan dan kesungguhan umat Islam dalam merealisasikannya. Jika dalam pemakaian tahun pun susah kita berhijrah maka mungkinkah kita mampu hijrah dari sistem jahiliah kepada sistem Islam. 
Marilah kita berhijrah dari jahilliah kepada Islam, kufur kepada iman, lemah kepada kuat, sesat kepada kebenaran, kegelapan kepada cahaya, dosa kepada pahala, mundur kepada maju. Oleh karenanya marilah insaf bahwa jika kita ingin mengembalikan ruh hijrah sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w dan para sahabat sehingga Islam mampu merajai dunia maka kita harus kembali kepada Islam dalam secara ”kaffah” atau totalitas dalam semua aspek kehidupan. Sebagaimana kita ketahui bersama hijrah Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam dari Mekah ke Madinah telah membawa perubahan besar terhadap peradaban umat manusia, perubahan dari zaman jahiliah menuju peradaban madaniah di bawah naungan cahaya Illahi dengan kata lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan perubahan yang paling fundamental dalam kehidupan, dari kehidupan yang tidak memiliki peradaban ke arah kehidupan yang penuh rahmat ampunan dan kasih sayang. 
Teladan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kita semua, memberikan inspirasi penting untuk membangun sebuah peradaban baru di masa yang akan datang, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana beliau mulai membangun peradaban Islam dari tataran induvidual menuju tataran sosial yang lebih baik. Pada tataran individual Rosullalah menegakkan hakidah nafsiah yaitu menegakkan hakidah dalam diri setiap insan. Hal ini mengandung makna bahwa segala sesuatu yang kita rencanakan untuk berubah justru harus dimulai dengan melakukan perubahan dari diri sendiri. Perubahan yang kemudian lebih meluas membangun komitmen bersama kearah pembentukkan sebuah tatanan kehidupan yang diterapkan pada masyarakat Madinah. 
Rasullalah shallalahu ‘alaihi wasallam membangun sebuah konsep sya’riah istima’iyah yaitu konsep hukum kemasyarakatan yang meliputi penegakkan hukum, sosial, politik dan ketatanegaraan. Dari Madinah lah kita menyaksikan apa yang dikenal dengan persamaan di depan hukum dan pemerintahan, dipraktekkan secara bermartabat dan beradab, dari Madinah pula kita menyaksikan bagaimana hukum ditegakkan secara hugas, demikian juga dengan kerjasama antar kelompok yang berbeda keyakinan agamanya, tentu masih banyak pelajaran berharga yang kita petik dari Rosullalah, karena itulah tidak berlebihan kalau saya menggunakan kesempatan yang sangat membahagiakan ini, untuk menyeruhkan kepada seluruh umat Islam di tanah air agar senantiasa mempelajari, menggali dan mengaktualisasikan semuanya itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Maidah ayat 3 :
Artinya : Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (Q.S. Al Maidah : 3).
Dari sekian ragam peristiwa penting Islam, peristiwa hijrah sesungguhnya menempati posisi yang utama. Sebab, peristiwa ini bukan saja menandai babak baru penanggalan Islam yang ditetapkan oleh Umar bin Khattab, melainkan juga menjadi titik balik peradaban Islam terkonstruksi dengan gemilang. Karena itulah, setiap tahunnya kita memperingati peristiwa hijrah sebagai tahun baru Islam. Harapannya, tentu di samping memutar kembali klise peristiwa fenomenal itu, juga mencoba memunguti makna hijrah secara aktual dan kontekstual. 
Puncak kegemilangan sejarah Islam lewat momen hijriyah patut dibilang sebagai sebuah revolusi tanpa kekerasan yang pertama kali dalam sejarah. Dalam waktu yang cukup singkat Muhammad mampu mengubah wajah Kota Madina dari pola masyarakat yang diskriminatif, primordialis-fanatis dan eksklusif menjadi masyarakat yang terbuka, egaliter, dan penuh dengan nilai-nilai persaudaraan. Kota Madina yang awalnya selalu diselimuti oleh pertentangan antarsuku menjadi komunitas yang dipenuhi oleh semangat kolektif untuk membentuk peradaban baru. 
Atas kesuksesan ini sangat beralasan bila Michael Hart dalam The 100: A Rangking of The Most Influental Person in History telah menempatkan Muhammad pada urutan pertama. Muhammad tidak hanya sukses membangun peradaban baru Islam tetapi juga mampu mengombinasikan unsur sekuler dan agama dalam satu racikan peradaban Madina. Muhammad tidak hanya tampil sebagai seorang agamawan yang selalu mendermakan pesan spiritualnya, tetapi ia juga tampil sebagai negarawan yang adil dan bijaksana. Islam telah didudukkan tidak hanya sebagai agama yang berisi panduan ritual, tetapi juga sebagai etik-moral yang selalu hidup di tengah masyarakat. 
Menyadari keagungan sejarah “hijrah” ini maka tidak khilaf apabila umat Islam menetapkan tahun barunya dengan merujuk pada sejarah hijriyah. Hal ini mempunyai arti bahwa lembaran baru Islam tidak dibuka dengan keagungan seorang tokoh semisal dengan memperingati kelahiran Nabi. Akan tetapi, Islam mengawali setiap lembaran barunya dengan semangat kelahiran peradaban baru Islam di Madina. 
Apa yang diharapkan dengan dijadikannya hijriyah sebagai tahun baru Islam? Pada tanggal 1 Muharram 1430 H —yang bertepatan dengan 29 Desember 2008 kembali umat Islam memperingati sejarah sucinya. Sudah seribu empat ratus dua puluh tujuh tahun peristiwa ini berlalu. Namun, semenjak itu pula semangat hijriyah tidak pernah usang dimakan zaman karena selalu disegarkan dengan peringatan dan perayaan setiap tahunnya. Oleh karenanya, setiap kali umat Islam merayakan tahun barunya seketika itu pula semangat umat Islam disegarkan. 
Setiap tahun kaum muslim kembali diingatkan dengan memori keemasan sejarahnya. Dan, setiap tahun pula semangat dan makna hijriyah ini akan menjadi kekuatan yang merevitalisasi dan mampu mendorong semangat umat Islam. Tentunya semangat hijrah diharapkan mampu menjadi semangat baru bagi umat Islam dalam memulai sejarahnya pada detik ini dan pada masa selanjutnya. Karenanya, makna hijriyah harus terinternalisasi dalam diri kita dan diolah menjadi sikap yang luhur dan dinamis dalam menata masa depan yang lebih baik. 
Melihat kenyataan ini Indonesia tampaknya harus menjalani hukum sejarah dari sebuah peradaban. Tentunya bangsa ini tidak memaknai “hijrah” dengan perpindahan fisik layaknya “hijrah”nya Nabi meningalkan Makkah. Yang bisa dilakukan oleh bangsa ini adalah hijrah maknawi. Artinya, bangsa Indonesia butuh semangat “hijrah” dari kemerosotan ekonomi, sosial, politik dan hukum menuju peradaban yang mencerahkan. Peradaban yang lebih menjamin kesejahteraan masyara-kat, keterbukaan dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tahun baru hijriyah sudah semestinya menjadi momentum untuk merenungkan kembali eksistensi bangsa Indonesia di titik paling nadir. Untuk itulah, hijriyah yang diperingati oleh umat Islam dan juga bangsa Indonesia kali ini diharapkan menjadi refleksi panjang bangsa ini untuk merajut perubahan yang sebenarnya, yang subtantif, proaduktif dan populistik. Semangat hijrah akan menjadi modal untuk mengembalikan kegairahan inisiatif perubahan tersebut. Oleh karenanya, sangat rugi dan sia-sia apabila hijriyah yang akan kita peringati bersama hanya sebatas pada refleksi seremonial. 
Pada momen ini bangsa Indonesia berkesempatan untuk menguak makna dan semangat hijriyah bagi keberadaban dirinya sendiri. Hijrah berarti pula berubah untuk membangun peradaban baru seperti Nabi meninggalkan Makkah dan membentuk komunitas baru yang berperadaban. Semoga bangsa Indonesia mampu “hijrah” dari penderitaan yang membelitnya menuju bangsa yang berperadaban.

Pada dasa warsa pertama abad 21 ini, Allah SWT memberikan aneka cobaan kepada bangsa Indonesia. Ada bencana Tsunami di Aceh, Gempa bumi di Yogyakarta, Lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur, Gunung Meletus, Banjir Bandang dimana-mana, pesawat tercebur laut di Selat Makasar dan lain-lain. Belum lagi penderitaan bangsa kita yang lain sebagai akibat kelengkapan bahan pangan, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Biaya pendidikan dan kesehatan yang tinggi. Dan baru-baru ini khusus warga Kota Magelang, pusat kegiatan ekonomi rakyat pasar Rejowinangun terbakar, luluh lantak rata dengan tanah. Ribuan pedagang kehilangan mata pencaharian, ratusan kuli panggul, kuli gudang kuli pikul, kuli bongkar-muat, tukang parkir, dan jenis pekerja pasar lainnya kehilangan pekerjaan. Tampaknya sepele hanya “kebakaran pasar” tetapi dampak ikutannya amat luas dan menyangkut kehidupan puluhan ribu penduduk yang menjadi tidak jelas masa depan hidupnya.

Kejadian-kejadian diatas sebenarnya merupakan peringatann dari Allah swt, kepada segenap ummat-Nya, n bahwa adakalanya manusia itu terlalu “Jumawa”, merasa dirinya hebat, “Over Konfident”, lupa diri, sombong bahka “kumawasa”. Padahal kenyataanya manusia sedanng lupa bahwa manusia itu lemah, tidak berdaya, tidak berkemampuan melawan kehendak Allah. Maka sebagai insan yang beriman, kita patut bermuhasabah (introspeksi), menundukan diri kia, bertindak sabar dan tawakal atas peringatan dari Allah SWT tersebut. Manusia harus mengambil pelajarann dari kejadian-kejadian tersebut bagi kehidupan masa yang akan datang. Manusia harus mengakui keagungan dan kebesaran serta kekunasaan Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT.

Artinya : Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun". (Q.S. Al-Baqarah, 155-156).

Dan dalam ayat yang lain Allah swt berfirman :


Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. : Al Hasyr, 18).

Kehidupan didunia ini memang cenderung selalu bertambah setiap saat, sebagaimana dikatakan oleh ahli "mantiq" bahwa alam atau dunia selalu berubah-ubah, dan setiap yang berubah pasti barang baru. Yang tidak berubah hanyalah Allah swt. Oleh karena itu Allah disebut "qodim". Perubahan alam yang juha perubahan kehidupan, ibarat pada yang berputar, ada halnya duatas ada kalanya pula dibawah. Setiap manusia akan mengalami situasi seperti itu, disuatu saat manusia senang karena mendapatkan nikmat, disuatu saat manusia senang karena mendapatkan nikmat, tetapi disaat yang lain dia akan susah karena mendapatkan musibah.

Oleh karena itu ketika musibah itu terjadi maka hendaklah kita bersabar. Allah swt menjadikan sukar bagai benda yang tak pernah lebih, pedang yang tak pernah tumpul, paskan perang yang tak terkalahkan, dan benteng yang tak tertakjlukkan. Sabar dan kemenangan ibaran dua saudara kandung. Dalam Al-Qur'an, Allah swt telah memuji orang-orang yang sabar. Bagi mereka pahala yang tak terputus. Dia selalu bersama mereka dengan hidayahNya, pertolonganNya dan kemenangan yang Nyata dariNya. Sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Anfal ayat 46 :

Artinya : Dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

Dengan kebersamaan Allah swt inilah, orang-orang yang sabar dapat mencapai kebaikan dunia dan akhirat serta mempunyai kenikmatan lahir dan bathin. Allah swt juga menganugerahkan "Imamah" (kepemimpinan) dalam "dien" kepada orang-orang yang sabar dan yakin. Sebagaimana firman Allah swt yang artinya :

Artinya : Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami. (Q.S. As Sajadah, 24).

Allah swt juga memberitahukan bahwa Dia mencintai orang sabar sebagai dalam firmaNya :

Artinya : Dan Allah menciorang-orang yang sabar. (Q.S. Ali Imran : 146).

Sabar itu ibarat poros bagi aktivitas seorang mukmin, kemanapun ia pergi, ia akan kembali kepadanya. Ia juga penopang imanya satu-satunya tempat bersandar. Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki kesabaran. Sedikit saja ia mendapatkan cobaan atau musibah dari Allah swt, tinggalkan keimanannya. Yang begini, rugi dunia dan akhirat. Ia tidak mendapatkan apapun dariNya selain kerugian.

Sabar iu akhlak yang mulia, dengannya ia akan tercegah dari perbuatan tercela. Sekaligus, sabara merupakan kekuatan untuk mencapai kebaikan dan kelurusan segala urusan. Adapula yang mengatakan sabar itu "menelan kepahitan tanpa mengerutkan muka," sabar adalah mengakui hal-hal yang bertentangan dengan agama bersikap tenang ketika menghadapi ujian berat, menampakkan kecukupan ketika berfikir datang ketengah medan kehidupan. Dengan demikian sabar merupakan tindakan tegar menghadapi cobaan dengan perilak yang baik dan berlapanng dada ketika ditimpa musibah tanpa berkeluh kesah.

Sabar dapat dikategorikan menjadi dua yaitu ; (1) ikhtiyari (dapat diusahakan) dan (2) Idh-thirani (tidak dapat ditolak). Sabar jenis pertama lebih utama dari pada yang kedua. Sabar idh-thirari dapat dimiliki semua orang, termasuk yang tidak dapat bersabar ikhtiyari. Itulah sebabnya kesabaan Yusuf terhadap godaan yulaikha lebih besar nilainya dari pada kesabaran ketika ia dibuang oleh saudara-saudarannya.

Demikianlah manusia senantiasa memerluka kesabaran setiap saat dalam segala kondisi termasuk sabar ketika diantara perintah yang harus dikerjakan, larangan yang harus dijauhi, takdir yang harus diterima dan nikmat yang harus disyukuri. Memang ada kalanya, terhadap "bala" (musibah) orang mukmin maupun kafir bisa bersabar, ketika tetapi terhadap "kesejahteraan" hanya orang-orang shiddiq saja yang mampu bersabar. Ketika seseorang diuji dengan kesempian ia bisa bersabar tetapi ketika diuji denngan "kemudahan" ia tidak dapat bersabar. Oleh karena itu Allah memperingatkat hamba-hambanya terhadap fitnah harta, isteri dan anak-anak, sebagaimana firman Allah :

Artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. (Q.S. Al Munafiqun, 9).


Sesungguhnya kami Telah menurunkan Al Quran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.

Maka Bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antar mereka.

Ketika Aisyiyah di tanya oleh sahabat tentang bagaimana akhlaq Nabi, maka jawabnya : “ Akhlaq Nabi adalah Al Quran. Kedudukan Al Quran sangat vital dalam Islam karena beliau nabi Muhammad SAW menyatakan : “ Aku tinggalkan 2 (dua) perkara yang engkau tidak akan sesat selamanya, bila engkau berpegang teguh kepadanya yaitu kitab Allah “Al Quran dan Sunnah Rosulullah/ Al Hadist.

Al Quran adalah wahyu Allah yang secara ladhon/tekstual dan maknanya dari Allah dan bukan produk nabi dan buka pula produk mahluq tetapi kalam Allah. Muhammad SAW tidak berperan sama sekali dalam Al Quran ini kecuali menyampaikan ajaran tersebut dengan lafaldh asli dari Allah, memberikan penjelasan dengan contoh teladan berdasar wahyu dari Allah SWT.

Sejak dahulu sampai sekarang ada saja manusia yang menganggap Al Quran bukan wahyu yang suci dari Allah tetapi produk budaya atau muntaj tsaqofi. Mereka menganggap bahwa Al Quran tidak lagi sakral dan absolute tetapi profane dan flaxibel.

Dalam ajaran Islam Al Quran adalah wahyu Allah secara lafadlah wa ma’nan. Al Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai mu’jizat terbesar bagi beliau.

Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya Attafkir Faridlah Islamiyah ( berfikir, sebuah kewajiban Islam) menyebutkan 2 (dua) macam mu’jizat ilmiah dalam Al Quran yang harus kita bedakan dan kita cari. Yang pertama adalah mu’jizat yang mengarah ke akal. Mu’jizat ini ada dan dapat ditemukan oleh siapapun yang ingin mencarinya, dimana saja, mu’jizat ini adalah keteraturan gejala alam dan kehidupan, yang tidak berubah.

Allah berfirman :

Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.

Yang kedua adalah mu’jizat yang berupa segala sesuatu diluar kebiasaan, mu’jizat ini membuat akal tercengang dan memaksanya untuk tunduk dan menyerah. Kita wajib menghormati Al Quran sebagai sesuatu yang sakral tanpa berlebih-lebihan sebagai mana mitos dan mantra. Al Quran kita terima secara menyeluruh dan utuh sesuai dengan kesuciannya. Kita tempatkan ditempat yang terhormat, dibaca dengan cara yang terhormat, diajarkan dengan cara yang terhormat pula.

Al Quran sebagai kalam Allah mengandung wacana intelektual dalam arti ini menyentuh emikiran manusia. Ayat yang pertama adalah Iqra’. Bacalah ! Membaca bukan berarti sekedar membaca mengeja huruf tetapi pemahaman. Tafsir atau interpretasi. Membaca juga berarti harus memahami, secara intelektual yang menggugah pemikiran kita dan bukan hanya sekedar membaca saja. Kita harus paham kandungan AL Quran bak masalah Aqidah, Syariah dan akhlaq serta doa. Tetapi juga fenomena alam, manusia dan kemanusiaan, mengacu pada saint/ ilmu pengetahuan dan tehnologi.

I’jazul Quran atau kemukjizatan Al Quran menurut para ulama adalah sebagai berikut :

  1. Sastra dan balaghohnya yang sampai sekarang dizaman computer ini belum ada yang bisa menandingi ( Al Jahizh)

  2. Susunannya yang sangat indah di samping bahasanya yang halus dan tinggi ( Imam Al Baihaqi)

  3. Pemberitaannya mengenai soal-soal yang gaib yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia ( Al Amidy)

  4. Gaya dalam mengungkapkan terhadap sesuatu masalah yang tidak pernah terjadi pertentangan atau kontradiksi antara ayat satu dan yang lain.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

  1. berbagai prinsip ilmu pengetahuan. Dengan berbagai macam riset dan penelitian, para ahli sudah dapat merumuskan berbagai persoalan iptek yang setelah diteliti kembali ternyata telah di dahului oleh Al Quran.

Sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Al Quran bahwa lafadhn wa maknan dari Allah SWT maka seharusnya :

  1. Kita hormati tulisan maupun mushafnya karena tulisan sebagai simbul dari sesuatu yang suci adalah suci juga.

  2. Bacaan Al Quran harus kita dengarkan dengan diam sebagai penghormatan kepada Allah SWT.

Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat

  1. Belajar dan mengajarkan A Quran adalah sebaik-baik amal perbuatan.

Sesuangguhnya yang paling utama adalah orang yang belajar Al Quran dan mengajarkannya.

  1. Menghiasai Al Quran dengan suara bacaan yang baik

Hiasi suaramu dengan Al Quran

  1. Menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram berdasarkan Al Quran

Wajib atasmu berpegang pada kitab Allah, halal kanlah apa yang halal didalamnya Al Quran dan haramkanlah apa yang haram Al Quran.

  1. Beretika dan berakhlaq dengan Al Quran

Bagaimanakan akhlaq nabi jawab ‘Aisyah : Akhlaq nabi adalah Al Quran.

  1. Menghiasi rumah dengan suara bacaan Al Quran

Perbanyaklah membaca Al Quran di rumahmu, karena rumah yang tidak pernah dibaca didalamnya Al Quran, sedikitnya kebaikannya, banyak jeleknya dan penghuni rumah tertekan hatinya

  1. membaca Al Quran sampai khatam/ tamat

Apabila hamba membaca AL Quran sampai khatam, 60.000 malaikat mendoakan kepadanya ( Al Hadist)




PENGERTIAN DA'WAH 

Dakwah adalah panggilan atau seruan bagi umat manusia menuju jalan Allah (Q.S. Yusuf : 108). Yaitu jalan menuju Islam. Q.S. Ali Imran : 19. 

Artinya : Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik". (Q.S. Yusuf : 108).

Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. (Q.S. Ali Imran : 19) 

Dari sisi lain, dakwah adalah upaya tiap muslim untuk merealisasikan (aktualisasi / fungsi kerisalahan dan fungsi kerahmatan.
Fungsi kerisalahan bearti meneruskan tugas Rasulallah (Q.S. Al – Maidah 167) menyampaikan dinul Islam kepada seluruh umat manusia (Q.S. Ali Imran 104, 110, 114). 
artinya : Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Q.S. Al-Maidah 67).

Artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Ali Imran : 104).
Artinya : Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (Q.S. Ali Imran : 114.

Adapun fungsi kerahmatan berarti upaya menjadikan (mengejawantahkan, mengaktualisasikan, mengoperasionalkan) Islam sebagai rahmat (penyejahtera, pembahagia, memecah persoalan bagi seluruh manusia. (Q.S. Al-Anbiya' : 107). 
Artinya : Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.


DISKRIPSI
Fungsi Kerisalahan Dakwah. 
Memandang fungsi kerisalahan dakwah, maka Islam tidak lain merupakan sumber nilai. Dengan demikian dakwah lebih merupakan suatu proses alih nilai (transfer of value/ yang dikembangkan dalam rangka perubahan perilaku. Hal ini dakwah berarti upaya mengembangkan obyek dakwah untuk menjadi manusia masa depan yang lebih lengkap dalam dimensi keberagmaanya. Dakwah adalah suatu proses pengkondisian agar obyek dakwah lebih mengetahui, memahami, mengimani dan mengamalkan Islam sebagai pandangan dan pedoman hidupnya. Dengan ungkapan lain, hakekat dakwah adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain yang lebih baik menurut tolak ukur ajaran Islam. Ini berarti upaya menumbuhkan kesadaran dari dalam pada diri obyek dakwah. Suatu kesadaran yang memungkinkan obyek dakwah mempunyai persepsi cukup memadai tentang Islam sebagai sumber nilai dalam hidupnya dan yang dapat juga menumbuhkan "kekuatan kemauan" dalam dirinya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 
Dengan pengertian tersebut diatas, maka dakwah dapat dipandang sebagai proses komunikasi dan proses perubahan sosial. Dakwah sebagai proses komunikasi karena pada tingkat (obyek) individual, kegiatan dakwah tidak lain adalah suatu kegiatan komunikasi, yaitu kegiatan menyampaikan pesan dari komunikator (da'i) kepada komunikan (obyek dakwah) dengan melalui media tuntutan, agar terjadi perubahan pada diri komunikan. Perubaha-perubahan tersebut meliputi pemahaman (pengetahuan) sikap dan tindakan individu.
Dengan demikian dalam termonologi agama, perubahan terjadi, akan menyangkut aspek aqidah, (iman), akhlak, ibadah dan mu'amalah (amalan). Perubahan tersebut dimungkinkan oleh karena terjadinya perubahan nilai yang secara aktual dianut oleh seseorang. Dakwah juga merupakan perubahan sosial, oleh karena perubahan nilai di atas juga terjadi pada tingkat masyarakat. Pada tingkat komunitas ini, proses perubahan nilai dimungkinkan akibat interaksional antar inividu anggota masyarakat baik sebagai onuek maupun subyek dakwah.
Dengan melihat dakwah sebagai proses komunikasi dan perubahan sosial diatas, maka penggambaran dakwah hanya dialog lisan menjadi tidak memadai lagi. Untuk terjadinya perubahan –perubahan tersebut diatas, disamping dialog diatas, dibutuhkan dialog-dialog lain, seperti dialog amal (karya) dialog seni, dialog intelektual dan budaya. 
Fungsi Kerahmatan Dakwah
Fungsi kerahmatan dakwah berarti upaya menyediakan Islam sebagai sumber konsep bagi manusia dalam meniti kehidupannya didalam. Dalam kaitan ini dakwah meliputi : 
1. Menterjemahkan / menyebarkan nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yanng operasional disegala aspek kehidupan manusia (bud-sos-ekpol-iptek). Dan
2. Implementasi konsep-konsep nilai-nilai tersebut dalam kehidupan aktual (individu, keluarga dan masyarakat).

Dengan ungkapan lain "fungsi kerahmatan" dakwah menghendaki validitas dan aktualitas Islam sebagai sumber konsep untuk mengantisipasi permasalah yang dihadapi manusia dan untuk menggambarkan budayanya. Dalam pengertian ini, maka menunaikan tugas dakwah berarti menunaikan juga tugas kekhalifahan (pengaturan pembangunan). 
Dengan demikian dakwah akan mengantarkan kita kepada tugas-tugas yang meliputi kesadaran yang amat luas. Sebagai ilustrasi misalnya, dalam pengertian da'I bukan saja mencakup mubaligh (dalam makna yang sempit), malainkan juga mereka akan tekun mengkaji dam menyebarkan nilai-nilai normatif Islam menjadi konsep-konsep yang secara teknis mudah dijalankan dalam masyarakat (Operasional). Termasuk juga dalam pengertian da'i, mereka para pekerja sosial, para penggerak masyarakat, para penyantun fakir miskin dan anak yatim, para pendidik, pada penulis, dan siapapun yang kegiatannya itu dalam rangka menterjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Disisi lain, fungsi kerahmatan dakwah juga mengisyaratkan, adanya tuntutan bagi mereka yang terpanggil sebagai khairu ummah, membuktikan kebenaran islam sebagai rahmatan lil alamin. Suatu tugas akbar, yakni menterjemahkan Islam dalam konsep-konsep kehidupan yang dapat menjawab persoalan-persoalan yang timbul dalam sistem budaya manusia. 

Aktivitas Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah. 
Kedudukan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah dengan segala amal usahanya, tidak lain adalah manifestasi dakwah islamiyah di berbagai aspek kehidupan manusia. Amal usaha Muhammadiyah tidak lain merupakan wajah dakwah persyarikatan, dan majelis-majelis serta ortom tidak lain adalah perangkat dakwah persyarikatan, baik yang menyangkut fungsi kerisalahan maupun fungsi kerahmatan. 
Dalam hal ini perlu dipertanyakan seberapa jauh dakwah persyarikatan sudah merambah berbagai lahan dakwah yang non konvensional (seni, budaya, intelektual / dsb). 

PERSIAPAN DA'I (MUBALIGH)
Seseorang mubaligh berhadapan dengan dua hal : 
- Ia wajib dakwah yang ditunaikan dan 
- Ada kemerdekaan bari'tikad yang harus dihormati.
Kekuatan dakwah seseorang muballigh terletak semata-mata pada kekuatan dakwahnaya. Kekuatan dakwah seseorang mubaligh tergantung kepada kekuatan hujjahnya yang diterima oleh akal yang sehat, dan daya panggilnya yang dapat menjemput jiwa dan raga. Kedua-duanya tergantung kepada : 
- Persiapan mental 
- Persiapan ilmiahnya 
- Cara dan adab dakwahnya


a. Pembinaan mental (Al I'dan Al – Fikri) 
Dalam berdakwah diperlukan keikhlasan dan kesabaran. Dakwah adalah konfrontasi dalam suasana kebebasan berfikir dan berti'tikad. Hasil pekerjaan dakwah memerlukan usaha kontinyu, perhatian yang tidak putus dalam proses pertumbuhan umat yang dibantunnya, seseorang mubaligh menghadapi orang yang banyak, orang banyak itupun "menghadapinya" dengan bermacam-macam cara dan gayanya pula, terutama pada tahap permulaan konfrontasi itu, dia sering mengalami pengalaman-pengalaman yang pahit. Untuk dapat melakukan tugasnya secara kontinyu muballigh harus mampu memelihara ketenangan dan keseimbangan, tidak boleh sesek nafas bila ada orang yang menolaknya, mendustakannya, mencemoohkanya, bahkan sampai menyakiti dirinya, apabila yang kita sampaikan itu apa yang terkandung dalam al-qur’an itu, sampaikan apa ayang telah diperintahkan dengan cara dan pada saat yang tepat, walaupun apa yang mereka katakana. Apabila usaha dakwah kita berhasil diajarkannya menjadikan kebahagiaan, rasa bersyukur, rasa bersyukur kepada Allah, sebagai kebahagiaan ruhaniah tertinggi. 
b. Persiapan Ilmu (Tafqqquh Fiddien)
Muballigh harus benar-benar memahami risalah yang hendak disampaikan kepada umat, sesuai dengan bidangnya sehingga risalah itu dapat memberi hidup dan menghidupkan nhati ummat. Untuk itu muballigh itu harus tafaqquh fiddien. 

Tafaqquh Fin Nas
Adalah logis apabila seorang mubalig harus pula memahami unsur fitrah manusia, sifat-sifatnya tingkah lakunya, alam fikiran dan alam perasaan masyarakat yang dihadapinya. Disamping hendaknya mengetahui ilmu ilmu jiwa dan perikehidupan manusia sebagai perseorangan dan sebagai anggota masyarakat (makhluk ijtima’i), mengenali adat istiadat, terdiri dari, taraf kehidupan, tingkat kecerdasan, semua itu tidak dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menerima dan mencernakan isi dakwah. Maka bukan suatu tuntutan yang berlebih-lebihan apabila seseorang pembawa dakwah harus merubah ilmu-ilmu alatnya yang lazim dengan dua tiga ilmu lainnya lagi tidak syah lagi bahasa pengantar yang tersusun rapih merupakan jembatan pembuka ketika penggerak rasa yang menerima panggilan.
Artinya : Dan nasehatilah mereka pelajaran, dan Katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. (An- Nisa’ : 63)


KAIFIAT DAN ADAB DAKWAH 
Bila seseorang pembawa dakwah sudah mengayunkan langkah, berbagai corak manusia yang akan dijumpainya. Dia akan berhadapan dengan faham-faham dan pegangan tradisional yang sudah berurat berakar, dengan setengah orang yangn apriari mau menolak tiap-tiap apa yang baru, dengan orang yang ingin mempertahankan kedudukan dan gengsinya, dan kawatir kalau-kalau apa-apa yang disampaikan itu akan merugikaanya, dengan kejahiliannya orang-orang bodoh, yang reaksinya secara bodoh pula, dengan cerdik cendekiawan yang hanya mau menerima sesuatu atas dasar hujjah dan keterangan – keterangan yang “nyata”, dengan orang yangn ragu-ragu disebabkan karena pengetahuannya yang serba kepalang tangung, dsb. Masing-masing itu harus dihadapi tetapi, untuk itu kita ikuti sabda Rasulullah SAW. yang Artinya : Berbicaralah kepada manusia menurut kadar akal (kecerdasan) mereka masing-masing.(HR. Muslim).

Dalam hadist lain :
Artinya : Kami diperintah, supaya berbicara kepada manusia menururt kadar akal (kecerdasan mereka masing-masing. (HR. Muslim). 

Golongan macam apapun yang akan dihadapi masing-masing menghendaki cara yang mengandung “kemudahan” dan “kesulitan” sendiri-sendiri. 
Pokok persoalan bagi pembawa dakwah, ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dalam satu keadaan dan suasana yang tertentu. 

Itulah yang dimaksud dengan hikmah, dalam Al-Qur’an surat An-Nahl : 125. 

Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

Menghadapi cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dapat berfikir secara kritis, mereka ini harus dipanggil dengan hikmah yakni dengan alas an-alasan, dengan dalil-dalin dan hujjah yang dapat diterima oleh kekuatan akan mereka. Menghadapi golongan awam, orang kebanyakan yang belum dapat berfikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian –pengertian yang tiinggi-tinggi. Mereka ini dipanggil dengan mauidzah hasanah, dengan anjuran dan didikan baik-baik, dengan ajaran-ajaran yang mudah difahami. 
Adapun menghadapi golongan yang tingkat kecerdasannya diantara kedua golongan tersebut, mereka ini dipanggil dengan mujadalah billati hiya ahsan, yakni dengan bertukar pikiran guna mendorong supaya berfikir secara sehat dengan cara-cara yang lebih baik. 

Sebentar lagi kaum muslimin akan bertemu dengan tamu agung, bulan ramadhan. Ramadhan adalah bulan suci bagi kaum muslimin, bulan penuh kebaikan dan barakah, sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan membentuk diri menjadi pribadi taqwa. Di dalamnya Allah melipatkan pahala dan mengagungkan karuniaNya. Setiap muslim yang masih mendapatkan kesempatan bertemu bulan mulia ini, hendaklah mengisinya dengan berbagai macam ibadah dan amalan-amalan shalih. Beberapa hal yang bisa lakukan dalam menyambut Ramadhan:
A. Berdoa ketika masuk bulan baru
Bersyukur merupakan adab muslimin atas ni’mat yang didapat dari Allah Subhanallaahu wa Ta’ala, salah satunya adalah ni’mat panjang umur dan bisa bertemu dengan bulan baru. Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam memberikan contoh doa ketika bertemu bulan baru:

“Allah Maha Besar, ya Allah, jadikanlah (bulan ini) bagi kami (bulan yang penuh) keamanan dan keimanan, keselamatan dan keislaman, serta bimbingan (untuk bisa mengamalkan) amal-amal yang Engka cintai dan ridhai, Rabb kami dan Rabb kalian (hanyalah) Allah. (HR Tirmidzi dan Ad Darimi dari Ibn Umar radhiallaahu anhu).
 Membaca doa tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam setiap terjadi pergantian bulan, agar bulan yang baru datang menjadi lebih baik dibanding bulang sebelumnya yang baru saja dijalani. Maka sudah menjadi keharusan kita berdoa ketika bulan Ramadhan nanti datang agar diberi kemampuan untuk mengisinya dengan amal ibadah yang lebih baik dari Ramadhan kemarin.
B. Melaksanakan puasa wajib
Di dalam bulan Ramadhan terdapat sebuah amalan agung, yaitu puasa, sebuah amal ibadah yang menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin yang beriman dan telah memenuhi syarat; baligh, berakal, mampu (sehat), tidak dalam keadaan syafar. Allah Subhanallaahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Al Baqarah: 183


“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana (telah diwajibkan) atas orang-orang sebelum kalian agar menjadi orang-orang yang bertaqwa”.
Ibadah puasa yang dilaksanakan dengan keimanan dan keikhlasan akan menghantarkan pengampunan dosa-dosa yang pernah dilakukan.

 “Barangsiapa (yang melaksanakan) puasa ramadhan dengan iman dan ikhlas serta berhati-hati (atas puasanya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. (Muttafaqun alaihi).
Surga adalah balasan bagi orang-orang yang puasanya diterima Allah Subhanallahu wa Ta’ala, bahkan disediakan surga khusus bagi mereka.

إِنَّ فى الجَنَّةِ بَابًا, يُقالُ لَهُ الرَّيَّـــانُ, يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّــائِــمون يوم القيامة,لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيرُهُمْ,..... (متفق عليه)
“Sesungguhnya terdapat sebuah pintu di surga, bernama “Ar Rayyan”, pada hari hari qiamat (kelak) orang-orang (yang memiliki amal) puasa akan masuk melaluinya, dan tidak (boleh) masuk kecuali mereka…. (Muttafaqun alaihi).
Doa orang-orang yang berpuasa selalu dikabulkan, sebagaimana hadits Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dari Amr ibn Ash: “Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika berbuka, dia memiliki doa dan ketika dia berdoa, maka doanya tidak akan ditolak”. (HR Abu Daud).
Orang yang berpuasa harus mengindarkan diri dari perkara yang merusak ibadahnya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan justru melakukannya (padahal dia sedang berpuasa), maka Allah tidak butuh lapar dan dahaganya”. (HR Bukhari).
Termasuk keutamaan amal adalah mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Hadits Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam dari Sahl ibn Sa’ad: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”. (HR Bukhari Muslim). Dari Zaid ibn Tsabit radhiallaahu anhu ditanya jarak antara selesai sahurnya Rasulullah dengan salat subuh maka dijawab: “sekitar (orang membaca) lima puluh ayat Al Qur’an”. (Mutafaqqun alaihi).

C. Melaksanakan qiyamul lail
Qiyamul lail merupakan salah satu syarat menjadi seorang ibadurrahman, hamba yang dikasihi Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Khusus dalam bulan Ramadhan kita mengenalnya dengan istilah shalat tarawih, yang berarti shalat malam yang diselingi waktu (untuk) istirahat. Maka hendaknya kita menghidupkan malam-malam ramadhan dengan shalat tarawih untuk mendapatkan keutamaannya. Dan yang lebih penting, qiyamul lail bukanlah amal yang hanya dilaksanakan di bulan Ramadhan, melainkan amal yang harus kita jaga keistiqamahannya di bulan-bulan yang lain. 

D. Qira’atul Qur’an
Membaca Al Qur’an memiliki banyak keutamaan, maka bulan Ramadhan harus lebih digiatkan lagi untuk mendapatkan limpahan pahala.
Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam bersabda: “Bacalah Al Qur’an karena sesungguhnya Al Qur’an akan datang pada hari qiamat sebagai pemberi syafaat bagi orang yang membacanya”. (HR Muslim).
Beliau juga bersabda: “Barang siapa yang membaca satu huruf Al Qur’an maka baginya satu kebaikan, sedangkan satu kebaikan tersebut akan dilipatkan menjadi sepuluh kali. Aku tidak mengatakan Aliif Laam Miim itu satu huruf, tetapi Aliif satu huruf, Laam satu huruf, Miim satu huruf”. (HR Tirmidzi dari Ibn Mas’ud radhiallaahu anhu dengan sanad hasan).
Ibrahim Al Khawash radhiallaahu anhu menyebutkan 5 (lima) obat hati: membaca Al Qur’an dengan tadabbur (merenungkan isi dan maknanya), mengosongkan perut (berpuasa), qiyamul lail (shalat malam), merendahkan diri di hadapan Allah, berteman dengan orang-orang shalih.

E. Memperbanyak shadaqah
Bershadaqah adalah salah satu kesempatan untuk meraih ridha dan maghfirah Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dalam bulan ramadhan yang penuh berkah, memberikan santapan berbuka bagi orang-orang yang berpuasa adalah termasuk shadaqah yang dianjurkan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam.

مَ“Barangsiapa yang memberikan ifthar (buka puasa) bagi orang yang berpuasa maka baginya pahala yang semisal dengan orang yang berpuasa tersebut, tanpa (sedikitpun) mengurangi pahala orang yang berpuasa”. (HR Ahmad, Tirmidzi, dan Ibn Majah).

F. Mencari Lailatul Qadar
Diantara keutamaan bulan suci Ramadhan adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan, lailatul qadar. Riwayat dari Qatadah dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu: (pada malam itu) para malaikat turun ke bumi yang jumlahnya melebihi jumlah kerikil, turun bersama-sama barakah dan rahmat.
Perintah Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam tentang malam lailatul qadar:

“Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan”. (HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Aisyah radhiallaahu anha).
Tentu banyak dari kaum muslimin untuk bisa mendapatkan keutamaan lailatul qadar ini, maka meskipun indikasi datangya disebutkan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tidak berarti kita hanya mengoptimalkan ibadah pada hari-hari tersebut, tetapi harus dipersiapkan semenjak awal Ramadhan bahkan hari-hari sebelumnya.

G. I’tikaf
I’tikaf adalah berdiam di masjid dalam waktu tertentu dengan meniatkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Dari Ibn Umar radhiallaahu anhu memberitakan bahwa Rasulullah Shalallaau alaihi wassalam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan, dan dari Aisyah radhiallaahu anha beliau melaksanakan yang demikian sampai Allah mewafatkannya.
Selamat menyambut tamu agung, semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala menguatkan diri kita dan kaum muslimin untuk mampu menjalankan ibadah-ibadah di bulan mulia ramadhan, sehingga selamat dari amal yang mengurangi nilai pahala dan menghantarkan kita meraih keutamaan lailatul qadar dan mampu menjadi pribadi bertaqwa. Amin. Sekali lagi marhabban ya ramadhan. 

Maha Suci Allah, yang Telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang Telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S. Al-Isra’ : 1)

Isra’ adalah perjalanan mendatar (horizontal) dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsha di Palestina. Hal ini mengisyaratkan tentang proses pertumbuhan yang bersifat kuantitatif. Mi’raj adalah perjalanan menaik (vertical) dari Masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha, perjalanan Rasulallahsaw. Yang berangkat dari bumi yang rendah menuju tempat yang tinggi untuk menghadap Allah swt, mengisyaratkan adanya proses perkembangan yang bersifat kuantitatif.

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna, memahami hidup ini untuk menjalani proses pertumbuhan dan proses perkembangan. Pertumbuhan lebih menekankan pada proses jasmani yang bersifat kuantitatif misalnya : dari kecil menjadi besar, dari kurus menjadi gemuk, dari ringan menjadi berat, dari rendah menjadi tinggi dan seterusnya. Untuk menjalani itu Allah memberi kekuatan ke bawah yaitu perut dan syahwat.

Proses perkembangan lebih menekankan mental yang bersifat nilai bukan materi. Proses ini lebih berbicara kualitas hidup misalnya ; dari bodoh menjadi pandai, dari hina menjadi mulia, dari terlaknat menjadi terhormat, dari syirik menjadi tauhid, dari maksiat menjadi taat dan lain-lain. Untuk menjalani proses ini Allah menganugrahkan kekuatan uluhati ke atas yang ada di dada yang ada di kepala yaitu hati dan otak.

Kedua proses yang tidak bisa dipisahkan tersebut, pada dasarnya proses perkembangan yang menjadi pembeda antara manusia denganmakhluk biologis kainnya. Proses perkembangan adalah proses manusiawi yang tidak dialami oleh tumbuhan, hewan bahkan Malaikat sekalipun. Sedangkan proses pertumbuhan adalah proses yang dialami oleh semua makhluk biologis.

Dalam proses Isra’ Mi’raj kita juga diingatkan pada tiga titik atau tempat. Tempat yang paling penting yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan Sidratul Muntaha. Hal ini mengingatkan tiga peristiwa penting dalam perjalanan hidup manusia yaitu kelahiran, kematian dan kebangkitan kembali sedudah mati. Itulah tiga peristiwa yang diyakini oleh orang yang beriman. Kita perlu mengingat tiga peristiwa penting tersebut karena idiologi materialisme dan filsafat yang salah menyeret kita untuk memiliki pemahaman bahwa hidup ini hanya proses biologis dari kelahiran menuju kematian kemudian selesai.

Dalam proses perjalanan hidup manusia, kelahiran merupakan masa transisi dari alam kandungan menuju alam dunia, kematian adalah adalah masa transisi dari alam dunia menuju alam kubur dan kebangkitan kembali adalah masa transisi dari alam kubur menuju alam akhirat. Tidak ada seorangpun yang bisa mengelak atau menghindar dari tiga peristiwa tersebut. Seharusnya manusia selamat atau melintasnya sebagaimana do’a nabi Isa as. Uang diabadikan dalam Al-Qur’an agar kita selalu menirunya :

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari Aku dilahirkan, pada hari Aku meninggal dan pada hari Aku dibangkitkan hidup kembali". (Q.S. Maryam : 33).

Jika kematian diangkat akhir proses hidup, jika kematian dianggap finish perjalanan kemanusiaan itu, jika setelah mati tidak ada ceritanya lagi, tentu rugilah hidup kita sebagai manusia, jika setelah mati tidak ada hidup lagi dan permbauatan manusia di dunia yang baik dan juga yang buruk, yang benar dan yang salah tidak ada konsekuensinya sesudah mati, lantas dimana idealisme keadilan yang sering dicuri, diperjuangkan dan dituntut manusia itu akan terbukti. Kehidupan seduah mati merupakan suatu keharusan bagi manusia yang beriman, yang sadar bahwa manusia lebih sempurna, lebih mulia dan lebih cerdas dari pada makhluk yang lain.

Hidup bagi manusia adalah proses dinamis proses proses ke masa depan, maka perjalanan Isra’ Mi’raj adalah isyarat tentang bagaimana msnusia menatap masa depan. Masa depan manusia secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu masa depan sebelum mati dan masa depan sesuah mati. Masa depan dari lahir sampai mati, simbulnya perjalanan dari masjidil Haram ke Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha. Masa depan sebelum mati lebih bersifat pasti.

Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (Q.S. Al-Qoshoshh : 77).

Jika dunia bersifat mungkin dan akhirat bersifat pasti, maka firman Allah tersebut mengajarkan kepada kita untuk serius terhadap yang pasti dan jangan melupakan yang mungkin.

Sedangkan kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal daripada kehidupan dunia (QS. Al A’la : 17)

Setelah kita memahami bahwa hidup adalah untuk menjalankan proses pertumbuhan dan proses perkembangan dan hidup juga harus berorientasi pada masa depan. Untuk itu kita diisyaratkan dengan peristiwa pembedahan hati Nabi Muhammad SAW oleh Jibril a.s. Pembedahan dada untuk membersihkan hati beliau merupakan isyarat bahwa hati adalah persoalan paling penting dalam kehidupan manusia. Baginda Rasulallah bersabada :

"Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging, apabila ia baik, maka baiklah pada seluruh tubuh. Apabila ia rusak, maka rusaklah pula seluruh tubuh ketahuilah ia adalah hati" (H.R. Bukhori Muslim).

Dengan hati bersih kita akan memiliki radar yang sensitif mana petunjuk, mana godaan dan mana rayuan, mana yang kita pilih dan kita tolak, kapan kita terus berjalan, berhenti atau belok. Dengan hati yang bersih hidup kita setia kepada visi dan missi. Kita akab selalu memiliki aksi yanng berorientasi bukan sibuk bereaksi. Isra' Mi'raj mengajar kita menjadi pribadi yang visioner bukan reaksioner, bagaimana tidak ? perjalanan sudah terprogram, dengan waktu yang telah ditentuka, dengan kendaraan yang bida diandalkan (Buraq), dengan pemandu yanng sangat berpengalaman, cerdas, jujur dab setia (Jibril as.) dengan lingkungan yang diberkati (Kondusif).

Hati yang beningn adalah hati yang selalu terpelihara, yang selalu disucikan dengan tazkiyatun nafs atau management qoblbu. Hati yang selalu dihiasi oleh aqidah, selamat dan bersih dari syirik, ibadah yang benar, bersih dari bid'ah dan akhlak yang terpuji bebas dari sifat-sifat jahiliyah. Hati semacam inilah yang akan kita persembahkan nanti ketika kita menghadap Rabbul Jalil meraih Ridhanya. Firman Allah swt :

Di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. Q.S. As Syu'ara' ayat 88-89).

Dalam perjalanan Isra' Mi'raj baginda Rasulullah saw diperlihatkan adanya syurga dan neraka, perjumpaan beliau dengan arwah para Nabi serta Perjumpaan beliau dengan beberapa peristiwa yang merupakan pelajaran bagi beliau dan ummatnya.

Isra' Mi'raj sebagai simbul atau meniatur perjalanan hidup manusia puncaknya adalah turunya surat keputusan (SK) untuk mengerjakan shalat lima waktu sebagai cara mengingat Allah (Q.S. Thoha : 24). Agar manusia senantiasa ingat terhadap keberadaan dirinya, selalu menjadi penegak kebenaran, kesabaran dan menundang pertolongan Allah SWT, agar terhindar dari perbuatan keji dan mungkar (Q.S. Al-'ankabut : 45). Dengan selalu tertib mendirikan shalat lima waktu, Allah SWT siap melimpahk pertolongan dan berhakNya terhadap perjalanan hidup kita dari dunia sampai diakherat kelak. Nasrun minallah.

"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula ). (Q.S. Ar-Rahman: 60 )

Setiap pribadi muslim senantiasa dituntut berbuat ihsan dalam segala aspek amaliyahnya. Semua aktivitas seorang muslim dalam kehidupannya harus tercebur dalam nuansa ihsan. Baik dalam aktivitas ibadah mahdhah ( rutinitas ritual) seperti : sholat, do'a, dzikir, Tilawah Qur'an, haji ; juga dalam ibadah - ibadah 'aam dalam arti umum seperti : berdagang, menuntut ihmu, bertetangga, bekerja, berpolitik, berinteraksi dengan alam semesta, serta segala makhluk di alam raya ini. Semua harus diwarnai sikap ihsan, begitulah yang

Di pesankan oleh Rasulullah SAW. Dalam sabdanya : "sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan atas segala sesuatu " (HR. Muslim ).

Dalam syariat islam,ihsan memiliki dua makna,yaitu :


Memberikan

1. Kebersamaan dengan Allah S.W.T.

Ketika ditanya oleh Malaikat Jibril A.S tentang makna ihsan,rasulullah S.A.W memberikan pengertian :

" Engkau mengabdi kepada Allah, seakan-akan engkau melihat Dia, kalau engkau tidak dapat melihat- Nya maka yakinlah , Dia pasti melihatmu ". ( HR. Muslim).

Sabda Rasulullah tersebut, mendorong setiap pribadi muslim agar selalu tumbuh sikap ma'iyatullah, yakni adanya kebersamaan dengan Allah SWT dalam setiap ruang dan waktu. Sikap merasa selalu dalam pengawasan Allah SWT dalam seluruh sisi kehidupannya. Tidak ada satu sisipun yang terabaikan dari pengawasan Rabbul 'alamin.

" Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa Yang ada di langit dan apa yang ada di bumi ?.Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia yang ke empat. Dan Tiada (pembicaraan antara ) lima orang melainkan Dia lah yang ke enamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari qiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu " (Al-Mujadilah :7)

ِAda perbedaan sangat prinsip antara mereka yang merasa berada dalam pengawasan Alloh S.W.Tdegan mereka yang merasa tidak dalam pengawasan NYA.orang yang senantiasa merasa diawasi oleh Alloh S.W.T.akan selalu meniti jalan kehidupan penuh dengan kehati-hatian.mengerjakan amalan sholeh tidak hanya ketika ada keramaian,tetapijuga dikala sepi dan sendiri. Demi-kian pula,ketika meninggalkan kejahatan dan kemaksiatan,dikala ramai atau — sendiri. dia selalu menjadikan Alloh S.W.T sebagai 'self control ' sedangkan orang yang tidak punya perasaan bahwa Allah tidak pernah mengawasihya cenderung berlaku sesuka hati ,merasa senang dan tenang ketika berbuat dosa dan maksiat. Dia merasa takut hanya terhadap apararat keamanan. Rosululloh SAW bersabda :

" Hiduplah sekehandakmu, kamu pasti akan mati. Cintailah siapa saja yang kamu sukai, kamu sendiri pasti akan meninggalkannya. Berbuatlah sekehendakmu, kamu pasti akan menuai balasannya dan mempertanggung jawabkannya " (HR. At Thabrani )

Kisah Amirul Mu'minin Umar bin Khathab r a. dengan penjual susu menjadi inspirasi uswah (teladan ) yang abadi tentang tinggi nya nilai ihsan. Ketika ibu penjual susu memaksa anaknya ... Laila .... untuk mencampur susu dengan air biasa. Jawab Laila," Tidak boleh bu. Khalifah melarang kita mencampur susu yang akan kita jual dengan air".

" Tetapi semua orang berbuat demikian nak, campur sajalah !. Toh Khalifah tidak melihat kita
melakukan itu ....". kata sang ibu.. Bu, sekalipun Amirul Mu'minin tidak melihat kita, namun Rabb dari Amirul Mu'minin pasti mengetahuinya". Masya Allah ..... Ucapan itu membuat khalifah Umar mengintai, berderai air mata.

Alangkah mulia bila setiap muslim menghiasi diri dan hidupnya dengan senantiasa bersama Allah SWT.

2. Berbuat baik karena Allah.

Ihsan dapat pula bermakna berbuat baik karena Allah SWT. Sebagaimana perintah-Nya :

"Dan berbuat baiklah ( kepada Orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi" ( Al - Qashash : 77)

Berbuat baik adalah akhlaq kepada setiap makluk Allah SWT. diatas permukaan bumi ini . Berbuat baik ini meliputi pengertian memenuhi hak-hak orang lain, memperhatikan adab - adabnya dalam setiap tingkah laku.

Tidak masa bodoh, beku hati dan asal mau menang sendiri. Rasulullah SAW memberi panduan tentang apa yang disebut kebaikan. Ketika sahabat Wabishah bin Ma'bad r a bertanya tentang kebaikan, beliau SAW menjawab "Mintalah fatwa dari hatimu. Kebaikan itu adalah apa-apa yang tentram jiwa padanya dan tentram pula dalam Hati. Dan dosa itu adalah apa-apa yang syak dalam jiwa dan ragu-ragu dalam hati, walaupun orang-orang memberikan fatwa kepadamu dan mereka membenarkan nya" ( dari Musnad Ahmad bin Hambal).

Rasulullah SAW telah memberikan uswah (teladan) yang mulia tentang akhlaqul karimahnya kepada keluarga, para sahabat, tetangga, musuh dan bahkan kepada binatang sekalipun.

Alangkah indahnya bila seorang muslim menghiasi hidupnya dengan senantiasa berbuat baik kepada Sesama, kepada binatang dan kepada alam semesta.

Sikap ihsan yang memiliki dimensi Ma'iyatullah dan berbuat baik karena Allah SWT akan mendorong seorang Muslim untuk senantiasa menetapkan niat baik dalam melakukan segala aktivitasnya. Niat untuk berkarya dengan serius dan meningkatkan prestasi, serrta niat untuk melaksanakan tugas-tugas hidup dengan sebaik-baiknyakarena Allah SWT. Seorang muslim yang memiliki niat yang demikianitu, tiada hasil yang diperoleh Melainkan kebaikan pula. Dengan niat yang ihsan ini, nantinya akan melahirkan :

  1. IkhlasAn-Niyat.

Yaitu niat yang ikhlas yang mendasari segala aktivitas hidupnya hanya untuk mencari ridho Allah SWT Tidak memiliki tendensi lain yang hanya mengejar prestasi duniawi semata (Q.S Al-Bayyinah 5 dan 8 )

  1. Itqanul 'Amal

Yaitu melakukan aktivitas secara profesional dalam hidupnya dengan senantiasa meningkatkan kwalitas Selalu mengevaluasi sebuah amalan, menambah bila kurang, mengurangi hal - hal yang kelebihan dan Welatih diri uhtuk melakukannya dengan cepat dan baik." Sesungguhnya Allah SWT mencintai seseorang yang bekerja secara itqan (profesional)" (HR. Bukhari)

Ada persepsi yang keliru tentang hubungan itqanul amal ( kerja yang profesional) dengan niat yang ikhlas sebagian beranggapan bahwa melakukansuatu amaliyah cukuplah dengan modal niat yang ikhlas, Sehingga aktivitasnya terkesan asal-asalan, semrawut atau lebih parah lagi bila berprinsip "daripada tidak \ Persepsi salah kaprah ini sudah menjadi satu budaya dalam masyarakat muslim, maka tujuan untuk membangun masyarakat yang islami tak pernah terwujud, kerja hanya tambal sulam yang menjadikan orang semakin jauh dari islam. Slogan untuk kembalikepada Al - Qur'an dan sunnah hanya berupa angan- angan yang menghiasi pengajian. Ada tiga hal agar sebuah amal menjadi itqam yaitu:

Pertama, Jiddiyah, bersungguh-sungguh dan serius dalam beramal

Kedua Istimrariyah kontinuitas dalam beramal baik dikala sempit maupun lapang, dikala berat ataupun Ringan, dikala berada atau papah. Bertanya ' Aisyah r a ; "Amalan apa yang paling di sukai oleh Allah SWT ?

Jawab Rasulullah SAW," Amalan yang paling kekal (kontinu) walaupxin sedikit."(HR. Bukhati).

Ketiga, Ruhul Vadzli Wattadiyah, semangat berkorban yang selalu berkoban di dada. Berkorban baik Tenaga, waktu, biaya, perasaan, pikiran dan bahkan jiwafaga (bi annwalihim wa an fusihim)

  1. Jatldatul Ada ; Yakni hienunaikan tugas - tugas yang di amanahkan kepada kita dengan sempurna. Semua Aniahah hendaknya di selesaikah dengan baik. Inilah karakter seorang mu'min.

"Orang-orang yang memelihara amanat-amanat ( yang di pikulnya ) dan janjinya " ( Al Mu'minun : 8) Betapa naifnya apabila sebuah lembaga, baik lembaga sosial, keagamaan maupun lembaga politik dikelola oleh mereka yang bekerja sekenanya. Tugas - tugas tidak diselesaikan dengan rasa penuh tanggung jawab Dan kalaupun bekerja tidak tahu bagaimana kesempurnaan tugasnya. Lembaga semacam ini tidak berusia i,ama, segera ambruk, runtuh dan bangkrut.

Dalam masalah aqidah, Rasulullah SAW, mengingatkan bahaya orang yang berkhianat bila diberi amanat. dusta, bila berjanji dan ingkar bila di percaya. Itulah ciri orang - orang munafiq yang dilaknat kelak oleh Allah SWT. Bila ketiga hal tersebut dipenuhi, akan muncul dalam diri seorang muslim Ihsanul 'Amal (kerja ihsan ).

Baik dalam ibadah mahdah maupun dalam ibadah dalam arti umum. Semuanya di laksanakan dengan baik, cekatan, seimbang dan selalu beriringan. Tidak ada sisi yang tertinggal dan tidak ada yang berlebihan. Semua berjalan secara proposional.

"Jika kamu berbuat ihsan, maka kamu telah berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka ( kejahatan ) itu bagi dirimu sendiri" ( Q.S Al- Isra' (17) : 7 )

Tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Secara etimologi, tauhid berasal dari bahasa Arab “wahhada-yuwahhidu yang berarti mengesakan. Secara terminologi, tauhid berarti mengesakan Allah SWT baik dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya (Yunahar Ilyas, 2007. h. 18).

Teori ilmu kalan (teologi Islam) membagi tauhid menjadi tiga. Pertama, tauhid rububiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pencipta dan pemelihara alam semesta. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pemberi rezeki bagi semua makhluk di alam semesta. Dalam QS. Fathir (35): 3, Allah SWT berfirman: “Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah yang diberikan kepadamu. Adakah pencipta lain selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan yang berhak disembah) kecuali Dia. Maka mengapa kamu berpaling (dari mengesakan-Nya)?

Kedua, tauhid mulkiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya pemilik dan penguasaalam semesta. Tauhid milkiyyah ini menekankan eksistensi manusia sebagai hamba (mamluki) dari Yang Maha Raja, sehingga manusia harus senantiasa tunduk taat dan kepada-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Ketiga, tauhid ilahiyyah, yaitu mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh segenap makhluk di alam raya. Termasuk dalam pengertian ini adalah meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah satu-satuanya pelindung sejati bagi semua makhluk. Allah SWT berfirman dalam QS. Thaha (20): 14: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah. Tidak ada tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku”.

Ketiga jenis tauhid ini merupakan satu kesatuan keyakinan yang tak terpisahkan dan wajib diterapkan oleh kaum beriman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, seorang yang mengaku percaya kepada Allah SWT, maka pada saat yang sama ia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya pencipta, penguasa, pelindung dan Tuhan yang berhak disembah di alam semesta ini.

Bertauhid di Era Globalisasi

Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya praktik-praktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam ketika itu melakukan kegiatan-kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara jimat, dll. Praktik-praktik seperti inilah yang dahulu coba diberantas oleh pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan dan kawan-kawan.

Agak berbeda dengan hal tersebut di atas, tantangan tauhid di abad 21 lebih komples. Era globalisasi yang dialami manusia modern menciptakan tuhan-tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Globalisasi dapat dipahami sebagai sebuah proses dimana orang-orang di seluruh dunia dipersatukan dalam sebuah komunitas tunggal, baik secara ekonomi, teknologi, sosial budaya dan politik. Dalam globalisasi, batas-batas teritorial antarnegara memang masih ada, namun sudah tidak lagi signifikan untuk memisahkan koneksitas kehidupan yang ada di dalamnya. Jarak, ruang dan waktu menjadi tidak lagi memisahkan komunikasi manusia-manusia di belahan bumi berbeda. Ini artinya, apa yang terjadi di satu belahan bumi dapat segera didengar, diketahui, bahkan mempengaruhi belahan bumi yang lain.

Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek positif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangan-tantangan yang justru dapat menjungkirbalikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum beriman. Salah satu di antara tantangan globalisasi adalah materialisme.

Tidak dapat dipungkiri, materialisme kini menjadi salah satu “tuhan” yang disembah oleh manusia-manusia modern. Nilai-nilai spiritual terabaikan, sementara prestasi-prestasi material menjadi berhala-berhala baru. Di Indonesia, materialisme bahkan menjadi orientasi pembangunan selama bertahun-tahun. Orientasi yang materialistik ini menjadikan segala bentuk keberhasilan diukur dari angka-angka. Akibatnya, kerja keras yang telah kita pertaruhkan selama beberapa dekade nyaris berbuah nihilisme. Apa yang dikejar-kejar bangsa kita ternyata sekedar kesemuan. Tidak hanya dalam proyek-proyek pembangunan fisik, tapi juga proyek-proyek pembangunan nonfisik.

Di dunia pendidikan misalnya, siswa-siswa kita diperas energinya siang malam untuk sebuah “angka”. Kerja keras para guru dan orang tua dalam bentuk les-les tambahan di luar sekolah menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Orientasi belajar anak diarahkan pada perolehan target-target formal. Tanpa kita sadari, kita telah melakukan pengerdilan potensi kemanusiaan.. Bangsa kita sedang bekerja keras mencetak robot-robot masa depan “zonder” nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan kita ikut-ikutan hanya pada dataran formal. Asal sudah “berbau” agama, seakan sudah dianggap religius. Tidak ada implikasi keagamaan dalam realitas sosial. Pelajaran agama di sekolah-sekolah berorientasi pada aspek-aspek kognitif. Sementara aspek afektif dan psikomotorik kurang mendapat penekanan. Polanya cenderung mengacu pada transfer pengetahuan, dan bukan pengamalan.

Rapuhnya struktur sosial bangsa kita saat ini merupakan buah dari target-target materialisme itu. Sopan santun hilang, etika melayang, dan kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat pada orang tua dan guru menjadi barang langka. Tawuran antarpelajar menjadi tontonan gratis di jalan-jalan. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan hukum tinggal kenangan. Perampokan, penjarahan, dan penipuan tidak cuma dilakukan masyarakat lapisan bawah, tapi juga oleh kelompok manusia berdasi.

Di sisi lain, sekularisme menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar memisahkan antara urusan agama dengan urusan dunia. Ibadah ditegakkan, namun kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Tidak heran, kendati jumlah jamaah haji terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun praktik korupsi pun bak cendawan di musim hujan.

Orientas-orientasi materialisme–sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Menghamba kepada kepentingan ekonomi, kekuasaan, prestise, dan kepentingan-kepentingan lain yang berlandaskan hawa nafsu. Allah SWT menyindir dalam QS. Jatsiyah: 23: “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?.

Karena itu, pemurnian tauhid di tengah arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Setiap penghambaan terhadap “tuhan-tuhan” materi perlu segera dibersihkan dari lubuk hati kaum beriman. Dan Allah SWT harus dijadikan sebagai satu-satunya orientasi kehidupan yang sejati, karena Dia adalah satu-satunya Pencipta dan Harapan (tauhid rububiyyah), satu-satunya Pemilik dan Penguasa alam raya (tauhid mulkiyyah), dan satu-satunya Zat yang berhak disembah oleh manusia dan seluruh makhluk di alam semesta (tauhid uluhiyyah)Wallahu A’lam.

Muhammadiyah didalam memahami Islam dilakukan secara komprehensif. Aspek Aqidah, Ibadah, Akhlak, dan Mu’amalah Duniawiyah tidak dipisahkan satu dengan yang lain, meskipun dapat dibedakan. Dalam memahami Islam akal dapat digunakan sejauh yang dapat dijangkau. Hal-hal yang dirasakan di luar jangkauan akal, diambil sikap tawaqquf dan tatwidh. Memaksa ta’wil terhadap hal-hal yang dirasakan diluar jangkauan akal, dipandang sebagai menundukkan nash terhadap akal.
Aspek aqidah lebih banyak didasarkan atas nash, ta’wil dipergunakan sepanjang didukung oleh qarinah-qarinah yang dapat diterima.
Aspek akhlak mutlak berdasarkan nash, sedangkan akhlak situasional dan kondisional tidak dapat diterima.
Ibadah Mahdah berdasarkan nash sedangkan untuk aspek muamalah, jika diperoleh dalil-dalil qoth’y, dilaksanakan sesuai ajaran nash. Tetapi jika diperoleh dari dalil-dalil dhonny, maka dilakukan penafsiran. Dalam hal ini asas maslahah dapat dijadikan landasan penafsiran.
Sifat hati-hati terhadap hal-hal yang belum diperoleh penjelasan, diperlukan guna menjaga keselamatan beragama.
Muhammadiyah dalam mamahami dam mengamalkan Islam berdasarkan Al Quran dan Sunnah Rasul dengan menggunakan akal pikiran sesuai ajaran Islam . Pengertian Al- Quran sebagai sumber ajaran Islam adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sedangkan sunnah rosul adalah sumber ajaran Islam berupa penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al Quran yang diberikan oleh nabi Muhammad (matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah butir ke 3).
Bagi Muhammadiyah memahami Islam secara benar sangatlah menentukan beragama secara benar pula. Apabila faham tentang Islam itu tidak benar maka tidak akan benar menangkap hakekat dan citra ajaran Islam secara benar. Sehingga akan berpengaruh terhadap pengamalannya dalam kehidupan secara benar pula. Oleh karena itu untuk memahami Islam perlu dasar yang kokoh dan benar.
Beberapa prinsip yang menjadi dasar paham agama Islam dalam Muhammadiyah, disebutkan dalam penjelasan matan keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah adalah sebagai berikut :
a. Agama Islam ialah agama Allah yang diturunkan kepada para Rosulnya sejak nabi Adam sampai nabi terakhir, ialah nabi Muhammad SAW Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir diutus dengan membawa syariat agama yang sempurna untuk seluruh umat manusia sepanjang masa maka dari itu agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad itulah yang tetap berlaku sampai sekarang dan untuk masa-masa selanjutnya.
Agama yakni agama Islam yang di bawa nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Al Quran yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia dunia dan akhirat (putusan Majelis Tarjih)

b. Dasar Agama Islam.
1. Al Quran : Kitab Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW.
2. Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran Al Quran yang diberikan nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam (Nukilan MKCH)

c. Al-Quran dan Sunnah rosul sebagai penjelasannya adalah pokok dasar hukum ajaran Islam yang mengandung ajaran yang benar akal pikiran atau Ar ra’yu adalah alat untuk :
1 menagngkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam Al Quran dan Sunnah Rasul.
2 Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian Al Quran dan Sunnah Rasul.
Untuk melaksanakan ajaran Al Quran dan sunnah Rasul dalam mengatur dunia guna memakmurkannya, atau pikiran yang dinamis dan progresif mempunyai peranan yang penting dan lapangan yang luas. Begitu pula akal pikiran bisa untuk mempertimbangkan seberapa jauh pengaruh keadan dan waktu terhadap penerapan suatu ketentuan hukum dalam batas maksud-maksud pokok ajaran agama.
3. Hubungan Sunnah dengan Al Quran. :
a. Bayan Tafsir : yaitu sunnah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dam musytaraq. Seperti hadis – Shallu kama ra aitu munni usholli – adalah tafsir dari ayat-ayat : Aqimusholah.
b. Bayan taqriri. Yaitu sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Quran seperti hadis : Sumun liru’ yatihii....adalah memperkokoh surat Al Baqoroh ayat 185.
c. Bayan Tadhlihi : yaitu sunnah menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat seperti pernyataan nabi : Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah di zakati adalah tadhlihi terhadap surat Attaubah ayat 34.
Muhammadiyah berpendapat bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka.
d. Kedudukan ijtihad : tidak semua ayat Al Quran yang mengatur hidup dan kehidupan manusia sudah di atur secara terinci. Ada yang diatus secara global (garis besar atau prinsip-prinsipnya.) dan ada yang diatur secara detail. Untuk penjabaran dan pengembangan hal-hal yang diatur secara detail Al-Quran dan As Sunnah memberikan kesempatan kepada para ulama mujtahidin untuk melakukan ijtihad dan hadist muk’adzbinjabbal dan hadist-hadist yang lain. Yaitu menggunakan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an dan As Sunnah, dalam ber-ijtihad para mujtahidin bisa menggunakan metode ijma (sahabi), qiyas, ikhtisan dan maslahir mursalah. Keputusan ijtihad tidak bersifat absolut, karena merupakan produk akal pikiran, tidak berlaku bagi semua orang dan semua masa, dan tentu saja tidak boleh bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

METOLOGI IJTIHAD :
1. Ijma : Kesepakatan para imam mujtahid dikalangan umat islam tentang suatu hukum islam pada suatu masa (masa sahabat setelah Rasulullah wafat). Menurut kebanyakan para ulama rasul, hasil ijma’ dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam sesudah Al-Qur’an dan Hadist. Pemikiran tentang ijma’ berkembang sejak masa sahabat sampai masa sekarang, sampai masa para imam mujtahid.
2. Qiyas : Menyamakan sesuatu hal yang tidak disebutkan hukumnya didalam nash, dengan hal yang disebutkan hukumnya didalam nash, karena adanya persamaan illat (sebab) hukum pada dua macam hal tersebut, contoh : hukum wajib zakat atas padi yang dikenakan pada gandum.
Rukun qiyas :
a. Al- Ashlu, yaitu hal yang telah disebutkan dalam nash yang menjadi pangkal qiyas, atau pokok dalam hal ini gandum.
b. Cabang, dalam hal ini padi
c. Wajib zakat gandum adalah hukum asal.
d. Bahan makanan pokok adalah illat hukum Al-Ashlu
Karena antara padi dengan gandum mempunyai illat yang sama yaitu sebagai makanan pokok, maka padi dikenakan wajib di zakakti seperti wajibnya gandum untuk di zakati. Untuk Qiyas digunakan dalam bidang muamalah duniawiyah, tidak berlaku untuk bidang ibadah mahdlah. La qiyasa fil ibadah.

3. Maslakhah, mursalah atau Istislah
Yaitu, menetapkan hukum yang sama sekali tidak disebutkan dalam nash dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan manfaat dan menghindarkan madlarat. Contoh, mengharuskan pernikahan dicatat, tidak ada satu nash pun yang membenarkan atau membatalkan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kepastian hukum atas terjadinya perkawinan yang dipergunakan oleh negara. Hal ini dilakukan untuk melindungi hak suami istri. Tanpa pencatatan negara tidak mempunyai dokumen otentik, atas terjadinya perkawinan.

4. Istihsan : yaitu memandang lebih baik, sesuai dengan tujuan syariat, untuk meninggalkan ketentuan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh : Harta zakat tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual, diwariskan, atau dihibahkan. Tetapi kalau tujuan perwakafan (tujuan syar’i) tidak mungkin tercapai, larangan tersebut dapat diabaikan, untuk dipindah tangankan, atau dijual, diwariskan atau dihibahkan.
Contoh : Mewakafkan tanah untuk tujuan pendidikan islam. Tanah tersebut terkena pelebaran jalan, tanah tersebut dapat dipindahtangankan dengan dijual, dibelikan tanah ditempat lain untuk pendidikan islam yang menjadi tujuan syariah diatas.
Secara khusus, pemahaman islam dalam Muhammadiyah, dapat dikaji dalam pokok-pokok Manhaj Trjih yang telah dilakukan dalam menetapkan keputusan sebagai berikut :
1) Dalam beristiddlah, dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan As Sunnah Ash-Shahihah, Ijtihad dan istibath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash dapat dilakukan sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abuddi, dan memang merupakan hal yang dihajatkan hidup manusia.
Dengan perkataan lain Majlis Tarjih menerima ijtihad termasuk Qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
2) Dalam memutuskan suatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihadiyah digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang sebagai pendapat majelis.
3) Tidak mengikatkan diri pada suatu madzhab, tetapi pendapat imam imam madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan sepanjang sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4) Berpikir terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya keputusan Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika putusan diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang dapat diberikan dalil-dalil yang lebih kuat. Dengan demikian Majelis tarjih dimungkinkan merubah keputusan yang pernah ditetapkan.
5) Didalam masalah aqidah (tauhid) hanya dipergunakan dalil-dalil yang mutaasatir.
6) Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan.
7) Terhadap dali-dalil yang nampak suatu ta’arudl digunakan cara : Al-jam’u wa Taufiq, dan kalau tidak dapat baru dilakukan tarjih.
8) Menggunakan asas Saddudz dzarai’ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
9) Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami dalil-dalil Al-Qura’an dan As Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syariah. Adapun qaidah ”Al Hukmu yaduuru ma’a illatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu dapat berlak.
10) Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum dilakukan dengan cara koprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah.
11) Dalil-dalil umum Al-Qur’an dapat ditaksir dengan Hadist Ahad, kecuali dalam bidang ’aqidah.
12) Dalam mengamalkan agama islam menggunakan prinsip ’ At-Tasyir.
13) Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuan dari Al-Qur’an dan As Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan Al-Qur’an akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsipnya mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
14) Dalam hal-hal termasuk Al-Umurud Dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, menggunakan akal sangat diperlukan, demi untuk tercapainya kemaslahatan umat.
15) Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari takwil dalam bidang ’aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal itu tidak harus diterima.
16) Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat bisa diterima.
17) Jalan Ijtihad yang telah ditempuh meliputi :
a. Ijtihad Bayam : yaitu ijtihad terhadap ayat yang majmal baik karerna belum jelas maksud lafadz yang dimaksud maupun karena lafadz itu, mengndung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafadz dalam ungkapan yang konteksnya mempunayai arti yang jumbuh (mutasyabih) ataupun danya beberapa dalil yang bertentangan (ta’arrudl) dalam hal terakhir digunakan cara jama’ dan tanfiq.
b. Ijtihad Qiyasi : yaitu menyenerangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesaman ’illah.
c. Ijtihad Istishlahy : yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjukki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukum dilakukan berdasarkan ’illah untuk kemaslahatan.


18) Dalam menggunakan hadits, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih sebagai berikut :
a. Hadits mauquf tidak dapat dijadikan hujjah. Yang dimaksud dengan hadits mauquf ialah apa yang disandarkan kepada sahabat baik ucapan maupun perbuatan semacamnya, baik bersambung maupun tidak.
b. Hadits mauquf yang dihukum mafu’ dapat menjadi hujjah, hadits mauquf yang dihukum marfu’ apabila ada qarinah yang dapat dipahami dari padanya bahwa Hadits itu marfu’.
c. Hadits Mursal Sahabi dapat dijadikan hujjah, hadits dapat dijadikan hujjah, jika ada qarinah yang menunjukkan persanbungan sanadnya.
d. Hadits Mursal Tabi’i Semata, tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits dapat dijadikan hujjah jika ada qorinah yang menunjukkan persambungan sanad sampai kepada Nabi.
e. Hadits-hadits dla’if yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika banyak jalan meriwayatkannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujjah dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Shahih.
f. Dalam menilai perawi hadits, jarh didahulukan daripada ta’dil, setelah adanya keterangan yang mu’tabar berdasarkan alasan syara’.
g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlis dapat diterima riwayatnya, jika ada penunjuk bahwa hadits itu muttasil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan. 


B. MEMANDANG ISLAM SECARA MENYELURUH.
1. Seorang Islam harus memahami Islam secara utuh dan menyeluruh, tidak secara parsial, karena pemahaman yang parsial menyebabkan Islam tidak fungsional secara kaffah dalam kehidupan.
2. Islam adalah suatu sustem yang menyeluruh (nidhan samil) mencakup selurh aspek kehidupan, rohaniah dan jasmaniah, duniawiyah dan ukhrowiyah.
3. Secara garis besar ajaran Islam mencakup aspek :
a. Aqidah : Aspek keyakinan tantang Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para rasul, hari akhir dan taqdir.

Makna Kalimat laa ilaaha Illallah
Ikrar kalimat thayibah ini memiliki artii koperhensif, mencakup :
- La Khaliqa Illallah
- La Raziqa Illallah
- La Hafidza Illallah
- La Mudabbira Illallah
- La Malika Illallah
- La Waliya Illallah
- La Hakimu Illallah
- La Ghiyata Illallah
- La Ma'badu Illallah
-
Hakekat dan Dampak Dua Kalimat Syahadat.
Iqrar La Ilaha Illallah tidak dapat diwujudkan secara benar tanpa mengiguti petunjuk yang disampaikan yang disampaikan oleh Rasulallah SAW. Oleh sebab itu iqrar Lailaha Illallah harus diikuti oleh iqrar Muhammad Rasulallah. Dua iqrar itulah yang dikenal dengan dua kalimat (syahadatain) yang menjadi pintu gerbang seseorang memasuki dien Allah SWT.
Kalau syahadat yang pertama adalah beribadah hanya kepada Allah SWT semata, maka inti dari syahadat Rasulallah SAW sebagai titik pusat ketauladanan (Uswatun Khasanah) baik dalam jhubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) secara vertikal, maupun dalam hubungan dua kalimat syahadat itu adalah memberikan cinta yang pertama dan utama kepada Allah SWT, kemudian kepada Rosulullah SAW dan jihad fi sabilillah (Q.S.Al-Baqarah (2): 165, Q.S. At-Taubah (9) 24).
Berdasarkan ayat diatas Ab Dullah Nasih Ulwan membagi cinta (Al Mahabah), kepada tiga tingkatan :
1. Al Mahabatul Ula, yaitu mencintai Allah, Rosulnya dan Jihad Fisabilillah.
2. Al Mahabutul Wushta yaitu mencintai segala sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah dan Rosulnya dengan cara yang diijinkannya, seperti cinta kepada anak, ibu bapak, suami-istri, karib kerabat, harta benda, dan lain sebagainya.
3. Al Mahabatul Adna, yaitu mencintai anak-anak, ibu bapak, suami atau istri, karib kerabat, harta benda dan lain sebagainya melebihi cintanya kepada Allah dan Rosulnya, dan jihad fii sabi lillah (Q.S.At-Taubah/9 : 24)

Yang membatalkan dua kalimat syahadat.
Menurut Syait hawwa dalam bukunya Al Islam, hal-hal yang membatalkan dua kalimat syahadat :
1. Bertawakal bukan kepada Allah (Q.S. Al Maidah 5 / : 23)
2. Tidak mengakui bahwa semua nikmat lahir maupun batin adalah karunia Allah SWT (Q.S. Luqman / 31 :20, (Q.S.Al-Qashas / 28 : 78)
3. Beramal dengan tujuan selain Allah (Q.S.Al-An’am / 6 :162, 163)
4. Memberikan hak mengharamkan dan menghalalkan, hak memerinah dan melarang, atau hak menentukan syariat atau hukum pada umumnya kepada selain Allah SWT (Q.S. Al-An’am / 6 : 57,(Q.S. At-Taubah (9) 31)
5. Taat secara mutlak kepada selain Allah dan Rosulnya (Hadits, dan Q.S. Asy Syu’ara’ / 26 : 151, 152)
6. Tidak menegakkan hukum Allah SWT (Q.S.Al-Maidah /5 : 44 dan (Q.S. An- Nisa : / 4 : 65)
7. Membenci Islam seluruh atau sebagiannya (Q.S.Muhammad : / 47 : 8-9)
8. Mencintai kehidupan dunia melebihi akhirat atau menjadikan dunia segela-galanya (Q.S.Ibrahim / 14 : 2-3)
9. Menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang di halalkannya. (Q.S.An-Nahl / 16:105)
10. Tidak beriman dengan seluruh nash-nash Al Quran atau sebagiannya dan sunah (Q.S.Al- Baqarah/ 2 : 85) dan hadits riwayat Turmudzi).
11. Mengangkat orang-orang kafir dan munafik menjadi pemimpin dan tidak mencintai orang-orang yang berakidah Islam ( Q.S.Al-Maidah (5) :5, dan(Q.S. An Nisa / 4 : 138 – 189)
12. Tidak beradab dalam bergaul dengan Rosulullah SAW (Q.S. Al- Hujurat / 49 : 2)
13. Memperolok-olok Al Quran dan Sunnah atau orang-orang yang menegakkan keduanya, atau memperolok-olok hukum Allah atau syiar islam. (Q.S. At Taubah / 9 : 64 – 65).
14. Tidak menyenangi Tauhid malah menyenangi Kemusrikan ( Q.S.Az- Zumar (39): 45).
15. Menyatakan bahwa makna yang tersirat (batin) dari suatu ayat bertentangan dengan makna yang tersurat (Sesuai dengan pengertian bahasa (Q.S. Ar -Ra’du / 13 : 37)
16. Memungkiri salah satu asma, sifat dan af’al Allah SWT ( Q.S.Al-A’raf / 7 : 180)
17. Memungkiri salah satu sifat Rosulullh SAW yang telah di tetapkan oleh Allah atau memberinya sifat yang tidak baik atau tidak meyakininya, sebagai contoh teladan yang utama bagi umat manusia (Q.S.Al-Ahzab / 33 : 21)
18. Mengkafirkan orang Islam atau menghalalkan darahnya, atau tidak mengkafirkan orang kafir ( HR Bukhari Muslim) dan (HR Bukhari)
19. Beribadah bukan kepada Allah (Q.S.Ar-Ra’du /13 : 14.)
20. Melakukan sirik kecil (HR ahmad).
Ibadah : Segala cara dan upacara pengabdian yang bersifat ritual yang telah diperintahkan dan diatur cara-cara pelaksanaannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasul, seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.

Akhlak : Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat yang tentram dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Imam Ghazali). Nilai dan perilaku baik dan burruk seperti sabar, syukur, tawakal, birrul walidaini, syaja'ah dan sebagaimana (Al-Akhlakul mahmudah) dan sombong, takabur, dengki, riya', 'uququl walidain dan sebagainya Al-Akhlaqul Madzmuham).
Ciri – ciri akhlak Islam :
1. Akhlaq Rabbani : Sumber akhlaq Islam itu wahyu Allah yang termaktub dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, bertujuan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlaq Islamlah moral yang tidak bersifat kondisional dan situasional, tetapi akhlaq yang memiliki nilai-nilai yang mutlak. Akhlaq rabbanilah yang mampu menghindari nilai moralitas dalam hidup manusia (Q.S.) Al-An'am / 6 : 153).
2. Akhlak Manusiawi
Akhlaq dalam Islam sejalan dan memenuhi fitrah manusia. Jiwa manusia yang merindukan kebaikan, dan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam. Akhlaq Islam benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak Universal
Sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan menyangkut segala aspek kehidupan manusia baik yanng berdimensi vertikal, maupun horizontal. (Q.S. Al-An'nam : 151-152).
4. Akhlak Keseimbangan
Akhlaq Islam dapat memenuhi kebutuhan sewaktu hiduo didunia maupun diakhirat, memenuhi tuntutan kebutuhan manusia duniawi maupun ukhrawi secara seimbang , begitu juga memenuhi kebutuhan pribadi dan kewajiban terhadap masyarakat, simbang pula. (H.R. Buhkori).
5. Akhlaq Realistik
Akhlaq Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia walaupun manusia dinyaakan sebagai makhluq yang memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk lain, namun manusia memiliki kelemahan-kelemahan itu dia sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan. Oleh karena itu Allah memberikan kesempatan untuk bertaubat. Bahkan dalam keadaan terpaksa. Islam membolehkan manusia melakukan yang dalam keadaan biasa tidak dibenarkan. (Q.S. Al- Baqarah / 27 : 173).
Mua'malah : Aspek kemasyarakatan yang mengatur pegaulan hidup manusia diatas bumi ini, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan, hubungan antar negara dan lains ebagainya.

Dalam memilih pemimpin, Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk tekhnis secara detail dan rinci. Rasulullah Muhammad SAW, juga tidak pernah menunjuk siapa pengganti sesudah beliau wafat. Empat pemimpin Islam setelah Rasulullah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) dipilih dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar As-Sidik dipilih dengan cara musyawarah terbuka tanpa ada calon sebelumnya di Saqibah Bani Saidah. Khalifah Umar bin Khatab dipilih dengan cara penunjukkan oleh Khalifah Abu Bakar berdasarkan keputusannya dengan tokoh-tokoh terpercaya, dikalangan sahabat kemudian diumumkan pada khalayak dan rakyat menyetujuinya. Khalifah Usman bin Affan dipilih dengan pemilihan yang dilakukan oleh Majlis Syura dengan pemilihan yang dilakukan oleh Majlis Syura (Formatur) sebanyak 6 orang yang dibentuk oleh Khalifah Umar bin Khatab. Sedangkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dipilih dalam situasi kacau setelah terbunuh Khalifah Usman bin Affan. Pemilihan dilakukan secara spontan dan terkesan darurat, yang dimulai oleh kaun yang tidak puas dengan khalifah usman.

Dari kenyataan seperti tersebut diatas, terdapat isyarat bahwa persoalan penyelenggaraan kekuasaan biarlah diselesaikan oleh umat manusia dengan cara musyawarah. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 159 :

Artinya :

.......bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (politik, perang, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan lain). Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S Ali Imran : 159)


Pemimpin itu dipilih oleh rakyat Islam adalah agama yang kafah, oleh karena itu Islam memiliki sistem politik tersendiri, yaitu sistem politik yang berpusat pada ajaran Allah SWT dengan tanpa menafikan kreatifitas (al-ijtihad).

Sistem politik seperti itu disebut teodemokrasi yaitu pemerintah dimana kedaulatan wahyu membatasi kedaulatan rakyat. Namun demikian umat (Rakyat) mempunyai kedudukan utama untuk memusyawarahkan masalah-masalah yang belum jelas hukumnya. Istilah lain dari itu adalah teonomokrasi atau Nomokrasi.


Khalifah, Imam dan Ulil Amri

Dalam kepemimpinan Islam ada tiga pengertian (konsep) yaitu : khalifah, Imam dan Ulil Amri.Pertama, Khalifah diartikan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, pengatur, penguasa yang mengatur kehidupan dunia. Kemudian lahir istilah Khalifatur Rasul atau Khalifatun Nubuwah yaitu pengganti Nabi sebagai pembawa risalah atau syariat, memberantas kedhaliman dan meneggakkan keadilan. Kedua,Imam diartikan lebih spesifik untuk menyebut pemuka agama, pemimpin keagamaan atau pemimpin spiritual yang diikuti dan diteladani fatwa secara patuh oleh pengikutnya. Dalam beberapa Al-Hadits, Al Imam sering diartikan dengan pemimpin / penguasa atau Al Amier, yang memiliki kekuasaan atau wewenang mengatur orang-orang atau masyarakat. Ketiga, Ulil Amri diartikan sebagai pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin militer atau tokoh-tokoh yang menjadi tumpuan bagi umat, menerima amanat dari anggota masyarakat. Umat Islam diperintahkan untuk taat pada perintah Allah, Rasul dan Ulil Amri (pemerintah) yang syah, sebagaimana Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 59 :


Artinya :

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Sulthan, Mulk dan Hukm.

Dalam Al-Qur’an paling tidak ada tiga buah kata, yakni ”Sulthan”, ”Mulk”, dan ”Hukm”, yang dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang pemerintahan (Politik). Kata ”Sulthan” dapat ditemui dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 90, Al-Isra’ ayat 33, 80 dan Al Haysr ayat 6. Sulthan merupakan kata yang berkonotasi sosiologis, karena berkenaan dengan kemampuan mengatasi orang lain. Dan dapat dipahami sebagai ” Kemampuan fisik untuk melaksanakan pengaruh atau paksaan terhadap orang lain atau masyarakat”. ”Mulk” terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 247, Ali Imran ayat 26, Al Hasyr ayat 23 dan An Naml ayat 23. Kata ”Al-Mulk” dalam ayat tersebut menunjuk pada konsep kekuasaan dengan sifat umum dan berdimensi kepemilikan. Bila dikaitkan dengan politik kata ini menunjukkan bahwa kekuasaan dimiliki manusia merupakan pemberian Allah SWT. Dalam konsep Islam semua hal yang dimiliki manusia adalah titipan Allah dan manusia hanya diperintahkan untuk menggunakannya sesuai dengan ”aturan” sang penitip. Sedang kata ”Hukm” dapat dijumpai dalam Al-Qur’an Surat : Al Qalam ayat 36 – 41, Yunus ayat 35 , Ash Syaffar ayat 154, An Nahl ayat 59 dan Al Anbiya’ ayat 78. Kata ”Hukm” berarti ”penyelenggaraan ketertiban dalam kehidupan umat manusia dengan pendayagunaan aturan-aturan atau norma-norma hukum baik yang bersumber dari Allah dan RasulNya maupun dari manusia melalui ijtihad.

Secara akal sehat dapat dikatakan politik adalah sarana untuk mencapai tujuan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat antara lain : (1) mewujudkan kehidupan yang selaras dengan fitrahNya (al-Adl), (2) mewujudkan kebajikan dengan tegaknya hukum (al Ikhsan), (3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan pribadi (al-Qisth), menjauhi kekejian (Al-Fahisyatal Munkar dan kesewenang-wenangan (Al-Baghy).

Menurut Al-Qur’an kekuasaan Politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 55 :

Artinya :

Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa (Q.S. An-Nur ayat 55)

Kaidah Memilih Pemimpin

Kaidah apakah yang harus diwajibkan sebagai pedoman dalam memilih seorang pemimpin ? tentu kita tidak dapat menyambung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijtihad para ulama. Dalam memilih pemimpin ada beberapa kaidah sebagai berikut :

1. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 144 :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali[368] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?


2. Memilih pemimpin yang memiliki keahlian dibidangnya, sebagaimana sabda Rasulullah Muhamamd SAW :

Artinya :

Siapa yang menyerahkan urusan, kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. (HR. Bukhori Muslim).

3. Memilih pemimpin yang akseptabel, dicintai dan mencintai umatnya, mendo’akan dan dido’akan ummat dan bukan pemimpin yang dibenci dan membenci, melaknat dan dilaknat umat. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana artinya : ” Sebaik-baiknya pemimpin ialah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berada untuk mereka dan mereka berada untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin ialah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu laknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (H.R. Muslim) .

4. Memilih pemimpin yang mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syariat, berjuang menghilangkan segala bentuk kemungkaran, kekufuran, kekacauan dan fitrah. Sebagaimana firman Allah, Q.S Al-Baqarah 193.

Artinya :

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.


Dan sabda Rasulullah SAW :

"Siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk kedalam golongan mereka. (HR. Bukhari Muslim).


5. Memillih pemimpin yang tidak bertindak, arogan dan sewenang-wenang serta tidak fanatik terhadap golongan. Sebagaimana firman Allah surat Al-Qashas : ayat 4 :

”Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.

6. Memilih pemimpin yang sehat dan kuat

"Orang muslim yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang muslim yang lemah" (Al-Hadits).

7. Memillih pemimpin yang memiliki sifat-sifat utama

Rasul : benar (sidiq), terpercaya (amanah), menyampaikan, melaksanakan juga (tabliq) serta cerdas (fathonah).

Memilih peimpin yang ganderung persatuan dan kesatuan dan membenci perpecahan


Beramal shalih penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah kita justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan.

Kehidupan ini, banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu, dan untuk menyingkirkannya membutuhkan waktu dan pengorbanan. Kita takut kalau seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah SWT. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?

Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT telah menjelaskan di dalam Al Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:

“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasehati dalam kebaikan dan saling menasehati dalam kesabaran.” (Al ’Ashr: 1-3)


Sumpah Allah SWT dengan masa menunjukkan bahwa waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shaleh. Dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang di murkai Allah SWT. Empat perkara yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.

Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui oleh setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Syaikh Muhammad Abdul Wahab dalam kitabnya Al Ushulu Ats Tsalasah dan Ibnu Qoyyim dalam Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dari hawa nafsu dan melawannya ketika kita dipaksa terjerumus ke dalam kesesatan.


Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan

Mengucapkan “Saya beriman”, sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya sekedar itu, orang telah sempurna imannya. Proklamasi beriman memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima, yaitu kesiapan untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai atau tidak disukai.

Konsekuensi iman meliputi kesiapan menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya, mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah, memperbudak diri di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan, mengamalkan seluruh syariat Allah, menerima apa yang diberitakan oleh Allah dan Rasulullah SAW tentang perkara-perkara gaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau, meninggalkan segala apa yang dilarang Allah dan Rasulullah SAW juga merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanakan syari’at Allah, mencintai dan membela mereka, dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan.

Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar-benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al Ankabut: 1-3)

Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka” (HR. Imam Tirmidzi no.992 dan 993).


Ringkasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Yaitu, mengucapkan dengan lisan serta beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan, yaitu amal.

Amal

Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah SWT telah menjelaskan hal yang demikian itu di dalam Al Qur’an:

“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali Imran:133)


Jelas melalui ayat ini, Allah SWT menyeru hamba-hamba-Nya untuk bersegera menuju amal kebajikan dan mendapatkan kedekatan di sisi Allah, serta bersegera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya.

Allah berfirman:

“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan” (Al Baqarah: 148)

Dalam ayat ini, Allah dengan jelas memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah SAW bersabda:
“Bersegeralah kalian menuju amal shaleh karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan Tirmidzi)

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya kewajiban berpegang dengan agama Allah dan bersegera untuk beramal shaleh sebelum datang hal-hal yang akan menghalangi darinya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir dari satu fitnah muncul lagi fitnah yang lain.
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia, maka Allah SWT memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shaleh. Allah berfirman di dalam Al Quran:

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al Baqarah:153)

Lalu, kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran apakah amal kita pasti diterima?

Syarat Diterima Amal 



Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah SWT. Allah SWT berfirman ;

Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus”. (Al Bayyinah: 5)

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (Shahih, HR Bukhari-Muslim)

Dalil-dalil diatas menunjukkan sangat jelas menunjukkan bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah SWT. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Kedua, amal tersebut sesuai dengan sunnah (petunjuk) Rasulullah SAW. Beliau bersabda:

“Dan barang siapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (Shahih, HR Muslim dari ‘Aisyah ra)

Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah SWT adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah SAW. Jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah SWT. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “ Yang penting kan niatnya.” Yang benar, harus ada kesesuaian amal tersebut dengan ajaran Rasulullah SAW. Jika istilah “yang penting niat” itu benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah SWT dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba’, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya. Demikian juga dengan seseorang yang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan isterinya.

Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah SWT adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.

Oleh karena itu, sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.

Masalah berikutnya, juga bukan sekedar memperbanyak amal, akan tetapi benar atau tidaknya amalan tersebut. Allah SWT berfirman:

“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al Mulk: 2)

Allah SWT mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW


Oleh Yusuf Susanto.
Anggota Bidang Organisasi PC IMM Magelang
Mahasiswa Fakultas Hukum
Univ Muhammadiyah Magelang







Semua orang menyadari bahwa manusia adalah makhluq rasional, daripada makhuq ciptaan Allah yang lain. Manusia diberi akal, jasad, dan hati (Qolbu dalam bahasa Arab) yang kesemuanya memiliki fungsi dan peran masing-masing. Berabad-abad yang lalu, Allah telah memberikan informasinya dalam Al Quran yang diturunkan kepada umat ini. Bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sempurna,
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya . (At Tien : 4).
Kesempurnaan manusia dapat diukur dari ketiga potensi yang telah Allah berikan yaitu akal, jasad, dan hati. Tetapi entah mengapa, manusia akan di tempatkan di tempat yang paling rendah. Ternyata bagi mereka yang tidak mau beriman kepada Allah dan beramal salih.
Proses berfikir adalah merdeka, Prof. Musa Asyari dalam bukunya Filsafat Islam sunnah nabi dalam berfikir, beliau mengatakan bahwa kebebasan berfikir adalah mutlak milik setiap orang. Meskipun orang tersebut dalam kondisi yang mapan maupun dalam kondisi terhimpit, pastilah proses berfikir selalu berjalan. Umat muslim mengakui bahwa berfikir kritis adalah keharusan, berfikir kritis terhadap lingkungan, terhadap pemerintahan yang dholim, yang terpenting dari kesemuanya itu adalah berfikir kritis terhadap ayat-ayat ciptaan Allah yang terhampar luas di alam ini.
Sayangnya potensi berfikir ini sangat kurang diminati di kalangan kita (mahasiswa), banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara kritis", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap " berpikir secara kritis " sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof". Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara kritis dan merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan dan direnungkan:
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah, bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga, dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir. Orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam, akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat hampa. Kata kelalaian mengandung arti "ketidak pedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak mau berfikir, adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:

“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raaf, 7: 205)





“Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Berfikir kritis bukanlah mencari kesalahan orang lain, bukan mencari kelemahan orang lain, tetapi berfikir kritis adalah mencari persoalan dan dapat menghadirkan solusi. Bukankah Islam sudah menawarkan konsep ijtihad, ijtihad adalah tawaran Islam dalam mencari solusi atas persoalan.
Menurur Al Ghazali yang dikutip oleh Abdullah Syahab bahwa ijtihad adalah "mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat." Beliau juga menambahkan makna ijtihad menurut Al Dahlawi "Hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dengan munculnya persoalan ummat yang tidak tercantum dalam penjelasan Al Quran maupun Sunnah, maka harus ada upaya kesunguhan ummat Islam dalam mencari solusi sehingga yang akan berbicara adalah hukum syariat yaitu dari hasil ijtihad.
Inilah konsep yang sudah sekian lama dilaksanakan oleh ulama islam, mereka mencontohkan agar umat islam terus berfikir, dan menggali segala ciptaan Allah yang belum tersibak. Seperti ungkapan Muhammad Abduh bahwa pintu ijtihad masih terbuka. Maka jangan mau seorang muslim dikatakan bodoh, berfikir kritislah terhadap permasalah umat, tidak hanya menyalahkan dan mencari kekurangan kelompok lain.
Wallahu a' lam

Dakwah dan PolitikApr 11, '08 7:49 PM
untuk
Islam tersebar karena dakwah dan dakwah termotivasi oleh Tauhid karena tauhid adalah ruh yang menggerakkan fisik, akal, dan hati untuk merekonstruksi masyarakat sesuai ajaran Islam.

Kadang kita berfikir, bisakah politik digunakan untuk berdakwah ? kita menyadari bahwa politik menyangkut kekuasaan, cara menggunakan kekuasaan serta proses pengelolaan pemerintahan dan negara maka politik termasuk salah satu alat untuk dakwah.

Politik yang fungsional untuk dakwah adalah politik yang mengindahkan nilai-nilai Islam bersumber dari mata air aslinya yaitu Al Quran dan Sunnah.

Dakwah dapat melalui politik, tetapi bukan politik praktis melainkan high politik, sebagai politik luhur, bukan yang mengesankan politik elitis. High politik diartikan pemahaman keagamaan mengenai Tauhid diletakkan sebagai dasar hidup keagamaan menjadi dasar politik kelembagaan dan sistem maupun prilaku. High politik gagasan Amin Rais ini menyebutkan cirinya sebagai berikut :

  1. Politik sebagai amanah dan sebagai konsep keagamaan.

  2. Kesadaran akan tanggungjawab politik baik kepada Allah maupun kepada umat.

  3. Keterkaitan politik dengan prinsip ukhuwah yang melampaui batas Etnik, Ras, Agama, dan status sosial ekonomi budaya.

Dalam hal seperti inilah politik melaksanakan peannya dalam dakwah Islamiah amar ma’rur nahi munkar.

Profesionalisme politik yang tipikal Islam harus dirumuskan. Dikalanganumat di bina dan ditumbuhkan kader yang tangguh berakidah kuat, berakhlaw mulia, menguasai persoalan politik serta kaitannya dengan masalah sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Untuk itu Muhammadiyah melakukan haigh politik yang cocok untuk misi dakwah.

Abad ini ditandai dengan keinginan umat Islam untuk berperan aktif dalam politik dan IPTEK, setelah terlena dengan kemegahan peradaban Islam di masa lalu.

Ajaran Islam yang hakikatnya agama dakwah yang para pemeluknya mempunyai kewajiban untuk memanggil umat manusia menerima kebenaran yang datang dari Allah demi kemaslahatan kehidupan mereka sendiri di dunia dan di akhirat.

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Masyarakat Indonesia sekarang ini terlihat kencenderungan konsumeristik dengan ramainya toko dan swalayan(dept store), matrealistik dengan parameter setiap tindakan diukur dengan materi atau uang, dan hedonistik yaitu semakin maraknya tempat hiburan dan maraknya budaya dan syahwat.

Dalam masalah sosial ekonomi terjadi ketimpangan antara masyarakat mampu dengn masyarakat melarat, masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan, masyarakat atas dengan masyarakat bawah, sekat itu bukan semakin tipis tetapi justru sebaliknya.

Dalam masalah budaya kita lihat seculerisme Islam Liberal mendapat angin, nativisme dan budaya yang sudah mati dihidupkan kembali walau budaya jahiliyah dan nir agama/ateis.

Untuk menanggulangi hal tersebut harus kita lakukan dengan dakwah.

Firman Allah

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk

Kita harus optimis karna prospek umat Islam adalah cerah berdasar :

  1. Pedoman hidup kita adalah Al Quran dan Sunnah yang selalu bersih tidak terkotori dan utuh.

  2. Ajaran Islam yang kaffah menyeluruh jamik dan qoni, mencakup segala aspek kehidupan, mandiri dengan tauhidnya, tanpa kompromi terhadap budaya manapun yang bertentangan dengan prinsip Islam.

  3. Ketetapan hati dalam menyebarkan dan memelihara Islam dalam kemurnian dikalsanakan dengan berkesinambungan setiap periode di negara muslim oleh para kader dan mujaddid

  4. Diseluruh dunia Islam sebagian besar penduduknya menghendaki Islam sebagai dasar hidup dan sekali suatu kepemimpinan yang membangkitan semangat muncul, mereka siap mengikuti dengan penuh semangat

Optimisme masyarakat tersebut dapat kita usahakan dengan dakwah dan high politik yaitu realisasi kesadaran etika keagamaan atas peran seseorang yang bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang lain. Karena itu peran pemimpin politik, sebagai pilihan strategis mencapai kehidupan demokratis, dibawah paradigma etika agama Islam. Posisi strategis berbagai lembaga politik moderen, merupakan orientasi umum dan sasaran target dakwah Islamiyah amar ma’ruf nahi munkar, sebagai komitmen kader muslim.

Make a Free Website with Yola.